"Bos, biar aku gantikan perban ditubuhmu," tawar Ace yang duduk disamping Allen.
Keduanya berhasil take off meninggalkan Bandar Udara Internasional Benito Juárez Mexico, setelah mengecoh pihak musuh dengan cara berganti mobil saat mereka mengambil rute lain.
Mobil yang dikejar oleh pihak musuh hanya terdapat anggota Blue Fire yang rela mati demi bisa menyelamatkan bos mereka.
Untuk bisa menjadi salah satu anggota Mafia Blue Fire, mereka akan melewati beberapa ritual dengan kontrak menggunakan darah.
Dan setelah bergabung dengan mafia yang paling ditakuti ini, mereka harus menyerahkan sepenuhnya hidup dan mati mereka demi sang bos yang mereka layani.
Dengan bantuan biaya hidup yang tinggi serta kehidupan keluarga mereka yang terjamin, banyak yang tergoda ingin ikut bergabung dengan Blue Fire milik Allen Clarck sekalipun nyawa mereka yang menjadi taruhan.
Namun jauh dari semua itu, kesetiaan dan loyalitas adalah yang paling dijunjung tinggi dalam keanggotaan mereka.
"Hubungi anggota kita yang tersisa untuk segera keluar dari kota itu sekarang juga Ace!" titah Allen sambil membuka kemeja putih yang kini sudah berubah warna menjadi merah.
"Sudah bos, aku sudah mengirim sinyal pada masing-masing anggota kita," sahut Ace meletakkan kotak P3K diatas meja dalam jet pribadi yang tengah mengudara.
Setiap anggota Blue Fire memiliki cincin di jari tengah kiri yang dirancang khusus untuk mereka, dan jika tertangkap oleh pihak musuh dapat mereka gunakan sebagai senjata bunuh diri.
Diujung cincin terdapat jarum kecil yang mengandung racun yang akan keluar saat ditancapkan keleher. Racun itu mampu membunuh manusia hanya dalam waktu tiga puluh detik saja.
Cincin itu tidak akan bisa terlepas kecuali menggunakan kode rahasia yang hanya diketahui oleh pemimpin mereka Allen Clarck.
Jadi, tidak ada yang bisa dengan mudah lepas atau melarikan diri dari keanggotaan mafia Blue Fire.
"Bagaimana dengan musuh yang kita tangkap Ace?" tanya Allen duduk bersandar di kursi sambil menutup mata.
"Sedang dalam perjalanan menuju Miami Bos. Mereka sudah lebih dulu membawanya kesana," sahut Ace mulai mengganti perban yang basah dengan darah ditubuh Allen.
"Bagus, begitu dia tiba disana segera bawa bedebah itu ke markas. Aku yang akan menangani dia langsung!"
"Baik bos."
Perjalanan menuju kota Miami, Florida memakan waktu selama tiga jam empat belas menit lamanya. Allen menggunakan waktu tersebut untuk beristirahat setelah Ace selesai mengganti semua perban ditubuhnya.
Bos Mafia dan asistennya itu disambut oleh anggota Blue Fire yang sudah menunggu kedatangan mereka berdua sejak sejam yang lalu.
Mereka bertugas untuk mensterilkan bandara sebelum jet milik bos mereka landing di Bandar Udara Internasional Miami sore ini.
"Welcome back Bos...!" suara kompak dari anggota Blue Fire yang memakai setelan rapi serba hitam menyambut kedatangan Allen dan Ace yang baru saja turun dari jet pribadi.
Mereka juga ikut membungkuk memberi hormat secara bersamaan.
Dengan gayanya yang dingin dan penuh kharisma, Allen masuk kedalam mobil dengan Ace yang duduk dikursi kemudi.
Allen melepaskan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungnya dan menyandarkan diri dengan nyaman dikursi mobil.
"Kita langsung ke markas Ace," perintahnya.
"Baik Bos!"
Ace pun mulai melajukan mobil menuju markas Blue Fire yang letaknya berada dekat dengan pantai dengan gedung yang lebih mirip sebuah gudang besar.
Untuk bisa masuk kesana, penjagaan dari pintu pagar pertama sudah dijaga oleh anggota Blue Fire dengan senjata yang lengkap. Mereka juga harus melewati detector metal dalam keadaan tubuh yang telanjang.
Ada tiga pos penjaga yang harus dilewati sebelum bisa sampai ke gudang markas Blue Fire, dengan tiap pos yang memiliki pemeriksaan dan tingkat keamanan yang berbeda.
Saat mobil yang membawa Allen melewati pos yang ada, semua anggota Blue Fire wajib membungkuk memberikan hormat.
Biasanya iring-iringan mobil yang ikut mengawal Allen dikota ini berjumlah empat mobil, dengan dua didepan dan dua dibelakang mengikuti bos mereka.
Seorang anggota membukakan pintu untuk Allen ketika sampai di pintu utama markas mereka.
"Welcome Bos," sapa anggota itu.
Allen mengangguk dan masuk bersama Ace yang mengikuti dia dari belakang.
Keduanya langsung menuju tempat penyekapan musuh yang mereka bawa dari Mexico tadi.
"Silahkan Bos." Ace memberikan sebuah kursi yang biasa bos dia duduki jika sedang berada diruangan ini.
"Buka penutup kepalanya!" perintah Allen pada dua orang anggota yang berdiri tidak jauh dari tahanan mereka.
Musuh yang mereka tangkap adalah seorang pria berumur sekitar 30 tahun dengan kulit berwarna hitam, berbadan atletis dan rambut yang sedikit gondrong.
"Pilihanmu hanya ada dua, mengaku atau mati!" ujar Allen melipat dua tangannya di depan dada dengan pandangan mata yang tajam.
Tahanan itu tertawa sinis dan sempat memaki Allen sebelum berujar kata mati.
"Baiklah, karena itu maumu. Aku akan dengan senang hati mengabulkan permintaan terakhirmu!"
Allen berdiri, menggulung lengan tangannya keatas dan mendekat kearah meja tempat alat-alat penyiksaan yang biasa dia gunakan berada.
"Rantai dia ke dinding dan lucuti semua pakaiannya!" perintah Allen dan mulai memilih alat apa yang akan dia ambil terlebih dahulu.
"Baik Bos!" jawab dua orang anggota yang berjaga disamping tahanan itu kompak.
"Untuk apa kau bersusah payah menyiksaku bodoh, kau hanya membuang-buang waktumu saja! Sekalipun kau menyiksaku, aku tidak akan pernah memberitahukan informasi apa-apa padamu!" ujar tahanan itu dengan sombongnya.
"Aku tidak lagi membutuhkan informasi darimu, saat ini aku hanya butuh tubuh dan darahmu. Jadi, nikmati saja permainan kita...," sahut Allen tersenyum penuh arti.
Bunyi mesin paku tembak mengawali penyiksaan Allen sore ini pada musuh yang mereka tangkap tadi.
Pria malang itu dirantai dengan posisi terlentang didinding dalam keadaan yang telanjang.
Wuusshhhh
Tembakan paku pertama dilepaskan Allen yang mengenai betis kirinya.
"Aaaaa...!" teriakan kesakitan menggema di ruangan berukuran 6 x 6 itu, dan terdengar hingga keluar gedung markas mereka.
Paku berukuran 3,5 inci yang ditembakkan Allen, tertancap sempurna ditubuh bagian bawah tahanan tersebut.
Allen melepaskan tembakannya hampir pada semua bagian tubuh lelaki malang itu, sampai paku yang ada pada mesin paku tembaknya habis.
"Berikan aku mesin bor!" pinta Allen pada asistennya Ace.
Lelaki dengan setelan hitamnya itu dengan cepat mengambil mesin yang diminta bosnya diatas meja, lalu menyalakannya sebelum diberikan pada Allen.
"A-apa yang akan kau lakukan? Berhenti menyiksaku!" raung tahanan itu ketakutan dengan suara setengah berteriak.
"Kenapa? Bukannya kamu sendiri yang memilih untuk mati? Aku akan mengabulkannya untukmu. Kau ... akan mati pelan-pelan disini," sahut Allen tertawa jahat.
Manik mata birunya memancarkan aura pembunuh, dengan tangan yang bersiap membor bagian pusar perut pria tahanan itu.
"Dasar gila, berhenti! Ja-jangan!" teriaknya menahan kesakitan yang teramat sangat, ketika ujung mesin bor masuk menembus kulit perutnya hingga kedalam.
Darah segar terpancar ke segala arah hingga mengenai wajah Allen yang semakin bersemangat saat tubuhnya basah bermandikan darah dari tahanan mereka.
Allen menekan kuat mesin bor bersamaan dengan teriakan sakit dan putus asa pria itu.
"Ini sangat menyenangkan...," tawa Allen mengusap wajahnya yang kini sudah penuh dengan darah. Bos Mafia Blue Fire ini sangat menyukai bau darah segar.
Allen kembali melanjutkan kegiatan mengasyikkannya dengan berpindah dari perut, ke mata kanan pria malang itu.
"Aaaa...!" teriakan kesakitan tidak berhenti keluar dari mulut sang tahanan, yang perlahan mulai lemah karena kehilangan banyak darah.
Seketika lantai dalam ruangan itu sudah penuh dengan tetesan darah dari tubuh pria yang hampir mati itu.
Tidak puas dengan perut dan mata, Allen kembali berpindah ke bagian telinga kiri lelaki berkulit hitam tersebut.
Bagi seorang Bos Mafia yang paling ditakuti, Allen memang sangat kejam terhadap musuh-musuhnya. Dia tidak akan segan menghabisi ataupun menyiksa seseorang yang berani melawan, ataupun mencari-cari masalah dengan dia.
"Buang dia kelaut, pastikan hiu paus memakan tubuhnya sampai habis!" titah Allen setelah memuaskan hasratnya dengan cairan kental berwarna merah dengan wangi yang dia suka itu.
Akhirnya hari ini datang jugaAuthor rada² gak rela mau tamatin cerita ini, tapi setiap pertemuan pasti ada perpisahan...Author mau ngucapin terima kasih untuk semua pembaca setia Boss Mafia, I Love You yang selalu setia menanti up setiap hari...Juga untuk semua yang sudah mendukung cerita ini sampai tamat…Untuk sahabat sesama penulis Buenda Vania yang selalu setia author curhatin setiap saat,,Untuk teman-teman yang tergabung dalam Group Author Halu dan Group Author Bahagia…Terima kasih untuk setiap canda tawa selama ini,, sharing tentang segala macam hal dari yang serius sampe yang nggak penting…At least untuk suami dan anak tercinta yang selalu sabar dan mendukung hobi istri dan bundanya…I love you more ❤️By the way untuk karya kedua author sudah terbit yah guysJudulnya
"Kau mau ke mana lagi, Al?" rengek Rose memeluk suaminya posesif."Aku mau ke kamar mandi sebentar Baby, perutku sakit…," keluh Allen."Tidak boleh, kau harus tetap di sini bersamaku!""Astaga … lalu aku harus buang air disini Rose?" Wanita itu mengangguk dengan puppy eyes-nya.Semenjak hamil, Rose semakin bersikap manja padanya. Allen tidak diizinkan oleh wanita itu sedikit pun menjauh darinya.Bahkan untuk ke kamar mandi saja, Rose akan mengikuti pria berjambang itu ke dalam seperti saat ini. Rose sedang duduk di dekat dia yang sedang berkonsentrasi mengeluarkan tahap akhir isi dalam perutnya."Kau tidak jijik setiap hari menemaniku begini Rose?""Tidak.""Tapi aku yang malah jijik dengan diriku sendiri melihat kau begitu betah disini Baby…."Ro
Dua bulan setelah bulan madu di atas kapal itu, Rose keluar dari kamar mandi dengan wajah yang pucat.Sudah seharian ini wanita berambut panjang itu muntah-muntah di dalam sana. Allen sampai khawatir melihat keadaan istrinya."Kita ke rumah sakit saja Baby…." Rose menggeleng bersandar di dada bidang Allen yang memeluknya."Tapi aku khawatir melihat kau muntah-muntah begini sejak pagi Baby. Aku tidak tenang meninggalkanmu sendiri di mansion""Aku tidak apa-apa, Al. Kau pergilah bekerja, mungkin aku hanya salah makan saja kemarin."Allen berdecak, mulai jengkel dengan Rose yang tidak mau mendengarkan perkataannya. Pria itu kelimpungan sendiri mengurus wanitanya karena Amberd sedang berlibur ke luar negeri.Mau menghubungi Alex pun, pria itu tidak ada di Miami sekarang. Dia memilih kembali ke Mexico membuka usahanya di sana sembari menemani Eduardo
"Kapal pesiar?""Iya, kita akan berlayar selama seminggu penuh di atas laut."Allen mengajak Rose naik ke atas kapal pesiar berukuran cukup besar yang belum lama dia beli.Pria itu sengaja membelinya untuk hadiah pernikahan dia untuk Rose. Bahkan pada kapal badan tertulis inisial nama keduanya dan tanggal pernikahan mereka.Allen benar-benar memastikan hadiah ini akan menjadi kenangan untuk mereka berdua, sekaligus sebagai tempat bulan madu mereka setelah resmi menjadi suami istri."Ini sangat indah, Al…." Rose berdiri pada dek kapal, menatap hamparan laut luas di depan mereka. Kapal itu mulai bergerak saat keduanya naik ke atas sana."Kau suka?""Sangat, aku sangat menyukainya…," sahut Rose terkagum-kagum."Aku senang jika kau menyukainya Baby." Allen memeluk wanitanya dari belak
Tanggal sebelas di bulan sebelas adalah tanggal terindah untuk Allen dan Rose. Pasangan itu memantapkan hati untuk saling mengikat janji suci di depan pendeta.Rose berjalan mendekati Allen yang tengah menunggunya di depan altar, dengan mata yang berkaca-kaca.Wanita itu berjalan pelan ditemani Alex di sampingnya dengan mata yang sembab. Pria paruh baya itu tidak menyangka anak yang selama ini dia jaga dan dia rawat, kini akan menikah dengan seorang pria pilihannya.Teringat bagaimana Alex memberi pesan-pesan untuk Rose tadi saat mereka masih di ruang ganti pengantin."Hiduplah dengan bahagia, Nak. Daddy akan selalu mendoakan yang terbaik untuk kau dan keluargamu. Mommy-mu pasti ikut bahagia melihat kau akan menikah hari ini."Rose tersenyum menggenggam tangan ayahnya. "Terima kasih, Dad. Terima kasih karena sudah menjaga aku sampai sekarang. Terima kasih juga karena tidak
"Kau senang?"Rose mengangguk penuh semangat. "Tentu saja, Al. Malam ini adalah salah satu malam terindah di hidupku.""Memangnya malam selain ini apalagi?" tanya Allen penasaran."Kau mau tahu?" Allen mengangguk."Malam di mana aku sadar aku sudah mencintaimu, Al." sahut Rose mengingat malam panjang mereka berdua."Benarkah? Boleh aku tahu kapan tepatnya itu?" Rose tertawa geli, malu untuk memberitahukannya pada Allen."Kenapa tertawa? Jangan membuatku penasaran Baby…." keluh Allen memeluk posesif wanitanya dari belakang."Aku malu memberitahukannya padamu.""Kenapa malu? Aku bukan orang lain Baby, aku calon suamimu sekarang!"Rose tersenyum dengan wajah memerah. Mendengar Allen berkata calon suami makin membuat hatinya berdebar tidak karuan. Rose merasa seper