Home / Lainnya / Bound by the Moon / Pilihan yang Terbuka

Share

Pilihan yang Terbuka

last update Last Updated: 2025-04-27 21:10:04

Pagi menjelang perlahan, menyingkap kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Namun, meski matahari telah muncul, kehangatannya tak mampu menembus dingin yang membekukan dada Lyra.

Ia duduk di tepi ranjang kayu tua, memandangi jendela terbuka yang mengarah ke hutan. Angin lembut menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan daun basah, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan.

"Aku seharusnya merasa lega," pikirnya. "Tapi kenapa rasanya seperti tenggelam?"

Bayangan malam sebelumnya masih menghantuinya. Tatapan Kaelen yang menyakitkan namun tulus. Sentuhan tangan Jax yang menenangkan, namun dipenuhi kekhawatiran. Dan bisikan bulan yang seolah berkata: kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.

Ketukan lembut di pintu menyentakkannya dari lamunan.

“Masuk,” ucap Lyra pelan.

Pintu berderit terbuka. Sosok tinggi berselubung jubah gelap berdiri di ambang—wajahnya teduh, tapi tajam. Eira.

Penyihir tua yang dikenal Lyra sejak kecil, namun tak pernah benar-benar dekat. Selalu hadir seperti bayangan: tenang, mengawasi, seolah tahu lebih banyak dari yang seharusnya.

“Kau tampak lebih tenang daripada yang kuduga,” kata Eira, suaranya rendah dan padat makna.

Lyra memutar mata. “Aku tidak tenang. Hanya lelah.”

Eira melangkah masuk, menutup pintu dengan satu gerakan ringan. Wajahnya tidak berubah, namun matanya mengamati Lyra seolah bisa membaca isi hatinya.

“Kamu tidak bisa lari dari ini, Lyra. Takdir sudah mulai bergerak. Dan kamu ada di tengah pusaran.”

“Kenapa semua orang terus mengatakan itu?” balas Lyra tajam. “Apa kalian pikir aku ini pion? Alat yang bisa digerakkan semaumu, semaunya Kaelen, semaunya… bulan?”

Eira menatapnya lama. Lalu menjawab dengan nada yang mengejutkan lembut.

“Bukan alat. Tapi kunci.”

Lyra terdiam.

"Darahmu, Lyra… bukan hanya darah murni. Ia membawa keseimbangan yang hilang sejak perang para leluhur. Kau bukan hanya pasangan Kaelen. Kau adalah jembatan antara dua dunia: terang dan gelap.”

“Dan jika aku menolak?”

Eira menghela napas. “Dunia ini tidak pernah ramah pada yang memilih menolak takdirnya. Tapi itu bukan berarti kamu tidak boleh memilih. Hanya saja… pilihannya datang dengan harga.”

“Lalu bagaimana dengan Kaelen?” tanya Lyra, suaranya nyaris pecah. “Dia tidak ingin cinta. Dia hanya ingin aku memenuhi ramalan. Aku tidak ingin hidup di sisi pria yang bahkan tidak mengenal siapa aku!”

Eira mendekat, duduk di kursi seberang ranjang.

“Kaelen juga terjebak, Lyra. Dia tidak pernah diminta untuk mencintai. Tapi dia diminta untuk memimpin. Dan dalam kepemimpinannya, kamu adalah bagian yang dia butuhkan, suka atau tidak.”

Lyra menggigit bibir. Tangannya mengepal.

“Aku benci ini.”

“Takdir bukan untuk dicintai,” bisik Eira. “Tapi ia bisa dijinakkan… jika kamu cukup kuat.”

Hening mengisi ruangan. Mata Lyra menerawang ke luar jendela, menembus kabut pagi yang belum sepenuhnya terangkat.

“Kalau aku memilih untuk melawan takdir?” tanyanya akhirnya. “Kalau aku ingin hidup untuk diriku sendiri, bukan untuk dunia yang bahkan tidak peduli siapa aku?”

Eira bangkit perlahan.

“Kalau begitu,” katanya, “kamu harus siap kehilangan lebih dari yang kamu bayangkan. Tapi mungkin… hanya dengan begitu, kamu akan tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Ia berjalan ke arah pintu, lalu berhenti sejenak.

“Kaelen akan menunggumu malam ini di Batu Penjaga. Entah kamu datang untuk menerima takdir, atau menolaknya, keputusan itu milikmu. Tapi ingat, waktu tidak menunggu siapa pun.”

Dan dengan itu, ia menghilang ke lorong, meninggalkan Lyra sendirian.

Gadis itu duduk membeku.

Hatinya seperti ruang gelap yang penuh percabangan. Di satu sisi, ada kekuatan yang menggoda untuk diterima, bersama takdir dan Kaelen yang dingin namun terluka. Di sisi lain, ada kebebasan—bersama Jax, bersama dirinya sendiri—tapi berisiko ditelan kehancuran yang semakin dekat.

"Apa yang harus kupilih?"

"Takdir... atau kebebasan?"

Di luar, kabut pagi perlahan memudar. Tapi dalam hati Lyra, badai baru saja dimulai.

---

Langit mulai menggelap ketika Lyra berdiri di tengah ruangan, menatap bayangannya sendiri di cermin kayu tua. Gaun sederhana berwarna biru kelam melambai di kakinya, dan rambutnya yang tergerai dibiarkan ditiup angin malam yang masuk lewat jendela.

Di balik matanya, ada perang yang tak terlihat—antara siapa ia sebenarnya dan siapa dunia ingin ia jadi.

“Aku bukan ratu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana menjadi diriku sendiri.”

Namun kaki Lyra tetap melangkah. Ia tahu, malam ini akan menentukan arah dari semua yang belum ia pahami. Batu Penjaga. Kaelen. Takdir. Semua akan bertemu di satu titik.

Hutan tampak lebih gelap dari biasanya. Suara burung malam dan daun yang bergetar seolah memandang langkahnya. Bulan perlahan muncul dari balik awan, seperti ingin menyapa… atau mengawasi.

Di depan Batu Penjaga—sebuah batu besar berlumut yang berdiri di tengah lingkaran pepohonan tua—Kaelen telah menunggu. Siluetnya kokoh, disinari cahaya pucat bulan yang menggantung di atas.

Lyra mendekat dengan hati yang berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang akan ia katakan. Ia hanya tahu bahwa ia harus datang.

Kaelen menoleh saat ia mendekat.

" Kamu datang,” katanya singkat.

“Bukan karena aku setuju,” jawab Lyra cepat. “Tapi karena aku butuh jawaban.”

Kaelen mengangguk pelan, matanya menatap batu di antara mereka.

“Aku juga,” ucapnya. “Selama ini, aku hanya tahu apa yang diajarkan padaku: bahwa aku harus memimpin, bahwa aku harus kuat, bahwa kamu akan datang sebagai bagian dari semua itu. Tapi tidak ada yang mengajarkanku… bagaimana memahami rasa takut.”

“Takut?” Lyra mengerutkan kening. “Kamu tidak terlihat seperti orang yang takut.”

“Karena aku tidak boleh terlihat begitu,” jawabnya. “Tapi malam ini… aku takut kehilangan seseorang bahkan sebelum aku mengenalnya.”

Keheningan turun. Kata-kata itu mengejutkan Lyra lebih dari yang ia kira. Ia menatap pria itu—sosok Alpha yang selama ini ia anggap dingin, keras, bahkan kejam—dan melihat celah kecil: luka yang terbuka, rapuh, manusiawi.

> “Aku tidak ingin menjadi milik siapa pun,” ucap Lyra lirih. “Tapi aku juga lelah melawan semuanya sendirian.”

Kaelen melangkah maju, namun tidak menyentuhnya.

“Kita tidak harus memulai sebagai pasangan takdir,” katanya. “Tapi kita bisa mulai sebagai sekutu. Sama-sama berjalan… sampai kamu siap memilih sendiri.”

Lyra menatapnya. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa dipaksa.

Ia merasa… dipersilakan.

> “Dan kalau aku tak pernah siap?” tanyanya.

Kaelen menunduk, lalu berkata dengan nada yang hampir seperti bisikan:

> “Maka aku akan menjaga jalanmu, dari kejauhan.”

Malam itu, Lyra tidak berkata “ya”. Tapi ia juga tidak berkata “tidak”.

Dan itu cukup untuk sementara.

Bulan bersinar lebih terang di atas mereka, dan angin yang lewat tak lagi membawa beban, melainkan kelegaan kecil—seperti awal dari sesuatu yang belum dinamai.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bound by the Moon   Bayang dan Cahaya

    Fajar mulai merangkak di ufuk timur. Cahaya keemasan menembus celah-celah pepohonan di Hutan Penjaga, tempat pertemuan terakhir antara Lyra, Kaelen, dan Orion. Kaelen duduk di atas batu besar, menatap kosong ke langit yang kini kembali cerah. Wajahnya keras, tapi matanya basah oleh duka yang tak terucap. Di sisinya, Jax dan Eira berdiri diam. Mereka tahu bahwa sesuatu telah hilang malam itu — bukan hanya Lyra, tapi juga harapan yang ia wariskan. Tiba-tiba, sebuah suara lembut memecah keheningan. “Kaelen.” Semua menoleh. Di depan mereka berdiri sosok yang tak terduga — Orion. Wajahnya lelah, tapi ada ketenangan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. “Kau kembali,” ujar Kaelen dengan suara parau. Orion mengangguk. “Aku datang bukan sebagai musuh. Malam itu, saat Lyra menyatu dengan bulan, aku mengerti... kekuatan bukan tentang menguasai, tapi tentang merangkul.” Kaelen memandang Orion, lalu menatap ke arah hutan yang mulai hidup oleh sinar matahari pagi. “Kau benar

  • Bound by the Moon   Malam yang Memilih

    Langit terbelah oleh cahaya bulan purnama. Cahayanya tak lagi lembut, tapi tajam—menyobek bayangan, menyingkap luka. Di atas puncak Bukit Takdir, Lyra berdiri sendirian, mengenakan jubah putih bersulam simbol leluhurnya. Rambutnya dibiarkan terurai, membingkai wajah yang tak lagi gadis, tapi bukan pula seorang ratu. Di bawah sana, dua pasukan telah berkumpul. Di sisi kiri: Klan Serigala, dipimpin Kaelen, berbaris dalam diam. Mata-mata mereka menyala perak. Di sisi kanan: Umbra, menyatu dengan kegelapan, menunggu aba-aba dari Orion. Dan di antara mereka—adalah Lyra. Bukan sebagai pihak, tapi sebagai jembatan. Atau mungkin... pengorbanan. Suara langkah mendekat. Kaelen. “Kau yakin ingin melakukannya seperti ini?” tanyanya, suaranya dalam, nyaris pecah. “Tanpa perlindungan, tanpa kekuatan?” Lyra menatapnya. “Justru karena aku ingin mereka melihatku... sebagai manusia.” Kaelen menghela napas. “Jika sesuatu terjadi padamu—” “Aku tahu,” potong Lyra lembut. “Tapi ini pilihanku. Sama s

  • Bound by the Moon   Dua Malam Menuju Akhir

    Malam itu, Lyra tak tidur.Ia duduk di atas menara batu tua tempat para Penjaga pernah menulis sejarah dalam cahaya bulan. Angin dari utara membawa bau kabut dan abu. Dunia mulai retak, dan retakan itu terasa di dalam dirinya.Kaelen berdiri tak jauh darinya, bersandar di pilar batu yang patah.“Kau tahu,” katanya pelan, “aku pernah berharap ramalan itu hanya mitos tua. Cerita untuk menakut-nakuti anak muda agar tetap di jalur.”Lyra tak menoleh. “Tapi kita adalah ramalan itu sekarang.”Kaelen berjalan mendekat, langkahnya nyaris tak bersuara.“Tidak. Kau adalah harapan yang mereka sembunyikan dalam ramalan. Aku hanya... bayangannya.”Lyra menatapnya. Mata itu—mata seorang raja yang pernah menolak cinta—kini tampak lelah. Namun jujur. Dan itu lebih berbahaya daripada kemarahan.“Apa kau takut?” tanyanya.Kaelen diam sejenak. “Pada dunia? Tidak. Pada takdir? Selalu.”Lalu ia menatap Lyra. “Tapi pada kemungkinan mencintaimu... aku benar-benar takut.”Kata-kata itu menggantung di udara s

  • Bound by the Moon   Panggilan Darah

    Malam telah berakhir, tapi langit tak benar-benar menjadi terang. Kabut yang seharusnya pergi setelah fajar tetap menggantung, seolah enggan melepaskan dunia dari cengkeramannya. Lyra berdiri di tepi danau, tempat bayangan bulan masih membekas di permukaan air. Ia baru saja kembali dari dunia bayangan, tapi bagian dari dirinya terasa tertinggal di sana—di tempat Orion memilih untuk tetap tinggal. “Tak ada yang benar-benar kembali utuh dari sana,” kata Eira pelan, menghampirinya. “Tapi kau lebih kuat dari yang kukira.” Lyra tersenyum kecil. “Kuat bukan karena tidak takut… tapi karena tetap melangkah meski takut, kan?” Eira mengangguk. “Dan karena kau tidak sendirian.” Dari kejauhan, Kaelen mendekat, membawa selembar gulungan kulit kayu yang baru saja diterima dari penjaga perbatasan. “Ada pergerakan di utara,” katanya sambil menyodorkan gulungan itu. “Pasukan Umbra mulai bergerak. Orion mungkin masih menahan serangannya, tapi bayangan di bawahnya tidak akan menunggu lebih lama.”

  • Bound by the Moon   Di Antara Dua Bulan

    Langit mulai memudar ke abu-abu saat rombongan kecil itu kembali dari reruntuhan. Tak ada yang bicara sepanjang perjalanan. Tapi dalam diam itu, suara-suara lain berbicara—keraguan, pertanyaan, dan ketakutan yang tak terucap. Lyra duduk di atas akar pohon tua, menatap ke danau kecil yang memantulkan sisa cahaya pagi. Ia memutar-mutar kristal merah tua di tangannya, kilauannya kini terasa lebih redup. Seolah tahu, sesuatu telah bergeser dalam dirinya. “Jadi... dia tak sepenuhnya memilih Umbra,” gumamnya, nyaris tak terdengar. Kaelen berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuh pada batang pohon. “Tapi dia juga belum memilih kita.” Lyra mengangguk pelan. “Mungkin karena dia belum pernah diberi alasan untuk percaya.” “Dan kau ingin jadi alasan itu?” Lyra menoleh. Tatapannya tajam, tapi bukan marah—lebih seperti terluka. “Dia saudaraku, Kaelen. Setengah darahku mengalir dalam dirinya. Kalau aku menyerah pada dia sekarang, berarti aku juga menyerah pada kemungkinan bahwa kebaika

  • Bound by the Moon   Jejak Bayangan

    Angin di reruntuhan kuil seperti tak berani menyentuh mereka. Diam. Tegang. Waktu seolah menunggu keputusan. Lyra menatap Orion tanpa berkedip. Jarak di antara mereka hanya beberapa langkah, namun terasa seperti dunia yang terbentang luas. “Apa maksudmu dengan itu?” tanyanya. “Bahwa kau tak bisa mencintai terang?” Orion menurunkan pandangannya sejenak, lalu berjalan pelan mengitari tiang batu yang hampir runtuh. Suaranya tenang, tapi berlapis—seperti sungai gelap di bawah permukaan es. “Cinta butuh ruang. Aku tak punya itu. Aku dibesarkan dalam kegelapan, dengan bisikan dendam dan janji yang tak pernah ditepati.” Ia berhenti. Menatap Lyra lurus-lurus. “Sedangkan kau… kau adalah cahaya yang tak pernah dijanjikan padaku.” Lyra merasakan sesuatu menghantam dadanya. Bukan kemarahan. Tapi iba. Dan ketakutan yang samar. “Lalu kenapa kau menunggu aku?” bisiknya. “Kalau kau membenciku… kenapa tak membunuhku sejak tadi?” Orion mengangkat tangan. Kabut di sekitar mereka berputar,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status