Beranda / Lainnya / Bound by the Moon / Dalam Cengkeraman Takdir

Share

Dalam Cengkeraman Takdir

Penulis: Fitrarhmadhani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-27 21:10:59

Langit malam beranjak lebih kelam. Bintang-bintang redup, seolah bersembunyi dari sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri. Udara hutan berubah dingin, membawa bisikan asing yang membuat bulu kuduk Lyra meremang.

Ia berdiri sendirian di beranda rumah kecilnya, pandangannya kosong ke arah pepohonan. Meskipun tubuhnya di sana, pikirannya masih tertinggal di Batu Penjaga—pada mata Kaelen yang penuh luka, dan pada kata-kata yang menggema di kepalanya:

> “Aku akan menjaga jalanmu, dari kejauhan.”

Ia ingin percaya. Tapi dunia ini tidak memberi banyak ruang untuk kepercayaan.

Pintu rumahnya tiba-tiba terbuka dari dalam.

> “Kau belum tidur?”

Suara lembut Jax menyentuh malam seperti cahaya lilin yang hampir padam. Ia berdiri dengan jaket lusuh dan tatapan resah yang belum pernah Lyra lihat sedalam itu.

> “Kau pergi menemuinya, bukan?” tanyanya.

Lyra tidak menjawab.

> “Aku tidak bisa menyalahkanmu,” lanjut Jax, suaranya teredam. “Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tidak peduli.”

Lyra menatapnya, dadanya terasa berat. “Aku tidak memilih dia, Jax.”

> “Tapi dunia memilih kalian,” balas Jax, lirih. “Dan aku… hanya satu dari banyak hal yang bisa hilang karena pilihan itu.”

Sebelum Lyra sempat menjawab, suara lolongan serigala terdengar dari arah utara. Panjang. Jauh. Tapi jelas bukan panggilan biasa.

Jax langsung menegakkan tubuh. Wajahnya berubah waspada.

> “Itu bukan kawanan kita.”

Lyra merasakan tubuhnya menegang.

> “Apa maksudmu?”

> “Mereka datang.”

Dari dalam hutan, langkah kaki mulai terdengar—bukan satu atau dua, tapi puluhan. Tanah bergetar halus. Daun-daun kering berguguran seperti sedang melarikan diri dari sesuatu.

> “Masuk,” perintah Jax. “Cepat!”

Tapi sebelum mereka bisa bergerak, kabut hitam menyelimuti pekarangan rumah. Kabut itu dingin, hidup, dan membawa suara-suara yang tidak seharusnya terdengar.

> “Lyra…”

Suara itu berbisik dari segala arah. Suara perempuan. Tua, nyaring, namun menggoda.

> “Kau bisa memilih. Tapi kau tidak bisa lari.”

Lyra menggenggam lengan Jax erat. Suaranya tercekat.

> “Apa itu…?”

> “Penyihir kegelapan,” gumam Jax. “Mereka tahu tentangmu. Tentang darahmu.”

Tiba-tiba, api unggun di halaman rumah menyala sendiri. Dari tengah-tengah nyala merah itu, sosok berjubah muncul—rambutnya panjang seperti asap, matanya putih seluruhnya.

Eira.

Namun kali ini, wajahnya tak lagi lembut seperti semalam. Kali ini, ia tampak seperti kekuatan purba yang tak bisa dihentikan.

> “Waktumu hampir habis, Lyra,” katanya. “Kau pikir kau bisa menunda keputusanmu? Kau pikir dunia akan menunggu hatimu memilih?”

> “Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Jax tajam.

> “Mengingatkan,” jawab Eira. “Bahwa ketika takdir diabaikan terlalu lama, kehancuran akan datang lebih cepat.”

Ia melambaikan tangannya. Sekejap, bayangan-bayangan keluar dari kabut—makhluk-makhluk bertubuh serigala namun bermata kosong. Mereka berdiri tanpa suara, mengepung rumah Lyra dari segala arah.

> “Kaelen harus tahu,” bisik Jax.

> “Aku akan menemuinya,” jawab Lyra cepat, suaranya mantap.

> “Tidak,” kata Eira. “Kau akan menemuinya sekarang… atau tidak pernah lagi.”

Angin berubah. Bulan tertutup awan. Dunia terasa diam, seolah menunggu keputusan Lyra.

Dan di saat itu, Lyra tahu: waktu untuk menunda sudah berakhir.

> “Bawa aku padanya,” katanya akhirnya. “Tapi bukan karena aku takut… melainkan karena aku memilih untuk melawan dengan caraku.”

Eira menatapnya lama. Lalu tersenyum tipis—senyum yang tak bisa dibaca. Ia menjentikkan jarinya, dan kabut mulai bergerak.

> “Kalau begitu, bersiaplah… untuk melihat dunia yang sebenarnya.”

Dan malam pun menelan mereka.

---

Angin malam meraung saat Eira menggulirkan tangannya di udara. Kabut hitam menyelimuti Lyra dan Jax seperti tirai tebal, membuat dunia di sekitar mereka menghilang. Suara-suara hutan tercekik dalam sunyi yang memekakkan.

> “Jangan lepaskan tanganku,” bisik Jax.

> “Aku tidak akan,” jawab Lyra, menggenggam lebih erat.

Tapi dalam sekejap, genggaman itu buyar.

Lyra terhempas ke dalam kegelapan.

Tubuhnya terasa melayang, lalu jatuh keras ke tanah berlumut. Nafasnya memburu, matanya liar mencari. Ia sendirian.

> “Jax?” panggilnya.

Tak ada jawaban. Hanya kabut dan sunyi.

Suaranya memantul, tapi tak ada yang membalas. Tak ada Jax. Tak ada Eira. Tak ada rumah. Hanya hutan yang asing, seolah milik dunia lain.

> "Di mana ini…?"

Tiba-tiba, suara tawa melengking terdengar dari atas.

Sosok berjubah hitam muncul di salah satu cabang pohon. Wajahnya tertutup tudung, tapi mata merah menyala di balik bayangannya.

> “Darah murni, sendirian? Betapa… menarik.”

Lyra mundur satu langkah, tubuhnya menegang.

> “Apa maumu?” suaranya bergetar.

> “Kami ingin apa yang ada dalam darahmu. Kekuatanmu. Kunci dunia baru.”

Sosok itu melompat turun, menciptakan semburan energi gelap yang membuat tanah retak di sekitarnya.

> “Aku tidak akan menyerah begitu saja,” desis Lyra.

Tangan Lyra mengepal. Ia merasa tubuhnya bergetar, tapi bukan karena takut. Ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya. Seperti arus panas… seperti cahaya yang mencoba keluar.

Dan saat makhluk itu menerjang, Lyra membentangkan tangannya—refleks, tanpa tahu apa yang ia lakukan. Tapi cahaya putih meledak dari telapak tangannya, mendorong makhluk itu mundur puluhan langkah hingga terhempas ke batang pohon.

Lyra ternganga. Dadanya bergetar. Matanya bersinar samar.

> “Apa… itu?” bisiknya pada dirinya sendiri.

Suaranya tenggelam dalam suara langkah kaki yang mendekat cepat.

Dari balik kabut, Kaelen muncul. Tubuhnya terluka—ada goresan di bahunya—tapi matanya menyala marah.

> “Dia tidak sendiri,” geramnya pada makhluk itu.

Sosok jubah hitam berdiri kembali, tubuhnya terbakar di beberapa bagian. Ia meludah, lalu berdesis.

> “Belum waktunya… tapi waktunya akan datang.”

Dan seperti asap, makhluk itu lenyap.

Kaelen langsung mendekati Lyra. Matanya memeriksa wajahnya, tubuhnya, lalu tangannya yang masih berpendar samar.

> “Kau menggunakan kekuatanmu,” katanya. Bukan tanya. Pernyataan.

Lyra mengangguk pelan, masih gemetar.

> “Aku tidak tahu bagaimana… itu hanya terjadi.”

> “Itu berarti waktumu sudah dimulai.” Kaelen menggenggam tangannya. “Mulai sekarang, mereka akan mencarimu. Mereka tidak akan berhenti. Dan aku…”

Ia menahan napas, seolah kata-kata berikutnya berat baginya.

> “…aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu.”

Lyra menatapnya. Tidak menjawab. Tapi kali ini, ia tidak menolak kehadirannya.

Dan di antara reruntuhan kabut dan suara hutan yang mulai hidup kembali, mereka berdiri—dua sosok yang tak lagi bisa berpura-pura bahwa dunia ini tetap sama.

Karena tidak.

Semuanya telah berubah.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bound by the Moon   Bayang dan Cahaya

    Fajar mulai merangkak di ufuk timur. Cahaya keemasan menembus celah-celah pepohonan di Hutan Penjaga, tempat pertemuan terakhir antara Lyra, Kaelen, dan Orion. Kaelen duduk di atas batu besar, menatap kosong ke langit yang kini kembali cerah. Wajahnya keras, tapi matanya basah oleh duka yang tak terucap. Di sisinya, Jax dan Eira berdiri diam. Mereka tahu bahwa sesuatu telah hilang malam itu — bukan hanya Lyra, tapi juga harapan yang ia wariskan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut memecah keheningan. “Kaelen.” Semua menoleh. Di depan mereka berdiri sosok yang tak terduga — Orion. Wajahnya lelah, tapi ada ketenangan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. “Kau kembali,” ujar Kaelen dengan suara parau. Orion mengangguk. “Aku datang bukan sebagai musuh. Malam itu, saat Lyra menyatu dengan bulan, aku mengerti... kekuatan bukan tentang menguasai, tapi tentang merangkul.” Kaelen memandang Orion, lalu menatap ke arah hutan yang mulai hidup oleh sinar matahari pagi. “Kau benar

  • Bound by the Moon   Malam yang Memilih

    Langit terbelah oleh cahaya bulan purnama. Cahayanya tak lagi lembut, tapi tajam—menyobek bayangan, menyingkap luka. Di atas puncak Bukit Takdir, Lyra berdiri sendirian, mengenakan jubah putih bersulam simbol leluhurnya. Rambutnya dibiarkan terurai, membingkai wajah yang tak lagi gadis, tapi bukan pula seorang ratu. Di bawah sana, dua pasukan telah berkumpul. Di sisi kiri: Klan Serigala, dipimpin Kaelen, berbaris dalam diam. Mata-mata mereka menyala perak. Di sisi kanan: Umbra, menyatu dengan kegelapan, menunggu aba-aba dari Orion. Dan di antara mereka—adalah Lyra. Bukan sebagai pihak, tapi sebagai jembatan. Atau mungkin... pengorbanan. Suara langkah mendekat. Kaelen. “Kau yakin ingin melakukannya seperti ini?” tanyanya, suaranya dalam, nyaris pecah. “Tanpa perlindungan, tanpa kekuatan?” Lyra menatapnya. “Justru karena aku ingin mereka melihatku... sebagai manusia.” Kaelen menghela napas. “Jika sesuatu terjadi padamu—” “Aku tahu,” potong Lyra lembut. “Tapi ini pilihanku. Sama s

  • Bound by the Moon   Dua Malam Menuju Akhir

    Malam itu, Lyra tak tidur.Ia duduk di atas menara batu tua tempat para Penjaga pernah menulis sejarah dalam cahaya bulan. Angin dari utara membawa bau kabut dan abu. Dunia mulai retak, dan retakan itu terasa di dalam dirinya.Kaelen berdiri tak jauh darinya, bersandar di pilar batu yang patah.“Kau tahu,” katanya pelan, “aku pernah berharap ramalan itu hanya mitos tua. Cerita untuk menakut-nakuti anak muda agar tetap di jalur.”Lyra tak menoleh. “Tapi kita adalah ramalan itu sekarang.”Kaelen berjalan mendekat, langkahnya nyaris tak bersuara.“Tidak. Kau adalah harapan yang mereka sembunyikan dalam ramalan. Aku hanya... bayangannya.”Lyra menatapnya. Mata itu—mata seorang raja yang pernah menolak cinta—kini tampak lelah. Namun jujur. Dan itu lebih berbahaya daripada kemarahan.“Apa kau takut?” tanyanya.Kaelen diam sejenak. “Pada dunia? Tidak. Pada takdir? Selalu.”Lalu ia menatap Lyra. “Tapi pada kemungkinan mencintaimu... aku benar-benar takut.”Kata-kata itu menggantung di udara s

  • Bound by the Moon   Panggilan Darah

    Malam telah berakhir, tapi langit tak benar-benar menjadi terang. Kabut yang seharusnya pergi setelah fajar tetap menggantung, seolah enggan melepaskan dunia dari cengkeramannya. Lyra berdiri di tepi danau, tempat bayangan bulan masih membekas di permukaan air. Ia baru saja kembali dari dunia bayangan, tapi bagian dari dirinya terasa tertinggal di sana—di tempat Orion memilih untuk tetap tinggal. “Tak ada yang benar-benar kembali utuh dari sana,” kata Eira pelan, menghampirinya. “Tapi kau lebih kuat dari yang kukira.” Lyra tersenyum kecil. “Kuat bukan karena tidak takut… tapi karena tetap melangkah meski takut, kan?” Eira mengangguk. “Dan karena kau tidak sendirian.” Dari kejauhan, Kaelen mendekat, membawa selembar gulungan kulit kayu yang baru saja diterima dari penjaga perbatasan. “Ada pergerakan di utara,” katanya sambil menyodorkan gulungan itu. “Pasukan Umbra mulai bergerak. Orion mungkin masih menahan serangannya, tapi bayangan di bawahnya tidak akan menunggu lebih lama.”

  • Bound by the Moon   Di Antara Dua Bulan

    Langit mulai memudar ke abu-abu saat rombongan kecil itu kembali dari reruntuhan. Tak ada yang bicara sepanjang perjalanan. Tapi dalam diam itu, suara-suara lain berbicara—keraguan, pertanyaan, dan ketakutan yang tak terucap. Lyra duduk di atas akar pohon tua, menatap ke danau kecil yang memantulkan sisa cahaya pagi. Ia memutar-mutar kristal merah tua di tangannya, kilauannya kini terasa lebih redup. Seolah tahu, sesuatu telah bergeser dalam dirinya. “Jadi... dia tak sepenuhnya memilih Umbra,” gumamnya, nyaris tak terdengar. Kaelen berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuh pada batang pohon. “Tapi dia juga belum memilih kita.” Lyra mengangguk pelan. “Mungkin karena dia belum pernah diberi alasan untuk percaya.” “Dan kau ingin jadi alasan itu?” Lyra menoleh. Tatapannya tajam, tapi bukan marah—lebih seperti terluka. “Dia saudaraku, Kaelen. Setengah darahku mengalir dalam dirinya. Kalau aku menyerah pada dia sekarang, berarti aku juga menyerah pada kemungkinan bahwa kebaika

  • Bound by the Moon   Jejak Bayangan

    Angin di reruntuhan kuil seperti tak berani menyentuh mereka. Diam. Tegang. Waktu seolah menunggu keputusan. Lyra menatap Orion tanpa berkedip. Jarak di antara mereka hanya beberapa langkah, namun terasa seperti dunia yang terbentang luas. “Apa maksudmu dengan itu?” tanyanya. “Bahwa kau tak bisa mencintai terang?” Orion menurunkan pandangannya sejenak, lalu berjalan pelan mengitari tiang batu yang hampir runtuh. Suaranya tenang, tapi berlapis—seperti sungai gelap di bawah permukaan es. “Cinta butuh ruang. Aku tak punya itu. Aku dibesarkan dalam kegelapan, dengan bisikan dendam dan janji yang tak pernah ditepati.” Ia berhenti. Menatap Lyra lurus-lurus. “Sedangkan kau… kau adalah cahaya yang tak pernah dijanjikan padaku.” Lyra merasakan sesuatu menghantam dadanya. Bukan kemarahan. Tapi iba. Dan ketakutan yang samar. “Lalu kenapa kau menunggu aku?” bisiknya. “Kalau kau membenciku… kenapa tak membunuhku sejak tadi?” Orion mengangkat tangan. Kabut di sekitar mereka berputar,

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status