Home / Romansa / Broken Flower / 2. Damned girl

Share

2. Damned girl

Author: Ikabelatrix
last update Last Updated: 2021-09-09 20:32:10

Chapter 2

***

Sebelas tahun kemudian.

Newcastle, Inggris.

Awan yang menggumpal benar-benar terlihat sangat gelap siang ini. Padahal prakiraan cuaca yang ditayangkan di televisi memperediksikan bahwa cuaca akan cerah meski berawan. Namun rupanya langit mempunyai rencana lain untuk turut menunjukan duka, seperti hal nya orang-orang yang berkumpul dengan pakaian hitam mereka. Saat sang pendeta mengucapkan doa di depan makam, orang-orang yang hadir di sana menundukan pandangannya. Tak ada yang tahu siapa yang bener-benar ikut bersedih atau hanya berpura-pura demi menghormati keluarga yang baru saja ditinggalkan. Tapi setidaknya mereka tahu bagaimana caranya bersimpati.

Rintik hujan mulai turun tepat setelah pemakaman selesai. Orang-orang yang berkumpul membubarkan diri setelah mereka kembali mengucapkan sesuatu yang berarti pada keluarga yang berduka. Termasuk seorang wanita yang usianya sudah tidak muda lagi, namun wajahnya masih tampak cantik di balik topi fascinator dengan aksen fishnet yang tampak menutupi sebagian wajahnya. Dia memeluk wanita yang hampir seusia dengannya sambil mengucapkan belasungkawa dan memberikan kata-kata penyemangat sebelum pergi menghampiri suaminya.

Pria paruh baya itu berdiri dengan bantuan tongkat di dekat mobilnya bersama seorang sopir. Ia tak banyak berbicara, tapi mereka tahu benar bahwa dia turut bersedih atas kematian putra dari salah seorang relasinya.

Raut yang muram masih tampak jelas di wajah pasangan suami istri itu setelah mereka memasuki mobil. Selama beberapa saat dalam perjalanan, keduanya larut dalam pikiran masing-masing sampai suara hela napas panjang terdengar.

"Ini adalah mimpi buruk bagi mereka. Setidaknya aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seorang putra," gumam Helena memecah keheningan.

Suaminya bergeming dan tak mengalihkan pendangannya dari arah jendela. Helena tahu, bukan kesedihan yang membuat suaminya terdiam, tetapi ada banyak hal rumit yang bergelayut di benak pria itu.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Helena mengamati wajah pria di sampingnya.

Lagi-lagi Alfonso tak menjawab. Raut wajahnya yang tampak serius membuat Helena mengerti bahwa ini bukan saatnya untuk berbincang. Akhirnya wanita itu menyandarkan pungungnya dan kembali menghela napas.

"Grace bahkan masih belum mengetahui mengenai rencana pertunangannya dan ini untuk ketiga kalinya." Suara tawa ironis terdengar. Helena memandang ke arah jendela sambil mengurut pelipisnya yang terasa pening. Wanita itu melanjutkan, "setidaknya belum ada media yang tahu. Jika tidak, putri kita bisa dicap sebagai gadis terkutuk karena ketiga calon suaminya selalu meninggal tepat tiga hari setelah pembicaraan antar keluarga."

"Pemuda mana lagi yang menarik perhatianmu?" pancing Helena menyadari bahwa ada hal lain yang suaminya pikirkan. "Alfonso, katakan sesuatu!"

Setelah hening lama, sorot mata pria itu beralih memandang istrinya dengan tajam. Akhirnya dia berkata, "seseorang sedang mencoba bermain-main dengan kita."

***

Toronto adalah kota metropolitan terbesar di Kanada. Meskipun masyarakat yang tinggal adalah pendatang dari seluruh penjuru dunia yang merantau, tapi kota ini termasuk dalam daftar kota yang paling aman di dunia. Hebat, 'kan?

Ada banyak hal yang dapat kota ini tawarkan. Mulai dari sektor pendidikan, bisnis, pariwisata bahkan kuliner. Kau bisa mulai menelusuri Toronto Island, CN Tower, pasar dengan toko-toko yang unik dan artistik di Kensington Market hingga Distillery District, yaitu perpaduan toko dan rumah dengan bangunan unik dan trotoar yang apik.

Setiap musim menjanjikan beragam hal menarik serta pemandangan yang cantik. Saat temperatur udara mulai menghangat, sungai Ontario yang berkilauan menjadi objek yang mengagumkan. Kafe-kafe di pinggir jalanan akan kembali menggelar kursi di luar. Mengundang para tamu menikmati segarnya udara sambil menikmati kopi dan camilan lainnya.

Seperti apa yang di lakukan oleh dua orang wanita muda yang tengah asyik berbincang di salah satu kafe pinggiran jalan. Keduanya sepakat bahwa kota ini adalah pilihan terbaik di mana mereka bisa berkarier.

"Kau sudah mencoba gaun yang aku kirimkan kemarin?" tanya wanita bermata hazel sebelum ia menyuap satu sendok eskrim vanila ke dalam mulutnya.

"Sangat cantik. Ukurannya pas dengan tubuhku."

"Aku ingin kau memakainya di hari pernikahanku nanti."

Grassiela menghantikan kegiatan makannya lalu tersenyum simpul pada wanita muda di hadapannya. "Aku tahu. Apa persiapannya sudah selesai?"

"Sejujurnya aku tidak begitu tahu semua detailnya. Keluarga Thom dan orangtuaku membentuk tim dan mereka bekerjasama untuk mempersiapkan semuanya," ungkap Isabele.

"Aku bisa membayangkannya. Kau akan menjadi pengantin tercantik yang pernah kulihat. Thom beruntung mendapatkanmu."

Pujian itu cukup membuat Isabele tersenyum tipis. Lalu diam-diam dia memperhatikan wanita muda di hadapannya yang kembali mengaduk eskrim di mangkuknya dengan malas. Tak ada ekspresi apa pun yang terbaca dari wajah Grassiela. Tapi sesuatu jelas telah terjadi sehingga wanita itu tampak murung selama beberapa hari terakhir.

"Grace, aku tidak akan marah jika kau tidak bisa menghadiri pesta pernikahanku nanti," ucap Isabele secara tiba-tiba.

Grassiela mendongkak. Ia mengangkat kedua alisnya dan memandang Isabele tidak mengerti. "Memangnya kenapa?"

"Bukankah ada banyak hal yang harus kau lakukan?"

Grassiela mendengus mendengar alasan tidak masuk akal itu. "Isabele, kau adalah teman baikku. Sesibuk apa pun, aku tidak mungkin melewatkan hari terpenting untukmu."

"Sungguh?"

"Tentu saja."

"Aku senang mendengarnya," jawab Isabele singkat. Pandangannya beralih ke arah sungai Ontario yang memantulkan cahaya mentari, tapi pikirannya tidak berada di sana.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Grassiela kemudian.

Isabele hanya menggidikkan kedua bahu acuh tanpa mengalihkan pandangannya. "Tak ada."

Grassiela tahu benar, raut cemas itu tak mungkin tanpa alasan. Isabele Lerager adalah teman baiknya semenjak mereka bersekolah di asrama yang sama. Mereka bahkan melanjutkan kuliah di universitas yang sama.

Grassiela mengenalnya dengan baik. Isabele memang keturunan asli Kanada. Kedua orangtuanya tinggal di Montreal, sementara dia memilih untuk berkarier di salah satu perusahaan asuransi yang bonafide di Ontario. Tidak buruk, Isabele mendapat gaji yang lebih dari cukup untuk menutupi biaya hidup yang tinggi di kota ini. Dan kelebihan lainnya, dia mampu menaklukan hati seorang petinggi di perusahaan tempat dirinya bekerja. Isabele memang cantik. Kadang kala dia bersikap manja tapi wanita berambut coklat terang itu bukan termasuk seorang yang bisa bersikap spontan. Maka permintaannya untuk bertemu secara mendadak hari ini, cukup membuat Grassiela terkejut.

Lantas kemana arah pembicaraan Isabele sekarang? Apa yang sesungguhnya ingin dia bicarakan?

"Oh, Lerager. Jangan membuatku menunggu. Aku tahu ada sesuatu yang ingin kau sampaikan," desak Grassiela menuntut penjelasan dari sahabatnya.

"Lupakan," jawab Isabele membuat kening wanita di hadapannya berkerut.

"Memangnya apa yang kau pikirkan?"

Isabele bergeming dan hal itu membuat Grassiela memutar kedua bola matanya. "Tolong jangan katakan bahwa kau sedang mengalami kekacauan emosional yang membuatmu berpikir banyak hal sebelum menikahi Thomas Hansen."

"Jangan sebutkan namanya. Entah kenapa aku membenci nama pria itu."

"Setidaknya kalian saling mencintai." Grassiela mengangkat kedua bahunya acuh.

"Terserah. Tapi kali ini, bukan itu yang ingin aku bicarakan." Tanpa sadar, pandangan Isabele kembali tertuju pada lawan bicaranya.

"Lalu?"

Tatapan Isabele berubah tajam, mengisyaratkan bahwa apa yang akan dia ungkapkan adalah sesuatu yang serius. "Grace, satu minggu yang lalu aku datang ke rumahmu dan tanpa sengaja mendengar pembicaraanmu dengan pengawal pribadimu."

Seketika Grassiela membeku. Apa yang Isabele katakan sungguh di luar dugaannya. Merasa seperti tertangkap basah, kini Grassiela tak tahu apakah dirinya masih bernapas saat isi kepalanya berusaha untuk mencari-cari jawaban yang sesuai untuk di ucapkan. Oh, apakah Isabele sudah mengetahuinya?

"Pembicaraan yang mana maksudmu?" ucap Grassiela sambil berusaha mengendalikan dirinya yang salah tingkah. Ia tak berani membalas tatapan sahabatnya dan memilih untuk mengalihkan pandangannya ke arah kilauan cahaya di sungai itu. Grasiella berharap bisa menenggelamkan diri di dalamnya jika Isabele berkata lebih banyak lagi.

Sayangnya, sorot mata Isabele menunjukan bahwa ia tidak menyerah dan bersungguh-sungguh dengan pembicaraannya kali ini. "Kau harus kembali, bukan?"

"Aku tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan," tukas Grassiela mengelak.

Isabele tahu, wanita bermata biru itu tengah berbohong. Pandangan Grassiela yang menuju ke sambarang arah sudah cukup untuk menjelaskan bahwa dia tidak mau mengatakan apa pun mengenai permasalahan pribadinya. Dan membuat wanita muda itu mau bercerita memang hal yang sia-sia. Kadang kala Isabele merasa bahwa Grassiela tidak benar-benar menganggapnya sebagai sahabat.

Lantas Isabele menghela napas. Ia memasukkan satu sendok es krim vanila ke dalam mulutnya lagi setelah berkata, "sudah bertahun-tahun semenjak kita berteman dan aku tidak pernah melihat beberapa pria berseragam hitam yang mengikutimu sejak satu minggu terakhir."

Grassiela tertawa. "Omong kosong apa ini?" tukasnya.

Sesaat Isabele hanya memandangnya. Ia mengambil jeda, menunggu respon sahabatnya untuk mengatakan sesuatu meski ia tahu bahwa sedikit kemungkinan bahwa Grssiela akan melakukannya.

Lantas Isabele menyendok es krim dalam mangkuk di hadapannya dan ia kembali melanjutkan, "ada sekitar enam orang yang jarak masing-masing berbeda mengelilingi kursi kita. Sementara pria dengan kepala plontos berada tepat lima meter di belakangmu."

Spontan Grassiela menoleh ke belakang dan ia menahan diri untuk mengumpat. Sial! Apakah orang-orang itu terlalu mencolok sehingga Isabele pun dapat menyadarinya?

Akhirnya ia mendengus kesal. Entah sudah berapa kali dia berusaha mengusir para pengawal itu tapi tak ada yang menggubrisnya.

Sedikit memajukan tubuhnya ke depan, Grassiela berdesis, "Baiklah, Lerager, kau benar. Saat ini aku sedang menjadi seorang tawanan dan kau sedang mengolokku dengan membahas mengenai hari pernikahanmu, huh?"

"Aku hanya mencemaskanmu," tukas Isabele tak terima.

Kening Grassiela berkerut. Ia memandang sahabat lamanya penuh antisispasi. "Apa yang kau cemaskan? Aku sudah mengatakannya padamu, aku akan hadir di hari pernikahanmu nanti. Apa itu tidak cukup?"

"Grace, apa yang terjadi?"

Mendadak hening menyelimuti kedua wanita muda itu. Grassiela tahu, ia tak bisa menghindar lagi saat tatapan Isabele menuntut penjelasan dan penuh kekhawatiran. Situasi ini sudah beberapa kali terjadi selama mereka berteman dan selalu sukses dengan cara Grassiela menghindar. Tapi kali ini entah bagaimana, situasi seakan mendesaknya hingga terasa sulit.

Di sisi lain, Isabele tahu, selama bertahun-tahun ada banyak hal yang Grassiela sembunyikan. Wanita berambut karamel itu tak pernah mau bercerita apa pun mengenai masalah pribadinya. Yang Isabele tahu, Grassiela hanya berasal dari Inggris dan memiliki nama Stamford sebagai nama belakangnya. Ya, keluarga besar pemilik dari salah satu perusahaan yang berpengaruh di Eropa.

Well, kita tahu bahwa Stamcorp merupakan salah satu perusahaan energi terbesar yang berpusat di Inggris. Perusahaan Multi-National Company yang bergerak dalam industri sumber daya alam itu telah berdiri selama puluhan tahun dan dikelola secara turun temurun oleh keluarga Stamford. Mereka mempunyai nama yang bergengsi di Newcastle. Tapi tak banyak orang yang tahu bahwa di pinggiran Toronto, salah seorang bagian dari anggota keluarga besar tersebut memilih untuk mengabdikan dirinya pada sebuah lembaga kemanusiaan di kota ini.

Ya, Grassiela melakukannya. Seolah melupakan identitasnya demi aksi sosialnya yang mungkin tak menghasilkan banyak uang. Tidak masuk akal, bukan?

Lantas ketika Isabele menanyakan apa yang dia lakukan dengan gelar pendidikan ekonominya, wanita itu hanya berkata dengan ringan, "Aku tidak pernah merasa menyesal karena telah mendapatkan banyak ilmu."

Pertemanan selama bertahun-tahun tak membuat Isabele mengerti jalan pikiran wanita bermata biru itu. Grassiela seorang yang cerdas, dia memiliki riwayat pendidikan yang sangat baik tetapi mengambil keputusan yang bodoh dengan mengabaikan keluarganya sendiri. Dia seakan lupa bahwa dirinya bisa saja kembali ke negri Ratu Elizabeth untuk tinggal bersama kedua orangtuanya yang kaya raya dan berkontribusi di perusahaan milik keluarganya. Namun apa yang dia lakukan? Isabele tidak pernah tahu bahwa gaji sebagai pengelola sebuah lembaga kemanusiaan dapat mencukupi biaya hidup yang tinggi di Toronto.

"Baiklah," ujar Isabele setelah dia menghela napas panjang. "Meski pun kau tidak mau berbicara, aku tahu. Mereka harus membawamu kembali."

Grassiela memandangnya dalam diam.

"Grace, aku tidak pernah tahu apa yang membuatmu selalu menghindar saat aku membahas mengenai keluargamu. Tapi apa pun itu, kembalilah."

"Apa kau sedang mencoba untuk mendikte ku?"

"Tak ada yang bisa mengaturmu. Aku tahu, kau begitu keras kepala dan tak seorang pun bisa merubahnya. Tapi kali ini saja, dengarkan aku. Kau bisa saja bersembunyi dari sebuah permasalahan. Tapi kau tidak bisa terus menerus menghindar. Apa pun itu, kau bisa menghadapinya."

"Kau bukan pengecut, Grace. Aku mengenalmu," tuntas Isabele penuh penekanan.

Grassiela mendengus. Raut wajahnya jelas menunjukan bahwa ia tidak suka dengan pembicaraan ini. "Isabele, bukankah kita sedang membahas mengenai hari pernikahanmu?"

"Lupakan itu dan kembalilah ke Inggris."

"Kenapa aku harus melakukannya?" Suara Grassiela meninggi. "Apa hal itu mempengaruhi hidupmu?"

"Kenapa kau begitu keras kepala? Ini demi kebaikanmu."

"Kebaikan apa? Apa yang kau tahu tentang hidupku?"

Isabele terdiam. Pertanyaan serta tatapan Grassiela yang menyorot tajam membuat hatinya terluka.

"Tak ada. Tidak ada, Grace. Kau tidak pernah bercerita apa pun mengenai hidupmu. Satu-satunya yang aku tahu, bahwa kau adalah bagian dari keluarga Stamford yang membuang-buang waktumu dengan bekerja di sebuah lembaga kemanusiaan."

"Kau berkata bahwa bekerja di untuk amal adalah membuang-buang waktu?" ulang Grassiela tak terima.

Kali ini Isabele mengangkat wajahnya. Kekecewaan di hatinya segera lenyap saat dia menyadari bahwa sesungguhnya Grassiela hanya melindungi egonya yang sedang terpojok.

"Biaya hidup di kota ini cukup tinggi dan kau bahkan sanggup membeli sebuah rumah sendiri. Sementara berapa gajimu dari Humanitarian Gifts?" ungkap Isabele membuat sahabatnya itu menatapnya tak mengerti.

"Apakah itu penting?"

"Grace, aku tidak pernah tahu alasan apa yang membuatmu enggan kembali ke Newcastle. Kau bisa saja bekerja di Stamcorp, perusahaan milik keluargamu, tapi apa yang membuatmu bertahan sendirian di sini?"

"Aku menyukai tempat ini. Ok?"

Isabele memejam kedua mata demi nenahan kekesalannya sendiri. Hell, dia menyerah. Sepertinya pembicaraan ini memang sia-sia. Cepat-cepat Isabele membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pergi.

"Terserah. Suatu saat para penjagamu akan menyeretmu kembali dan sebelum hal itu terjadi, kembalikan gaun yang aku kirimkan kemarin."

Grassiela melebarkan kedua matanya tak percaya. "Gaun itu sudah menjadi milikku," tolaknya.

"Aku dengar besok Humanitarian Gifts akan mengadakan acara di sebuah panti asuhan. Thom mengajakku untuk hadir di sana. Aku harap kau tidak lupa untuk membawa gaunnya."

Isabele beranjak tapi sebelum ia melangkah pergi, Grassiela menahannya dengan berkata, "Kau pikir kau bisa memaksaku untuk kembali?"

"Dengar Stamford, aku sangat menyayangimu. Aku hanya ingin kau bersikap dewasa. Pikirkan keluargamu, pikirkan masa depanmu. Sampai kapan kau akan berada di sini? Sendirian. Kau tidak bisa terus menerus bersikap egois."

"Aku egois?"

"Aku akan menemuimu besok. Jangan lupa untuk membayar semua makanan ini."

Grassiela terperangah saat Isabele melenggang pergi dengan tidak tahu dirinya. "Kau begitu menyebalkan, Lerager! Aku harap Thom memiliki banyak kesabaran untuk menghadapimu."

Isabele menoleh dan dia mengangkat kedua bahunya acuh. "Setidaknya kami saling mencintai."

Grassiela kembali terperangah. Sikap Isabele benar-benar membuatnya kesal. Entah bagaimana mereka bisa berteman selama bertahun-tahun.

Semantara Grassiela menahan dirinya untuk tidak mengumpat, seorang pengawal pribadinya yang berpakaian serba hitam terus menatapnya penuh pengawasan. Oh, rasanya Grassiela ingin melepas sepatunya dan melemparnya ke arah kepala plontos itu.

***

Cetak!

Bola berwarna merah dengan angka tujuh meluncur masuk ke dalam lubang di sudut meja billiard disusul bola-bola lainnya. Seorang pria menyeringai puas sebelum menegakkan tubuhnya kembali. Saat suara pintu terdengar terbuka, ia bergeming. Dari sudut matanya yang kelabu ia dapat melihat seseorang berpakaian serba hitam melangkah masuk ke dalam ruangan temaram itu.

"Kenapa lama sekali? Aku hampir saja mematahkan tongkat ini karena terlalu lama menunggu."

"Kau bisa mematahkannya sekarang." Aleksei Gazinsky, seorang underboss, berjalan menuju meja bar lalu mengambil sebotol air mineral dan menenggaknya.

"Bagaimana? Apa pemakamannya sudah selesai?"

Alexsei tak menjawab, ia kembali memunum air dari botol di genggamannya dan mengabaikan pertanyaan itu. Namun sang bos tentu tahu, keterdiaman Alexsei adalah bentuk dari jawaban. Lantas sebuah kekehan terdengar, menggema ke seluruh ruangan berlenarangan redup tersebut.

Alexsei tak berkata apa pun, ia hanya menatap pria yang masih mengenakan stelan jas formal di hadapannya tertawa puas. Dia tak mengerti, kebahagiaan macam apa yang merasuki seorang James Daraxler setelah mendengar bahwa salah seorang kawannya baru saja tewas akibat rencananya sendiri. Sama sekali tak ada rasa bersalah di sana. James bertepuk tangan dengan wajah sumringah.

"Kerja bagus," ujar pria itu di sela tawanya. "Katakan, apakah Alfonso berada di sana? Apa dia melihat karangan bunga yang kukirimkan untuk keluarga Zhirkov?"

Alexsei mendengus. "Dia hanya berdiri di samping mobilnya. Apa kau senang?"

James kembali terbahak. "Tentu saja. Aku senang. Aku sangat senang. Tidak salah aku memberimu kepercayaan ini. Sekarang kemarilah, teman." James berjalan menghampri Alexsei lalu mendekap dan menepuk-nepuk punggungnya. "Beri tahu aku, apa yang kau inginkan?"

Alexsei melepas dekapan itu, ia berdecak. "Kau tahu apa yang selama ini kuinginkan." Pria itu berjalan memutari meja billiard sebelum mengambil tongkat stick yang tergeletak di sana. Matanya yang gelap menatap beberapa bola di atas meja dan memilih sasarannya. Alexsei menarik napas dalam dan mulai menyodok. Kemudian suara pantulan bola keras kembali terdengar.

"Beberapa hari ini seseorang tengah mengawasiku," ujar Alexsei dingin.

Sektika kebahagiaan di wajah James lenyap. Ia mengangkat kedua alisnya lalu bertanya dengan hati-hati, "Benarkah? Apa mereka juga mengikutimu?"

"Seperti yang kau inginkan."

James mengangkat sudut bibirnya. "Bagus. Bagus," gumam James sembari menggosok kedua tangannya dengan antusias. "Buat mereka datang kemari. Buat mereka menemuiku."

"Apa yang kau harapkan? Mereka bisa saja menyerangmu," tukas Alexsei mengingatkan.

"Apa ini adalah tanda bahaya?"

Mendadak Alexsei terdiam. Tatapannya yang tajam terpaku pada sepasang mata kelabu milik James penuh perhitungan.

Alfonso bukanlah orang biasa, meski masa kekuasaannya telah selesai, tapi secara diam-diam si tua itu masih memiliki beberapa orang anak buah yang kesetiaan dan kemampuannya tak perlu diragukan lagi. Berurusan dengan mereka sama dengan mencari mati. Dan seorang James Draxler, baru saja melakukannya. Dia berani mengambil segala konsekuensi demi menggapai ambisinya.

Maka dalam hening kedua pria itu saling menatap bersama pikiran masing-masing. Lantas perlahan, seringai mengerikan kembali terukir di bibir maskulin itu. Alexsei mungkin lupa, bahwa James tak mengenal rasa takut.

Sialan! Tawa kedua pria itu akhirnya pecah. Keduanya terbahak seolah apa yang baru saja mereka lakukan hanyalah lelucon.

"Ini akan menyenangkan," ujar Alexsei masih terkekeh.

"Sudah kubilang," timpal James. Pria itu mengambil sebotol minuman beralkohol dan berpikir sejenak sebelum menuangkannya ke dalam seloki. Ia meyakini bahwa Alfonso Stamford telah mengetahui perbuatannya. Sekarang mari kita lihat, keputusan apa yang akan si tua itu ambil selain menerima kesepakatan yang telah James ajukan padanya.

"Bawa bahaya itu kemari," desis James bersama sorot mata liciknya. "Karena aku akan menundukkan serangan apa pun demi membuatku semakin dekat dengan Grassiela."

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Broken Flower   133. Love Reclaimed - Ending

    Hamparan salju membentang luas, putih, sunyi, tak terjamah. Di tengah dinginnya udara pagi yang menusuk tulang di Zermatt, dunia seakan berhenti. Di tengah lanskap itu, Grassiela berdiri mengenakan gaun panjang berwarna putih bersih yang membalut tubuhnya dengan anggun. Setiap embusan angin membuat gaunnya berayun perlahan, seperti tarian yang halus. Rambut caramelnya digerai alami, sebagian berhias jepit berkilau sederhana. Pipinya sedikit memerah karena dingin, membuat kecantikannya justru semakin nyata. Dia berdiri sendirian, menatap ke kejauhan. Di sana, seseorang terlihat berjalan mendekat. James muncul dari balik kabut salju. Pakaian hitam pekat yang dikenakannya kontras dengan putihnya dunia, seolah ia adalah bayangan yang datang untuk menghisap cahaya. Jas panjangnya jatuh rapi, dengan kemeja dan dasi hitam yang membuatnya tampak seperti figur otoritas yang tak tergoyahkan. Rambut hitamnya sedikit berantakan diterpa angin, namun sorot mata kelabunya tetap tajam, penuh tekad.

  • Broken Flower   132. Embrace in Zermatt

    Matahari musim dingin memantul di salju yang berkilau, pemandangan Matterhorn tampak anggun dari jendela kamar suite mereka. Grassiela baru terbangun, tubuhnya masih terasa hangat di balik selimut tebal. Ia menoleh, tempat di sebelahnya kosong. Dari balik bulu mata lentiknya, ia dapat melihat James berdiri di balkon, mantel tidurnya terikat rapi, siluetnya tegap di bawah cahaya siang. Ponsel masih di tangannya, layar menyala redup—menandakan panggilan baru saja berakhir. Grassiela menggeliat, meraih selimut dan membungkus tubuhnya, lalu melangkah keluar ke balkon. Angin dingin menusuk kulitnya, namun ia lebih fokus pada ekspresi James yang serius. “Ada apa?” suaranya pelan, nyaris tenggelam oleh desir angin Alpen. James menoleh padanya. “Kau sudah bangun?" Dia melirik sekilas. "Hanya soal bisnis,” ujarnya menepis pikiran yang semula rumit. Diam-diam Grassiela menelan salivanya, mengingat bahwa bisnis James kacau akibat ulahnya. Setelah ia membongkar bisnis ilegal itu, sebagian bes

  • Broken Flower   131. Shattered Control

    Suasana pagi di dalam chalet terasa lebih ramai dari biasanya. Para pelayan berlalu-lalang menyiapkan koper, sementara perawat sibuk memakaikan mantel hangat pada bayi mungil yang tersenyum di dalam boks bayi.Di kamar utama, seorang dokter sedang memeriksa Grassiela yang duduk bersandar di ranjang, dia masih terlihat pucat namun lebih tenang daripada semalam.James berdiri di samping ranjang dengan ekspresi serius, tangannya dilipat, matanya mengawasi setiap gerakan dokter.Tak lama kemudian, pintu kamar diketuk pelan.Helena muncul terlebih dahulu, disusul Alfonso di belakangnya. Keduanya mengenakan pakaian musim dingin, siap untuk pergi.“Grace…” Helena tersenyum lembut, mendekati ranjang dan menggenggam tangan putrinya, “kami berangkat dulu, ya?”Grassiela menatap mereka, sedikit terkejut. “Kalian… jadi pergi sekarang?”Alfonso mengangguk. “Kami hanya pergi ke bawah, ke lembah. Udara di sana lebih hangat dan cuc

  • Broken Flower   130. Shattered Affection

    Salju terus jatuh perlahan―halus dan membungkam. Di bawah langit malam Zermatt yang gelap dan membeku, James hanya berdiri terpaku. Ucapan Grassiela menggema di kepalanya, menusuk lebih dalam daripada peluru manapun yang pernah ia terima.Grassiela memeluk dirinya sendiri, menggigil bukan hanya karena dingin… tapi oleh sakit di dalam dadanya.“Cukup…” suaranya pecah di udara beku. “Aku… tak tahan lagi.”James membuka mulutnya, tapi tak ada satu kata pun keluar. Tatapannya penuh syok dan penyesalan saat mencermati wajah istrinya yang berlinang air mata.Grassiela menghapus air mata dengan punggung tangannya, namun tangis itu tak henti mengalir. “Aku tidak bisa terus bersamamu," bisiknya. “Setiap kali kau melakukan kekejaman… setiap kali kau menghukum seseorang… dan terlebih karena aku... semua itu membuatku merasa bersalah.”Ia menunduk, bahunya bergetar. “Membuatku frustasi karena dosa yang tidak kulakukan sendiri.”Air mata jatu

  • Broken Flower   129. Cruel Affection

    "Aku merindukan saat kita bersama."Ucapan James yang tenang dan dalam, membuat hati Grassiela terasa mencelos.Grassiela memalingkan wajahnya, berusaha menyembunyikan gugup yang mulai merayap di tubuhnya.“Itu hanya dugaanmu,” ujarnya, nadanya terdengar lebih seperti pembelaan. Ia meletakkan nampan di atas meja kerja yang dipenuhi berkas.James menatapnya, mengamati setiap gerakan istrinya. “Ucapan terima kasih… sambil membawa kopi hangat dan sandwich buatan sendiri?” suaranya rendah, namun mengandung nada menggoda dan percaya diri.Grassiela tak menjawab. Ia sibuk merapikan lipatan rok tidurnya, menghindari tatapan James. Suasana ruangan diselimuti keheningan yang menegangkan.Perlahan James berjalan mengitari meja dan berhenti tepat di belakangnya. Napas hangatnya menyentuh tengkuk Grassiela.“Kau datang ke sini karena kau merindukanku, kan?” bisiknya, nada suaranya tenang tapi penuh keyakinan.Grassiela

  • Broken Flower   128. Unspoken Admission

    Salju turun perlahan, seperti serpihan kapas yang menari di udara, menyambut kedatangan rombongan di Zermatt. Mobil hitam berlapis baja berhenti tepat di depan sebuah chalet mewah yang berdiri anggun di lereng pegunungan berselimut putih. Bangunan itu memadukan arsitektur kayu tradisional Swiss dengan sentuhan modern, sementara balkon-balkonnya dipenuhi ukiran kayu yang rumit.James turun lebih dulu, matanya menyapu sekeliling, memastikan setiap pos penjaga ada di balik pepohonan pinus yang berdiri gagah di tepi jalan. Fausto dan Benicio, yang sejak awal duduk di mobil belakang, segera bergabung. Keduanya, meski sama-sama terbiasa melihat kemewahan, tak bisa menahan komentar.“Porca miseria… ini lebih seperti istana salju daripada chalet,” gumam Fausto sambil mengangkat alis, tangannya menyentuh pagar kayu berlapis es tipis.Benicio hanya tersenyum miring. “James tidak pernah setengah-setengah. Kalau dia bilang aman dan nyaman… berarti inilah maksudnya.”

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status