Toronto, Canada
02:13 A.MDalam gelapnya malam yang berselimut dingin dan sepi, seorang gadis remaja berjalan mengendap di sepanjang koridor yang sunyi. Langkah kakinya nyaris tak bersuara. Kedua tangannya mendekap erat bingkai kanvas, palet serta sebuah kotak berisikan berbagai jenis kuas dan cat warna. Sepasang manik birunya memandang penuh waspada ditemani penerangan lampu taman yang berpendar.Baiklah, ini memang bukan pertama kalinya ia menyelinap dari kamar asramanya dan pergi secara diam-diam menuju ke halaman belakang. Gadis itu tahu benar para penjaga yang biasanya berkeliaran untuk memastikan keamanan seluruh wilayah asrama, baru saja melewati koridor ini. Maka ia cukup yakin, tak ada seorang pun yang akan melihatnya mengendap di pukul dua pagi. Kecuali jika ia harus tertangkap basah oleh salah satu penjaga pribadinya yang ditempatkan di sekeliling batas asrama.Itu adalah hal yang terburuk.Sesampainya di area halaman belakang, sebuah senyuman merekah. Gadis itu kembali mengedarkan pandangannya untuk memastikan tak ada seorang pun di sana. Kemudian ia berjalan melantasi taman hingga menemukan rumpun bunga mawar di dekat pagar pembatas.Dugaannya benar, pemandangan pada malam hari mempunyai daya tarik tersendiri. Bunga-bunga itu tampak seperti kecantikan misterius yang bersembunyi di kegelapan dan dia sudah siap untuk mengabadikan keindahan itu dalam bentuk coretan di kanvas.Melukis bukanlah sesuatu yang dilarang. Namun melakukannya saat semua orang tengah terlelap adalah hal yang ilegal. Sekolah asrama ini mempunyai aturan, dimana setiap siswi harus mengikuti jadwal yang telah ditentukan, termasuk tidur di waktu yang tepat. Sayangnya gadis ini begitu keras kepala. Ia terlalu bersemangat dan tak sabar untuk menyelesaikan karya terbaiknya. Semoga saja, lukisannya nanti dapat terjual di acara galang dana sekolah dengan nilai yang tinggi.Dengan antusias ia mencari posisi duduk yang pas untuk melukis rumpun bunga mawar yang menjadi favoritnya. Namun tanpa diduga, pandangannya menangkap sesuatu yang aneh pada salah satu mawar di sana. Kening gadis itu berkerut ketika ia melihat merah pada kelopak bunga itu seakan meleleh dan jatuh pada daun sebelum meluncur hingga akhirnya meresap dalam tanah.Apa itu? Tanpa sadar ia mengedipkan matanya berkali-kali kemudian berjalan mendekat untuk memastikan. Dan saat menyentuh kelopak marun itu, yang dia rasakan justru cairan kental hangat yang menyisakan jejak merah pekat di jemari lentiknya. Bau amis mulai menguar di indra menciumannya, lalu spontan ketakutan menyergap.Gadis itu membeku dengan jantung yang berdegup lebih kencang. Ini jelas hal yang buruk. Ia berpikir untuk segera pergi, tapi saat mencoba melangkah mundur, kakinya menyentuh sesuatu di bawah sana. Semua peralatan lukis di tangannya jatuh berserakan, tapi tak ia pedulikan saat pandangannya menangkap seonggok tubuh terkapar di balik semak. Sontak gadis itu membekap mulutnya sendiri untuk meredam pekikannya.Apakah sosok itu sudah menjadi mayat? Dia bergidig ngeri. Apa pun itu, siapa pun dan segala apa yang terjadi dengannya, gadis itu memilih untuk tidak terlibat. Dia berniat untuk segera lari dan kembali ke kamarnya demi meminimalisir berbagai hal buruk yang mungkin terjadi. Cepat-cepat ia kembali memunguti peralatan melukisnya tadi. Lantas suara erangan kesakitan terdengar, membuat sang gadis menghentikan geraknya.Orang itu masih hidup! Sepasang manik biru itu menatap lamat-lamat tubuh seorang pemuda yang tak berdaya di sana. Ia dapat melihat orang itu bernapas dengan berat dan tak beraturan. Kaus putihnya dipenuhi noda darah yang bersumber dari butir peluru yang bersarang di bahu kirinya. Dia tertembak!Sensasi hangat yang naik kemudian merosot dengan cepat membuat tubuh gadis itu menjadi lemas. Entah bagaimana ia merasa ingin menangis dan sesuatu seakan menyentaknya pada suara tembakan yang tak pernah ia lupakan dalam ingatan.Gadis itu terkesiap lalu kesadarannya kembali ke malam yang sepi ini. Sebuah perasaan yang bergejolak mendorongnya untuk kembali mendekat. Ia berjongkok dengan tubuh gemetar lalu memerhatikan raut wajah lelaki itu yang tampak sangat kesakitan.Ini bukan saatnya untuk menangis! Gadis itu menanamkan pada diri sendiri. Sambil berusaha mengendalikan emosinya, ia mengedarkan pandangan ke seluruh area taman belakang, tapi tak mendapati seorang pun di sana kecuali desiran angin malam yang dingin dan mencekam.Kini tak ada pilihan dalam benaknya. Dia harus mempertahankan nyawa lelaki itu apapun risikonya. Tanpa berpikir panjang, dia segera merobek bagian bawah gaun tidurnya untuk menekan luka yang menganga. Suara erangan kembali terdengar. Kesakitan tampak semakin jelas di raut wajah pemuda itu."Bertahanlah. Aku tidak akan membiarkanmu mati.""Si-siapa kau?"Pandangan sang gadis beralih pada paras tampan yang baru saja tersadar. Sesaat dunianya teralihkan pada sorot mata kelabu yang mencoba menatapnya. Namun suara yang ia dengar begitu serak dan berat. Lelaki itu pasti mengucapkannya dengan kesulitan."Kau tidak perlu tahu siapa aku. Tetaplah bernapas. Aku akan mencari bantuan." Sang gadis beranjak, menyadari bahwa dirinya tak bisa berbuat banyak selain menahan aliran darah yang terus merembes.Sementara kesadaran yang kian menipis, membuat lelaki itu hanya dapat menatap punggung seorang gadis yang tak ia kenal kian menjauh. Dia akan kembali. Dia pasti kembali. Lelaki itu meyakinkan diri sendiri sebelum gelap kembali mendekapnya.Setengah berlari gadis berusia lima belas tahun itu menyusuri koridor menuju ke unit pelayanan kesehatan yang letaknya berada di gedung lain dari asrama. Jaraknya cukup jauh dan ini membutuhkan waktu. Tapi dia tak mempunyai cara lain.Apa yang bisa dilakukan seorang remaja untuk menangani luka tembak? Meski mempunyai peralatan medis yang lengkap, ia tak cukup paham bagaimana cara mengeluarkan peluru dari tubuh seseorang. Mungkin suatu hari ia perlu mempelajari hal ini dengan serius. Tapi sekarang yang harus ia lakukan adalah menemukan seorang dokter yang bisa membantunya secara diam-diam. Tak boleh ada yang mengetahuinya jika tidak ingin menciptakan kepanikan di asrama ini. Maka menyodorkan sejumlah uang untuk menyuap seorang dokter bukan lah hal yang berarti asalkan lelaki asing itu dapat selamat.Kita memang tidak tahu siapa dia, bagaimana dia bisa tertembak dan apakah dia berada di pihak yang benar atau mungkin sebaliknya. Tetapi luka tembak yang bersarang di tubuhnya, menjadi alasan terkuat mengapa sang gadis berusaha untuk menyelamatkannya.Dengan napas terengah, akhirnya ia sampai di gedung klinik. Namun sebelum tangannya menyentuh pintu kaca di hadapannya, suara langkah kaki terdengar hingga gadis itu menghentikan geraknya."Sebaiknya anda kembali."Suara tegas yang berasal dari seseorang di belakangnya terdengar penuh peringatan. Gadis itu mengembuskan napas lelah dan mengeratkan rahangnya dengan kesal. Lantas ia berbalik, menatap tajam seorang pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam yang berdiri di sana."Aku merasa ada masalah dalam pencernaanku," kilahnya. Semoga saja penjaga pribadinya percaya. Tetapi pria dengan kepala plontos itu tak menunjukan ekspresi apapun. Hal itu menciptakan cemas hingga sang gadis benar-benar merasakan ada yang salah di dalam perutnya."Jika yang anda khawatirkan adalah seseorang yang terluka di halaman belakang, maka kami sudah mengatasinya."Seketika tubuh gadis itu menegang. Ia menelan salivanya dengan kesulitan sebelum berkata dengat terbata, "A-apa yang kau bicarakan?""Kami sudah membawanya."Mereka mengetahuinya! Tentu saja, para bodyguard yang ditugaskan untuk menjaganya secara pribadi adalah orang-orang pilihan. Tak mungkin mereka membiarkan seorang putri yang harus dijaga dengan hati-hati bertemu dengan lelaki asing yang mungkin saja berbahaya.Lantas ia melangkahkan kakinya untuk mendekat dan bertanya dengan menahan emosinya, "kemana kalian membawanya?""Anda tidak perlu mengetahui hal tersebut."Gadis itu memejamkan mata demi meredam kekesalannya sendiri. "Siapa dia? Kau mengetahui identitasnya?""Sebaiknya kembali lah ke kamar anda.""Jawab pertanyaanku!" Suaranya yang meninggi terdengar memecah malam. Gadis itu sudah tak peduli meski ada orang lain yang terbangun karena mendengarnya. Kali ini kesabarannya mulai terkikis."Saya hanya ditugaskan untuk menjaga anda."Jawaban singkat serta ekspresi datar yang ditunjukan oleh penjaga pribadinya itu seolah mengingatkan bahwa sang gadis tidak punya kuasa. Ayahnya-lah yang membayar pria plontos itu, maka tak perlu dipertanyakan lagi, siapa pemilik kesetiaannya."Setidaknya beritahu aku, siapa dia?" Suaranya mulai bergetar. Ada kekecewaan yang mendalam seiring pandangannya yang berkabut.Namun sia-sia. Pria bertubuh besar itu tak menjawab hingga akhirnya dia terpaksa harus menyerah. Berusaha menerima kekecewaannya, gadis itu melangkah gontai untuk kembali ke kamarnya. Entah mengapa rasa sakit terasa menjalar di hati.Satu langkah.Dua langkah.Lima langkah.Haruskah ia melupakan lelaki asing yang terluka itu?Langkahnya terhenti. Pandangannya masih kosong, namun hatinya mungkin baru saja terisi. Rasa muak akan berbagai kekangan dari keluarganya membuat gadis itu mulai berani mengambil keputusan.Tanpa berbalik, akhirnya ia berkata penuh penekanan, "Selamatkan dia. Ini satu-satunya perintah dariku."***"Apa yang kau lakuakan di sini, Grace?"Gadis dengan rambut berwarna karamel itu menoleh. Matanya yang biru terang membalas tatapan temannya yang berdiri dengan raut cemas."Acaranya sedang berlangsung dan kau malah bersembunyi di sudut taman belakang."Grassiela hanya menghela napas dan kembali memandang rumpun bunga mawar di hadapannya. "Memangnya kenapa?" gumamnya malas.Isabele melebarkan kedua mata hazelnya. "Apa maksudmu dengan kenapa? Bukankah kau akan ikut berpartisipasi dengan menjual lukisan rahasiamu itu?""Tak ada lukisan rahasia. Sebaiknya kau kembali," tukas Grassiela tak peduli."Ada apa, Grace? Di mana lukisanmu?""Itu hanya sebuah lukisan yang gagal."Sejenak Isabele terdiam. Ia mengamati punggung temannya itu sambil mencari-cari kebenaran dari pernyataan Grace barusan. Isabele mengingat bahwa beberapa hari terakhir ini Grassiela tampak murung dan lukisan bunga mawar setengah jadi yang selalu berada di kamarnya seakan lenyap tak terlihat lagi. Mungkinkah Grace merasa tidak puas hingga merusaknya sendiri?"Aku rasa lukisanmu adalah yang terbaik. Tapi tak masalah jika kau tidak menyukainya," ucap Isabele bersungguh-sungguh.Grassiela menoleh dan memandang teman baiknya dengan tersenyum tipis. Ia menghargai bagaimana Isabele berempati. "Terima kasih.""Jadi, kau mau ikut denganku ke aula? Aku dengar ibumu juga ikut memberikan banyak donasi saat sesi galang dana."Isabele membuat kesalahan. Suasana hati Grassiela yang sedang tidak baik justru semakin memburuk saat ia mendengar bahwa ibunya berada di sekolah ini. Diam-diam gadis itu tertegun. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Helena akan turut hadir dalam acara amal sekolahnya tahun ini. Yang benar saja, wanita itu jelas-jelas sudah tidak peduli lagi pada putrinya. Lantas apa yang membuatnya datang kemari?Oh, Grassiela hampir lupa bahwa gengsi dan eksistensi adalah yang terpenting bagi ibunya."Aku lebih suka di sini," ucap Grassiela singkat.Isabele tak dapat menutupi rasa penasaran yang selama ini selalu ia sembunyikan. Dan sekarang ia benar-benar terkejut. "Bukan kah sudah sangat lama kalian tidak bertemu? Aku ingat kapan terakir kali kau pulang ke Newcaste dan sekarang kau tidak mau menemui ibumu?"Ada hening yang sesaat menggantung di antara kedua gadis remaja itu. Grassiela sedang tidak mau mengatakan apa-apa, terlebih mengenai hubungannya dengan keluargannya. Tidak, sampai kapan pun ia tidak akan pernah mau membahasnya."Kembalilah, Isabele. Jika ada yang menanyakan mengenai keberadaanku, katakan bahwa kau tidak mengetahui apa-apa," tukas gadis keturunan Inggris itu mengakhiri pembicaraan mereka.Isabele tak mengerti, tapi ia dapat menangkap kesedihan di balik senyuman Grassiela yang dipaksakan. Pertemanan mereka selama bertahun-tahun di asrama ini sejujurnya tak membuat Isabele tahu benar apa yang membuat gadis itu tampak menghindari keluarganya sendiri. Tapi setidaknya, ia bisa memahami bagaimana karakter temannya itu. Grassiela sedikit tertutup, atau lebih tepatnya egois."Baiklah, aku akan kembali ke aula. Sebaiknya kau bersembunyi di sudut sana sebelum Ny. Elroy menemukanmu."Akhirnya sebuah senyuman tipis terlukis di wajah Grassiela. Keduanya menahan tawa mengingat bahwa kepala sekolah yang dikenal tegas dan tak segan memberi hukuman adalah mimpi buruk bagi semua siswi. Tapi bukankah saat ini semua orang penting di sekolah sedang berkumpul di aula?Isabele menghargai keputusan temannya, ia kemudian pergi menuju ke aula sendirian. Dan setelah itu, senyuman Grassiela kembali memudar.Saat angin di musim semi ini berembus mengacak rambutnya yang semula diikat rapi, Grassiela menengadahkan kepala. Pandangannya menerawang jauh ke langit biru yang luas sementara benaknya kembali pada sebuah malam yang sunyi. Bayangan seorang pemuda yang terluka tak berhenti mengusik pikirannya. Kedua matanya terpejam, mengingat terlalu banyak pertanyaan berlarian tanpa jawaban.Siapa lelaki itu? Mengapa dia bisa mendapat luka tembak sementara Grassiela sama sekali tidak mendengar suara tembakan di malam itu. Lalu bagaimana dia bisa tersesat di asrama ini?Tidak. Dia tidak sedang tersesat. Lelaki itu bisa menembus penjagaan ketat di tempat ini. Maka dia bukanlah orang biasa.Tapi apa yang dia cari? Dan untuk alasan apa para penjaga pribadinya tetap bungkam meski mereka telah menyingkirkan semua jejak termasuk peralatan lukis miliknya?Grassiela membuka kedua kelopak matanya lalu menghela napas panjang. Seharusnya ia melupakan hal itu seolah pertemuannya mereka hanya mimpi. Tapi lelaki itu telah mengusik ketenangannya. Dan mungkin, juga mencuri hatinya. Grassiela percaya, bahwa apa yang telah terjadi bukanlah sebuah kebetulan.***Sebuah pernikahan. Ikatan yang sakral. Janji yang terucap di hadapan Tuhan. Dua cincin yang disematkan di jari manis masing-masing. Perjanjian pernikahan. Sekuntum mawar merah. Seuntai kalung berlian. Sebutir peluru. Setets air mata. Dan, sebuah nyawa. Grassiela mengusap perutnya yang mulai membuncit. Dia menatap dari balik jendela tinggi kamarnya, sorot matanya penuh gejolak. Puluhan mobil yang melaju mendekati kastil berdinding batu tua yang telah berdiri berabad lamanya. Langit pagi di atas Cestershire diselimuti kabut tipis, menciptakan kesan seperti medan perang yang baru akan dimulai. Dia beranjak, keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa, jantungnya berdetak kencang tak karuan. Setiap desah napas membawa kecemasan yang kian mencekik. Sejak kabar mobil-mobil hitam itu datang, hatinya tak bisa tenang. Apakah itu James? Apakah dia datang untuk membalas? Ataukah dia datang untuk membawanya kembali ke Moscow? Greta, pelayan setianya, berusaha menghalangi. “Nona, tolong kem
Di pinggiran kota Newcastle, di sebuah rumah tua bergaya Victoria yang berdiri tenang di tengah kabut musim semi, Alfonso Stamford sedang duduk di ruang kerjanya. Bangunan ini terlihat biasa dari luar—halaman rapi, pagar besi tua, jendela besar menghadap taman. Namun di dalamnya, rumah itu adalah bekas markas yang sunyi dari seorang pria yang dahulu dikenal sebagai maestro strategi keluarga Stamford. Waktu menunjukkan pukul 17.06 ketika notifikasi muncul di pojok layar laptop tua Alfonso. Hanya satu nama: Grassiela. Ia menatap layar dalam diam, lalu membuka pesan terenkripsi itu. Di dalamnya, laporan singkat dalam bahasa administratif yang terlalu rapi untuk dianggap biasa. Namun Alfonso tentu dapat langsung memahaminya. Properti Moskow berarti mansion Draxler. Penghuninya tak lagi bersahabat. Karantina dan kosongkan berarti semua orang harus keluar. Bersihkan dari struktur lama, dan api bisa digunakan — artinya: bakar habis! Alfonso tidak tersenyum. Tapi dari sorot matanya yan
Penjara Moskow, dini hari. Udara lembap menusuk tulang, dan dinding batu berlumut memantulkan suara tetesan air yang lambat namun menyiksa. Di dalam sel yang suram, James duduk di atas bangku besi tanpa sandaran. Wajahnya muram, matanya menyala dengan amarah yang tertahan.Pintu besi terbuka di ujung lorong. Seorang pria berjas gelap dengan koper kulit berjalan cepat menghampiri. Sergei Navaly, pengacaranya datang.“Apa yang kau bawa?” tanya James tajam, bahkan sebelum Sergei sempat menyapa.Sergei mendekat ke jeruji, membuka berkas yang ia bawa. “Gugatan sudah didaftarkan resmi tadi malam. Tuduhan pemalsuan dokumen kepemilikan Romeo's Night. Sidang perdana dijadwalkan minggu depan.”James menyeringai sinis. “Keparat mana yang punya nyali bermain seperti ini?”Sergei menatap James tajam. Ia tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Vadim Ivanov. Yang mengajukan gugatan adalah kuasa hukum Grassiela.”Keheningan tiba-tiba
Cahaya matahari pagi menerobos masuk lewat tirai tipis, menari di atas lantai marmer yang mengilap. Kamar itu terasa tenang dengan warna pastel mendominasi. Di sisi ruangan, meja rias tampak tertata rapi dengan peralatan make-up dan parfum mahal. Di hadapan cermin oval berbingkai kayu, Grassiela tengah duduk, mengenakan gaun krem lembut yang menonjolkan siluet kehamilannya yang masih muda. Rambutnya ditata rapi, dan bibirnya dipoles warna nude yang lembut.Tangannya membuka botol kecil berisi vitamin, meneguk satu kapsul dengan segelas air putih. Sejenak ia mengusap perutnya dengan lembut, bibirnya tersenyum samar.Pintu diketuk pelan. Setelah mendapat ijin, seorang pelayan masuk dengan sopan."Nona, semua persiapan keberangkatan sudah siap," ucap Greta. "Koper Anda sudah di dalam mobil. Nyonya Alexa sedang bersiap, dan seorang perawat sudah menunggu di bawah."Grassiela bangkit dari meja rias. "Bagus. Pastikan dokumen sementara dan hasil pem
Langit mendung menggantung rendah di atas manor Gluzenskov, membungkus dinding batu tua dalam dingin kelabu yang menyayat. Hujan masih menetes tipis seperti bisikan duka dari langit. Di dalam kamar tua dengan jendela lebar yang berembun, James terbangun dari pingsannya. Matanya terbuka perlahan, samar, penuh beban. Napasnya berat, dadanya sesak, otaknya belum sepenuhnya memahami apa yang baru saja terjadi. Begitu kesadarannya pulih, James langsung bangkit kasar dari ranjang. Seorang dokter, pelayan, dan beberapa pengawal di sudut ruangan buru-buru mendekat. Tapi sebelum satu pun sempat menyentuhnya— “Keluar,” ucap James pelan tapi tajam. Tak ada yang bergerak. “Keluar. SEMUA!” ulangnya, kali ini disertai lemparan botol kaca dari meja samping ke dinding, meledak seperti granat kecil. Orang-orang bergegas mundur tanpa sepatah kata. Hanya Alexsei yang tersisa. Ia berdiri tegak di dekat pintu, tangannya menyilang di dada. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi. Matanya tajam, dingin, sep
Hujan rintik-rintik jatuh membasahi tanah. Lampu jalan berpendar sayu, nyaris tak mampu menembus kabut malam yang menggantung rendah. Benicio berdiri tegak, mengenakan jas hitam yang kuyup, matanya tajam menatap Alexsei yang berdiri beberapa langkah darinya, tampak kaku dan enggan menatap balik.Dengan suara berat dan penuh tekanan, Benicio berkata, "Aku tahu, ada yang terjadi di malam itu. Dan kau menyembunyikan sesuatu."Alexsei mendengus. "Apa maumu?"Benicio mendekat dengan tatapan tajam."Apa rencanamu? Apa yang akan kau lakukan dengan perintah James kali ini? Tidak ada mayat. Tidak ada peluru yang kau lepaskan. Tidak ada penjelasan."Rahang Alexsei mengencang. Tangannya mengepal di balik mantel. Ia tahu ia seharusnya tidak berbicara, tapi sorot mata Benicio memaksanya."Grassiela masih hidup, kan?" suara Benicio meninggi, penuh dorongan emosi.Alexsei menunduk. Diam. Bahunya tegang, tapi ia tak mengatakan sepatah k