“Woy! Woy! Kalem dulu, jangan langsung emosi,” sahut Dara panik karena takut kakaknya itu salah paham.
Carissa tertawa melihat raut wajah panik Dara yang terlalu ketara. Tentu saja, sebagai kakak, kurang rasanya jika tidak menggoda adiknya. “Lo kalo mau sama Sagara kenapa gak bilang pas makan malem kemaren? Jangan rebut pas udah dijodohin gue dong!” sahut Carissa dengan nada emosi sembari berusaha menahan tawanya.Dara mengernyitkan dahinya. Carissa bukan tipikal orang yang meledak-ledak. Jika marah, wanita itu hanya akan diam atau mengucapkan kalimat menyakitkan dengan sikap yang tenang. Sudah jelas, kakaknya itu sedang bercanda kepadanya.“Apaan sih,” ucap Dara sembari memutarkan bola matanya dengan malas. “Gue tau lo gak peduli-peduli amat, tapi yang jelas gue gak ada apa-apa ya sama calon ipar gue. Awas lo nyebar rumor yang enggak-enggak,” lanjut Dara memperingatkan.Keduanya hidup terlalu lama sebagai kakak dan adik sehingga dapat mengetahui gelagat masing-masing. Carissa pun akhirnya bisa melepaskan tawanya dengan lega. “Lo ada apa-apanya juga gue gak peduli. Asalkan lo mau balik ke perusahaan, Sagara buat lo aja gak apa-apa,” ujar Carissa dengan santainya mengoper pria yang hendak dijodohkan dengannya.Dara menggelengkan kepala dengan sekuat tenaga untuk menolak tawaran dari kakaknya tersebut. “Jangan ngaco deh! Sagara bos gue!” sahut Dara.“Lo keluar dari perusahaan Sagara dan kerja sama gue disini. Jadi, Sagara udah bukan bos lo lagi, kan, kalo gitu?”“Gue gak mau dijodohin dan gue gak mau resign. Puas?”“Lo berdua berantem soal apa sih?” Gavin yang tiba-tiba muncul memecah pertengkaran antara kakak dan saudara kembarnya itu langsung duduk di sebelah Dara.“Saudara kembar lo tuh, jalan sama Sagara,” balas Carissa yang lagi-lagi mengundang kesalahpahaman.Gavin langsung melirik tajam ke arah Dara. “Katanya lo gak suka sama bos lo?” tanya Gavin yang termakan oleh ucapan Carissa.Dara menghela nafasnya dengan pasrah karena saudara kembarnya itu terkadang terlalu mudah untuk ditipu. “Lo pikir aja sendiri. Males gue,” balas Dara jengkel.“For your information, Sagara minta gue nemenin dia buat cari hadiah buat lo! Oh iya, dia juga nyuruh gue buat reservasi restoran yang sekiranya bakal lo suka. Udah kayak babu aja gue disuruh-suruh buat date lo berdua,” protes Dara dengan nada emosi.Carissa lagi-lagi hanya tertawa kecil. Ia tidak tahu bahwa pria yang dijodohkan kepadanya secara mendadak itu ternyata melakukan usaha yang cukup banyak hingga harus melibatkan adik perempuannya.“Wow… niat banget kayaknya Sagara nikahin lo, Kak,” timpal Gavin setelah sadar bahwa ucapan Carissa tadi hanya untuk sekedar candaan.“Ya, tuntutan keluarga? Mau gak mau harus niat lah. Gue yakin dia tipikal anak yang nurut banget sama orang tuanya. He’ll do everything for his parents,” jelas Carissa mengutarakan opininya.Dara memicingkan matanya. Tanda bahwa ada sesuatu yang sedang dipikirkan wanita itu. “Menurut gue, Sagara oke kok. Baik juga. Cocok sama lo,” ujar Dara.“Iya deh, si yang paling tahu bosnya,” goda Carissa yang hanya bisa membuat Dara mendelik sebal.“Terserah lo deh!”…Sagara terus-menerus melihat jam yang bertengger di tangan kirinya sembari sesekali melihat ke arah luar jendela. Carissa yang tadinya sibuk melahap steak daging sapi dengan tingkat kematangan medium itu akhirnya menyadari sikap Sagara yang seolah-olah sedang terburu-buru.“Ada perlu lain? Gak sabar banget kelihatannya,” sahut Carissa memecah keheningan di antara keduanya.Sagara tersenyum kecil lalu menggelengkan kepalanya. “Gak kok, santai,” balas pria itu ramah.Tidak bisa dibohongi bahwa Sagara terlihat tidak fokus dan terkesan ‘bosan’. Sebenarnya, Carissa juga merasakan hal yang sama, hanya saja wanita itu lebih pandai menyembunyikannya dibandingkan Sagara.“Lo nyuruh adik gue buat reservasi tempat ini? Sekaligus ngasih kalung?” tanya Carissa mengubah topik sekaligus menunjukkan sebuah kotak perhiasan berwarna hitam berisi kalung yang diberikan oleh Sagara sesaat sebelum makanan mereka datang.Sagara memberikan reaksi berupa anggukan kepala. Wajah pria itu sedikit lebih berwarna ketika kata ‘adik’ terucap dari mulut Carissa.“Lo deket sama Dara?” tanya Carissa lagi.“Ya, sebatas rekan kerja, bos dan karyawan,” balas Sagara seadanya.Carissa menganggukkan kepalanya sembari mengangkat bahunya tanpa sadar. Terdapat sesuatu yang menganggu pikirannya dan jawaban Sagara tidak terlalu membantu untuk menyingkirkan sebuah keganjalan dalam pikirannya.“Kemarin lo pulang bareng sama Dara, boleh dong gue asumsikan kalo lo beli kalung ini berdua?” tanya Carissa lagi.Sagara menaikkan alisnya kebingungan karena Carissa bertanya tiga pertanyaan dan semuanya tentang Dara. Namun, pria itu lagi-lagi hanya menjawab dengan anggukan kepala.“Di mall?”“Iya. Mal Grand City, deket kantor.”“Deket kantor? Lo gak takut karyawan kantor lo liat dan gosipin kalian berdua?”Sagara memicingkan matanya karena kembali dibuat kebingungan dengan pertanyaan yang dilemparkan oleh Carissa. Pertemuan makan malam yang pada umumnya dijadikan sebagai ajang perkenalan ini berubah menjadi pembahasan mengenai calon adik ipar.“Kalo gak ada apa-apa, kenapa takut digosipin?” balas Sagara berusaha memahami maksud pertanyaan Carissa.Carissa memutarkan bola matanya sembari menyeringai. “Perjodohan kita mungkin bakal diliput berita sebentar lagi, apa gak aneh kalo lo jalan ke tempat perhiasan sama cewek lain?” Carissa menghujami Sagara lagi dengan pertanyaan. “Sebagai informasi aja, identitas asli Dara gak diketahui dan mungkin aja orang ngira lo jalan sama cewek lain, bukan gue,” lanjut Carissa.Sagara mendengus tidak percaya. Ucapan Carissa barusan sangat mirip seperti kekasih yang sedang memergoki pacarnya selingkuh. Mereka baru saja kenal, Sagara merasa reaksi ini berlebihan.“Lo… cemburu sama adik lo?”“Hahaha! Ngaco lo!”Carissa tertawa terbahak-bahak mendegar dugaan tak terduga yang dikeluarkan dari mulut Sagara. Wanita itu celingak-celinguk memperhatikan lingkungan sekitarnya. Takut jika suara tawanya mengganggu pengunjung lain.“Gak lah! Suka sama lo aja enggak, gimana mau cemburu? Geer,” celetuk Carissa lagi.Sagara mengerutkan dahinya kebingungan dengan wanita di depannya yang tiba-tiba tertawa histeris dan menyindirnya langsung di depan wajahnya. “Gue cuma nanya doang. Lagian, lo nanya-nanya soal adik lo mulu. Sampe khawatir soal gosip segala. Salah gue ngira lo cemburu sama adik lo?” tanya Sagara dengan nada sewot.Carissa menggelengkan kepalanya dan masih tertawa walaupun kali ini wanita itu mengontrol volume tawanya. “Gak salah. Gue yang salah,” balas Carissa. “Gue cuma penasaran aja,” lanjut Carissa menggantungkan kalimatnya.“Penasaran karena?”“Karena kayaknya lo lebih tertarik sama adik gue dibandingkan gue.”Sagara terdiam. Pria itu tidak mengelak sama sekali. Bahkan
"Mampus udah jam 7! Ngopi dulu deh." Dara beranjak dari kursinya tanpa mematikan komputernya. Ia hanya memastikan bahwa ponsel dan dompetnya sudah terbawa di dalam kantong jaketnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam dan dirinya harus lembur sendirian malam ini di kantor. Dara bergegas turun ke kafe yang berada di lantai bawah untuk memesan minuman penyemangat sebelum kafe tutup. Dara memilih dua gelas amerikano dingin, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi sebagai teman di malam yang melelahkan ini. "Iced americano dua, no sugar, ya, Kak. Totalnya jadi 60 ribu rupiah," ucap kasir yang juga berperan sebagai barista di kafe kecil tersebut. "Bayarnya pake e-wallet bisa, kan, Mba?" tanya Dara yang dibalas dengan anggukan oleh sang kasir. Dara segera meraih ponselnya untuk membuka aplikasi e-wallet yang ia miliki. Entah karena tadi berlarian takut kafe ini akan tutup, tangan wanita itu berkeringat sehingga sulit untuk menekan layar ponselnya. "Ah elah ini tangan pake basah sega
Dara duduk sendirian di mejanya, matanya yang lelah terpaku pada penerangan kantor yang redup. Waktu telah menujukkan pukul 8 malam, namun beban kerjanya tidak kunjung berkurang. Darwis Publishing yang sedang menyelenggarakan lomba menulis novel membuat kiriman naskah semakin membludak. Dara sebagai editor akuisisi harus mengkurasi satu per satu cerita yang masuk ke dalam email perusahaan. "Ya Tuhan... banyak banget! Gak kuat gue! Nyerah!" Dara mendorong dirinya dan kursi yang sedang ia duduki menjauh dari layar komputer penuh cahaya radiasi yang sudah berhadapannya sejak pukul 8 pagi. Di saat seperti ini, wanita itu sering kali mempertanyakan mengenai pilihan hidupnya yang memilih untuk menjadi budah korporat dibandingkan duduk manis bersama kakak dan saudara kembarnya di kursi komisaris. "Pulang gih." Suara tersebut bukanlah berasal dari mulutnya. Maka dari itu, Dara menoleh dengan cepat ke arah sumber suara. Malamnya akan berubah menjadi genre horor
"Gimana? Suka gak?" tanya Sagara sesaat melihat Dara melahap burger yang ia berikan. Dara mengangguk karena mulutnya yang penuh dengan burger itu tidak bisa menjawab pertanyaan bosnya. Takut karyawannya itu tersedak, Sagara dengan cepat membuka botol minuman dan menyerahkannya kepada Dara. Wanita itu berhenti sejenak sebelum mengambil botol minuman yang ada di tangan Sagara dengan ragu. Sekali lagi, ia mempertanyakan apa normal jika atasan sepeduli ini dengan karyawan biasa. "Makasih, Pak," ucap Dara. "Pelan-pelan aja makannya, jangan kayak dikejer setan," pinta Sagara sembari menyerahkan sebuah tisu. "Lap mulut kamu, berantakan tuh," lanjut Sagara. Yang hanya bisa dilakukan Dara adalah menganggukan kepalanya dan menuruti perintah Sagara. Meskipun memiliki kepribadian yang acuh tak acuh dan sudah mendeklarasikan kepada semua orang bahwa ia tidak memiliki perasaan apa pun dengan bosnya ini, wanita itu juga mudah luluh jika diperhatikan sedetil
Dara makin terdiam mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sagara. Perasaan lega menyebar ke seluruh dadanya. Jika Sagara tetap bertekad untuk menjalankan perjodohan dengan Carissa, maka tidak ada kesempatan bagi kakak perempuannya itu untuk membuat dirinya menggantikan posisi sang kakak. Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal di pikiran Dara. Jika memang tidak saling suka, kenapa harus memaksakan diri untuk menikah?“Kalo gak tertarik, kenapa milih tetap buat nikah sama kakak saya, Pak?” Dara memutuskan untuk membiarkan rasa penasarannya menang dan mempertanyakan hal yang sedari tadi berputar di kepalanya.Sagara tertawa kecil. “Kamu padahal berasal dari keluarga yang sama kayak saya, tapi kok gak paham beginian? Apa karena semua beban ditanggung sama kakak kamu?” tanya Sagara.Dara otomatis memiringkan kepalanya kebingungan. “Maksudnya, Pak?” “Alasan kedua keluarga kita tetap jadi keluarga ‘konglomerat’ yang selalu ada di m
“Saya turun disini aja, Pak!” sahut Dara sembari menunjuk ke arah sebuah bangunan di tepi jalan yang memiliki lampu papan dengan warna mencolok.Karena terkejut dengan permintaan mendadak, Sagara pun memberhentikan mobilnya di tempat yang diminta Dara. Sagara memicingkan matanya untuk memastikan tempat yang ada di depannya. Pria itu menawarkan diri untuk mengantarkan wanita itu pulang ke rumahnya, bukan ke sebuah kafe bar.Sesaat setelah mobil berhenti di depan kafe bar, Dara tak lupa mengucapkan terima kasih dan hendak keluar dari mobil. Namun, tangannya ditarik kembali oleh Sagara dan pria itu mengunci mobilnya dari dalam.“Hah? Ada apa, Pak?” tanya Dara terkejut karena tangannya ditarik oleh bosnya.“Kok ke kafe bar? Udah malem, bukannya pulang,” ucap Sagara bingung.“Ada urusan, Pak.”“Urusan apa? Kenapa di kafe bar?”“Ada lah, Pak, pokoknya. Saya turun ya, makasih Pak udah dianterin.” Dara merasa ia sudah tidak bisa lagi membuat alasan dan lebih baik menghindari pertanyaan dengan
Setelah terkejut karena kehadiran Sagara, wanita malang yang memiliki jantung lemah itu harus kembali dikejutkan dengan sosok pria yang memghampiri dan memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’.Dara hanya bisa terkekeh seperti anak kecil yang tertangkap basah menyolong uang receh di dompet Ibunya. “Hei… udah beres, ya, nyanyinya?” tanya Dara basa-basi karena hanya itu yang terbesit di otaknya.Pria itu kemudian mengangguk. Wajahnya kebingungannya kini berubah menjadi datar. “Lo ngapain disi-“ Pria itu menghentikan kalimatnya sesaat pandangannya teralihkan dengan Sagara yang duduk di samping Dara, menatapnya dengan kebingungan. “Siapa? Cowok baru lo?” tanya pria itu mengganti topik pertanyaannya.Dara menggelengkan kepalanya sembari melambaikan tangannya dengan kuat. “Bukan! Bukan!” tegas Dara.Kini, bergantian Sagara yang bertanya kepada Dara. “Ini orang yang mau kamu temuin? Pacar?” Dara merasa kepalanya dibaluti bintang berputar karena dise
“Pak! Kenapa ngomong gitu terus sih! Kemarin kata Kakak saya juga pas ngedate bahas itu! Nanti pada salah paham, Pak!” protes Dara yang lama-lama kesal dengan ucapan bahwa Sagara lebih memilih dirinya jika ingin dijodohkan. Entah itu hanya candaan atau bagaimana, Dara merasa tidak nyaman. Wanita itu juga takut jika tiba-tiba muncul rasa ekspektasi berlebih yang bisa datang kapan saja kepada dirinya. Tidak ada yang menjamin bahwa Dara bisa tetap kuat dan tidak tergoyahkan perasaannya.Sagara dan Rasta hanya tertawa melihat reaksi panik Dara. Meskipun baru pertemuan pertama, kedua pria berbeda generasi itu sudah menemukan kesamaan, yakni menemukan kesenangan ketika menggoda Dara.“Seratus persen gue yakin kalo Kak Carissa bakal bikin lo gantiin posisi dia di perjodohan ini,” bisik Rasta yang berhasil membuat mata Dara membelalak lebar.“Lo tahu dari mana? Itu manusia gila satu ngancem ke gue kayak gitu soalnya,” balas Dara berbisik karena tidak mau ucapannya terdengar oleh Sagara.“Udah