Sebuah pernikahan. Ikatan yang sakral. Janji yang terucap di hadapan Tuhan. Dua cincin yang disematkan di jari manis masing-masing. Perjanjian pernikahan. Sekuntum mawar merah. Seuntai kalung berlian. Sebutir peluru. Setets air mata. Dan, sebuah nyawa. Grassiela mengusap perutnya yang mulai membuncit. Dia menatap dari balik jendela tinggi kamarnya, sorot matanya penuh gejolak. Puluhan mobil yang melaju mendekati kastil berdinding batu tua yang telah berdiri berabad lamanya. Langit pagi di atas Cestershire diselimuti kabut tipis, menciptakan kesan seperti medan perang yang baru akan dimulai. Dia beranjak, keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa, jantungnya berdetak kencang tak karuan. Setiap desah napas membawa kecemasan yang kian mencekik. Sejak kabar mobil-mobil hitam itu datang, hatinya tak bisa tenang. Apakah itu James? Apakah dia datang untuk membalas? Ataukah dia datang untuk membawanya kembali ke Moscow? Greta, pelayan setianya, berusaha menghalangi. “Nona, tolong kembal
Di pinggiran kota Newcastle, di sebuah rumah tua bergaya Victoria yang berdiri tenang di tengah kabut musim semi, Alfonso Stamford sedang duduk di ruang kerjanya. Bangunan ini terlihat biasa dari luar—halaman rapi, pagar besi tua, jendela besar menghadap taman. Namun di dalamnya, rumah itu adalah bekas markas yang sunyi dari seorang pria yang dahulu dikenal sebagai maestro strategi keluarga Stamford. Waktu menunjukkan pukul 17.06 ketika notifikasi muncul di pojok layar laptop tua Alfonso. Hanya satu nama: Grassiela. Ia menatap layar dalam diam, lalu membuka pesan terenkripsi itu. Di dalamnya, laporan singkat dalam bahasa administratif yang terlalu rapi untuk dianggap biasa. Namun Alfonso tentu dapat langsung memahaminya. Properti Moskow berarti mansion Draxler. Penghuninya tak lagi bersahabat. Karantina dan kosongkan berarti semua orang harus keluar. Bersihkan dari struktur lama, dan api bisa digunakan — artinya: bakar habis! Alfonso tidak tersenyum. Tapi dari sorot matanya yan
Penjara Moskow, dini hari. Udara lembap menusuk tulang, dan dinding batu berlumut memantulkan suara tetesan air yang lambat namun menyiksa. Di dalam sel yang suram, James duduk di atas bangku besi tanpa sandaran. Wajahnya muram, matanya menyala dengan amarah yang tertahan.Pintu besi terbuka di ujung lorong. Seorang pria berjas gelap dengan koper kulit berjalan cepat menghampiri. Sergei Navaly, pengacaranya datang.“Apa yang kau bawa?” tanya James tajam, bahkan sebelum Sergei sempat menyapa.Sergei mendekat ke jeruji, membuka berkas yang ia bawa. “Gugatan sudah didaftarkan resmi tadi malam. Tuduhan pemalsuan dokumen kepemilikan Romeo's Night. Sidang perdana dijadwalkan minggu depan.”James menyeringai sinis. “Keparat mana yang punya nyali bermain seperti ini?”Sergei menatap James tajam. Ia tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Vadim Ivanov. Yang mengajukan gugatan adalah kuasa hukum Grassiela.”Keheningan tiba-tiba
Cahaya matahari pagi menerobos masuk lewat tirai tipis, menari di atas lantai marmer yang mengilap. Kamar itu terasa tenang dengan warna pastel mendominasi. Di sisi ruangan, meja rias tampak tertata rapi dengan peralatan make-up dan parfum mahal. Di hadapan cermin oval berbingkai kayu, Grassiela tengah duduk, mengenakan gaun krem lembut yang menonjolkan siluet kehamilannya yang masih muda. Rambutnya ditata rapi, dan bibirnya dipoles warna nude yang lembut.Tangannya membuka botol kecil berisi vitamin, meneguk satu kapsul dengan segelas air putih. Sejenak ia mengusap perutnya dengan lembut, bibirnya tersenyum samar.Pintu diketuk pelan. Setelah mendapat ijin, seorang pelayan masuk dengan sopan."Nona, semua persiapan keberangkatan sudah siap," ucap Greta. "Koper Anda sudah di dalam mobil. Nyonya Alexa sedang bersiap, dan seorang perawat sudah menunggu di bawah."Grassiela bangkit dari meja rias. "Bagus. Pastikan dokumen sementara dan hasil pem
Langit mendung menggantung rendah di atas manor Gluzenskov, membungkus dinding batu tua dalam dingin kelabu yang menyayat. Hujan masih menetes tipis seperti bisikan duka dari langit. Di dalam kamar tua dengan jendela lebar yang berembun, James terbangun dari pingsannya. Matanya terbuka perlahan, samar, penuh beban. Napasnya berat, dadanya sesak, otaknya belum sepenuhnya memahami apa yang baru saja terjadi. Begitu kesadarannya pulih, James langsung bangkit kasar dari ranjang. Seorang dokter, pelayan, dan beberapa pengawal di sudut ruangan buru-buru mendekat. Tapi sebelum satu pun sempat menyentuhnya— “Keluar,” ucap James pelan tapi tajam. Tak ada yang bergerak. “Keluar. SEMUA!” ulangnya, kali ini disertai lemparan botol kaca dari meja samping ke dinding, meledak seperti granat kecil. Orang-orang bergegas mundur tanpa sepatah kata. Hanya Alexsei yang tersisa. Ia berdiri tegak di dekat pintu, tangannya menyilang di dada. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi. Matanya tajam, dingin, sep
Hujan rintik-rintik jatuh membasahi tanah. Lampu jalan berpendar sayu, nyaris tak mampu menembus kabut malam yang menggantung rendah. Benicio berdiri tegak, mengenakan jas hitam yang kuyup, matanya tajam menatap Alexsei yang berdiri beberapa langkah darinya, tampak kaku dan enggan menatap balik.Dengan suara berat dan penuh tekanan, Benicio berkata, "Aku tahu, ada yang terjadi di malam itu. Dan kau menyembunyikan sesuatu."Alexsei mendengus. "Apa maumu?"Benicio mendekat dengan tatapan tajam."Apa rencanamu? Apa yang akan kau lakukan dengan perintah James kali ini? Tidak ada mayat. Tidak ada peluru yang kau lepaskan. Tidak ada penjelasan."Rahang Alexsei mengencang. Tangannya mengepal di balik mantel. Ia tahu ia seharusnya tidak berbicara, tapi sorot mata Benicio memaksanya."Grassiela masih hidup, kan?" suara Benicio meninggi, penuh dorongan emosi.Alexsei menunduk. Diam. Bahunya tegang, tapi ia tak mengatakan sepatah k