Sudah lebih dari setengah jam dia terdiam di dalam kubangan air hangat dengan sabun beraroma floral. Termenung di dalam bathtub dan membiarkan Greta yang sudah mempersiapkan gaun tidur menunggunya di dalam kamar sendirian. Grassiela menghela napas panjang. Pesta tadi cukup melelahkan baginya dan seharusnya ia segera beristirahat. Tetapi entah kenapa Grassiela merasa enggan untuk keluar dari kenyamanan ini. Lantas ia mengangkat tangan kirinya lalu memerhatikan sebuah cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Sangat indah. Mereka mengatakan bahwa benda berkilau ini sudah dipesan jauh-jauh hari bahkan sebelum James Draxler menentukan siapa yang akan menjadi calon pendampinya. Suara hela napas panjang kembali terdengar. Pikiran Grassiela seolah terbang lalu berputar arah ke pesta beberapa jam yang lalu. Seorang pria menyematkan sebuah cincin di jari manis Grassiela kemudian orang-orang bersulang untuk merayakannya. Saat itu Grassiela tak berkata apa-apa. James Draxler dan ayahnya l
Grassiela berdiri di hadapan pintu tinggi berwarna gelap bersama degup jantungnya yang berdebar kencang. Seorang penjaga yang bertugas di sana memberi isyarat pada dua orang pelayan untuk membukakan pintu. Lantas kegugupan menelan wanita muda itu manakala pintu mulai terbuka secara perlahan. Di sana dia berada. Grassiela memandang lurus ke depan hingga tatapannya bertemu dengan sepasang netra kelabu yang juga menatapnya tajam. Sang pangeran menunggunya. James Draxler masih mengenakan tuxedo hitam lengkap dan dia tengah duduk pada sebuah sofa lebar bersama seekor anjing besar di sampingnya. Ketakutan Grassiela semakin menjadi melihat hewan peliharaan berwarna hitam yang ikut duduk bersama pria itu. Sesungguhnya Grassiela takut pada hewan mana pun. Maka ia tidak menyadari bahwa wajahnya mulai memucat. Sementara ketakutan Grassiela menjadi hiburan tersendiri bagi James. Hingga bibir maskulinnya terangkat membentuk seringai licik. "Masuklah," titah pria itu. Meski enggan, Grassiela ta
"Grassiela, kemarilah," panggil Helena sambil melambaikan tangannya. Pagi itu, sang tuan putri baru saja tiba di teras belakang yang mereka sulap menjadi area untuk menikmati sarapan. Di sana, ada empat meja besar berbentuk lingkaran dengan masing-masing kursi yang mengelilinginya. Itu berarti, ada empat kelompok di mana terbagi menjadi dua lingkaran meja makan untuk pria dan dua untuk wanita. Dari bawah bulu mata lentiknya, Grassiela dapat melihat bahwa semua kursi hampir penuh. Artinya, dia mungkin datang sedikit terlambat. Sebetulnya Grassiela tidak bangun kesiangan. Dia sibuk di dalam kamarnya untuk memperbaiki penampilan serta memunguti sisa-sisa hatinya yang semalam pecah berserakan. Rasa-rasanya dia membutuhkan waktu yang lebih lama dari ini. Lantas, wanita muda itu mengedarkan pandangannya dan melihat bahwa ibunya duduk satu meja dengan neneknya, Veronica. Lalu ada Clara, Eveline, Violeta, Irina serta Paula. Mereka berkumpul membicarakan hal-hal yang Grassiela yakini akan me
Fyodor, ketiga istrinya serta Irina Dzanayev terdiam di sebuah ruang duduk. Hanya ada hening yang melingkupi serta kegugupan Irina yang berusaha ia tutupi di sana. Permukaan wajah wanita tengah baya itu merah padam menahan emosi yang tertahan oleh malu dan sesal. Fyodor tak berkata apa-apa setelah mengetahui bahwa calon menantunya hilang tanpa jejak. Pria tua itu langsung mengerahkan anak buahnya untuk mencari Grassiela tanpa menyalahkan siapa pun. Namun wajahnya jelas menunjukkan kekecewaan. Di sisi lain, tatapan Paula Genovse dan Katelina tampak mengejek serta memojokkan Irina. Dia tidak becus menjalankan tugasnya. Semua orang pasti akan berganggapan seperti itu setelah Grassiela hilang dari pengawasan Irina dan masih belum diketemukan hingga Fyodor serta James kembali. "Jika dia tidak mau tinggal sementara di sini, kenapa dia tidak ikut dengan keluarganya untuk kembali ke Inggris? Bukankah dia bisa mengatakannya saja?" gumam Paula memikirkan permasalahan ini. Tak ada yang menjaw
Sinar matahari pagi sedikit demi sedikit masuk menembus jendela kamar seseorang yang masih terlelap di atas tempat tidur. Saat kicau burung mulai terdengar, wanita itu mengerjapkan kedua mata perlahan lalu membukanya dan memperhatikan sekitar. Dengan masih berbaring, sepasang netra biru terang mengedarkan pandangannya mengamati sebuah kamar yang tertata rapi dan bersih di pondok kayu tua. Tempat ini cukup nyaman, tempat tidurnya juga nyaman. Sampai-sampai Grassiela merasa enggan untuk bangun dan barharap bahwa semua perjalanan yang telah ia lewati hanyalah mimpi. Tetapi apakah kenyataan memang seburuk itu?Grassiela memaksa tubuhnya untuk bangun lalu beranjak malas menuju jendela. Dia membuka tirai serta jendela berbingkai kayu kemudian menghirup udara segar dari luar. Sinar matahari yang menembus pori-pori kulitnya membuat tubuhnya terasa hangat. Dan pemandangan desa yang menakjubkan membuat kedua lensa mata berwarna biru terang itu berbinar segar. Setelah sekian lama akhirnya dia bis
Hanyut dalam pemikirannya sendiri, wanita itu terdiam memandang birunya langit beserta hamparan awan putih di jendela. Dalam duduknya, sesekali dia berkedip hanya untuk membasahi kedua lensa dengan iris mata biru terang yang tampak kosong. Apa dia baik-baik saja? Pertanyaan itu melintas di benak Alexsei yang diam-diam mengamati dengan pandangan aneh. Segelas wine yang disodorkan padanya membuat pria itu tersadar. Kini dia duduk di dalam sebuah jet pribadi bersama bos nya. Alexsei mengambil gelas ramping itu lalu menghabiskannya dalam sekali teguk. Dia mendengus kemudian terkekeh kecil sendirian."Aku tidak percaya bahwa kita bahkan harus mengurus hal seperti ini," ujarnya.James bersikap acuh. Dia menuang kembali minumannya tanpa menghiraukan komentar Alexsei. Dia juga jelas tidak peduli pada keterdiaman Grassiela. Jika bukan karena Fyodor yang memerintahkannya langsung untuk mengantarkan wanita itu kembali ke Inggris, maka dia tidak akan sudi repot-repot melakukannya.Sementara duduk
Langit gelap yang menahan mendung itu akhirnya menjatuhkan rintik-rintik hujan. Sama seperti genangan air mata yang selama ini ditahan akhirnya bergulir membasahi pipi. Namun derasnya butiran air yang menghujam tubuh hingga basah kuyup tak membuat langkah kakinya terhenti.Wanita muda itu berlari semakin kencang menerobos hujan dengan terisak. Pilu yang ia rasakan membuat dadanya terasa sesak. Hancur sudah semua rasa yang ia harapkan selama ini. Seorang ayah yang membanggakannya, seorang ibu yang menyayanginya dan seorang kekasih yang membalas cintanya. Semua itu hanya omong kosong belaka. Dan sampai di titik ini, Grassiela masih tak mengerti mengapa semua orang menyakitinya? Mengapa tak ada kebahagiaan yang datang menghapirinya?Akhirnya dia berhenti. Berdiri di pinggir jalanan yang sepi dengan guyuran hujan yang menyirami bumi. Dengan napasnya yang terengah akhirnya ia terduduk di tanah. Menangis pun kini tak ada gunanya. Grassiela hanya bisa meratapi dirinya sendiri. Lantas apa yang
Suara mesin fax terdengar berderit dengan konstan di dalam ruang kerja itu. Seorang wanita muda berseragam pelayan berdiri di hadapannya menahan cemas. Sesekali dia mengedarkan pandangannya dan memastikan bahwa tak ada orang lain yang masuk ke dalam ruangan dan melihatnya melakukan sesuatu di sana. Semoga surat itu sampai dengan cepat.Tiga jam yang lalu sang nona muda memanggil pelayan pribadinya dan menyerahkan selembar kertas."Aku ingin James Draxler membacanya hari ini juga. Dan pastikan, bahwa kedua orangtuaku tidak mengetahuinya," titah Grassiela kemudian dia mengangkat kedua bahunya. "Aku tidak peduli bagaimana caranya."Rasa bersalah karena telah menyembunyikan fakta dari sang nona masih berlarut dalam diri Gretta. Dia tidak mempunyai pilihan selain menuruti perintah itu. Maka Gretta harus berpikir keras. Dia tidak mungkin terbang ke Rusia saat ini juga demi menyampaikan secarik surat tersebut. Dia juga tak bisa mencari nomor pribadi pria yang merupakan tunangan dari majikanny