"Kalian mau ngapain?" tanyaku kaget juga bingung. "Kita mau numpang gosip di rumah lo sambil bicarain lomba...," kata Yayuk sambil menyerobot masuk ke dalam apartemen diikuti dua kutu lainnya. "Lah kenapa di gue? Kan kita beda tim." Aku mengernyitkan dahi. "Soalnya tempat lu yang paling deket, udahlah! Lu jangan berisik! Ayo, sini! Kita bawa gorengan nih.""Eh tapi guys gue ....""Udah!" Evi langsung menarik tanganku agar mengikuti mereka yang heboh sambil duduk melingkar di ruang tamu. Tak ada pilihan, aku terpaksa bergabung dengan geng kutukupret. Di antara cekikikan mereka sepertinya hanya aku yang gelisah karena otakku tak henti mencari cara untuk mengusir teman-temanku ini dalam waktu sesingkat-singkatnya. Kasian Pak Leo bisa sawan dia lama-lama di kamar perawan. "Oh ya. Sebenarnya lo sama Bos ada apa, sih?" cecar Evi tiba-tiba di antara obrolan ngaler-ngidul kami. Terhitung sudah lima belas menit mereka di sini dan aku masih belum menemukan ide yang bagus untuk membuat mere
Setiap manusia memang memiliki sisi-sisi kreatif tersendiri. Namun, aku rasa Pak Leo itu terlalu berlebihan menggunakan otak kreatifnya. Sehingga, di saat orang lain libur ngurusin lomba dia malah mengajakku ke gudang dan super sialnya kami harus terjebak di dalam gudang yang bisa jadi merupakan rumah para jin mengadakan konfrensi.Oh My God! Pak Leo emang selalu ngadi-ngadi."Pak!" panggilku sambil melorot ke lantai.Setelah satu jam terperangkap di dalam gudang karena pintu rusak, kepalaku terasa sangat pusing dan perutku mulas. Untungnya si Bos gak cerewet kayak biasa, dia sibuk mencari solusi. Sumpah aku heran, kenapa orang di kantor ini pada patuh-patuh, sih? Disuruh liburan mereka nurut sampai tak ada satu pun yang lewat gudang. KOSONG. Sebanyak apa pun aku menggedor dan memanggil tak ada seorang pun yang menyahut. "Apa Tari? Kamu manggil saya?" Pak Leo menanggapiku sambil terus memeriksa jendela. Dia terus saja mencari jalan keluar dengan serius, mungkin dia berpikir di antara
"Bianca mengkhianati saya Tari. Jadi ... Mentari Senja. Will you marry me?""AAAAA!"Aku mengacak rambut kesal karena sepagi ini moodku sudah berantakan dan itu menyebabkan nafsu makanku hilang. Padahal aku sengaja datang pagi agar bisa makan bubur di kantin.Sumpah ya, tidak dapat kupungkiri kalimat lamaran yang terlontar dari Pak Leo kemarin di ruangannya ternyata lebih menyeramkan dibanding nonton Conjuring.Horor sumpah horor. Sampai-sampai aku tidak bisa tidur karena memikirkannya.Perasaan, nama dia gak ada unsur 'demit'-nya tapi kenapa setiap kelakuan si Bos bikin aku bergidik dan terkadang gak masuk akal?Nikah? What? Is he crazy?Beribu pertanyaan konyol bergelayut di benakku bagaikan serbuan monyet yang siap menghancurkan benteng yang sudah lama kubangun.Aku sungguh syok hingga tak bisa memikirkan jawabannya sekaligus kehilangan kata-kata."I will give you time Tari. Tapi, saya harap kamu tahu tidak semua wanita saya perlakukan seperti ini."Kata-kata Pak Leo yang dalam te
"Satu ... dua ... tiga! Ayo, mulai!" Tepat di saat lagu milik Cita Citata-Sakitnya Tuh Di Sini diputar, aku dan Pak Leo mulai berjoget dengan balon yang terletak di dahi kami. Tujuan dari games ini adalah menyelamatkan balon agar tidak pecah sampai ke garis finish dan pasangan yang sampai lebih dulu dialah pemenangnya. Sebaliknya, 2 pasangan yang balonnya meletus atau jatuh lebih dulu maka dia akan dihukum. Oalah! Repot sumpah repot. Jika aku bisa mangkir dari games ini, sudah pasti kulakukan sejak tadi sayangnya Pak Leo bersikeras meminta kami ikut. Padahal dengan posisi begini, sudah dipastikan wajah kami akan dapat melihat satu sama lain dalam jarak kurang dari tujuh sentimeter. Mungkin bagi yang tidak ada perasaan atau sebatas teman kerja, games ini akan sangat mengasyikan tapi bagiku ini sangat ... MERESAHKAN. "Ayo, semangat Tari! Kamu jangan stres gitu dong, enjoy!"Pria di depanku tak henti-hentinya tersenyum. Wajahnya terlihat bahagia seakan belum pernah lomba model beg
"Raka farhandi." Nama yang diucapkan Pak Leo terus menggema di telingaku. It feels like a drama, entah kenapa semua aktivitas yang ada di depanku seperti berubah dalam bentuk slow motion. Mulai dari saat Raka berjalan dari arah pintu dan menatapku dengan tatapan terkejut, sampai kemudian Pak Leo menghampiri Raka dan memeluknya erat. Sementara, bak orang bego aku hanya bisa menatap mereka berdua sampai nyaris tak berkedip. Aku baru sadar ternyata penampilan Raka tak banyak yang berbeda hanya rambutnya saja yang menggondrong.Over all dia tetap slengean dan pria tukang ghosting yang meninggalkanku tanpa kepastian. Sekarang, setelah menipuku dengan statusnya dia kembali bagaikan angin ribut yang membumi hanguskan hatiku yang semula tenang.OH MY GOD.Aku nge-freeze. Napasku tercekat, asam lambungku sepertinya sudah sampai tenggorokan. Ini sangat membahayakan. Aku merasa butuh pegangan apalagi ketika kulihat Pak Leo membawa Raka ke hadapanku. "Han, kenalin ini Tari," ujar Pak Leo sambil
Pov Author"Kamu beneran mau menikahi anak saya?"Leo yang semula menunduk seketika mengangkat kepala ketika suara Pak Zaldi bertanya. Seumur-umur baru kali ini Leo merasa tak percaya diri, sebelumnya malah dia yang bikin orang jantungan. Duduk berhadapan dengan calon mertua ternyata sangat menegangkan.Apa ini karma?Apalagi, usut punya usut katanya si calon mertua ini sangat tegas, makin tiaraplah nyali seorang Leo. Mungkin di kantor Lea bisa dibilang bagai singa untuk bawahannya tapi kalau di depan Pak Zaldi--bapanya Tari yang kumisnya baplang bak Pak Raden, Leo merasa tak berkutik."Iya,Pak saya serius dengan permintaan saya untuk menikahi Tari, anak Bapak," kata Leo dengan nada bulat. Meski lututnya gemetar sebisa mungkin dia terlihat tegar."Lalu apa kamu tahu siapa saya?""Tahu Pak. Bapaknya Tari. kan?" tanya Leo sambil menunjuk menggunakan jempol dengan sedikit membungkuk. Sopan.Sebenarnya, dia tidak paham arah pertanyaan Pak Zaldi tapi dia sok tahu saja karena gugup.Untung,
Dalam kamus seorang Tari, ada berbagai alasan yang bisa aku gunakan untuk menghindari Pak Leo, salah satunya yaitu karena aku telah menolak lamarannya. Namun, sayang tugasku sebagai sekretaris Pak Leo tidak mengijinkan itu dan sekarang aku malah terjebak bertemu dengannya di lift selepas dari rapat. Mana cuman berduaan lagi, pada ke mana sih orang-orang? "Kamu beneran gak bisa lembur?" Pak Leo bertanya datar ketika kami berdiri bersampingan sambil menghadap pintu lift yang membiaskan bayangan kami. "Iya Pak," jawabku singkat sambil melarikan tatapanku ke hal lain. Ada debar yang membabi buta di dalam sini saat tak sengaja bersitatap lewat pintu lift yang terbuat dari kaca tersebut. "Oh begitu," sahut Pak Leo singkat. Lift pun menjadi hening seperti sebelumnya, tak ada obrolan lagi di antara kami. Sepi bak kuburan baru. WAAAA! Stres!Lama-lama aku bisa gila berlama-lama terperangkap di sini dengan Pak Leo. Aku tahu kemarin sikapku sudah keterlaluan, tak seharusnya aku menolak Pak
Aku menatap Bang Erul dengan tegang. Kenapa aura Bang Erul yang biasa konyol berubah menjadi aura penjaga Azkaban di depan Pak Leo? Hanya karena bosku salah sangka bukan berarti dia bisa jadi jutek begini dong. "Jadi lo yang buat adik gue nangis?" Bang Erul melipat tangannya di depan dada. Garis rahang yang disembunyikan oleh jambang halus yang ada di wajah Bang Erul mengetat seiring tatapan tajamnya pada Pak Leo. "Nangis? Tari nangis kenapa? Bukannya Tari yang nolak saya lebih dulu?" Pak Leo meliirik ke arahku yang sedang menahan napas. Oh My God. Kenapa jadi panjang begini sih urusannya? Harusnya aku tak membiarkan Bang Erul datang tadi. Kalau sudah begini, bisa dipastikan cepat atau lambat Pak Leo akan tahu alasan aku menolaknya. "Nolak lo lebih dulu gimana? Jelas-jelas keluarga lo yang nolak!""Bang Erul! Stop! Kayaknya itu gak usah dibahas. Bang Erul bukannya mau ada kerjaan ya? Kenapa gak berangkat? Takut telat loh," potongku cepat mencoba mengalihkan pembahasan. Kudorong-