Share

8. Efek Perhatian Berlebihan

Dara duduk sendirian di mejanya, matanya yang lelah terpaku pada penerangan kantor yang redup. Waktu telah menujukkan pukul 8 malam, namun beban kerjanya tidak kunjung berkurang. Darwis Publishing yang sedang menyelenggarakan lomba menulis novel membuat kiriman naskah semakin membludak. Dara sebagai editor akuisisi harus mengkurasi satu per satu cerita yang masuk ke dalam email perusahaan.

"Ya Tuhan... banyak banget! Gak kuat gue! Nyerah!" Dara mendorong dirinya dan kursi yang sedang ia duduki menjauh dari layar komputer penuh cahaya radiasi yang sudah berhadapannya sejak pukul 8 pagi. Di saat seperti ini, wanita itu sering kali mempertanyakan mengenai pilihan hidupnya yang memilih untuk menjadi budah korporat dibandingkan duduk manis bersama kakak dan saudara kembarnya di kursi komisaris.

"Pulang gih."

Suara tersebut bukanlah berasal dari mulutnya. Maka dari itu, Dara menoleh dengan cepat ke arah sumber suara. Malamnya akan berubah menjadi genre horor jika suara tersebut muncul tanpa sosok apapun. Dan benar saja, suara itu berasal dari orang yang sama yang mengagetkannya tadi di kafe, Sagara.

Dara menghela napasnya dengan lega sembari memposisikan kembali kursinya mendekati meja. "Untung bukan setan," ucap Dara yang merasa bahwa suara yang ia keluarkan sudah sekecil mungkin.

"Kamu kira saya setan?" tanya Sagara yang ternyata mendengar semua ucapan Dara.

Dara menggelengkan kepalanya dengan kuat. "Bukan gitu maksud saya, Pak. Lagian, Bapak main masuk aja. Ya, kagetlah orang."

"Ya, ini kantor saya? Gak boleh saya masuk?"

"Ya... gak git- Ya udah deh, Pak, saya yang salah, saya yang minta maaf." Dara sudah malas meladeni ucapan atasannya itu. Lagi pula, tidak ada untungnya juga ia berdebat dengan orang yang memberikannya sesuap nasi setiap awal bulan melalui rekening ATM-nya.

Sagara tertawa puas. Pria itu sangat suka melihat ekspresi wajah Dara ketika wanita itu pasrah. Lucu menurutnya. "Kenapa belum pulang?" tanya Sagara sembari berjalan mendekat ke arah meja kerja Dara.

"Masih banyak naskah yang perlu dikurasi, Pak."

"Buat event lomba? Deadlinenya kapan, ya? Saya lupa."

"Iya, Pak. Dua hari lagi, sedangkan naskah yang masuk makin membludak."

Sagara mengangguk paham. Pria itu kemudian menyerahkan sebuah kantong kertas dengan logo fast food ternama kepada Dara. Wanita itu baru menyadari bahwa Sagara sedari tadi menenteng kantong kertas tersebut di tangan kanannya. "Makan dulu," ucap Sagara yang tidak lebih terdengar seperti perintah di telinga Dara.

"Eh-eh, gak usah, Pak." Kedua telapak Dara dengan sigap menolak kantong kertas tersebut dengan sopan.

Tentu saja, bukan Sagara jika tidak memaksa Dara. Pria itu menjatuhkan kantong kertas berisi makanan tersebut ke pangkuan Dara, membuat gadis itu mau tidak mau menangkapnya untuk mencegah sesuatu di dalam kantong kertas tersebut tumpajh ke celananya.

"Saya gak mau tanggung jawab kalo ada karyawan yang ditemukan pingsan di kantor ini karena lembur dan gak makan. Ambil aja," ucap Sagara dengan nada acuh tak acuh. "Abis makan, mending pulang aja. Deadlinenya mau saya mundurin jadi minggu depan. Biar kamu dan anak-anak gak usah kerja berlebihan. Siapa tahu juga ada naskah yang lebih baik yang masuk," lanjut Sagara.

Dara tidak bisa menolak lagi dan mengucapkan terima kasih dengan perlahan. Ia menatap kantong kertas tersebut, sesuatu dalam dirinya merasakan akan terjadi sesuatu hal yang tidak harusnya terjadi jika Sagara terus-menerus melakukan interaksi yang dapat membuat dirinya sendiri salah paham.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status