Home / Lainnya / Bound by the Moon / Api dalam diri

Share

Api dalam diri

last update Last Updated: 2025-04-27 21:11:31

Pagi tiba tanpa salam.

Langit tertutup awan kelabu. Udara dingin menggigit kulit, tapi Lyra bahkan tidak menggigil. Ia duduk di tepi danau kecil di belakang rumah Eira, memandangi air yang tenang, seperti memantulkan pertanyaan-pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya.

Tangannya masih bergetar sejak malam itu. Sejak cahaya meledak dari dirinya. Sejak dunia berhenti menunggu dan mulai menyerangnya.

“Apa ini artinya aku benar-benar bukan siapa-siapa yang aku kira?”

“Apa aku berubah… atau justru akhirnya menjadi diri yang sebenarnya?”

Di kejauhan, suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Jax.

“Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya lembut.

Lyra hanya menggeleng.

Jax duduk di sampingnya, diam. Ia tahu Lyra tidak butuh jawaban. Ia butuh keberadaan.

“Aku melihatmu malam itu,” katanya akhirnya. “Melindungi dirimu… dengan cahaya. Aku tak pernah lihat yang seperti itu.”

“Aku juga tidak,” suara Lyra parau. “Aku bahkan tidak tahu aku bisa.”

Jax menatap danau, lalu berkata lirih, “Kau tahu… bagian dari diriku selalu tahu kau bukan gadis biasa.”

“Lalu kenapa tetap bertahan di sampingku?” tanyanya, pahit.

Jax menoleh. Tatapannya lembut, namun tajam.

“Karena aku tidak mencintai bagian biasa dalam dirimu. Aku mencintai semuanya—bahkan yang tak kupahami.”

Kata-kata itu menghantam Lyra lebih keras dari serangan makhluk jubah hitam kemarin malam.

Ia ingin menjawab. Tapi hatinya terlalu penuh.

“Jax…”

“Kau tidak perlu membalas. Aku tahu hatimu sedang di tengah peperangan. Aku hanya ingin kau tahu… kau tidak harus berperang sendirian.”

Sebelum Lyra bisa menahan, air matanya mengalir. Diam-diam.

Ia tidak pernah tahu betapa lelahnya menjadi kuat… sampai seseorang memintanya untuk tidak selalu begitu.

Sementara itu, di sisi lain hutan, Kaelen berdiri di atas bukit batu, menatap pemukiman dari kejauhan. Di belakangnya, Eira muncul dalam diam, seperti biasa.

> “Kau membiarkan mereka bersama,” komentar Eira.

> “Aku bukan penjara,” sahut Kaelen dingin.

> “Tapi kau tahu, hati tak pernah netral dalam peperangan ini.”

Kaelen tidak menjawab. Ia menarik napas panjang.

> “Kekuatannya bangkit. Lebih cepat dari yang kita perkirakan.”

> “Dan itu berarti waktumu makin sedikit,” kata Eira.

Kaelen mengepalkan tangannya.

> “Aku tak takut pada waktu. Aku takut… dia memilih pergi bahkan sebelum tahu apa yang kita perjuangkan.”

> “Kalau begitu, jangan hanya berdiri,” ujar Eira tenang. “Buat dia tahu.”

Sore hari, saat kabut mulai turun perlahan dan cahaya surya memudar, Kaelen datang ke rumah Eira.

Ia menemukan Lyra sedang duduk sendirian di ruang latihan. Sebuah api kecil menyala di telapak tangannya—ia sedang belajar mengendalikan kekuatannya. Tapi api itu tidak hanya berasal dari tubuhnya… ia datang dari tekad, dari luka, dari sesuatu yang selama ini dibungkam.

> “Kau datang,” kata Lyra, tanpa menoleh.

> “Aku janji tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu,” sahut Kaelen.

> “Tapi bisakah kau tak menyentuh hatiku juga?” tanya Lyra, pelan.

Kaelen menatap punggungnya lama. Lalu ia berkata, “Aku tidak ingin memiliki hatimu dengan cara yang salah. Tapi kalau aku bisa… aku ingin kau memberikannya karena kau memilihku. Bukan karena ramalan.”

Lyra memadamkan api di tangannya. Ia berdiri, menoleh, dan untuk pertama kalinya, menatap Kaelen bukan sebagai musuh… tapi sebagai seseorang yang mungkin, hanya mungkin, bisa berdiri di sisinya.

>“Aku tidak bisa berjanji soal hati,” katanya. “Tapi aku bisa berjanji satu hal.”

> “Apa itu?”

> “Aku akan bertahan. Dan aku akan melawan. Bukan hanya untuk dunia ini, tapi untuk diriku sendiri.”

Kaelen mengangguk.

> “Kalau begitu, mari kita mulai.”

Malam itu, mereka berlatih di bawah langit yang mulai menebar bintang. Dua jiwa yang sama-sama hancur, namun perlahan menyatu bukan karena ramalan, tapi karena luka mereka saling mengenali.

Dan di kejauhan, dalam bayang-bayang hutan, mata lain memperhatikan.

Menunggu waktu yang tepat… untuk menghancurkan keduanya.

---

Latihan dimulai saat langit menjingga. Eira berdiri mengamati dari kejauhan, sementara Lyra dan Kaelen berdiri berhadapan di lapangan terbuka, di antara barisan pohon pinus yang menjulang bisu.

“Tarik napasmu perlahan,” kata Kaelen, suaranya tenang, membimbing. “Fokus pada apa yang kau rasakan, bukan pada apa yang kau takuti.”

Lyra menarik napas dalam-dalam. Matanya terpejam. Di balik kelopak matanya, ia melihat bayangan: lolongan malam, darah, cahaya putih yang meledak dari tubuhnya.

“Saat ketakutan datang, jangan usir dia,” lanjut Kaelen. “Kenali dia. Rasakan dia. Lalu ubah dia.”

Lyra membuka mata. Tangan kanannya terangkat. Dari ujung jarinya, muncul semburat cahaya samar—gemetar, nyaris padam, tapi nyata. Ia mengerutkan kening, mencoba menstabilkannya.

“Jangan paksa,” Kaelen memperingatkan. “Kekuatanmu bukan tentang dominasi. Ia tumbuh dari kehendak. Bukan amarah.”

“Tapi aku tidak tahu apa yang kuinginkan,” ujar Lyra, nyaris putus asa. “Semua orang bilang aku ini kunci, cahaya, penyatu… tapi tak seorang pun bertanya, apakah aku ingin menjadi itu semua?”

Kaelen menatapnya lama. Wajahnya tidak menunjukkan simpati, tapi juga bukan penghakiman. Hanya pengertian yang diam-diam.

“Aku pun tidak pernah diminta,” katanya akhirnya. “Menjadi Alpha, menjadi pengganti ayahku, kehilangan adikku dalam perang... Tak satu pun dari itu kuinginkan. Tapi dunia tidak menunggu kita siap. Ia hanya bergerak.”

Lyra terdiam. Api di tangannya berkedip, lalu padam. Tapi sesuatu dalam dirinya menyala—bukan sihir, bukan cahaya—melainkan tekad kecil yang baru tumbuh.

“Ayo coba lagi,” katanya.

Mereka berdiri berhadapan. Kali ini, Lyra lebih tenang. Ketika cahaya muncul kembali dari telapak tangannya, bentuknya lebih stabil—lembut, namun hidup.

Kaelen mengangguk pelan. “Lihat? Itu kekuatanmu yang sesungguhnya. Ia tidak datang dari rasa takut… tapi dari keberanian untuk tetap berdiri meski kau takut.”

Tiba-tiba, dari arah barat, terdengar dentuman keras.

Eira langsung menoleh. Matanya menyipit. “Itu bukan suara alam.”

Lyra menegang. “Apa itu... penyihir itu lagi?”

Kaelen menggeleng, wajahnya berubah gelap. “Bukan. Tapi mungkin lebih buruk.”

Dari kejauhan, kepulan asap mulai membubung ke langit senja. Angin membawa bau logam dan tanah terbakar.

Jax berlari dari sisi hutan, napasnya memburu.

“Pemukiman timur diserang,” lapornya. “Kawanan bayangan. Setengah dari penjaga tewas. Mereka mencari Lyra.”

Darah Lyra terasa membeku.

“Mereka akan terus datang,” kata Eira dengan nada muram. “Dan semakin kuat kekuatanmu tumbuh, semakin besar bahaya yang kau tarik.”

"Lalu apa yang harus kulakukan?” tanya Lyra, suaranya rendah namun mantap.

Kaelen menjawab tanpa ragu.

“Kau harus memilih.”

“Memilih apa?”

“Untuk berdiri... atau bersembunyi.”

Lyra menatap tangan kanannya. Api kecil itu sudah padam, tapi panasnya masih tertinggal di kulitnya—dan di hatinya.

“Aku tidak akan lari,” katanya akhirnya.

kaelen dan Jax menatapnya bersamaan. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti.

“Kalau begitu,” ucap Kaelen pelan, “kau harus bersiap menghadapi perang.”

Dan Lyra, meski hatinya bergetar, mengangguk.

“Aku sudah berada di dalamnya, bukan?”

Senja menutup hari itu dengan cahaya merah darah. Dan di antara bayangan, kekuatan yang selama ini tersembunyi mulai bergerak, perlahan namun pasti.

Bukan hanya di dalam Lyra.

Tapi di seluruh dunia.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bound by the Moon   Bayang dan Cahaya

    Fajar mulai merangkak di ufuk timur. Cahaya keemasan menembus celah-celah pepohonan di Hutan Penjaga, tempat pertemuan terakhir antara Lyra, Kaelen, dan Orion. Kaelen duduk di atas batu besar, menatap kosong ke langit yang kini kembali cerah. Wajahnya keras, tapi matanya basah oleh duka yang tak terucap. Di sisinya, Jax dan Eira berdiri diam. Mereka tahu bahwa sesuatu telah hilang malam itu — bukan hanya Lyra, tapi juga harapan yang ia wariskan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut memecah keheningan. “Kaelen.” Semua menoleh. Di depan mereka berdiri sosok yang tak terduga — Orion. Wajahnya lelah, tapi ada ketenangan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. “Kau kembali,” ujar Kaelen dengan suara parau. Orion mengangguk. “Aku datang bukan sebagai musuh. Malam itu, saat Lyra menyatu dengan bulan, aku mengerti... kekuatan bukan tentang menguasai, tapi tentang merangkul.” Kaelen memandang Orion, lalu menatap ke arah hutan yang mulai hidup oleh sinar matahari pagi. “Kau benar

  • Bound by the Moon   Malam yang Memilih

    Langit terbelah oleh cahaya bulan purnama. Cahayanya tak lagi lembut, tapi tajam—menyobek bayangan, menyingkap luka. Di atas puncak Bukit Takdir, Lyra berdiri sendirian, mengenakan jubah putih bersulam simbol leluhurnya. Rambutnya dibiarkan terurai, membingkai wajah yang tak lagi gadis, tapi bukan pula seorang ratu. Di bawah sana, dua pasukan telah berkumpul. Di sisi kiri: Klan Serigala, dipimpin Kaelen, berbaris dalam diam. Mata-mata mereka menyala perak. Di sisi kanan: Umbra, menyatu dengan kegelapan, menunggu aba-aba dari Orion. Dan di antara mereka—adalah Lyra. Bukan sebagai pihak, tapi sebagai jembatan. Atau mungkin... pengorbanan. Suara langkah mendekat. Kaelen. “Kau yakin ingin melakukannya seperti ini?” tanyanya, suaranya dalam, nyaris pecah. “Tanpa perlindungan, tanpa kekuatan?” Lyra menatapnya. “Justru karena aku ingin mereka melihatku... sebagai manusia.” Kaelen menghela napas. “Jika sesuatu terjadi padamu—” “Aku tahu,” potong Lyra lembut. “Tapi ini pilihanku. Sama s

  • Bound by the Moon   Dua Malam Menuju Akhir

    Malam itu, Lyra tak tidur.Ia duduk di atas menara batu tua tempat para Penjaga pernah menulis sejarah dalam cahaya bulan. Angin dari utara membawa bau kabut dan abu. Dunia mulai retak, dan retakan itu terasa di dalam dirinya.Kaelen berdiri tak jauh darinya, bersandar di pilar batu yang patah.“Kau tahu,” katanya pelan, “aku pernah berharap ramalan itu hanya mitos tua. Cerita untuk menakut-nakuti anak muda agar tetap di jalur.”Lyra tak menoleh. “Tapi kita adalah ramalan itu sekarang.”Kaelen berjalan mendekat, langkahnya nyaris tak bersuara.“Tidak. Kau adalah harapan yang mereka sembunyikan dalam ramalan. Aku hanya... bayangannya.”Lyra menatapnya. Mata itu—mata seorang raja yang pernah menolak cinta—kini tampak lelah. Namun jujur. Dan itu lebih berbahaya daripada kemarahan.“Apa kau takut?” tanyanya.Kaelen diam sejenak. “Pada dunia? Tidak. Pada takdir? Selalu.”Lalu ia menatap Lyra. “Tapi pada kemungkinan mencintaimu... aku benar-benar takut.”Kata-kata itu menggantung di udara s

  • Bound by the Moon   Panggilan Darah

    Malam telah berakhir, tapi langit tak benar-benar menjadi terang. Kabut yang seharusnya pergi setelah fajar tetap menggantung, seolah enggan melepaskan dunia dari cengkeramannya. Lyra berdiri di tepi danau, tempat bayangan bulan masih membekas di permukaan air. Ia baru saja kembali dari dunia bayangan, tapi bagian dari dirinya terasa tertinggal di sana—di tempat Orion memilih untuk tetap tinggal. “Tak ada yang benar-benar kembali utuh dari sana,” kata Eira pelan, menghampirinya. “Tapi kau lebih kuat dari yang kukira.” Lyra tersenyum kecil. “Kuat bukan karena tidak takut… tapi karena tetap melangkah meski takut, kan?” Eira mengangguk. “Dan karena kau tidak sendirian.” Dari kejauhan, Kaelen mendekat, membawa selembar gulungan kulit kayu yang baru saja diterima dari penjaga perbatasan. “Ada pergerakan di utara,” katanya sambil menyodorkan gulungan itu. “Pasukan Umbra mulai bergerak. Orion mungkin masih menahan serangannya, tapi bayangan di bawahnya tidak akan menunggu lebih lama.”

  • Bound by the Moon   Di Antara Dua Bulan

    Langit mulai memudar ke abu-abu saat rombongan kecil itu kembali dari reruntuhan. Tak ada yang bicara sepanjang perjalanan. Tapi dalam diam itu, suara-suara lain berbicara—keraguan, pertanyaan, dan ketakutan yang tak terucap. Lyra duduk di atas akar pohon tua, menatap ke danau kecil yang memantulkan sisa cahaya pagi. Ia memutar-mutar kristal merah tua di tangannya, kilauannya kini terasa lebih redup. Seolah tahu, sesuatu telah bergeser dalam dirinya. “Jadi... dia tak sepenuhnya memilih Umbra,” gumamnya, nyaris tak terdengar. Kaelen berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuh pada batang pohon. “Tapi dia juga belum memilih kita.” Lyra mengangguk pelan. “Mungkin karena dia belum pernah diberi alasan untuk percaya.” “Dan kau ingin jadi alasan itu?” Lyra menoleh. Tatapannya tajam, tapi bukan marah—lebih seperti terluka. “Dia saudaraku, Kaelen. Setengah darahku mengalir dalam dirinya. Kalau aku menyerah pada dia sekarang, berarti aku juga menyerah pada kemungkinan bahwa kebaika

  • Bound by the Moon   Jejak Bayangan

    Angin di reruntuhan kuil seperti tak berani menyentuh mereka. Diam. Tegang. Waktu seolah menunggu keputusan. Lyra menatap Orion tanpa berkedip. Jarak di antara mereka hanya beberapa langkah, namun terasa seperti dunia yang terbentang luas. “Apa maksudmu dengan itu?” tanyanya. “Bahwa kau tak bisa mencintai terang?” Orion menurunkan pandangannya sejenak, lalu berjalan pelan mengitari tiang batu yang hampir runtuh. Suaranya tenang, tapi berlapis—seperti sungai gelap di bawah permukaan es. “Cinta butuh ruang. Aku tak punya itu. Aku dibesarkan dalam kegelapan, dengan bisikan dendam dan janji yang tak pernah ditepati.” Ia berhenti. Menatap Lyra lurus-lurus. “Sedangkan kau… kau adalah cahaya yang tak pernah dijanjikan padaku.” Lyra merasakan sesuatu menghantam dadanya. Bukan kemarahan. Tapi iba. Dan ketakutan yang samar. “Lalu kenapa kau menunggu aku?” bisiknya. “Kalau kau membenciku… kenapa tak membunuhku sejak tadi?” Orion mengangkat tangan. Kabut di sekitar mereka berputar,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status