Jordan terbangun saat mendengar suara langkah kaki dan keributan orang di luar pintu kamarnya. Namun betapa terkejutnya pria muda itu saat mendapati ada tubuh wanita telanjang di sebelahnya yang dia mendapati dirinya juga tanpa ada pakaian satu helai benangpun menutupi tubuhnya selain selimut tipis sebatas pinggang.
“Yuri?!”
Jordan semakin terkaget mengetahui wanita yang tubuhnya masih terasa hangat saat dia sentuh tersebut adalah seorang gadis muda seusia dengannya, putri pengusaha terpandang yang sepupunya adalah sahabat Jordan.
Tangan Jordan tidak merasakan hembusan napas Yuri dan spontan dia memeriksa pergelangan tangan gadis itu yang juga tidak merasakan detak nadinya. “Och Tuhan, apa yang kau lakukan, Jordan?” rutuk Jordan pada dirinya sendiri karena dia sama sekali tidak ingat apa yang dia lakukan semalam selain Kalf Robson, sepupunya Yuri mengajaknya makan. Hari ini direncanakan adalah perayaan atas kelulusan Jordan dan Kalf dari Seminari yang akan menjadikan mereka Pastur muda. Suatu prestasi bergengsi bagi anak muda di negara mereka pada belahan Eropa Utara ini yang masih sangat kental suasana keagamaannya.Suara-suara ribut di depan pintu ruangan kamar Jordan semakin nyaring terdengar.
“Jordan tidak mungkin melakukan itu! Menculik sepupuku? Huh, kalian terlalu mengada-ada! Jordan semalaman ada bersama saya, kami makan dan …” ucapan Kalf terhenti tiba-tiba lalu terdengar ketukan pada daun pintu kamar tempat Jordan menginap di kamar terpisah dengan Kalf.
Jordan menyibak selimut yang menutupi tubuhnya, tanpa sengaja matanya melotot melihat ke arah tongkat saktinya yang berlumuran darah. Pun saat mata Jordan menoleh ke arah Yuri, tubuh bagian bawah wanita itu seperti mengalami pendarahan hebat dan darahnya terlihat menghitam kental di atas ranjang.
“Tuhan, bagaimana bisa terjadi hal seperti ini?” rintih Jordan yang tidak henti-hentinya menyebut nama Tuhan dalam hatinya.
Jordan memungut pakaiannya dan memakainya dengan cepat saat pintu ruangannya terbuka didobrak dari luar.
“Jordan Smith Watanabe! Anda ditangkap atas penculikan Nona Yuri Horik dan …” seorang petugas kepolisian berkata pada Jordan lalu matanya melirik ke atas ranjang yang langsung dia dekati dan memeriksa tubuh Yuri yang terbaring miring.
“Dan, pembunuhan pada putri Ben Horik!” tambah sang petugas dengan sangat lantang.
Kepala Jordan menggeleng cepat saat petugas lain yang datang bersama pertugas yang berbicara dengannya memborgol pergelangan tangannya. Mata Jordan menatap Kalf yang juga menatapnya penuh tanda tanda.
“Kalf …sungguh, aku tidak tau. Bagaimana bisa sepupumu ada di satu ranjang denganku! Kita semalam makan bersama …please tolong aku, Kalf,” Jordan mengiba menatap sahabatnya yang juga memandangnya dengan tatapan rumit lalu melirik ke atas ranjang yang para petugas sudah menggulung tubuh Yuri menggunakan selimut.
Wajah Kalf langsung berpaling menatap Jordan kembali begitu matanya menatap noda darah mengental di atas seprai ranjang tempat tubuh Yuri kini sudah di bawa keluar oleh para petugas kepolisian.
“Kalf …”
Jordan berusaha memanggil nama sahabatnya kembali yang tentu saja mustahil akan bisa membantunya setelah melihat sepupu tersayangnya tewas ditiduri oleh Jordan. Setidaknya, begitulah menurut semua orang yang saat ini berada di dalam ruangan kamar Jordan meskipun pria itu tidak bisa ingat apa yang telah dia lakukan ataupun jam berapa dia bertemu Yuri tadi malam.
Jordan di dorong keluar kamar oleh petugas yang tadi saat awal datang ke ruangannya, bertanya padanya. Sebuah mobil sudah menunggu di lobi penginapan dan Jordan kembali dipaksa masuk ke dalam mobil dibawah tatapan Kalf yang tetap tidak mengatakan apa pun selain tatapannya menatap tajam pada Jordan diserta emosi amarah pria itu padanya.
Jordan dibawa ke sebuah pelabuhan dan lutut bagian belakangnya di tendang cukup keras oleh petugas saat Jordan berkata dirinya tidak bersalah.“Mamaku, ijinkan aku bertemu dengan Mamaku terlebih dahulu …” pinta Jordan memohon belas kasihan karena sudah tiga tahun Jordan belum bertemu dengan Mamanya.
Jordan belajar di seminari sejak usia dua belas tahun dan Mamanya tidak bisa melakukan kunjungan setiap saat hingga kemarin siang dia dan Kalf dinyatakan lulus sehingga memberikan kebebasan pada semua murid seminari untuk makan atau bertemu keluarga yang juga mengijinkan mereka menginap pada penginapan.
Pagi ini, Jordan akan bertemu dengan Mamanya, Mary Helena Smith yang pastinya sudah berada di lingkungan seminari tempat Jordan dan Kalf belajar selama sepuluh tahun.
“Anda tidak memiliki hak untuk melakukan permohonan, anak muda!” sahut sang petugas yang langsung menyeret tangan Jordan agar masuk ke dalam sampan kecil yang akan membawanya ke penjara di pulau yang terletak di tengah lautan luas.
Jordan merasa aneh dengan sikap petugas tetapi bagian belakang lututnya kembali ditendang yang membuatnya terjatuh terjerembab ke atas sampan yang sudah siap siaga membawanya pergi dari pelabuhan menuju penjara di pulau.
Biasanya setiap tersangka akan masuk penjara umum dahulu, diadili di pengadilan lalu jika dinyatakan bersalah berat, baru akan di kirim ke penjara yang sering Jordan dengar kisahnya adalah penjara yang tidak bisa membuat narapidananya kabur alias mati membusuk di sana yang nantinya mayat mereka dilemparkan ke lautan jadi makanan ikan.Tetapi, Jordan justru langsung di bawa ke penjara, bukannya diadili terlebih dahulu.
“Anda telah menewaskan putri Ben Horik, jadi tunggulah pengadilan Anda di pulau!” tutur pengemudi sampan seakan mengerti apa yang anak muda itu pikirkan.
Saat ini sampan sudah hampir membawa Jordan mendekati penjara di pulau, sedangkan Mary Helena Smith sedang berlari kecil menyusuri lorong demi lorong untuk bertemu dengan putra semata wayangnya. Bibir Mary Helena terlihat tersenyum manis penuh kerinduan pada Jordan yang ingin dia peluk erat-erat.
Sejak Jordan memutuskan masuk Seminari, Mary Helena tinggal di rumah besarnya yang sangat jauh di pedesaan. Kedua orangtua Mary Helena dan suaminya tewas dalam kecelakaan saat Jordan masih berada dalam perutnya, usia tujuh bulan. Hal yang sangat luar biasa bagi Mary Helena bisa membesarkan Jordan dan membuat putranya itu menjadi anak Tuhan yang taat.“Nyonya …”
Asisten rumah tangga yang mengikuti Mary Helena ikut berlari kecil mengikuti majikannya tersebut seraya membawa tas berisi pakaian ganti untuk Jordan dan camilan yang disukai Tuan Mudanya tersebut saat dia masih kecil dahulu.Mary Helena bergadang sejak semalam membuat camilan kesukaan Jordan dan telah melewati perjalanan tiga jam untuk tiba ke seminari ini agar bisa ikut mendampingi putranya menerima penghargaan kelulusannya.
“Anda tidak diijinkan masuk, Nyonya!” ucap salah satu petugas yang menjaga lingkungan masuk ke asrama tempat Mary Helena biasa bertemu dengan Jordan.“Saya adalah Mamanya Jordan, Jordan Smith Watanabe! Tolong panggilkan dia dan saya akan menunggu di sini,” tukas Mary Helena dengan senyum manis tidak hilang dari wajah dan matanya yang melongok ke dalam asrama, mencari keberadaan Jordan.
“Semua siswa sudah berada di dalam aula. Silakan ikuti lorong ini untuk menuju aula!” jawab sang petugas sembari memberikan arahan dengan telapak tangannya pada salah satu lorong.
Mary Helena langsung menganggukkan kepala dan berterima kasih, lalu membawa Siggy, asisten rumah tangganya menuju lorong masuk ke aula, tempat berlangsungnya upacara kelulusan.
“Nyonya, saya melihat Kalf. Tapi tidak ada Tuan Muda Jordan …” bisik Siggy dekat telinga Mary Helena yang matanya juga mencari keberadaan putranya.
Mary Helena dan Siggy sudah berada di dalam aula besar, bergabung dengan para keluarga dan wali murid lainnya yang datang berombongan untuk menghadiri kelulusan putra mereka menjadi Pastur.
“Salah satu murid atas nama Jordan Smith Watanabe, terpaksa kami keluarkan dari seminari dan tidak bisa mengikuti kelulusan ini karena telah melanggar perintah Tuhan yaitu berzina dan melakukan pembunuhan …” terdengar suara bergema yang membuat hening seisi ruangan aula.Tubuh Mary Helena bergetar seakan kakinya tidak menapak pada lantai begitu mendengar nama Jordan disebutkan sebagai pelanggar perintah Tuhan.
“Nyonya …” “Bohong! Itu pasti bohong! Jordan tidak akan pernah melakukan hal terkutuk itu!” teriak Mary Helena yang sudah berjalan maju ke area panggung.Ben Horik yang duduk di atas panggung bersama para pejabat lainnya dan para Romo, memberi kode pada anak buahnya agar menghalangi Mary Helena mengacaukan acara kelulusan.
“Bohong! Putraku Jordan Smith Watanabe tidak akan melakukan zina dan pembunuhan! Ini pasti jebakan! Ijinkan aku bertemu dengan putraku, dimana dia? Dimana kalian sembunyikan anakku?” Mary Helena berontak dan berteriak semakin lantang yang membuat heboh para orang tua, tamu dan murid lain yang sudah dianggap sebagai Pastur dalam ruangan tersebut.
Dua orang petugas menarik tubuh Mary Helena yang terus meronta minta dilepaskan dan juga Siggy keluar dari ruangan aula.
“Putra Anda melakukan bunuh diri di kamarnya dan telah dikremasi tadi pagi karena dianggap aib bagi seminari ini.” salah satu petugas yang membawa Mary berkata.“Tidaakkkkkk!!!!” pekik Mary Helena histeris yang dirinya bersama Siggy dilemparkan dengan sangat jijik ke lantai di koridor luar aula oleh petugas yang langsung mengunci pintu masuk ke dalam aula.
Lukas Layton, salah satu Pastur yang sangat mengenal Jordan dan sering bertemu Mamanya, terkejut melihat Mary Helena dan Siggy didorong hingga terjatuh ke lantai. “Oh, kalian tidak apa-apa? Ayo berdirilah,” Lukas membantu menarik lengan Mary Helena dan Siggy yang bergegas bangkit membantu Nyonya majikannya. Mary Helena menatap Pastur yang menolongnya, “Apakah Anda mengenali Jordan, Pastur?” tanyanya pelan dan terlihat sangat sedih pada matanya. “Tentu saja. Jordan adalah siswa yang sangat jenius. Seharusnya Jordan adalah Pastur muda dengan nilai paling tertinggi lulus hari ini. Kita juga sudah pernah bertemu sebelumnya, Nyonya Mary Watanabe,” sahut Lukas sopan. “Saya Lukas, Lukas Layton.” tambah sang Pastur memperkenalkan dirinya sendiri pada Mary Helena juga Siggy. Lukas membawa Mary Helena dan Siggy yang telah selesai memunguti makanan yang tadi dia bawa untuk Jordan, ikut tumpah ke lantai saat anak buah Ben Horik mendorong mereka terjatuh ke lantai.“Katakan Pastur, Jordanku t
Jordan menemukan sebuah batu yang dia banting dan pukulkan agar meruncing. Dengan batu tersebut Jordan membuat coretan untuk menghitung hari pada dinding batu. Telah dua tahun berlalu sejak Jordan pertama kali di bawa ke penjara terpencil yang terletak dalam pulau pada tengah lautan. Tubuh Jordan yang semula gagah dan tampan, kini sudah semakin kurus dan ringkih. Rambut Jordan tumbuh gondrong, pun juga bulu-bulu di wajahnya melebat kasar tidak beraturan yang terlihat sangat menyeramkan bagi yang melihatnya.“Tuhan, bagaimana jika diriku bosan memohon dan berdoa padamu? Aku tau Engkau tidak akan berkekurangan manusia yang akan meng-agungkan namamu. Tapi aku mohon, berikan aku petunjukmu …apa pesan yang Engkau inginkan untuk aku pahami dengan kejadian yang menimpaku ini?"Jordan duduk bersandar dan menengadahkan wajahnya melihat ke langit-langit kamar yang terlihat bintang-bintang bercahaya redup masuk ke dalam ruangannya.“Aku tidak menyesali hidupku. Tapi tolong jaga dan lindungi Mam
“Aku tidak berzina dan juga bukan pembunuh!” tegas Jordan dengan bibir berdesis yang dicengkeram kuat oleh Langley. Langley tertawa terbahak sangat nyaring bergema yang kemudian melepaskan cengkeramannya pada dagu Jordan. “Kau pikir siapa dirimu, Jordan? Ben Horik memerintahkan untuk mengeksekusimu tapi aku berbaik hati, hanya memenjarakanmu di sini. Yeah dengan sedikit bermain memuaskan hasratku memberimu hadiah, tentu saja!”“Ku dengar, kau punya Ibu yang cantik. Wanita tercantik yang pernah ada di negri ini! Sayang sekali, kau putranya tidak bisa menjaganya dan Ibumu pasti sudah menggeliat nikmat dibawah kungkungan tubuh Ben Horik!” tambah Langley yang membuat darah di tubuh Jordan langsung mendidih. Pergelangan tangan Jordan yang telah terlepas dari borgol rantai, tanpa terduga dia layangkan ke wajah Langley hingga pria itu terpaling ke samping.“Uwow! Tenagamu kuat juga, bocah busuk!” Langley berteriak riang sambil mengelap sudut bibirnya yang dinding mulutnya sobek ditinju Jo
Jordan menengadah ke atas kaca bening di langit-langit ruangannya dan kembali memperhatikan jika air merembas dari langit-langit ke dinding. Titik air yang sebelumnya menimpa kepalanya sudah tidak ada, namun dinding batu ruangannya masih sangat lembab."Jika ruangan ini paling atas dan bisa melihat sinar matahari, bearti air ini berasal dari hujan yang merembas masuk?" gumam Jordan melemparkan batu di tangannya, berusaha berdiri dengan susah payah, lalu menampung air yang jatuh menetes berupa titik-titik tidak terlalu besar tersebut dengan telapak tangannya. Jordan mencium aroma air yang dia tampung tersebut tidak beraroma asin air laut juga tidak berbau busuk seperti kotoran. Setelah mencuci tangannya hingga bersih, Jordan menampung air kembali dengan telapak tangannya dan meminumnya. "Segar!" Mata Jordan terbuka lebar dan saat itu juga lututnya jatuh ke atas tanah berbatu, menciumi dinding yang telah sangat lembab dirembasi air. "Ampuni aku, Tuhan! Aku tidak memiliki hak untuk
"Aku hanya ingin anak darimu, Sayang!" bisik sang pria sembari meraba celah lembut pada sela paha wanita yang duduk di sampingnya. Tangan sang pria menyentak hingga robek penutup tipis yang menghalangi jemarinya dari memasuki celah lembut wanitanya. "Och ...!"Sang wanita menjerit tertahan namun semakin membuka kedua pahanya agar prianya bisa semakin leluasa membuatnya mencair meleleh. --Jordan semakin giat berlatih beladiri di dalam ruangan sempit penjara batu. Dia sudah mulai bisa menebas titik-titik air yang jatuh dari dinding batu tanpa membasahi punggung tangannya. Jordan juga sudah kuat bertahan untuk melakukan push up selama puluhan kali dan juga mulai pandai mengayunkan kakinya untuk menendang. Pakaian yang di pakai Jordan dengan cepat menjadi kotor setelah diantarkan yang baru oleh penjaga penjara. Tatapan mata Jordan semakin terbuka dan tajam. Tidak ada lagi pemuda putus asa yang hanya mengharapkan keajaiban seperti sebelumnya. Keajaiban adalah buah dari usaha, bukan h
"Papa!" Lagertha meloncati beberapa anak tangga dan berlari masuk ke ruangan makan sambil memanggil Papanya yang sedang duduk hendak sarapan. "Och, pakaian apa yang kamu pakai, Young Lady?!" protes Priskila pada putrinya yang memakai pakaian serba mini, hanya terlihat menutupi bagian penting pada tubuhnya saja. "Ini model kekinian, Mam!" sahut Lagertha, sang gadis muda pada Mamanya sambil cengengesan. "Papa, aku butuh mobil, kartu kredit dan senapan baru!" ucap Lagertha pada pria yang dia panggil 'Papa' dan tidak pernah berhenti tertawa kecil melihat tingkah polah putrinya tersebut yang sangat tomboi. "Mobil baru yang kamu inginkan itu akan datang paling lambat besok, ini kartu kredit baru dan senapan sedang dalam pengiriman satu minggu lagi sampai di sini." Rollo Connor, Papanya Lagertha menjawab sambil mengeluarkan kartu kredit tanpa limit untuk putrinya. Sebelumnya Lagertha menghilangkan tas berisi dompet dan semua kartu pembayarannya di dalam sebuah bar saat dirinya hen
Jordan kembali mendapat hadiah cambukan ke dua puluh tujuh. Ya, pria malang itu telah berada di penjara batu dalam pulau selama lima tahun. Langley semakin menggila mencambuki punggung Jordan. Tetapi Jordan sudah tidak berteriak lagi juga tidak melantunkan firman Tuhan. Sebaliknya Jordan justru tertawa terbahak-bahak, menantang Langley agar membunuhnya dengan cambukan. Punggung Jordan sudah seperti akar pepohonan karena banyak terdapat bekas luka serta bilur-bilur daging menggumpal mengeras yang saling bersambungan. "Kau menantangku, Jordan?!" Sreekk ...Cratt! Cambukan Langley berayun tinggi dan segera ujungnya tenggelam ke dalam luka pada punggung Jordan yang telah mengalirkan darah segar hingga menetes pada lantai batu. "Kau sudah tua, Langley! Cambukanmu seperti elusan bayi!" Jordan terbahak-bahak hingga memuntahkan seteguk darah dari tenggorokannya yang kian terasa perih. Jordan mempertaruhkan tubuh dan nyawanya sendiri untuk mengukur batas kemampuan Langley. Langley kemba
Langley mengambil pisau yang terselip di samping pahanya dan langsung melemparkannya ke arah Jordan. Namun ... Maximus yang sudah terlatih merasakan bahaya, menoleh dan menangkap pisau dengan telapak tangannya yang langsung dia genggam erat selama beberapa detik. Lalu membalikkan dan melemparkan pisau itu kembali ke arah Langley yang menancap di atas jantung pria itu. "Achk!!" Satu tangan Langley memegangi pisau di dadanya dan satu lagi terulur maju ke arah Jordan yang sudah dipapah berdiri oleh Maximus. Tetapi tidak ada kata yang terucap keluar dari mulut Langley selain suara napasnya yang mendidih dan beberapa detik kemudian tubuhnya ambruk ke belakang, jatuh berguling-guling pada tangga batu dan mendarat melintang dengan posisi kepala tertekuk ke depan dadanya. "Tunggu!" Jordan menahan langkah Maximus yang hendak mengangkat tubuhnya seperti anak-anak untuk melangkahi mayat Langley. Jordan berusaha menahan perih pada punggungnya untuk membungkuk, mengangkat sedikit tubuh bag