Share

7. Dua Gelas Amerikano Dingin

"Mampus udah jam 7! Ngopi dulu deh."

Dara beranjak dari kursinya tanpa mematikan komputernya. Ia hanya memastikan bahwa ponsel dan dompetnya sudah terbawa di dalam kantong jaketnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam dan dirinya harus lembur sendirian malam ini di kantor. Dara bergegas turun ke kafe yang berada di lantai bawah untuk memesan minuman penyemangat sebelum kafe tutup. Dara memilih dua gelas amerikano dingin, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi sebagai teman di malam yang melelahkan ini.

"Iced americano dua, no sugar, ya, Kak. Totalnya jadi 60 ribu rupiah," ucap kasir yang juga berperan sebagai barista di kafe kecil tersebut.

"Bayarnya pake e-wallet bisa, kan, Mba?" tanya Dara yang dibalas dengan anggukan oleh sang kasir.

Dara segera meraih ponselnya untuk membuka aplikasi e-wallet yang ia miliki. Entah karena tadi berlarian takut kafe ini akan tutup, tangan wanita itu berkeringat sehingga sulit untuk menekan layar ponselnya.

"Ah elah ini tangan pake basah segala," gumam Dara kesal. "Sebentar, Mba, handphone saya susah dipencet, hehe," ucap Dara setengah malu karena membuat kasir menunggu.

"Pake ini aja, Mba."

Dari belakang, tiba-tiba saja ada tangan yang dengan cepat menyerahkan kartu berwarna hitam kepada kasir. Dara sontak menoleh ke belakang dan terkejut melihat sosok yang sudah berdiri di belakangnya.

"Pak Sagara?" Tentu saja, pria yang belakangan ini selalu membuatnya terkejut tidak lain dan tidak bukan adalah Sagara, bos sekaligus calon kakak iparnya.

Kasir tersebut segera mengambil kartu yang ada di tangan Sagara sembari menunduk menyapa. Sang kasir sudah pasti tahu siapa Sagara.

Sagara merogoh sakunya dan memberikan sebuah sapu tangan kepada Dara. "Nih, lap tangan kamu," suruh pria itu.

"Makasih, Pak."

Dara mengambil sapu tangan tersebut sembari memperhatikan sekelilingnya, memastikan tidak ada teman kantornya yang masih berada di gedung kantor ini. Wanita itu benar-benar takut akan gosip. Terlebih setelah kejadian kemarin- dimana Carissa dengan terang-terangan memberitahu niatnya untuk membuat Dara menggantikan kakaknya dalam perjodohan dengan keluarga Darwis-- membuat Dara menjadi lebih hati-hati. Bisa saja kakanya itu mengirim mata-mata ke kantor ini dan memotret ketika dirinya dan Sagara sedang berdekatan hanya untuk menimbulkan sebuah kesalahpaham dalam drama perjodohan ini.

Hal ini bukan berarti tidak mungkin, Dara tahu dengan baik bagaimana sifat licik Carissa untuk mendapatkan hal yang ia mau. Dara dan Gavin bahkan setuju jika Carissa bukan berasal dari keluarga kaya dan terhormat, wanita itu sudah pasti menjadi penipu handal atau kriminal kelas kakap. Hanya satu hal yang diinginkan Carissa yang belum terwujud, yakni membuat Dara berhenti menjadi editor dan bekerja untuk perusahaan keluarganya.

"Saya ganti, ya, Pak, uangnya. Transfer boleh? Saya lagi gak megang uang cash soalnya," ucap Dara.

Sagara menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa. Anggep aja saya traktir kamu," balas Sagara.

Dara menggelengkan kepalanya lebih kuat lagi seolah menolak mentah-mentah traktiran tersebut. "Gak, Pak, terima kasih banyak tapi saya mending bayar sendiri aja."

Sagara akhirnya paham kenapa karyawannya itu menolak dengan kuat. Dara takut dengan gosip yang sekiranya akan menganggu hidupnya yang tenang. Sagara sebelas dua belas dengan Carissa, menemukan sebuah kesenangan dengan menggoda Dara. Pria itu mendekat kepada Dara yang sudah mundur beberapa langkah darinya. "Kamu mau kue juga gak? Atau makanan apa gitu buat nemenin kamu begadang," tanya Sagara dengan nada lemah lembut dan tak lupa juga senyum manisnya.

Dara membelalakan matanya karena terkejut. Memang tidak ada orang selain dirinya dan Sagara di kafe ini, tetapi tetap saja ada saksi mata berupa kasir yang saat ini sedang berusaha menahan senyumnya melihat interaksi Sagara dan Dara.

"Wah, gila ini orang," ucap Dara tak sengaja mengeluarkan isi hatinya.

Sagara tertawa mendengus melihat Dara yang panik karena ucapannya sendiri. Pria itu bahkan tidak mempedulikan bagian Dara yang mengatakan bahwa ia gila. Sagara hanya bisa menikmati momen ini.

"Maaf, Pak. Gak maksud. Yang gila saya, bukan Bapak," ujar Dara gelagapan memberikan alasan.

Sagara dan Kasir yang sedang membungkus dua gelas amerikano yang dipesan oleh Dara tidak bisa lagi menahan tawa mereka. Sang kasir yang tahu bahwa tidak baik untuk menguping percakapan pelanggan akhirnya memilih untuk memutarkan badan dan sekuat mungkin untuk menahan tawanya. Beda dengan Sagara yang bisa tertawa lepas karena gemas dengan tingkah Dara.

"Iya-iya, paham kok saya. Ya udah, ambil sana kopi kamu. Masih ada kerjaan, kan, di atas?" ujar Sagara masih dengan tawanya sembari mengingatkan Dara.

Dara menganggukan lagi kepalanya dan dengan cepat mengambil dua gelas kopi tersebut dan berlari ke arah lift. "Makasih, Pak!" teriak Dara sekali lagi kepada Sagara.

Senyum Sagara mengembang lebar seiring menghilangnya sosok Dara yang sudah masuk ke dalam lift. Pria itu memiringkan kepalanya. Tanpa sadar, rasa ketertarikan pria itu kepada Dara semakin menguat. Entah tertarik karena cara bekerja wanita itu sebagai editor atau karena ia merupakan seorang putri konglomerat yang mati-matian berusaha merahasiakan identitasnya, Sagara sendiri tidak tahu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status