Share

Api dalam diri

Penulis: Fitrarhmadhani
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-27 21:11:31

Pagi tiba tanpa salam.

Langit tertutup awan kelabu. Udara dingin menggigit kulit, tapi Lyra bahkan tidak menggigil. Ia duduk di tepi danau kecil di belakang rumah Eira, memandangi air yang tenang, seperti memantulkan pertanyaan-pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya.

Tangannya masih bergetar sejak malam itu. Sejak cahaya meledak dari dirinya. Sejak dunia berhenti menunggu dan mulai menyerangnya.

> “Apa ini artinya aku benar-benar bukan siapa-siapa yang aku kira?”

> “Apa aku berubah… atau justru akhirnya menjadi diri yang sebenarnya?”

Di kejauhan, suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Jax.

> “Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya lembut.

Lyra hanya menggeleng.

Jax duduk di sampingnya, diam. Ia tahu Lyra tidak butuh jawaban. Ia butuh keberadaan.

> “Aku melihatmu malam itu,” katanya akhirnya. “Melindungi dirimu… dengan cahaya. Aku tak pernah lihat yang seperti itu.”

> “Aku juga tidak,” suara Lyra parau. “Aku bahkan tidak tahu aku bisa.”

Jax menatap danau, lalu berkata lirih, “Kau tahu… bagian dari diriku selalu tahu kau bukan gadis biasa.”

> “Lalu kenapa tetap bertahan di sampingku?” tanyanya, pahit.

Jax menoleh. Tatapannya lembut, namun tajam.

> “Karena aku tidak mencintai bagian biasa dalam dirimu. Aku mencintai semuanya—bahkan yang tak kupahami.”

Kata-kata itu menghantam Lyra lebih keras dari serangan makhluk jubah hitam kemarin malam.

Ia ingin menjawab. Tapi hatinya terlalu penuh.

> “Jax…”

> “Kau tidak perlu membalas. Aku tahu hatimu sedang di tengah peperangan. Aku hanya ingin kau tahu… kau tidak harus berperang sendirian.”

Sebelum Lyra bisa menahan, air matanya mengalir. Diam-diam.

Ia tidak pernah tahu betapa lelahnya menjadi kuat… sampai seseorang memintanya untuk tidak selalu begitu.

**

Sementara itu, di sisi lain hutan, Kaelen berdiri di atas bukit batu, menatap pemukiman dari kejauhan. Di belakangnya, Eira muncul dalam diam, seperti biasa.

> “Kau membiarkan mereka bersama,” komentar Eira.

> “Aku bukan penjara,” sahut Kaelen dingin.

> “Tapi kau tahu, hati tak pernah netral dalam peperangan ini.”

Kaelen tidak menjawab. Ia menarik napas panjang.

> “Kekuatannya bangkit. Lebih cepat dari yang kita perkirakan.”

> “Dan itu berarti waktumu makin sedikit,” kata Eira.

Kaelen mengepalkan tangannya.

> “Aku tak takut pada waktu. Aku takut… dia memilih pergi bahkan sebelum tahu apa yang kita perjuangkan.”

> “Kalau begitu, jangan hanya berdiri,” ujar Eira tenang. “Buat dia tahu.”

**

Sore hari, saat kabut mulai turun perlahan dan cahaya surya memudar, Kaelen datang ke rumah Eira.

Ia menemukan Lyra sedang duduk sendirian di ruang latihan. Sebuah api kecil menyala di telapak tangannya—ia sedang belajar mengendalikan kekuatannya. Tapi api itu tidak hanya berasal dari tubuhnya… ia datang dari tekad, dari luka, dari sesuatu yang selama ini dibungkam.

> “Kau datang,” kata Lyra, tanpa menoleh.

> “Aku janji tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu,” sahut Kaelen.

> “Tapi bisakah kau tak menyentuh hatiku juga?” tanya Lyra, pelan.

Kaelen menatap punggungnya lama. Lalu ia berkata, “Aku tidak ingin memiliki hatimu dengan cara yang salah. Tapi kalau aku bisa… aku ingin kau memberikannya karena kau memilihku. Bukan karena ramalan.”

Lyra memadamkan api di tangannya. Ia berdiri, menoleh, dan untuk pertama kalinya, menatap Kaelen bukan sebagai musuh… tapi sebagai seseorang yang mungkin, hanya mungkin, bisa berdiri di sisinya.

> “Aku tidak bisa berjanji soal hati,” katanya. “Tapi aku bisa berjanji satu hal.”

> “Apa itu?”

> “Aku akan bertahan. Dan aku akan melawan. Bukan hanya untuk dunia ini, tapi untuk diriku sendiri.”

Kaelen mengangguk.

> “Kalau begitu, mari kita mulai.”

Malam itu, mereka berlatih di bawah langit yang mulai menebar bintang. Dua jiwa yang sama-sama hancur, namun perlahan menyatu bukan karena ramalan, tapi karena luka mereka saling mengenali.

Dan di kejauhan, dalam bayang-bayang hutan, mata lain memperhatikan.

Menunggu waktu yang tepat… untuk menghancurkan keduanya.

---

Latihan dimulai saat langit menjingga. Eira berdiri mengamati dari kejauhan, sementara Lyra dan Kaelen berdiri berhadapan di lapangan terbuka, di antara barisan pohon pinus yang menjulang bisu.

“Tarik napasmu perlahan,” kata Kaelen, suaranya tenang, membimbing. “Fokus pada apa yang kau rasakan, bukan pada apa yang kau takuti.”

Lyra menarik napas dalam-dalam. Matanya terpejam. Di balik kelopak matanya, ia melihat bayangan: lolongan malam, darah, cahaya putih yang meledak dari tubuhnya.

“Saat ketakutan datang, jangan usir dia,” lanjut Kaelen. “Kenali dia. Rasakan dia. Lalu ubah dia.”

Lyra membuka mata. Tangan kanannya terangkat. Dari ujung jarinya, muncul semburat cahaya samar—gemetar, nyaris padam, tapi nyata. Ia mengerutkan kening, mencoba menstabilkannya.

“Jangan paksa,” Kaelen memperingatkan. “Kekuatanmu bukan tentang dominasi. Ia tumbuh dari kehendak. Bukan amarah.”

“Tapi aku tidak tahu apa yang kuinginkan,” ujar Lyra, nyaris putus asa. “Semua orang bilang aku ini kunci, cahaya, penyatu… tapi tak seorang pun bertanya, apakah aku ingin menjadi itu semua?”

Kaelen menatapnya lama. Wajahnya tidak menunjukkan simpati, tapi juga bukan penghakiman. Hanya pengertian yang diam-diam.

“Aku pun tidak pernah diminta,” katanya akhirnya. “Menjadi Alpha, menjadi pengganti ayahku, kehilangan adikku dalam perang... Tak satu pun dari itu kuinginkan. Tapi dunia tidak menunggu kita siap. Ia hanya bergerak.”

Lyra terdiam. Api di tangannya berkedip, lalu padam. Tapi sesuatu dalam dirinya menyala—bukan sihir, bukan cahaya—melainkan tekad kecil yang baru tumbuh.

“Ayo coba lagi,” katanya.

Mereka berdiri berhadapan. Kali ini, Lyra lebih tenang. Ketika cahaya muncul kembali dari telapak tangannya, bentuknya lebih stabil—lembut, namun hidup.

Kaelen mengangguk pelan. “Lihat? Itu kekuatanmu yang sesungguhnya. Ia tidak datang dari rasa takut… tapi dari keberanian untuk tetap berdiri meski kau takut.”

Tiba-tiba, dari arah barat, terdengar dentuman keras.

Eira langsung menoleh. Matanya menyipit. “Itu bukan suara alam.”

Lyra menegang. “Apa itu... penyihir itu lagi?”

Kaelen menggeleng, wajahnya berubah gelap. “Bukan. Tapi mungkin lebih buruk.”

Dari kejauhan, kepulan asap mulai membubung ke langit senja. Angin membawa bau logam dan tanah terbakar.

Jax berlari dari sisi hutan, napasnya memburu.

“Pemukiman timur diserang,” lapornya. “Kawanan bayangan. Setengah dari penjaga tewas. Mereka mencari Lyra.”

Darah Lyra terasa membeku.

“Mereka akan terus datang,” kata Eira dengan nada muram. “Dan semakin kuat kekuatanmu tumbuh, semakin besar bahaya yang kau tarik.”

“Lalu apa yang harus kulakukan?” tanya Lyra, suaranya rendah namun mantap.

Kaelen menjawab tanpa ragu.

“Kau harus memilih.”

“Memilih apa?”

“Untuk berdiri... atau bersembunyi.”

Lyra menatap tangan kanannya. Api kecil itu sudah padam, tapi panasnya masih tertinggal di kulitnya—dan di hatinya.

“Aku tidak akan lari,” katanya akhirnya.

Kaelen dan Jax menatapnya bersamaan. Untuk sesaat, waktu seolah berhenti.

“Kalau begitu,” ucap Kaelen pelan, “kau harus bersiap menghadapi perang.”

Dan Lyra, meski hatinya bergetar, mengangguk.

“Aku sudah berada di dalamnya, bukan?”

Senja menutup hari itu dengan cahaya merah darah. Dan di antara bayangan, kekuatan yang selama ini tersembunyi mulai bergerak, perlahan namun pasti.

Bukan hanya di dalam Lyra.

Tapi di seluruh dunia.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Bound by the Moon   Mata yang Mengintai

    Malam menggantung berat di atas langit, seperti jubah raksasa yang menutupi rahasia bumi. Di kejauhan, kepulan asap dari serangan sebelumnya masih membubung, seolah bumi sendiri mengirimkan tanda peringatan.Lyra berdiri di tepi tebing kecil, memandangi gelap yang pekat. Udara dingin menghembus pelan, tapi pikirannya jauh lebih kacau dari angin.Sejak serangan kawanan bayangan, markas mereka menjadi lebih sunyi. Terlalu sunyi.Kaelen muncul tak lama kemudian. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian, seakan ia tahu Lyra butuh ruang—tapi tidak bisa dibiarkan sendiri."Bagaimana perasaanmu?" tanyanya."Seperti batu karang di tengah badai," jawab Lyra, tak menoleh. "Berdiri karena tak ada pilihan lain."Kaelen terdiam sejenak. "Kadang, kekuatan bukan datang dari pilihan... tapi dari keberanian untuk bertahan di saat tidak ada pilihan yang tersisa.""Aku tahu," sahut Lyra. "Tapi kadang aku berharap... ada pintu keluar."Kaelen menatapnya. "Dan kalau ada, kau akan memilih pergi?"Lyra membala

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Luka yang Diwariskan

    Pagi menjelma tanpa cahaya. Langit menggantung kelabu, seolah dunia menahan napas, enggan mengizinkan mentari menembus kabut. Di dalam pondok Eira, Lyra duduk di lantai kayu yang dingin, dikelilingi oleh lembaran tua, buku-buku usang, dan aroma minyak kayu manis.Di hadapannya, terbuka sebuah jurnal dengan sampul kulit retak. Tinta-tintanya telah memudar, tapi setiap katanya menyimpan nyawa—dan beban.> “Kau mungkin membenciku saat membaca ini.”“Tapi aku melahirkanmu bukan karena dunia mengizinkan, melainkan karena dunia menolak kita.”Lyra membaca perlahan, kata demi kata. Setiap kalimat seperti pisau kecil yang membuka lapisan-lapisan luka yang selama ini tidak ia tahu ada.> “Namamu Lyra. Aku memilihnya karena kau lah cahayaku dalam gelap. Tapi cahaya juga bisa menyilaukan jika tidak dijaga.”Jax duduk tak jauh darinya, diam, seperti bayangan yang menjaga. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Lyra dengan kesabaran yang tak diminta namun sangat dibutuhkan.“Kenapa semua orang meny

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Cahaya dari Kegelapan

    Malam turun seperti selimut basah. Angin berhembus membawa bisikan asing, dan langit tak sepenuhnya hitam—ia kelabu, menggantung seolah menyimpan sesuatu yang belum ingin dijatuhkan.Di tengah hutan, di sebuah lingkaran tanah yang dibersihkan, Lyra berdiri di antara simbol-simbol tua yang diukir Eira di tanah. Di sekelilingnya, batu-batu kecil membentuk formasi bulan sabit, dan di tengahnya, Fragmen Silsilah yang menyala biru pucat.“Tarik napas perlahan,” ujar Eira. “Dan biarkan fragmen itu berbicara. Jangan lawan apa yang kau lihat. Dengarkan saja.”Lyra mengangguk. Ia duduk bersila, meletakkan tangannya di atas batu kristal yang berdenyut pelan. Saat matanya terpejam, dunia luar memudar.Gelap.Lalu suara.Bukan suara siapa pun, tapi gema dari dalam kepalanya—seperti nyanyian dari kedalaman gua purba.> "Lyra..."Ia mengenali suara itu. Lembut. Hangat. Seperti suara ibunya dalam mimpi-mimpi yang tak pernah jelas.> "Darahku mengalir dalam dirimu. Tapi bukan darahku yang harus mengu

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-28
  • Bound by the Moon   Di Ambang Perang

    Kabut pagi belum sepenuhnya mengangkat saat rombongan kecil bergerak meninggalkan markas. Tiga sosok berjalan menembus hutan yang sepi: Lyra, Kaelen, dan Eira. Di belakang mereka, dua pengintai kawanan ikut diam-diam, memastikan tak ada yang mengikuti dari bayangan.Langkah Lyra mantap, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Apa kita benar-benar harus pergi ke Rawa Kuno?” tanyanya.“Di sana tempat terakhir ibumu terlihat sebelum menghilang,” jawab Eira tanpa menoleh. “Dan satu-satunya tempat di mana penyihir darah meninggalkan jejak yang tak bisa dipalsukan.”Kaelen menambahkan, “Rawa itu juga wilayah netral. Tidak berada di bawah kendali kawanan maupun dewan sihir. Tapi justru karena itu, semua pihak mengincarnya.”“Dan siapa yang akan kita temui di sana?” tanya Lyra lagi.“Namanya Veora,” jawab Eira. “Dia murid pertama Isolde. Satu-satunya penyihir yang mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi malam ibumu menghilang.”Langkah mereka melambat saat tanah mulai berubah. Rumput menghilan

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-28
  • Bound by the Moon   Darah yang Terpecah

    Nama itu masih menggema di kepala Lyra.Orion.Ia mengucapkannya sekali lagi, berharap rasanya berubah. Tapi tak ada yang berubah. Nama itu tetap asing—namun terasa terlalu dekat, seperti potongan dirinya yang hilang dan baru kini disebutkan.“Jika dia anak dari Isolde juga,” kata Lyra pelan, “berarti dia... saudaraku?”Veora mengangguk. “Lelaki itu lahir dari ikatan terlarang sebelum ibumu bertemu ayahmu. Ia dibesarkan dalam persembunyian, lalu hilang di tengah kekacauan perang. Kami mengira dia mati... tapi ternyata tidak.”Kaelen menyilangkan tangan. Wajahnya mengeras. “Dan sekarang dia memimpin pasukan bayangan.”“Bukan hanya memimpin,” sahut Eira dengan nada berat. “Ia adalah perantara. Sosok yang diceritakan dalam ramalan gelap—yang bisa menjembatani bayangan dan dunia nyata.”Jax, yang baru tiba bersama pengintai lainnya, menatap mereka satu per satu. “Kalau dia seperti Lyra... artinya dia punya kekuatan sihir dan darah serigala juga?”“Benar,” jawab Veora. “Tapi tidak seimbang

    Terakhir Diperbarui : 2025-05-09
  • Bound by the Moon   Di Bawah Cahayanya

    Bulan purnama menggantung di langit malam yang gelap. Cahaya putihnya menyinari pepohonan hutan, memantul di tanah lembap, seolah menghakimi setiap langkah Lyra. Angin malam berdesir pelan, membawa bisikan samar yang mengingatkannya pada kata-kata sang nenek sebelum ia pergi.> "Hari ini, kamu akan tahu siapa dirimu sebenarnya."Lyra menelan ludah. Ketegangan membelit tenggorokannya saat ia menatap bulan yang terang menggantung, seolah menanti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya. Apa yang akan terjadi malam ini? Ia tak tahu. Yang ia tahu, hidupnya akan berubah selamanya.Dengan langkah mantap, ia menapaki hutan lebih dalam, meninggalkan rumah kecil sang nenek—tempat yang selama ini menjadi pelindung dari dunia yang tak dikenalnya. Tak seorang pun tahu masa lalunya, atau siapa dirinya sebenarnya. Ia hanya seorang gadis yatim piatu, tumbuh dalam bayang-bayang rahasia yang tak pernah terungkap.Bulan bersinar sunyi, seolah menuntunnya. Sang nenek pernah berkata,

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Ikatan yang Tak Terhindarkan

    Keheningan malam kembali menyelimuti hutan. Angin berhembus pelan, menggugurkan dedaunan, seolah ikut merasakan gelombang kecamuk dalam dada Lyra. Ia berdiri membeku, menatap Kaelen yang tak bergerak sejengkal pun. Sosok itu bagai patung hidup—tegas, tak tergoyahkan—namun dari matanya yang tajam, Lyra tahu ia sedang memendam badai.Tak ada kata yang terucap. Hanya detak jantung Lyra yang berdentum kencang di telinganya sendiri. Dunia seolah mengecil, menyisakan ruang antara dirinya dan pria yang menyebutnya sebagai "darah murni terakhir".> "Jika kamu ingin melawan, aku tidak akan menghentikanmu," ucap Kaelen tiba-tiba. Suaranya tenang, namun di balik ketenangannya, ada tekanan yang tak bisa disangkal. "Tapi aku akan memastikan kamu tahu konsekuensinya."Lyra mengangkat dagunya. Matanya membalas tatapan Kaelen dengan keberanian yang menggurat dalam ketakutan.> "Konsekuensinya?" Suaranya sinis. "Apa yang lebih buruk daripada dipaksa menjadi bagian dari takdir yang tidak pernah aku pil

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Pilihan yang Terbuka

    Pagi menjelang perlahan, menyingkap kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Namun, meski matahari telah muncul, kehangatannya tak mampu menembus dingin yang membekukan dada Lyra.Ia duduk di tepi ranjang kayu tua, memandangi jendela terbuka yang mengarah ke hutan. Angin lembut menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan daun basah, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan.> "Aku seharusnya merasa lega," pikirnya. "Tapi kenapa rasanya seperti tenggelam?"Bayangan malam sebelumnya masih menghantuinya. Tatapan Kaelen yang menyakitkan namun tulus. Sentuhan tangan Jax yang menenangkan, namun dipenuhi kekhawatiran. Dan bisikan bulan yang seolah berkata: kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.Ketukan lembut di pintu menyentakkannya dari lamunan.> “Masuk,” ucap Lyra pelan.Pintu berderit terbuka. Sosok tinggi berselubung jubah gelap berdiri di ambang—wajahnya teduh, tapi tajam. Eira.Penyihir tua yang dikenal Lyra sejak kecil, namun tak pernah benar-benar dekat. Selalu hadir s

    Terakhir Diperbarui : 2025-04-27

Bab terbaru

  • Bound by the Moon   Darah yang Terpecah

    Nama itu masih menggema di kepala Lyra.Orion.Ia mengucapkannya sekali lagi, berharap rasanya berubah. Tapi tak ada yang berubah. Nama itu tetap asing—namun terasa terlalu dekat, seperti potongan dirinya yang hilang dan baru kini disebutkan.“Jika dia anak dari Isolde juga,” kata Lyra pelan, “berarti dia... saudaraku?”Veora mengangguk. “Lelaki itu lahir dari ikatan terlarang sebelum ibumu bertemu ayahmu. Ia dibesarkan dalam persembunyian, lalu hilang di tengah kekacauan perang. Kami mengira dia mati... tapi ternyata tidak.”Kaelen menyilangkan tangan. Wajahnya mengeras. “Dan sekarang dia memimpin pasukan bayangan.”“Bukan hanya memimpin,” sahut Eira dengan nada berat. “Ia adalah perantara. Sosok yang diceritakan dalam ramalan gelap—yang bisa menjembatani bayangan dan dunia nyata.”Jax, yang baru tiba bersama pengintai lainnya, menatap mereka satu per satu. “Kalau dia seperti Lyra... artinya dia punya kekuatan sihir dan darah serigala juga?”“Benar,” jawab Veora. “Tapi tidak seimbang

  • Bound by the Moon   Di Ambang Perang

    Kabut pagi belum sepenuhnya mengangkat saat rombongan kecil bergerak meninggalkan markas. Tiga sosok berjalan menembus hutan yang sepi: Lyra, Kaelen, dan Eira. Di belakang mereka, dua pengintai kawanan ikut diam-diam, memastikan tak ada yang mengikuti dari bayangan.Langkah Lyra mantap, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Apa kita benar-benar harus pergi ke Rawa Kuno?” tanyanya.“Di sana tempat terakhir ibumu terlihat sebelum menghilang,” jawab Eira tanpa menoleh. “Dan satu-satunya tempat di mana penyihir darah meninggalkan jejak yang tak bisa dipalsukan.”Kaelen menambahkan, “Rawa itu juga wilayah netral. Tidak berada di bawah kendali kawanan maupun dewan sihir. Tapi justru karena itu, semua pihak mengincarnya.”“Dan siapa yang akan kita temui di sana?” tanya Lyra lagi.“Namanya Veora,” jawab Eira. “Dia murid pertama Isolde. Satu-satunya penyihir yang mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi malam ibumu menghilang.”Langkah mereka melambat saat tanah mulai berubah. Rumput menghilan

  • Bound by the Moon   Cahaya dari Kegelapan

    Malam turun seperti selimut basah. Angin berhembus membawa bisikan asing, dan langit tak sepenuhnya hitam—ia kelabu, menggantung seolah menyimpan sesuatu yang belum ingin dijatuhkan.Di tengah hutan, di sebuah lingkaran tanah yang dibersihkan, Lyra berdiri di antara simbol-simbol tua yang diukir Eira di tanah. Di sekelilingnya, batu-batu kecil membentuk formasi bulan sabit, dan di tengahnya, Fragmen Silsilah yang menyala biru pucat.“Tarik napas perlahan,” ujar Eira. “Dan biarkan fragmen itu berbicara. Jangan lawan apa yang kau lihat. Dengarkan saja.”Lyra mengangguk. Ia duduk bersila, meletakkan tangannya di atas batu kristal yang berdenyut pelan. Saat matanya terpejam, dunia luar memudar.Gelap.Lalu suara.Bukan suara siapa pun, tapi gema dari dalam kepalanya—seperti nyanyian dari kedalaman gua purba.> "Lyra..."Ia mengenali suara itu. Lembut. Hangat. Seperti suara ibunya dalam mimpi-mimpi yang tak pernah jelas.> "Darahku mengalir dalam dirimu. Tapi bukan darahku yang harus mengu

  • Bound by the Moon   Luka yang Diwariskan

    Pagi menjelma tanpa cahaya. Langit menggantung kelabu, seolah dunia menahan napas, enggan mengizinkan mentari menembus kabut. Di dalam pondok Eira, Lyra duduk di lantai kayu yang dingin, dikelilingi oleh lembaran tua, buku-buku usang, dan aroma minyak kayu manis.Di hadapannya, terbuka sebuah jurnal dengan sampul kulit retak. Tinta-tintanya telah memudar, tapi setiap katanya menyimpan nyawa—dan beban.> “Kau mungkin membenciku saat membaca ini.”“Tapi aku melahirkanmu bukan karena dunia mengizinkan, melainkan karena dunia menolak kita.”Lyra membaca perlahan, kata demi kata. Setiap kalimat seperti pisau kecil yang membuka lapisan-lapisan luka yang selama ini tidak ia tahu ada.> “Namamu Lyra. Aku memilihnya karena kau lah cahayaku dalam gelap. Tapi cahaya juga bisa menyilaukan jika tidak dijaga.”Jax duduk tak jauh darinya, diam, seperti bayangan yang menjaga. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Lyra dengan kesabaran yang tak diminta namun sangat dibutuhkan.“Kenapa semua orang meny

  • Bound by the Moon   Mata yang Mengintai

    Malam menggantung berat di atas langit, seperti jubah raksasa yang menutupi rahasia bumi. Di kejauhan, kepulan asap dari serangan sebelumnya masih membubung, seolah bumi sendiri mengirimkan tanda peringatan.Lyra berdiri di tepi tebing kecil, memandangi gelap yang pekat. Udara dingin menghembus pelan, tapi pikirannya jauh lebih kacau dari angin.Sejak serangan kawanan bayangan, markas mereka menjadi lebih sunyi. Terlalu sunyi.Kaelen muncul tak lama kemudian. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian, seakan ia tahu Lyra butuh ruang—tapi tidak bisa dibiarkan sendiri."Bagaimana perasaanmu?" tanyanya."Seperti batu karang di tengah badai," jawab Lyra, tak menoleh. "Berdiri karena tak ada pilihan lain."Kaelen terdiam sejenak. "Kadang, kekuatan bukan datang dari pilihan... tapi dari keberanian untuk bertahan di saat tidak ada pilihan yang tersisa.""Aku tahu," sahut Lyra. "Tapi kadang aku berharap... ada pintu keluar."Kaelen menatapnya. "Dan kalau ada, kau akan memilih pergi?"Lyra membala

  • Bound by the Moon   Api dalam diri

    Pagi tiba tanpa salam. Langit tertutup awan kelabu. Udara dingin menggigit kulit, tapi Lyra bahkan tidak menggigil. Ia duduk di tepi danau kecil di belakang rumah Eira, memandangi air yang tenang, seperti memantulkan pertanyaan-pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya. Tangannya masih bergetar sejak malam itu. Sejak cahaya meledak dari dirinya. Sejak dunia berhenti menunggu dan mulai menyerangnya. > “Apa ini artinya aku benar-benar bukan siapa-siapa yang aku kira?” > “Apa aku berubah… atau justru akhirnya menjadi diri yang sebenarnya?” Di kejauhan, suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Jax. > “Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya lembut. Lyra hanya menggeleng. Jax duduk di sampingnya, diam. Ia tahu Lyra tidak butuh jawaban. Ia butuh keberadaan. > “Aku melihatmu malam itu,” katanya akhirnya. “Melindungi dirimu… dengan cahaya. Aku tak pernah lihat yang seperti itu.” > “Aku juga tidak,” suara Lyra parau. “Aku bahkan tidak tahu aku bisa.” Jax menatap danau, lalu berka

  • Bound by the Moon   Dalam Cengkeraman Takdir

    Langit malam beranjak lebih kelam. Bintang-bintang redup, seolah bersembunyi dari sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri. Udara hutan berubah dingin, membawa bisikan asing yang membuat bulu kuduk Lyra meremang.Ia berdiri sendirian di beranda rumah kecilnya, pandangannya kosong ke arah pepohonan. Meskipun tubuhnya di sana, pikirannya masih tertinggal di Batu Penjaga—pada mata Kaelen yang penuh luka, dan pada kata-kata yang menggema di kepalanya:> “Aku akan menjaga jalanmu, dari kejauhan.”Ia ingin percaya. Tapi dunia ini tidak memberi banyak ruang untuk kepercayaan.Pintu rumahnya tiba-tiba terbuka dari dalam.> “Kau belum tidur?”Suara lembut Jax menyentuh malam seperti cahaya lilin yang hampir padam. Ia berdiri dengan jaket lusuh dan tatapan resah yang belum pernah Lyra lihat sedalam itu.> “Kau pergi menemuinya, bukan?” tanyanya.Lyra tidak menjawab.> “Aku tidak bisa menyalahkanmu,” lanjut Jax, suaranya teredam. “Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tidak peduli.”Lyra men

  • Bound by the Moon   Pilihan yang Terbuka

    Pagi menjelang perlahan, menyingkap kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Namun, meski matahari telah muncul, kehangatannya tak mampu menembus dingin yang membekukan dada Lyra.Ia duduk di tepi ranjang kayu tua, memandangi jendela terbuka yang mengarah ke hutan. Angin lembut menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan daun basah, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan.> "Aku seharusnya merasa lega," pikirnya. "Tapi kenapa rasanya seperti tenggelam?"Bayangan malam sebelumnya masih menghantuinya. Tatapan Kaelen yang menyakitkan namun tulus. Sentuhan tangan Jax yang menenangkan, namun dipenuhi kekhawatiran. Dan bisikan bulan yang seolah berkata: kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.Ketukan lembut di pintu menyentakkannya dari lamunan.> “Masuk,” ucap Lyra pelan.Pintu berderit terbuka. Sosok tinggi berselubung jubah gelap berdiri di ambang—wajahnya teduh, tapi tajam. Eira.Penyihir tua yang dikenal Lyra sejak kecil, namun tak pernah benar-benar dekat. Selalu hadir s

  • Bound by the Moon   Ikatan yang Tak Terhindarkan

    Keheningan malam kembali menyelimuti hutan. Angin berhembus pelan, menggugurkan dedaunan, seolah ikut merasakan gelombang kecamuk dalam dada Lyra. Ia berdiri membeku, menatap Kaelen yang tak bergerak sejengkal pun. Sosok itu bagai patung hidup—tegas, tak tergoyahkan—namun dari matanya yang tajam, Lyra tahu ia sedang memendam badai.Tak ada kata yang terucap. Hanya detak jantung Lyra yang berdentum kencang di telinganya sendiri. Dunia seolah mengecil, menyisakan ruang antara dirinya dan pria yang menyebutnya sebagai "darah murni terakhir".> "Jika kamu ingin melawan, aku tidak akan menghentikanmu," ucap Kaelen tiba-tiba. Suaranya tenang, namun di balik ketenangannya, ada tekanan yang tak bisa disangkal. "Tapi aku akan memastikan kamu tahu konsekuensinya."Lyra mengangkat dagunya. Matanya membalas tatapan Kaelen dengan keberanian yang menggurat dalam ketakutan.> "Konsekuensinya?" Suaranya sinis. "Apa yang lebih buruk daripada dipaksa menjadi bagian dari takdir yang tidak pernah aku pil

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status