Dara duduk sendirian di mejanya, matanya yang lelah terpaku pada penerangan kantor yang redup. Waktu telah menujukkan pukul 8 malam, namun beban kerjanya tidak kunjung berkurang. Darwis Publishing yang sedang menyelenggarakan lomba menulis novel membuat kiriman naskah semakin membludak. Dara sebagai editor akuisisi harus mengkurasi satu per satu cerita yang masuk ke dalam email perusahaan.
"Ya Tuhan... banyak banget! Gak kuat gue! Nyerah!" Dara mendorong dirinya dan kursi yang sedang ia duduki menjauh dari layar komputer penuh cahaya radiasi yang sudah berhadapannya sejak pukul 8 pagi. Di saat seperti ini, wanita itu sering kali mempertanyakan mengenai pilihan hidupnya yang memilih untuk menjadi budah korporat dibandingkan duduk manis bersama kakak dan saudara kembarnya di kursi komisaris."Pulang gih."Suara tersebut bukanlah berasal dari mulutnya. Maka dari itu, Dara menoleh dengan cepat ke arah sumber suara. Malamnya akan berubah menjadi genre horor jika suara tersebut muncul tanpa sosok apapun. Dan benar saja, suara itu berasal dari orang yang sama yang mengagetkannya tadi di kafe, Sagara.Dara menghela napasnya dengan lega sembari memposisikan kembali kursinya mendekati meja. "Untung bukan setan," ucap Dara yang merasa bahwa suara yang ia keluarkan sudah sekecil mungkin."Kamu kira saya setan?" tanya Sagara yang ternyata mendengar semua ucapan Dara.Dara menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Bukan gitu maksud saya, Pak. Lagian, Bapak main masuk aja. Ya, kagetlah orang.""Ya, ini kantor saya? Gak boleh saya masuk?""Ya... gak git- Ya udah deh, Pak, saya yang salah, saya yang minta maaf." Dara sudah malas meladeni ucapan atasannya itu. Lagi pula, tidak ada untungnya juga ia berdebat dengan orang yang memberikannya sesuap nasi setiap awal bulan melalui rekening ATM-nya.Sagara tertawa puas. Pria itu sangat suka melihat ekspresi wajah Dara ketika wanita itu pasrah. Lucu menurutnya. "Kenapa belum pulang?" tanya Sagara sembari berjalan mendekat ke arah meja kerja Dara."Masih banyak naskah yang perlu dikurasi, Pak.""Buat event lomba? Deadlinenya kapan, ya? Saya lupa.""Iya, Pak. Dua hari lagi, sedangkan naskah yang masuk makin membludak."Sagara mengangguk paham. Pria itu kemudian menyerahkan sebuah kantong kertas dengan logo fast food ternama kepada Dara. Wanita itu baru menyadari bahwa Sagara sedari tadi menenteng kantong kertas tersebut di tangan kanannya. "Makan dulu," ucap Sagara yang tidak lebih terdengar seperti perintah di telinga Dara."Eh-eh, gak usah, Pak." Kedua telapak Dara dengan sigap menolak kantong kertas tersebut dengan sopan.Tentu saja, bukan Sagara jika tidak memaksa Dara. Pria itu menjatuhkan kantong kertas berisi makanan tersebut ke pangkuan Dara, membuat gadis itu mau tidak mau menangkapnya untuk mencegah sesuatu di dalam kantong kertas tersebut tumpajh ke celananya."Saya gak mau tanggung jawab kalo ada karyawan yang ditemukan pingsan di kantor ini karena lembur dan gak makan. Ambil aja," ucap Sagara dengan nada acuh tak acuh. "Abis makan, mending pulang aja. Deadlinenya mau saya mundurin jadi minggu depan. Biar kamu dan anak-anak gak usah kerja berlebihan. Siapa tahu juga ada naskah yang lebih baik yang masuk," lanjut Sagara.Dara tidak bisa menolak lagi dan mengucapkan terima kasih dengan perlahan. Ia menatap kantong kertas tersebut, sesuatu dalam dirinya merasakan akan terjadi sesuatu hal yang tidak harusnya terjadi jika Sagara terus-menerus melakukan interaksi yang dapat membuat dirinya sendiri salah paham."Gimana? Suka gak?" tanya Sagara sesaat melihat Dara melahap burger yang ia berikan. Dara mengangguk karena mulutnya yang penuh dengan burger itu tidak bisa menjawab pertanyaan bosnya. Takut karyawannya itu tersedak, Sagara dengan cepat membuka botol minuman dan menyerahkannya kepada Dara. Wanita itu berhenti sejenak sebelum mengambil botol minuman yang ada di tangan Sagara dengan ragu. Sekali lagi, ia mempertanyakan apa normal jika atasan sepeduli ini dengan karyawan biasa. "Makasih, Pak," ucap Dara. "Pelan-pelan aja makannya, jangan kayak dikejer setan," pinta Sagara sembari menyerahkan sebuah tisu. "Lap mulut kamu, berantakan tuh," lanjut Sagara. Yang hanya bisa dilakukan Dara adalah menganggukan kepalanya dan menuruti perintah Sagara. Meskipun memiliki kepribadian yang acuh tak acuh dan sudah mendeklarasikan kepada semua orang bahwa ia tidak memiliki perasaan apa pun dengan bosnya ini, wanita itu juga mudah luluh jika diperhatikan sedetil
Dara makin terdiam mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sagara. Perasaan lega menyebar ke seluruh dadanya. Jika Sagara tetap bertekad untuk menjalankan perjodohan dengan Carissa, maka tidak ada kesempatan bagi kakak perempuannya itu untuk membuat dirinya menggantikan posisi sang kakak. Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal di pikiran Dara. Jika memang tidak saling suka, kenapa harus memaksakan diri untuk menikah?“Kalo gak tertarik, kenapa milih tetap buat nikah sama kakak saya, Pak?” Dara memutuskan untuk membiarkan rasa penasarannya menang dan mempertanyakan hal yang sedari tadi berputar di kepalanya.Sagara tertawa kecil. “Kamu padahal berasal dari keluarga yang sama kayak saya, tapi kok gak paham beginian? Apa karena semua beban ditanggung sama kakak kamu?” tanya Sagara.Dara otomatis memiringkan kepalanya kebingungan. “Maksudnya, Pak?” “Alasan kedua keluarga kita tetap jadi keluarga ‘konglomerat’ yang selalu ada di m
“Saya turun disini aja, Pak!” sahut Dara sembari menunjuk ke arah sebuah bangunan di tepi jalan yang memiliki lampu papan dengan warna mencolok.Karena terkejut dengan permintaan mendadak, Sagara pun memberhentikan mobilnya di tempat yang diminta Dara. Sagara memicingkan matanya untuk memastikan tempat yang ada di depannya. Pria itu menawarkan diri untuk mengantarkan wanita itu pulang ke rumahnya, bukan ke sebuah kafe bar.Sesaat setelah mobil berhenti di depan kafe bar, Dara tak lupa mengucapkan terima kasih dan hendak keluar dari mobil. Namun, tangannya ditarik kembali oleh Sagara dan pria itu mengunci mobilnya dari dalam.“Hah? Ada apa, Pak?” tanya Dara terkejut karena tangannya ditarik oleh bosnya.“Kok ke kafe bar? Udah malem, bukannya pulang,” ucap Sagara bingung.“Ada urusan, Pak.”“Urusan apa? Kenapa di kafe bar?”“Ada lah, Pak, pokoknya. Saya turun ya, makasih Pak udah dianterin.” Dara merasa ia sudah tidak bisa lagi membuat alasan dan lebih baik menghindari pertanyaan dengan
Setelah terkejut karena kehadiran Sagara, wanita malang yang memiliki jantung lemah itu harus kembali dikejutkan dengan sosok pria yang memghampiri dan memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’.Dara hanya bisa terkekeh seperti anak kecil yang tertangkap basah menyolong uang receh di dompet Ibunya. “Hei… udah beres, ya, nyanyinya?” tanya Dara basa-basi karena hanya itu yang terbesit di otaknya.Pria itu kemudian mengangguk. Wajahnya kebingungannya kini berubah menjadi datar. “Lo ngapain disi-“ Pria itu menghentikan kalimatnya sesaat pandangannya teralihkan dengan Sagara yang duduk di samping Dara, menatapnya dengan kebingungan. “Siapa? Cowok baru lo?” tanya pria itu mengganti topik pertanyaannya.Dara menggelengkan kepalanya sembari melambaikan tangannya dengan kuat. “Bukan! Bukan!” tegas Dara.Kini, bergantian Sagara yang bertanya kepada Dara. “Ini orang yang mau kamu temuin? Pacar?” Dara merasa kepalanya dibaluti bintang berputar karena dise
“Pak! Kenapa ngomong gitu terus sih! Kemarin kata Kakak saya juga pas ngedate bahas itu! Nanti pada salah paham, Pak!” protes Dara yang lama-lama kesal dengan ucapan bahwa Sagara lebih memilih dirinya jika ingin dijodohkan. Entah itu hanya candaan atau bagaimana, Dara merasa tidak nyaman. Wanita itu juga takut jika tiba-tiba muncul rasa ekspektasi berlebih yang bisa datang kapan saja kepada dirinya. Tidak ada yang menjamin bahwa Dara bisa tetap kuat dan tidak tergoyahkan perasaannya.Sagara dan Rasta hanya tertawa melihat reaksi panik Dara. Meskipun baru pertemuan pertama, kedua pria berbeda generasi itu sudah menemukan kesamaan, yakni menemukan kesenangan ketika menggoda Dara.“Seratus persen gue yakin kalo Kak Carissa bakal bikin lo gantiin posisi dia di perjodohan ini,” bisik Rasta yang berhasil membuat mata Dara membelalak lebar.“Lo tahu dari mana? Itu manusia gila satu ngancem ke gue kayak gitu soalnya,” balas Dara berbisik karena tidak mau ucapannya terdengar oleh Sagara.“Udah
Raut wajah Sagara berubah menjadi sedikit lebih tegang, sedangkan wanita yang baru saja datang tersebut tersenyum sumringah dan langsung duduk di samping Sagara tanpa meminta izin terlebih dahulu.“Kok diem aja? Kaget ya aku tiba-tiba disini,” ucap wanita itu dengan nada sedikit manja.Dara berusaha sekuat tenaga untuk mengalihkan pandangannya dari pasangan di sebelah kanannya tersebut dan mengontrol ekspresinya. Entah mengapa, ia mencium sebuah drama di antara keduanya.Rasta menyenggol kakak perempuan keduanya itu. “Siapa?” bisiknya.Dara mengangkat bahunya. “Mana gue tahu?” balas Dara berbisik.Kakak-beradik itu sepakat untuk menggeser posisi duduk mereka dari Sagara dan wanita yang duduk di sampingnya. Sekadar untuk sopan santun dan meninggalkan jarak untuk keduanya.“Biasa aja. Gue tahu lo udah balik dari Australia. Mia kasih tahu gue,” jawab Sagara yang kini sudah terlihat tidak terlalu tegang. Pria itu memang jago dalam mengontrol ekspresinya.Wanita itu langsung cemberut dan d
“Padahal tadi saya sama adik saya aja pulangnya.”“Naik motor? Baju kamu tipis gitu? Gak takut masuk angin?”“Tapi, kan, rumah Bapak beda arah sama saya. Gak cape, Pak?”“Gak cape. Udah kamu istirahat aja, masih tiga puluh menit lagi menuju rumah kamu.”Dara hanya bisa menghela napasnya dengan pasrah mendengar ucapan yang lebih terdengar seperti perintah dari bosnya itu. Sagara bersikeras untuk mengantarkan Dara meskipun ada adiknya yang dapat mengantarkan dia ke rumah. Perlu diketahui bahwa jarak antara rumah Dara dan Sagara berlawanan, wanita itu tidak paham kenapa bosnya harus memaksa untuk mengantarkan dirinya hanya dengan alasan cuaca malam yang dingin dan takut dirinya terkena flu. Wanita normal mana yang hatinya tidak bergetar jika diperlakukan seperti ini oleh seorang pria.Di sepanjang perjalanan, keduanya hanya terdiam. Keheningan tidak sepenuhnya mengisi suasana mobil karena Sagara menyetel radio yang memutarkan lagu-
Dara memalingkan wajahnya dengan cepat ketika menyadari bahwa terdapat kata “sudah” dalam kalimat yang diucapkan Sagara. Jika ia tidak salah tangkap, maksud dari kalimat itu adalah Sagara pernah menyukai Sharleen, namun saat ini perasaan tersebut sudah tidak ada lagi. “Saya yakin kamu ngerti maksud saya.” Ucapan Sagara seolah-olah tahu betul apa yang saat ini sedang diduga-duga oleh Dara. Jika benar, kenapa Sagara harus terbuka mengenai kisah cintanya di masa lalu kepada Dara yang hanya merupakan karyawannya. Dara sendiri tidak ingin membebani dirinya dengan mengetahui kisah pribadi sang bos. “Oh…iya, Pak,” jawab Dara yang sedang mencari cara untuk merespons informasi tersebut.Keduanya saling diam. Sagara terlihat biasa saja sembari tetap fokus pada kemudinya, lain halnya dengan Dara. Otak dan mulut wanita itu sulit untuk bekerja sama sehingga mulutnya itu akhirnya mengeluarkan suara. “Mantan Bapak cantik,” sahut Dara meskipun otaknya ber