"Mampus udah jam 7! Ngopi dulu deh."
Dara beranjak dari kursinya tanpa mematikan komputernya. Ia hanya memastikan bahwa ponsel dan dompetnya sudah terbawa di dalam kantong jaketnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam dan dirinya harus lembur sendirian malam ini di kantor. Dara bergegas turun ke kafe yang berada di lantai bawah untuk memesan minuman penyemangat sebelum kafe tutup. Dara memilih dua gelas amerikano dingin, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi sebagai teman di malam yang melelahkan ini."Iced americano dua, no sugar, ya, Kak. Totalnya jadi 60 ribu rupiah," ucap kasir yang juga berperan sebagai barista di kafe kecil tersebut."Bayarnya pake e-wallet bisa, kan, Mba?" tanya Dara yang dibalas dengan anggukan oleh sang kasir.Dara segera meraih ponselnya untuk membuka aplikasi e-wallet yang ia miliki. Entah karena tadi berlarian takut kafe ini akan tutup, tangan wanita itu berkeringat sehingga sulit untuk menekan layar ponselnya."Ah elah ini tangan pake basah segala," gumam Dara kesal. "Sebentar, Mba, handphone saya susah dipencet, hehe," ucap Dara setengah malu karena membuat kasir menunggu."Pake ini aja, Mba."Dari belakang, tiba-tiba saja ada tangan yang dengan cepat menyerahkan kartu berwarna hitam kepada kasir. Dara sontak menoleh ke belakang dan terkejut melihat sosok yang sudah berdiri di belakangnya."Pak Sagara?" Tentu saja, pria yang belakangan ini selalu membuatnya terkejut tidak lain dan tidak bukan adalah Sagara, bos sekaligus calon kakak iparnya.Kasir tersebut segera mengambil kartu yang ada di tangan Sagara sembari menunduk menyapa. Sang kasir sudah pasti tahu siapa Sagara.Sagara merogoh sakunya dan memberikan sebuah sapu tangan kepada Dara. "Nih, lap tangan kamu," suruh pria itu."Makasih, Pak."Dara mengambil sapu tangan tersebut sembari memperhatikan sekelilingnya, memastikan tidak ada teman kantornya yang masih berada di gedung kantor ini. Wanita itu benar-benar takut akan gosip. Terlebih setelah kejadian kemarin- dimana Carissa dengan terang-terangan memberitahu niatnya untuk membuat Dara menggantikan kakaknya dalam perjodohan dengan keluarga Darwis-- membuat Dara menjadi lebih hati-hati. Bisa saja kakanya itu mengirim mata-mata ke kantor ini dan memotret ketika dirinya dan Sagara sedang berdekatan hanya untuk menimbulkan sebuah kesalahpaham dalam drama perjodohan ini.Hal ini bukan berarti tidak mungkin, Dara tahu dengan baik bagaimana sifat licik Carissa untuk mendapatkan hal yang ia mau. Dara dan Gavin bahkan setuju jika Carissa bukan berasal dari keluarga kaya dan terhormat, wanita itu sudah pasti menjadi penipu handal atau kriminal kelas kakap. Hanya satu hal yang diinginkan Carissa yang belum terwujud, yakni membuat Dara berhenti menjadi editor dan bekerja untuk perusahaan keluarganya."Saya ganti, ya, Pak, uangnya. Transfer boleh? Saya lagi gak megang uang cash soalnya," ucap Dara.Sagara menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa. Anggep aja saya traktir kamu," balas Sagara.Dara menggelengkan kepalanya lebih kuat lagi seolah menolak mentah-mentah traktiran tersebut. "Gak, Pak, terima kasih banyak tapi saya mending bayar sendiri aja."Sagara akhirnya paham kenapa karyawannya itu menolak dengan kuat. Dara takut dengan gosip yang sekiranya akan menganggu hidupnya yang tenang. Sagara sebelas dua belas dengan Carissa, menemukan sebuah kesenangan dengan menggoda Dara. Pria itu mendekat kepada Dara yang sudah mundur beberapa langkah darinya. "Kamu mau kue juga gak? Atau makanan apa gitu buat nemenin kamu begadang," tanya Sagara dengan nada lemah lembut dan tak lupa juga senyum manisnya.Dara membelalakan matanya karena terkejut. Memang tidak ada orang selain dirinya dan Sagara di kafe ini, tetapi tetap saja ada saksi mata berupa kasir yang saat ini sedang berusaha menahan senyumnya melihat interaksi Sagara dan Dara."Wah, gila ini orang," ucap Dara tak sengaja mengeluarkan isi hatinya.Sagara tertawa mendengus melihat Dara yang panik karena ucapannya sendiri. Pria itu bahkan tidak mempedulikan bagian Dara yang mengatakan bahwa ia gila. Sagara hanya bisa menikmati momen ini."Maaf, Pak. Gak maksud. Yang gila saya, bukan Bapak," ujar Dara gelagapan memberikan alasan.Sagara dan Kasir yang sedang membungkus dua gelas amerikano yang dipesan oleh Dara tidak bisa lagi menahan tawa mereka. Sang kasir yang tahu bahwa tidak baik untuk menguping percakapan pelanggan akhirnya memilih untuk memutarkan badan dan sekuat mungkin untuk menahan tawanya. Beda dengan Sagara yang bisa tertawa lepas karena gemas dengan tingkah Dara."Iya-iya, paham kok saya. Ya udah, ambil sana kopi kamu. Masih ada kerjaan, kan, di atas?" ujar Sagara masih dengan tawanya sembari mengingatkan Dara.Dara menganggukan lagi kepalanya dan dengan cepat mengambil dua gelas kopi tersebut dan berlari ke arah lift. "Makasih, Pak!" teriak Dara sekali lagi kepada Sagara.Senyum Sagara mengembang lebar seiring menghilangnya sosok Dara yang sudah masuk ke dalam lift. Pria itu memiringkan kepalanya. Tanpa sadar, rasa ketertarikan pria itu kepada Dara semakin menguat. Entah tertarik karena cara bekerja wanita itu sebagai editor atau karena ia merupakan seorang putri konglomerat yang mati-matian berusaha merahasiakan identitasnya, Sagara sendiri tidak tahu.Dara duduk sendirian di mejanya, matanya yang lelah terpaku pada penerangan kantor yang redup. Waktu telah menujukkan pukul 8 malam, namun beban kerjanya tidak kunjung berkurang. Darwis Publishing yang sedang menyelenggarakan lomba menulis novel membuat kiriman naskah semakin membludak. Dara sebagai editor akuisisi harus mengkurasi satu per satu cerita yang masuk ke dalam email perusahaan. "Ya Tuhan... banyak banget! Gak kuat gue! Nyerah!" Dara mendorong dirinya dan kursi yang sedang ia duduki menjauh dari layar komputer penuh cahaya radiasi yang sudah berhadapannya sejak pukul 8 pagi. Di saat seperti ini, wanita itu sering kali mempertanyakan mengenai pilihan hidupnya yang memilih untuk menjadi budah korporat dibandingkan duduk manis bersama kakak dan saudara kembarnya di kursi komisaris. "Pulang gih." Suara tersebut bukanlah berasal dari mulutnya. Maka dari itu, Dara menoleh dengan cepat ke arah sumber suara. Malamnya akan berubah menjadi genre horor
"Gimana? Suka gak?" tanya Sagara sesaat melihat Dara melahap burger yang ia berikan. Dara mengangguk karena mulutnya yang penuh dengan burger itu tidak bisa menjawab pertanyaan bosnya. Takut karyawannya itu tersedak, Sagara dengan cepat membuka botol minuman dan menyerahkannya kepada Dara. Wanita itu berhenti sejenak sebelum mengambil botol minuman yang ada di tangan Sagara dengan ragu. Sekali lagi, ia mempertanyakan apa normal jika atasan sepeduli ini dengan karyawan biasa. "Makasih, Pak," ucap Dara. "Pelan-pelan aja makannya, jangan kayak dikejer setan," pinta Sagara sembari menyerahkan sebuah tisu. "Lap mulut kamu, berantakan tuh," lanjut Sagara. Yang hanya bisa dilakukan Dara adalah menganggukan kepalanya dan menuruti perintah Sagara. Meskipun memiliki kepribadian yang acuh tak acuh dan sudah mendeklarasikan kepada semua orang bahwa ia tidak memiliki perasaan apa pun dengan bosnya ini, wanita itu juga mudah luluh jika diperhatikan sedetil
Dara makin terdiam mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sagara. Perasaan lega menyebar ke seluruh dadanya. Jika Sagara tetap bertekad untuk menjalankan perjodohan dengan Carissa, maka tidak ada kesempatan bagi kakak perempuannya itu untuk membuat dirinya menggantikan posisi sang kakak. Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal di pikiran Dara. Jika memang tidak saling suka, kenapa harus memaksakan diri untuk menikah?“Kalo gak tertarik, kenapa milih tetap buat nikah sama kakak saya, Pak?” Dara memutuskan untuk membiarkan rasa penasarannya menang dan mempertanyakan hal yang sedari tadi berputar di kepalanya.Sagara tertawa kecil. “Kamu padahal berasal dari keluarga yang sama kayak saya, tapi kok gak paham beginian? Apa karena semua beban ditanggung sama kakak kamu?” tanya Sagara.Dara otomatis memiringkan kepalanya kebingungan. “Maksudnya, Pak?” “Alasan kedua keluarga kita tetap jadi keluarga ‘konglomerat’ yang selalu ada di m
“Saya turun disini aja, Pak!” sahut Dara sembari menunjuk ke arah sebuah bangunan di tepi jalan yang memiliki lampu papan dengan warna mencolok.Karena terkejut dengan permintaan mendadak, Sagara pun memberhentikan mobilnya di tempat yang diminta Dara. Sagara memicingkan matanya untuk memastikan tempat yang ada di depannya. Pria itu menawarkan diri untuk mengantarkan wanita itu pulang ke rumahnya, bukan ke sebuah kafe bar.Sesaat setelah mobil berhenti di depan kafe bar, Dara tak lupa mengucapkan terima kasih dan hendak keluar dari mobil. Namun, tangannya ditarik kembali oleh Sagara dan pria itu mengunci mobilnya dari dalam.“Hah? Ada apa, Pak?” tanya Dara terkejut karena tangannya ditarik oleh bosnya.“Kok ke kafe bar? Udah malem, bukannya pulang,” ucap Sagara bingung.“Ada urusan, Pak.”“Urusan apa? Kenapa di kafe bar?”“Ada lah, Pak, pokoknya. Saya turun ya, makasih Pak udah dianterin.” Dara merasa ia sudah tidak bisa lagi membuat alasan dan lebih baik menghindari pertanyaan dengan
Setelah terkejut karena kehadiran Sagara, wanita malang yang memiliki jantung lemah itu harus kembali dikejutkan dengan sosok pria yang memghampiri dan memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’.Dara hanya bisa terkekeh seperti anak kecil yang tertangkap basah menyolong uang receh di dompet Ibunya. “Hei… udah beres, ya, nyanyinya?” tanya Dara basa-basi karena hanya itu yang terbesit di otaknya.Pria itu kemudian mengangguk. Wajahnya kebingungannya kini berubah menjadi datar. “Lo ngapain disi-“ Pria itu menghentikan kalimatnya sesaat pandangannya teralihkan dengan Sagara yang duduk di samping Dara, menatapnya dengan kebingungan. “Siapa? Cowok baru lo?” tanya pria itu mengganti topik pertanyaannya.Dara menggelengkan kepalanya sembari melambaikan tangannya dengan kuat. “Bukan! Bukan!” tegas Dara.Kini, bergantian Sagara yang bertanya kepada Dara. “Ini orang yang mau kamu temuin? Pacar?” Dara merasa kepalanya dibaluti bintang berputar karena dise
“Pak! Kenapa ngomong gitu terus sih! Kemarin kata Kakak saya juga pas ngedate bahas itu! Nanti pada salah paham, Pak!” protes Dara yang lama-lama kesal dengan ucapan bahwa Sagara lebih memilih dirinya jika ingin dijodohkan. Entah itu hanya candaan atau bagaimana, Dara merasa tidak nyaman. Wanita itu juga takut jika tiba-tiba muncul rasa ekspektasi berlebih yang bisa datang kapan saja kepada dirinya. Tidak ada yang menjamin bahwa Dara bisa tetap kuat dan tidak tergoyahkan perasaannya.Sagara dan Rasta hanya tertawa melihat reaksi panik Dara. Meskipun baru pertemuan pertama, kedua pria berbeda generasi itu sudah menemukan kesamaan, yakni menemukan kesenangan ketika menggoda Dara.“Seratus persen gue yakin kalo Kak Carissa bakal bikin lo gantiin posisi dia di perjodohan ini,” bisik Rasta yang berhasil membuat mata Dara membelalak lebar.“Lo tahu dari mana? Itu manusia gila satu ngancem ke gue kayak gitu soalnya,” balas Dara berbisik karena tidak mau ucapannya terdengar oleh Sagara.“Udah
Raut wajah Sagara berubah menjadi sedikit lebih tegang, sedangkan wanita yang baru saja datang tersebut tersenyum sumringah dan langsung duduk di samping Sagara tanpa meminta izin terlebih dahulu.“Kok diem aja? Kaget ya aku tiba-tiba disini,” ucap wanita itu dengan nada sedikit manja.Dara berusaha sekuat tenaga untuk mengalihkan pandangannya dari pasangan di sebelah kanannya tersebut dan mengontrol ekspresinya. Entah mengapa, ia mencium sebuah drama di antara keduanya.Rasta menyenggol kakak perempuan keduanya itu. “Siapa?” bisiknya.Dara mengangkat bahunya. “Mana gue tahu?” balas Dara berbisik.Kakak-beradik itu sepakat untuk menggeser posisi duduk mereka dari Sagara dan wanita yang duduk di sampingnya. Sekadar untuk sopan santun dan meninggalkan jarak untuk keduanya.“Biasa aja. Gue tahu lo udah balik dari Australia. Mia kasih tahu gue,” jawab Sagara yang kini sudah terlihat tidak terlalu tegang. Pria itu memang jago dalam mengontrol ekspresinya.Wanita itu langsung cemberut dan d
“Padahal tadi saya sama adik saya aja pulangnya.”“Naik motor? Baju kamu tipis gitu? Gak takut masuk angin?”“Tapi, kan, rumah Bapak beda arah sama saya. Gak cape, Pak?”“Gak cape. Udah kamu istirahat aja, masih tiga puluh menit lagi menuju rumah kamu.”Dara hanya bisa menghela napasnya dengan pasrah mendengar ucapan yang lebih terdengar seperti perintah dari bosnya itu. Sagara bersikeras untuk mengantarkan Dara meskipun ada adiknya yang dapat mengantarkan dia ke rumah. Perlu diketahui bahwa jarak antara rumah Dara dan Sagara berlawanan, wanita itu tidak paham kenapa bosnya harus memaksa untuk mengantarkan dirinya hanya dengan alasan cuaca malam yang dingin dan takut dirinya terkena flu. Wanita normal mana yang hatinya tidak bergetar jika diperlakukan seperti ini oleh seorang pria.Di sepanjang perjalanan, keduanya hanya terdiam. Keheningan tidak sepenuhnya mengisi suasana mobil karena Sagara menyetel radio yang memutarkan lagu-