Home / Lainnya / Bound by the Moon / Pilihan yang Terbuka

Share

Pilihan yang Terbuka

last update Last Updated: 2025-04-27 21:10:04

Pagi menjelang perlahan, menyingkap kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Namun, meski matahari telah muncul, kehangatannya tak mampu menembus dingin yang membekukan dada Lyra.

Ia duduk di tepi ranjang kayu tua, memandangi jendela terbuka yang mengarah ke hutan. Angin lembut menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan daun basah, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan.

> "Aku seharusnya merasa lega," pikirnya. "Tapi kenapa rasanya seperti tenggelam?"

Bayangan malam sebelumnya masih menghantuinya. Tatapan Kaelen yang menyakitkan namun tulus. Sentuhan tangan Jax yang menenangkan, namun dipenuhi kekhawatiran. Dan bisikan bulan yang seolah berkata: kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.

Ketukan lembut di pintu menyentakkannya dari lamunan.

> “Masuk,” ucap Lyra pelan.

Pintu berderit terbuka. Sosok tinggi berselubung jubah gelap berdiri di ambang—wajahnya teduh, tapi tajam. Eira.

Penyihir tua yang dikenal Lyra sejak kecil, namun tak pernah benar-benar dekat. Selalu hadir seperti bayangan: tenang, mengawasi, seolah tahu lebih banyak dari yang seharusnya.

> “Kau tampak lebih tenang daripada yang kuduga,” kata Eira, suaranya rendah dan padat makna.

Lyra memutar mata. “Aku tidak tenang. Hanya lelah.”

Eira melangkah masuk, menutup pintu dengan satu gerakan ringan. Wajahnya tidak berubah, namun matanya mengamati Lyra seolah bisa membaca isi hatinya.

> “Kamu tidak bisa lari dari ini, Lyra. Takdir sudah mulai bergerak. Dan kamu ada di tengah pusaran.”

> “Kenapa semua orang terus mengatakan itu?” balas Lyra tajam. “Apa kalian pikir aku ini pion? Alat yang bisa digerakkan semaumu, semaunya Kaelen, semaunya… bulan?”

Eira menatapnya lama. Lalu menjawab dengan nada yang mengejutkan lembut.

> “Bukan alat. Tapi kunci.”

Lyra terdiam.

> “Darahmu, Lyra… bukan hanya darah murni. Ia membawa keseimbangan yang hilang sejak perang para leluhur. Kau bukan hanya pasangan Kaelen. Kau adalah jembatan antara dua dunia: terang dan gelap.”

> “Dan jika aku menolak?”

Eira menghela napas. “Dunia ini tidak pernah ramah pada yang memilih menolak takdirnya. Tapi itu bukan berarti kamu tidak boleh memilih. Hanya saja… pilihannya datang dengan harga.”

> “Lalu bagaimana dengan Kaelen?” tanya Lyra, suaranya nyaris pecah. “Dia tidak ingin cinta. Dia hanya ingin aku memenuhi ramalan. Aku tidak ingin hidup di sisi pria yang bahkan tidak mengenal siapa aku!”

Eira mendekat, duduk di kursi seberang ranjang.

> “Kaelen juga terjebak, Lyra. Dia tidak pernah diminta untuk mencintai. Tapi dia diminta untuk memimpin. Dan dalam kepemimpinannya, kamu adalah bagian yang dia butuhkan, suka atau tidak.”

Lyra menggigit bibir. Tangannya mengepal.

> “Aku benci ini.”

> “Takdir bukan untuk dicintai,” bisik Eira. “Tapi ia bisa dijinakkan… jika kamu cukup kuat.”

Hening mengisi ruangan. Mata Lyra menerawang ke luar jendela, menembus kabut pagi yang belum sepenuhnya terangkat.

> “Kalau aku memilih untuk melawan takdir?” tanyanya akhirnya. “Kalau aku ingin hidup untuk diriku sendiri, bukan untuk dunia yang bahkan tidak peduli siapa aku?”

Eira bangkit perlahan.

> “Kalau begitu,” katanya, “kamu harus siap kehilangan lebih dari yang kamu bayangkan. Tapi mungkin… hanya dengan begitu, kamu akan tahu siapa dirimu sebenarnya.”

Ia berjalan ke arah pintu, lalu berhenti sejenak.

> “Kaelen akan menunggumu malam ini di Batu Penjaga. Entah kamu datang untuk menerima takdir, atau menolaknya, keputusan itu milikmu. Tapi ingat, waktu tidak menunggu siapa pun.”

Dan dengan itu, ia menghilang ke lorong, meninggalkan Lyra sendirian.

Gadis itu duduk membeku.

Hatinya seperti ruang gelap yang penuh percabangan. Di satu sisi, ada kekuatan yang menggoda untuk diterima, bersama takdir dan Kaelen yang dingin namun terluka. Di sisi lain, ada kebebasan—bersama Jax, bersama dirinya sendiri—tapi berisiko ditelan kehancuran yang semakin dekat.

> "Apa yang harus kupilih?"

> "Takdir... atau kebebasan?"

Di luar, kabut pagi perlahan memudar. Tapi dalam hati Lyra, badai baru saja dimulai.

---

Langit mulai menggelap ketika Lyra berdiri di tengah ruangan, menatap bayangannya sendiri di cermin kayu tua. Gaun sederhana berwarna biru kelam melambai di kakinya, dan rambutnya yang tergerai dibiarkan ditiup angin malam yang masuk lewat jendela.

Di balik matanya, ada perang yang tak terlihat—antara siapa ia sebenarnya dan siapa dunia ingin ia jadi.

> “Aku bukan ratu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana menjadi diriku sendiri.”

Namun kaki Lyra tetap melangkah. Ia tahu, malam ini akan menentukan arah dari semua yang belum ia pahami. Batu Penjaga. Kaelen. Takdir. Semua akan bertemu di satu titik.

Hutan tampak lebih gelap dari biasanya. Suara burung malam dan daun yang bergetar seolah memandang langkahnya. Bulan perlahan muncul dari balik awan, seperti ingin menyapa… atau mengawasi.

Di depan Batu Penjaga—sebuah batu besar berlumut yang berdiri di tengah lingkaran pepohonan tua—Kaelen telah menunggu. Siluetnya kokoh, disinari cahaya pucat bulan yang menggantung di atas.

Lyra mendekat dengan hati yang berdegup kencang. Ia tidak tahu apa yang akan ia katakan. Ia hanya tahu bahwa ia harus datang.

Kaelen menoleh saat ia mendekat.

> “Kamu datang,” katanya singkat.

> “Bukan karena aku setuju,” jawab Lyra cepat. “Tapi karena aku butuh jawaban.”

Kaelen mengangguk pelan, matanya menatap batu di antara mereka.

> “Aku juga,” ucapnya. “Selama ini, aku hanya tahu apa yang diajarkan padaku: bahwa aku harus memimpin, bahwa aku harus kuat, bahwa kamu akan datang sebagai bagian dari semua itu. Tapi tidak ada yang mengajarkanku… bagaimana memahami rasa takut.”

> “Takut?” Lyra mengerutkan kening. “Kamu tidak terlihat seperti orang yang takut.”

> “Karena aku tidak boleh terlihat begitu,” jawabnya. “Tapi malam ini… aku takut kehilangan seseorang bahkan sebelum aku mengenalnya.”

Keheningan turun. Kata-kata itu mengejutkan Lyra lebih dari yang ia kira. Ia menatap pria itu—sosok Alpha yang selama ini ia anggap dingin, keras, bahkan kejam—dan melihat celah kecil: luka yang terbuka, rapuh, manusiawi.

> “Aku tidak ingin menjadi milik siapa pun,” ucap Lyra lirih. “Tapi aku juga lelah melawan semuanya sendirian.”

Kaelen melangkah maju, namun tidak menyentuhnya.

> “Kita tidak harus memulai sebagai pasangan takdir,” katanya. “Tapi kita bisa mulai sebagai sekutu. Sama-sama berjalan… sampai kamu siap memilih sendiri.”

Lyra menatapnya. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa dipaksa.

Ia merasa… dipersilakan.

> “Dan kalau aku tak pernah siap?” tanyanya.

Kaelen menunduk, lalu berkata dengan nada yang hampir seperti bisikan:

> “Maka aku akan menjaga jalanmu, dari kejauhan.”

Malam itu, Lyra tidak berkata “ya”. Tapi ia juga tidak berkata “tidak”.

Dan itu cukup untuk sementara.

Bulan bersinar lebih terang di atas mereka, dan angin yang lewat tak lagi membawa beban, melainkan kelegaan kecil—seperti awal dari sesuatu yang belum dinamai.

---

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Bound by the Moon   Dalam Cengkeraman Takdir

    Langit malam beranjak lebih kelam. Bintang-bintang redup, seolah bersembunyi dari sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri. Udara hutan berubah dingin, membawa bisikan asing yang membuat bulu kuduk Lyra meremang.Ia berdiri sendirian di beranda rumah kecilnya, pandangannya kosong ke arah pepohonan. Meskipun tubuhnya di sana, pikirannya masih tertinggal di Batu Penjaga—pada mata Kaelen yang penuh luka, dan pada kata-kata yang menggema di kepalanya:> “Aku akan menjaga jalanmu, dari kejauhan.”Ia ingin percaya. Tapi dunia ini tidak memberi banyak ruang untuk kepercayaan.Pintu rumahnya tiba-tiba terbuka dari dalam.> “Kau belum tidur?”Suara lembut Jax menyentuh malam seperti cahaya lilin yang hampir padam. Ia berdiri dengan jaket lusuh dan tatapan resah yang belum pernah Lyra lihat sedalam itu.> “Kau pergi menemuinya, bukan?” tanyanya.Lyra tidak menjawab.> “Aku tidak bisa menyalahkanmu,” lanjut Jax, suaranya teredam. “Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tidak peduli.”Lyra men

    Last Updated : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Api dalam diri

    Pagi tiba tanpa salam. Langit tertutup awan kelabu. Udara dingin menggigit kulit, tapi Lyra bahkan tidak menggigil. Ia duduk di tepi danau kecil di belakang rumah Eira, memandangi air yang tenang, seperti memantulkan pertanyaan-pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya. Tangannya masih bergetar sejak malam itu. Sejak cahaya meledak dari dirinya. Sejak dunia berhenti menunggu dan mulai menyerangnya. > “Apa ini artinya aku benar-benar bukan siapa-siapa yang aku kira?” > “Apa aku berubah… atau justru akhirnya menjadi diri yang sebenarnya?” Di kejauhan, suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Jax. > “Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya lembut. Lyra hanya menggeleng. Jax duduk di sampingnya, diam. Ia tahu Lyra tidak butuh jawaban. Ia butuh keberadaan. > “Aku melihatmu malam itu,” katanya akhirnya. “Melindungi dirimu… dengan cahaya. Aku tak pernah lihat yang seperti itu.” > “Aku juga tidak,” suara Lyra parau. “Aku bahkan tidak tahu aku bisa.” Jax menatap danau, lalu berka

    Last Updated : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Mata yang Mengintai

    Malam menggantung berat di atas langit, seperti jubah raksasa yang menutupi rahasia bumi. Di kejauhan, kepulan asap dari serangan sebelumnya masih membubung, seolah bumi sendiri mengirimkan tanda peringatan.Lyra berdiri di tepi tebing kecil, memandangi gelap yang pekat. Udara dingin menghembus pelan, tapi pikirannya jauh lebih kacau dari angin.Sejak serangan kawanan bayangan, markas mereka menjadi lebih sunyi. Terlalu sunyi.Kaelen muncul tak lama kemudian. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian, seakan ia tahu Lyra butuh ruang—tapi tidak bisa dibiarkan sendiri."Bagaimana perasaanmu?" tanyanya."Seperti batu karang di tengah badai," jawab Lyra, tak menoleh. "Berdiri karena tak ada pilihan lain."Kaelen terdiam sejenak. "Kadang, kekuatan bukan datang dari pilihan... tapi dari keberanian untuk bertahan di saat tidak ada pilihan yang tersisa.""Aku tahu," sahut Lyra. "Tapi kadang aku berharap... ada pintu keluar."Kaelen menatapnya. "Dan kalau ada, kau akan memilih pergi?"Lyra membala

    Last Updated : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Luka yang Diwariskan

    Pagi menjelma tanpa cahaya. Langit menggantung kelabu, seolah dunia menahan napas, enggan mengizinkan mentari menembus kabut. Di dalam pondok Eira, Lyra duduk di lantai kayu yang dingin, dikelilingi oleh lembaran tua, buku-buku usang, dan aroma minyak kayu manis.Di hadapannya, terbuka sebuah jurnal dengan sampul kulit retak. Tinta-tintanya telah memudar, tapi setiap katanya menyimpan nyawa—dan beban.> “Kau mungkin membenciku saat membaca ini.”“Tapi aku melahirkanmu bukan karena dunia mengizinkan, melainkan karena dunia menolak kita.”Lyra membaca perlahan, kata demi kata. Setiap kalimat seperti pisau kecil yang membuka lapisan-lapisan luka yang selama ini tidak ia tahu ada.> “Namamu Lyra. Aku memilihnya karena kau lah cahayaku dalam gelap. Tapi cahaya juga bisa menyilaukan jika tidak dijaga.”Jax duduk tak jauh darinya, diam, seperti bayangan yang menjaga. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Lyra dengan kesabaran yang tak diminta namun sangat dibutuhkan.“Kenapa semua orang meny

    Last Updated : 2025-04-27
  • Bound by the Moon   Cahaya dari Kegelapan

    Malam turun seperti selimut basah. Angin berhembus membawa bisikan asing, dan langit tak sepenuhnya hitam—ia kelabu, menggantung seolah menyimpan sesuatu yang belum ingin dijatuhkan.Di tengah hutan, di sebuah lingkaran tanah yang dibersihkan, Lyra berdiri di antara simbol-simbol tua yang diukir Eira di tanah. Di sekelilingnya, batu-batu kecil membentuk formasi bulan sabit, dan di tengahnya, Fragmen Silsilah yang menyala biru pucat.“Tarik napas perlahan,” ujar Eira. “Dan biarkan fragmen itu berbicara. Jangan lawan apa yang kau lihat. Dengarkan saja.”Lyra mengangguk. Ia duduk bersila, meletakkan tangannya di atas batu kristal yang berdenyut pelan. Saat matanya terpejam, dunia luar memudar.Gelap.Lalu suara.Bukan suara siapa pun, tapi gema dari dalam kepalanya—seperti nyanyian dari kedalaman gua purba.> "Lyra..."Ia mengenali suara itu. Lembut. Hangat. Seperti suara ibunya dalam mimpi-mimpi yang tak pernah jelas.> "Darahku mengalir dalam dirimu. Tapi bukan darahku yang harus mengu

    Last Updated : 2025-04-28
  • Bound by the Moon   Di Ambang Perang

    Kabut pagi belum sepenuhnya mengangkat saat rombongan kecil bergerak meninggalkan markas. Tiga sosok berjalan menembus hutan yang sepi: Lyra, Kaelen, dan Eira. Di belakang mereka, dua pengintai kawanan ikut diam-diam, memastikan tak ada yang mengikuti dari bayangan.Langkah Lyra mantap, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Apa kita benar-benar harus pergi ke Rawa Kuno?” tanyanya.“Di sana tempat terakhir ibumu terlihat sebelum menghilang,” jawab Eira tanpa menoleh. “Dan satu-satunya tempat di mana penyihir darah meninggalkan jejak yang tak bisa dipalsukan.”Kaelen menambahkan, “Rawa itu juga wilayah netral. Tidak berada di bawah kendali kawanan maupun dewan sihir. Tapi justru karena itu, semua pihak mengincarnya.”“Dan siapa yang akan kita temui di sana?” tanya Lyra lagi.“Namanya Veora,” jawab Eira. “Dia murid pertama Isolde. Satu-satunya penyihir yang mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi malam ibumu menghilang.”Langkah mereka melambat saat tanah mulai berubah. Rumput menghilan

    Last Updated : 2025-04-28
  • Bound by the Moon   Darah yang Terpecah

    Nama itu masih menggema di kepala Lyra.Orion.Ia mengucapkannya sekali lagi, berharap rasanya berubah. Tapi tak ada yang berubah. Nama itu tetap asing—namun terasa terlalu dekat, seperti potongan dirinya yang hilang dan baru kini disebutkan.“Jika dia anak dari Isolde juga,” kata Lyra pelan, “berarti dia... saudaraku?”Veora mengangguk. “Lelaki itu lahir dari ikatan terlarang sebelum ibumu bertemu ayahmu. Ia dibesarkan dalam persembunyian, lalu hilang di tengah kekacauan perang. Kami mengira dia mati... tapi ternyata tidak.”Kaelen menyilangkan tangan. Wajahnya mengeras. “Dan sekarang dia memimpin pasukan bayangan.”“Bukan hanya memimpin,” sahut Eira dengan nada berat. “Ia adalah perantara. Sosok yang diceritakan dalam ramalan gelap—yang bisa menjembatani bayangan dan dunia nyata.”Jax, yang baru tiba bersama pengintai lainnya, menatap mereka satu per satu. “Kalau dia seperti Lyra... artinya dia punya kekuatan sihir dan darah serigala juga?”“Benar,” jawab Veora. “Tapi tidak seimbang

    Last Updated : 2025-05-09
  • Bound by the Moon   Di Bawah Cahayanya

    Bulan purnama menggantung di langit malam yang gelap. Cahaya putihnya menyinari pepohonan hutan, memantul di tanah lembap, seolah menghakimi setiap langkah Lyra. Angin malam berdesir pelan, membawa bisikan samar yang mengingatkannya pada kata-kata sang nenek sebelum ia pergi.> "Hari ini, kamu akan tahu siapa dirimu sebenarnya."Lyra menelan ludah. Ketegangan membelit tenggorokannya saat ia menatap bulan yang terang menggantung, seolah menanti jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berputar di kepalanya. Apa yang akan terjadi malam ini? Ia tak tahu. Yang ia tahu, hidupnya akan berubah selamanya.Dengan langkah mantap, ia menapaki hutan lebih dalam, meninggalkan rumah kecil sang nenek—tempat yang selama ini menjadi pelindung dari dunia yang tak dikenalnya. Tak seorang pun tahu masa lalunya, atau siapa dirinya sebenarnya. Ia hanya seorang gadis yatim piatu, tumbuh dalam bayang-bayang rahasia yang tak pernah terungkap.Bulan bersinar sunyi, seolah menuntunnya. Sang nenek pernah berkata,

    Last Updated : 2025-04-27

Latest chapter

  • Bound by the Moon   Darah yang Terpecah

    Nama itu masih menggema di kepala Lyra.Orion.Ia mengucapkannya sekali lagi, berharap rasanya berubah. Tapi tak ada yang berubah. Nama itu tetap asing—namun terasa terlalu dekat, seperti potongan dirinya yang hilang dan baru kini disebutkan.“Jika dia anak dari Isolde juga,” kata Lyra pelan, “berarti dia... saudaraku?”Veora mengangguk. “Lelaki itu lahir dari ikatan terlarang sebelum ibumu bertemu ayahmu. Ia dibesarkan dalam persembunyian, lalu hilang di tengah kekacauan perang. Kami mengira dia mati... tapi ternyata tidak.”Kaelen menyilangkan tangan. Wajahnya mengeras. “Dan sekarang dia memimpin pasukan bayangan.”“Bukan hanya memimpin,” sahut Eira dengan nada berat. “Ia adalah perantara. Sosok yang diceritakan dalam ramalan gelap—yang bisa menjembatani bayangan dan dunia nyata.”Jax, yang baru tiba bersama pengintai lainnya, menatap mereka satu per satu. “Kalau dia seperti Lyra... artinya dia punya kekuatan sihir dan darah serigala juga?”“Benar,” jawab Veora. “Tapi tidak seimbang

  • Bound by the Moon   Di Ambang Perang

    Kabut pagi belum sepenuhnya mengangkat saat rombongan kecil bergerak meninggalkan markas. Tiga sosok berjalan menembus hutan yang sepi: Lyra, Kaelen, dan Eira. Di belakang mereka, dua pengintai kawanan ikut diam-diam, memastikan tak ada yang mengikuti dari bayangan.Langkah Lyra mantap, meski hatinya tak sepenuhnya tenang.“Apa kita benar-benar harus pergi ke Rawa Kuno?” tanyanya.“Di sana tempat terakhir ibumu terlihat sebelum menghilang,” jawab Eira tanpa menoleh. “Dan satu-satunya tempat di mana penyihir darah meninggalkan jejak yang tak bisa dipalsukan.”Kaelen menambahkan, “Rawa itu juga wilayah netral. Tidak berada di bawah kendali kawanan maupun dewan sihir. Tapi justru karena itu, semua pihak mengincarnya.”“Dan siapa yang akan kita temui di sana?” tanya Lyra lagi.“Namanya Veora,” jawab Eira. “Dia murid pertama Isolde. Satu-satunya penyihir yang mungkin tahu apa yang sebenarnya terjadi malam ibumu menghilang.”Langkah mereka melambat saat tanah mulai berubah. Rumput menghilan

  • Bound by the Moon   Cahaya dari Kegelapan

    Malam turun seperti selimut basah. Angin berhembus membawa bisikan asing, dan langit tak sepenuhnya hitam—ia kelabu, menggantung seolah menyimpan sesuatu yang belum ingin dijatuhkan.Di tengah hutan, di sebuah lingkaran tanah yang dibersihkan, Lyra berdiri di antara simbol-simbol tua yang diukir Eira di tanah. Di sekelilingnya, batu-batu kecil membentuk formasi bulan sabit, dan di tengahnya, Fragmen Silsilah yang menyala biru pucat.“Tarik napas perlahan,” ujar Eira. “Dan biarkan fragmen itu berbicara. Jangan lawan apa yang kau lihat. Dengarkan saja.”Lyra mengangguk. Ia duduk bersila, meletakkan tangannya di atas batu kristal yang berdenyut pelan. Saat matanya terpejam, dunia luar memudar.Gelap.Lalu suara.Bukan suara siapa pun, tapi gema dari dalam kepalanya—seperti nyanyian dari kedalaman gua purba.> "Lyra..."Ia mengenali suara itu. Lembut. Hangat. Seperti suara ibunya dalam mimpi-mimpi yang tak pernah jelas.> "Darahku mengalir dalam dirimu. Tapi bukan darahku yang harus mengu

  • Bound by the Moon   Luka yang Diwariskan

    Pagi menjelma tanpa cahaya. Langit menggantung kelabu, seolah dunia menahan napas, enggan mengizinkan mentari menembus kabut. Di dalam pondok Eira, Lyra duduk di lantai kayu yang dingin, dikelilingi oleh lembaran tua, buku-buku usang, dan aroma minyak kayu manis.Di hadapannya, terbuka sebuah jurnal dengan sampul kulit retak. Tinta-tintanya telah memudar, tapi setiap katanya menyimpan nyawa—dan beban.> “Kau mungkin membenciku saat membaca ini.”“Tapi aku melahirkanmu bukan karena dunia mengizinkan, melainkan karena dunia menolak kita.”Lyra membaca perlahan, kata demi kata. Setiap kalimat seperti pisau kecil yang membuka lapisan-lapisan luka yang selama ini tidak ia tahu ada.> “Namamu Lyra. Aku memilihnya karena kau lah cahayaku dalam gelap. Tapi cahaya juga bisa menyilaukan jika tidak dijaga.”Jax duduk tak jauh darinya, diam, seperti bayangan yang menjaga. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap Lyra dengan kesabaran yang tak diminta namun sangat dibutuhkan.“Kenapa semua orang meny

  • Bound by the Moon   Mata yang Mengintai

    Malam menggantung berat di atas langit, seperti jubah raksasa yang menutupi rahasia bumi. Di kejauhan, kepulan asap dari serangan sebelumnya masih membubung, seolah bumi sendiri mengirimkan tanda peringatan.Lyra berdiri di tepi tebing kecil, memandangi gelap yang pekat. Udara dingin menghembus pelan, tapi pikirannya jauh lebih kacau dari angin.Sejak serangan kawanan bayangan, markas mereka menjadi lebih sunyi. Terlalu sunyi.Kaelen muncul tak lama kemudian. Langkahnya pelan, penuh kehati-hatian, seakan ia tahu Lyra butuh ruang—tapi tidak bisa dibiarkan sendiri."Bagaimana perasaanmu?" tanyanya."Seperti batu karang di tengah badai," jawab Lyra, tak menoleh. "Berdiri karena tak ada pilihan lain."Kaelen terdiam sejenak. "Kadang, kekuatan bukan datang dari pilihan... tapi dari keberanian untuk bertahan di saat tidak ada pilihan yang tersisa.""Aku tahu," sahut Lyra. "Tapi kadang aku berharap... ada pintu keluar."Kaelen menatapnya. "Dan kalau ada, kau akan memilih pergi?"Lyra membala

  • Bound by the Moon   Api dalam diri

    Pagi tiba tanpa salam. Langit tertutup awan kelabu. Udara dingin menggigit kulit, tapi Lyra bahkan tidak menggigil. Ia duduk di tepi danau kecil di belakang rumah Eira, memandangi air yang tenang, seperti memantulkan pertanyaan-pertanyaan yang belum ia temukan jawabannya. Tangannya masih bergetar sejak malam itu. Sejak cahaya meledak dari dirinya. Sejak dunia berhenti menunggu dan mulai menyerangnya. > “Apa ini artinya aku benar-benar bukan siapa-siapa yang aku kira?” > “Apa aku berubah… atau justru akhirnya menjadi diri yang sebenarnya?” Di kejauhan, suara langkah kaki pelan terdengar mendekat. Jax. > “Kau tidak tidur semalaman?” tanyanya lembut. Lyra hanya menggeleng. Jax duduk di sampingnya, diam. Ia tahu Lyra tidak butuh jawaban. Ia butuh keberadaan. > “Aku melihatmu malam itu,” katanya akhirnya. “Melindungi dirimu… dengan cahaya. Aku tak pernah lihat yang seperti itu.” > “Aku juga tidak,” suara Lyra parau. “Aku bahkan tidak tahu aku bisa.” Jax menatap danau, lalu berka

  • Bound by the Moon   Dalam Cengkeraman Takdir

    Langit malam beranjak lebih kelam. Bintang-bintang redup, seolah bersembunyi dari sesuatu yang lebih gelap dari malam itu sendiri. Udara hutan berubah dingin, membawa bisikan asing yang membuat bulu kuduk Lyra meremang.Ia berdiri sendirian di beranda rumah kecilnya, pandangannya kosong ke arah pepohonan. Meskipun tubuhnya di sana, pikirannya masih tertinggal di Batu Penjaga—pada mata Kaelen yang penuh luka, dan pada kata-kata yang menggema di kepalanya:> “Aku akan menjaga jalanmu, dari kejauhan.”Ia ingin percaya. Tapi dunia ini tidak memberi banyak ruang untuk kepercayaan.Pintu rumahnya tiba-tiba terbuka dari dalam.> “Kau belum tidur?”Suara lembut Jax menyentuh malam seperti cahaya lilin yang hampir padam. Ia berdiri dengan jaket lusuh dan tatapan resah yang belum pernah Lyra lihat sedalam itu.> “Kau pergi menemuinya, bukan?” tanyanya.Lyra tidak menjawab.> “Aku tidak bisa menyalahkanmu,” lanjut Jax, suaranya teredam. “Tapi aku juga tidak bisa pura-pura tidak peduli.”Lyra men

  • Bound by the Moon   Pilihan yang Terbuka

    Pagi menjelang perlahan, menyingkap kabut tipis yang menggantung di antara pepohonan. Namun, meski matahari telah muncul, kehangatannya tak mampu menembus dingin yang membekukan dada Lyra.Ia duduk di tepi ranjang kayu tua, memandangi jendela terbuka yang mengarah ke hutan. Angin lembut menyentuh kulitnya, membawa aroma tanah dan daun basah, namun yang ia rasakan hanyalah kekosongan.> "Aku seharusnya merasa lega," pikirnya. "Tapi kenapa rasanya seperti tenggelam?"Bayangan malam sebelumnya masih menghantuinya. Tatapan Kaelen yang menyakitkan namun tulus. Sentuhan tangan Jax yang menenangkan, namun dipenuhi kekhawatiran. Dan bisikan bulan yang seolah berkata: kamu tidak akan pernah benar-benar bebas.Ketukan lembut di pintu menyentakkannya dari lamunan.> “Masuk,” ucap Lyra pelan.Pintu berderit terbuka. Sosok tinggi berselubung jubah gelap berdiri di ambang—wajahnya teduh, tapi tajam. Eira.Penyihir tua yang dikenal Lyra sejak kecil, namun tak pernah benar-benar dekat. Selalu hadir s

  • Bound by the Moon   Ikatan yang Tak Terhindarkan

    Keheningan malam kembali menyelimuti hutan. Angin berhembus pelan, menggugurkan dedaunan, seolah ikut merasakan gelombang kecamuk dalam dada Lyra. Ia berdiri membeku, menatap Kaelen yang tak bergerak sejengkal pun. Sosok itu bagai patung hidup—tegas, tak tergoyahkan—namun dari matanya yang tajam, Lyra tahu ia sedang memendam badai.Tak ada kata yang terucap. Hanya detak jantung Lyra yang berdentum kencang di telinganya sendiri. Dunia seolah mengecil, menyisakan ruang antara dirinya dan pria yang menyebutnya sebagai "darah murni terakhir".> "Jika kamu ingin melawan, aku tidak akan menghentikanmu," ucap Kaelen tiba-tiba. Suaranya tenang, namun di balik ketenangannya, ada tekanan yang tak bisa disangkal. "Tapi aku akan memastikan kamu tahu konsekuensinya."Lyra mengangkat dagunya. Matanya membalas tatapan Kaelen dengan keberanian yang menggurat dalam ketakutan.> "Konsekuensinya?" Suaranya sinis. "Apa yang lebih buruk daripada dipaksa menjadi bagian dari takdir yang tidak pernah aku pil

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status