Manik mata biru itu perlahan mulai terbuka, Allen memicingkan mata saat cahaya lampu rumah sakit memancar tepat diatas kepalanya.
"Bos ...."
Suara Ace asisten pribadinya membuat Allen menyadari kalau dia ternyata masih diberikan kesempatan untuk hidup.
"Sebentar aku panggilkan dokter Bos."
Ace berlalu keluar ruangan dimana Allen dirawat, tidak sampai lima menit dia kembali bersama seorang lelaki bertubuh tinggi dengan jubah putih yang menunjukkan identitasnya sebagai dokter.
"Bagaimana perasaanmu Bos?" tanya dokter Liam.
"Buruk!" jawab Allen singkat.
Bos Mafia ini tidak pernah berucap baik jika diberi pertanyaan seperti itu, bagi Allen hidup dia selalu buruk dan tidak pernah ada kata baik sejak dia kecil.
Liam terkekeh dan menggelengkan kepala. "Kau selalu kuat seperti biasa Al, untung saja tidak ada peluru yang mengenai organ vitalmu."
"Aku memang selalu beruntung!"
"Iya, kamu memang selalu beruntung. Makanya banyak bekas luka tembakan ditubuhmu." Dokter Liam menepuk pundak Allen.
"Aww...!" ringisnya. "Kamu sengaja yah?" bentak Allen.
"Ups ... I'm so sorry. Aku lupa dengan luka tembakan dipundakmu," kekeh Liam sengaja membuat Bos Mafia itu kesal.
Liam adalah seorang dokter pribadi Allen, mereka hanya berbeda dua tahun saja dengan Liam yang lebih tua.
Mereka berkenalan saat Allen pertama kali terjun kedunia mafia saat dia berumur dua puluh tahun.
Liam yang waktu itu masih kuliah dijurusan kedokteran, sudah melakukan operasi kecil untuk mengeluarkan peluru pistol yang bersarang di pinggang Allen Clarck.
Sejak saat itu Allen mulai mempercayakan Liam untuk menjadi dokter pribadinya, yang harus selalu siap dua puluh empat jam kapan dan dimana saja, jika ada panggilan dari Allen seperti sekarang.
Allen berdecak sambil mengusap pundaknya. "Berapa hari aku pingsan?"
"Hampir seminggu. Bos kehilangan banyak darah dan sempat kritis," jawab Ace.
"Lalu bagaimana mayat musuh-musuh itu?"
"Sudah kami musnahkan sebelum polisi tiba disana Bos."
Allen mengangguk. "Selidiki terus kelompok itu, mereka semakin berani menunjukkan diri di tempat umum sekarang. Perketat penjagaan dan turunkan lebih banyak orang untuk mencari keberadaan mereka!" titahnya.
"Baik Bos!"
"Bisakah kalian berhenti bicara soal musuh-musuh dulu," sela Liam yang masih berdiri didekat mereka, "bahkan luka ditubuhmu saja belum kering Al, lebih baik Kamu banyak beristirahat daripada memikirkan semua itu!" ujar dokter Liam lagi menunjukkan kekhawatirannya.
Allen dan Ace sontak menatap Liam bersamaan, tatapan tajam keduanya seakan sedang mencabik-cabik tubuh lelaki berjubah putih itu.
"Berhenti menatapku seperti itu! Kalian bos dan Asisten sama saja, senang menyusahkan aku!" gerutu Liam pada Allen dan Ace.
Hanya dia yang berani berbicara dan berbuat seenaknya pada penguasa Mafia didaratan Amerika ini, kenal lama dengan Allen membuat Liam tahu bagaimana kepribadian serta sepak terjang lelaki itu semenjak memutuskan hidup didunia yang hitam dan kejam.
"Sudahlah, karena kau sudah sadar dan sudah bisa menatapku dengan tajam seperti itu. Aku akan kembali ke Miami sekarang, ada banyak pasien yang menunggu aku disana!" pamit Liam berjalan keluar ruangan.
"Terima kasih Lim. Bonus punyamu akan aku transfer nanti kerekening," ujar Allen yang dibalas lambaian tangan sebagai tanda ok dari Liam.
"Bos, aku minta maaf karena terlambat datang. Malam kejadian aku juga dihadang oleh mereka saat Bos mengirim sinyal red code padaku, sepertinya para bedebah itu sudah mengikuti kita sejak Bos turun dari dalam mobil," ujar Ace merasa bersalah karena tidak bisa tiba tepat waktu disana.
"Tidak perlu memikirkan itu lagi ... aku baik-baik saja sekarang," sahut Allen santai. "Oh iya, ada seorang wanita yang menolong aku di gang, di mana dia sekarang? Apa dia baik-baik saja?" tanyanya yang baru ingat kalau ada seorang wanita yang ikut duduk menemani dia menunggu Ace.
"Maaf Bos, saat aku tiba aku memang melihat dia duduk disamping bos yang mulai kehilangan kesadaran. Karena sibuk menolong Bos, aku tidak sempat mengucapkan terima kasih padanya. Saat aku berbalik mencari dia wanita itu sudah tidak ada disana," terang Ace menjelaskan malam ketika dia tiba disana.
Sekitar lima menit setelah wanita itu menemani Allen, Ace tiba bersama pasukan Blue Fire yang lain.
Ace yang khawatir melihat keadaan bosnya tidak terlalu menggubris wanita yang memakai jaket jeans dengan rambut panjang yang digerai.
Wanita itu berkata kalau kondisi bos mereka sudah sangat lemah karena kehilangan banyak darah, bahkan sejak tadi dia mengajak Allen berbicara lelaki itu tidak lagi menanggapi ucapannya seperti biasa.
Setelah berkata begitu, Ace yang sudah membawa tubuh Allen kedalam mobil berbalik untuk berterima kasih pada wanita tersebut. Tapi ketika dia berbalik menatap ke sekeliling, wanita itu sudah tidak ada disana.
"Sayang sekali … apa kau tahu kalau dia yang menolongku saat musuh terakhir itu ingin membunuhku yang sudah tersudut Ace? Dia sangat pemberani ... di tengah penuh mayat dan darah, dia malah ikut membantuku disana," ujar Allen yang kembali terbayang wajah cantik serta wangi aroma tubuh wanita itu.
"Aku ingin kau mencari dimana wanita itu berada Ace. Aku sangat ingin berterima kasih padanya! Kalau tidak salah namanya adalah…," sambung Allen lagi mencoba mengingat-ingat siapa nama wanita yang sudah menolong dia malam saat kejadian baku tembak itu terjadi.
"Siapa namanya bos?" sela Ace ikut penasaran nama wanita pemberani itu.
"Entahlah Ace, aku lupa dengan namanya…," jawab Allen yang bingung kenapa dia bisa sampai lupa dengan nama wanita itu.
Padahal dia sempat mendengar namanya saat dia berujar memperkenalkan diri sebelum Allen benar-benar tidak sadarkan diri.
Tiba-tiba terdengar panggilan red code dari salah satu anggota Blue Fire yang berjaga di rumah sakit tempat Allen dirawat.
"Bos, kita harus segera pergi. Musuh sudah tahu keberadaan kita disini," ujar Ace setelah mendapatkan laporan dari headphone yang dipakainya.
"Sial! Harusnya kamu langsung membawa aku kembali ke Miami, Ace!" gerutu Allen mencabut infus ditangan dan mengambil dua buah pistol Glock 17 kesayangannya diatas meja nakas.
Pistol Glock 17 dirancang untuk memuat tujuh belas peluru berukuran sembilan milimeter. Dari segi akurasi, Glock 17 juga dirancang untuk membantu koordinasi tangan dan mata penembak secara alami, yang sesuai dengan tipe Allen yang jago dalam hal tembak menembak dan tepat sasaran.
"Maaf Bos, tapi kondisi Bos tidak memungkinkan untuk dibawa kembali ke Miami waktu itu. Apalagi dengan keadaan Bos yang butuh banyak transfusi darah...," sahut Ace berdiri disamping bosnya dan memakaikan jas hitam yang penuh dengan senjata rahasia milik Allen.
Merekapun bergegas keluar dari dalam ruang perawatan Allen dan turun menggunakan tangga darurat menuju bassment, dimana anggota yang lain sudah menunggu kedatangan dua orang penting pemimpin Blue Fire.
Musuh yang sudah lebih dulu mencium kalau Bos Mafia paling berkuasa dan ditakuti itu akan turun melalui tangga darurat, sudah mengepung mereka berdua terlebih dahulu disana.
Baku tembak pun tidak bisa terelakkan lagi, Allen dan Ace bergantian saling menembakkan timah panas kearah musuh di depan mereka.
Anggota Blue Fire yang juga berjaga dirumah sakit, ikut membantu dua orang petinggi mereka.
"Tangkap satu orang bedebah itu hidup-hidup Ace, kita harus menemukan siapa dalangnya!" titah Allen ditengah baku tembak yang masih terjadi.
"Baik bos."
Ace lalu memberi perintah untuk menangkap satu orang musuh dan membawanya ke markas mereka yang ada dikota Miami.
Dorrr
Satu tembakan dilepas Allen yang melesat cepat disamping telinga Ace.
"Perhatikan sekitarmu bodoh!" ujarnya menembak mati musuh yang berada tepat di depan asistennya.
"Terima kasih bos...!" sahut Ace tersenyum tulus.
Selama ini mereka seperti satu paket yang tak terpisahkan, Ace bahkan tidak akan segan mengorbankan nyawanya untuk melindungi Allen sang boss.
Begitu pun sebaliknya, Allen juga akan sama berkorbannya untuk Ace yang sudah menemani dia dalam jatuh bangun, mempertahankan dan memperoleh kekuasaan sebagai Bos Mafia yang paling ditakuti.
"Ayo cepat, aku tidak ingin buang-buang waktu lagi dikota ini!"
Allen dan Ace kompak keluar dari tempat persembunyian mereka dan mulai menembak musuh yang semakin banyak berdatangan.
Dengan langkah panjang dan lebar, mereka maju menerobos pihak musuh yang tumbang satu persatu.
Selain menggunakan pistol dan senjata rahasia, keduanya juga menumbangkan pihak musuh dengan pukulan dan tendangan.
Allen dan Ace dibekali dengan ilmu bela diri yang cukup mumpuni, jika mereka terpaksa harus bertarung dengan tangan kosong.
Bunyi tembakan saling bersahutan dari lantai atas dan bawah tangga darurat, terdengar memekakan telinga. Bau amis darah mulai tercium bersamaan dengan banyaknya mayat yang berserakan dilantai.
"Bos, ada musuh dari arah jam sembilan...!" teriak Ace yang berjarak beberapa meter di depannya.
Dorrr
Allen dengan cepat menembakkan peluru kearah yang dikatakan Ace padanya, tanpa mengarahkan pandangan matanya kesana.
Tembakan Allen selalu tepat sasaran dan mengenai dada kiri musuh tersebut.
Ace tersenyum simpul melihat kehebatan Bos Mafia bernama Allen Clarck, bos tangguh yang selama ini dia layani.
Luka bekas tembakan ditubuh Allen kembali mengeluarkan darah karena terlalu banyak bergerak, kemeja putih yang dia pakai kini berubah warna menjadi merah yang tertutup jas hitam milik dia.
Ada sekitar lima puluh orang musuh yang datang menyergap Allen dan Ace di tangga darurat, namun berhasil dilumpuhkan oleh mereka bersama dengan anggota Blue Fire lainnya.
"Segera ke bandara dan cari rute yang lain. Mereka akan terus mengejar kita sampai kesana!" titah Allen ketika dia dan Ace berhasil masuk kedalam mobil sport milik sang Bos Mafia.
Kejar-kejaran terjadi di sepanjang jalan menuju Bandara di mana jet pribadi Allen sudah siap menunggu kedatangannya.
Dua mobil Blue Fire yang ditugaskan untuk mengawal bos mereka, berada di depan dan dibelakang. Meski saling salip menyalip dengan musuh, namun tidak ada satupun yang mengeluarkan tembakan.
Allen masih menunggu dengan sabar dan bersiap menembakkan rudal mini yang terpasang di mobilnya, jika mereka berani berbuat onar lagi.
Lelaki itu tidak akan mengampuni siapa saja yang berani mengganggu ketenangan sang Bos Mafia Blue Fire.
Akhirnya hari ini datang jugaAuthor rada² gak rela mau tamatin cerita ini, tapi setiap pertemuan pasti ada perpisahan...Author mau ngucapin terima kasih untuk semua pembaca setia Boss Mafia, I Love You yang selalu setia menanti up setiap hari...Juga untuk semua yang sudah mendukung cerita ini sampai tamat…Untuk sahabat sesama penulis Buenda Vania yang selalu setia author curhatin setiap saat,,Untuk teman-teman yang tergabung dalam Group Author Halu dan Group Author Bahagia…Terima kasih untuk setiap canda tawa selama ini,, sharing tentang segala macam hal dari yang serius sampe yang nggak penting…At least untuk suami dan anak tercinta yang selalu sabar dan mendukung hobi istri dan bundanya…I love you more ❤️By the way untuk karya kedua author sudah terbit yah guysJudulnya
"Kau mau ke mana lagi, Al?" rengek Rose memeluk suaminya posesif."Aku mau ke kamar mandi sebentar Baby, perutku sakit…," keluh Allen."Tidak boleh, kau harus tetap di sini bersamaku!""Astaga … lalu aku harus buang air disini Rose?" Wanita itu mengangguk dengan puppy eyes-nya.Semenjak hamil, Rose semakin bersikap manja padanya. Allen tidak diizinkan oleh wanita itu sedikit pun menjauh darinya.Bahkan untuk ke kamar mandi saja, Rose akan mengikuti pria berjambang itu ke dalam seperti saat ini. Rose sedang duduk di dekat dia yang sedang berkonsentrasi mengeluarkan tahap akhir isi dalam perutnya."Kau tidak jijik setiap hari menemaniku begini Rose?""Tidak.""Tapi aku yang malah jijik dengan diriku sendiri melihat kau begitu betah disini Baby…."Ro
Dua bulan setelah bulan madu di atas kapal itu, Rose keluar dari kamar mandi dengan wajah yang pucat.Sudah seharian ini wanita berambut panjang itu muntah-muntah di dalam sana. Allen sampai khawatir melihat keadaan istrinya."Kita ke rumah sakit saja Baby…." Rose menggeleng bersandar di dada bidang Allen yang memeluknya."Tapi aku khawatir melihat kau muntah-muntah begini sejak pagi Baby. Aku tidak tenang meninggalkanmu sendiri di mansion""Aku tidak apa-apa, Al. Kau pergilah bekerja, mungkin aku hanya salah makan saja kemarin."Allen berdecak, mulai jengkel dengan Rose yang tidak mau mendengarkan perkataannya. Pria itu kelimpungan sendiri mengurus wanitanya karena Amberd sedang berlibur ke luar negeri.Mau menghubungi Alex pun, pria itu tidak ada di Miami sekarang. Dia memilih kembali ke Mexico membuka usahanya di sana sembari menemani Eduardo
"Kapal pesiar?""Iya, kita akan berlayar selama seminggu penuh di atas laut."Allen mengajak Rose naik ke atas kapal pesiar berukuran cukup besar yang belum lama dia beli.Pria itu sengaja membelinya untuk hadiah pernikahan dia untuk Rose. Bahkan pada kapal badan tertulis inisial nama keduanya dan tanggal pernikahan mereka.Allen benar-benar memastikan hadiah ini akan menjadi kenangan untuk mereka berdua, sekaligus sebagai tempat bulan madu mereka setelah resmi menjadi suami istri."Ini sangat indah, Al…." Rose berdiri pada dek kapal, menatap hamparan laut luas di depan mereka. Kapal itu mulai bergerak saat keduanya naik ke atas sana."Kau suka?""Sangat, aku sangat menyukainya…," sahut Rose terkagum-kagum."Aku senang jika kau menyukainya Baby." Allen memeluk wanitanya dari belak
Tanggal sebelas di bulan sebelas adalah tanggal terindah untuk Allen dan Rose. Pasangan itu memantapkan hati untuk saling mengikat janji suci di depan pendeta.Rose berjalan mendekati Allen yang tengah menunggunya di depan altar, dengan mata yang berkaca-kaca.Wanita itu berjalan pelan ditemani Alex di sampingnya dengan mata yang sembab. Pria paruh baya itu tidak menyangka anak yang selama ini dia jaga dan dia rawat, kini akan menikah dengan seorang pria pilihannya.Teringat bagaimana Alex memberi pesan-pesan untuk Rose tadi saat mereka masih di ruang ganti pengantin."Hiduplah dengan bahagia, Nak. Daddy akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kau dan keluargamu. Mommy-mu pasti ikut bahagia melihat kau akan menikah hari ini."Rose tersenyum menggenggam tangan ayahnya. "Terima kasih, Dad. Terima kasih karena sudah menjaga aku sampai sekarang. Terima kasih juga karena tidak
"Kau senang?"Rose mengangguk penuh semangat. "Tentu saja, Al. Malam ini adalah salah satu malam terindah di hidupku.""Memangnya malam selain ini apalagi?" tanya Allen penasaran."Kau mau tahu?" Allen mengangguk."Malam di mana aku sadar aku sudah mencintaimu, Al." sahut Rose mengingat malam panjang mereka berdua."Benarkah? Boleh aku tahu kapan tepatnya itu?" Rose tertawa geli, malu untuk memberitahukannya pada Allen."Kenapa tertawa? Jangan membuatku penasaran Baby…." keluh Allen memeluk posesif wanitanya dari belakang."Aku malu memberitahukannya padamu.""Kenapa malu? Aku bukan orang lain Baby, aku calon suamimu sekarang!"Rose tersenyum dengan wajah memerah. Mendengar Allen berkata calon suami makin membuat hatinya berdebar tidak karuan. Rose merasa seper