Chapter 3
***"Kau akan mendapat masalah jika tidak membawa gaunnya. Jangan terlambat, aku akan berada di panti asuhan lima belas menit lagi."Grassiela nyaris melempar ponselnya setelah membaca pesan text tersebut. Sial! Dia sudah terlambat. Isabele benar-benar menyebalkan dan Grassiela tak punya pilihan selain menyambar tas kertas berisikan gaun yang belum lama ini ia miliki sebelum terburu-buru menuju mobilnya di pelataran.Entah permasalahan macam apa yang akan Isabele ciptakan jika Grssiela tidak melakukan perintahnya. Sesungguhnya ia yakin bahwa ancaman itu hanyalah omong kosong belaka dan Grassiela sama sekali tidak peduli. Tapi pagi ini suasana hati wanita itu sedang tidak baik. Ada resah yang sejak semalam bergumul dalam hatinya. Grassiela tak tahu mengapa, tapi ia merasa bahwa pagi ini dirinya memang harus segera menemui sahabatnya.Lari-lari kecil itu mendadak terhenti tepat di depan pintu utama. Grassiela mendengus kesal saat mendapati seorang pria pelontos bertubuh besar berdiri di hadapannya."Apa lagi? Jangan halangi jalanku!" bentak wanita muda itu."Saya harus mengingatkan, bahwa sekarang adalah hari terakhir anda berada di kota ini."Grassiela berdecak. Ia sudah mengetahuinnya. Berkali-kali pengawal pribadinnya itu mengingatkan tetapi ia sama sekali tak peduli. Lantas dengan menghela napas panjang, ia menahan segala emosinya. "Bagaimana jika aku tetap tak ingin pergi?""Maka Tuan besar akan memberi anda peringatan terakhir," jawab sang pengawal pasti."Sungguh? Kalau begitu mari kita lihat, peringatan terakhir apa yang akan ayahku kirimkan sebagai kejutan." Grassiela menabrak sisi tubuh pria itu kemudian masuk ke dalam mobilnya dan pergi melaju.---Pria baya berusia lebih dari setengah abad itu kini tengah menatap sebuah foto berukuran besar yang menggantung di atas perapian. Pasangan suami istri yang baru saja menikah tampak bahagia pada gambar hitam putih di hadapannya. Seakan masih bisa merasakan kebahagiaannya dahulu, Fyodor Draxler tersenyum. Meski rasa rindu selalu merasuk setiap kali ia memandang foto mendiang istrinya, tapi pria itu telah lama merelakannya.Setidaknya, Yulia sudah bahagia di alam sana.Saat ketukan di pintu kayu yang besar terdengar, secara refleks Fyodor menoleh. Matanya yang kelabu memandang seorang wanita muda bertubuh ramping yang melenggang masuk. Tercium aroma lezat dari dua cangkir kopi panas pada nampan di tangan wanita itu."Kau masih tampan seperti dulu," gurau Violet sambil meletakan nampannya di atas meja.Fyodor terhibur mendengarnya hingga ia tertawa kecil. Lantas Violet merangkulnya dan ikut memandangi foto berbingkai emas itu."Aku sudah tua sekarang," ucap Fyodor setelah menghela napas panjang.Violet memandang pria di sampingnya dan memberikan senyuman menggoda. "Bagiku kau yang paling tampan." Satu kecupan singkat ia hadiahkan tepat di bibir pria yang lebih pantas menjadi ayahnya itu."Apa kau tidak pernah melihat pria muda lain?""Pria muda mana? Sudah kukatakan, di mataku kau yang paling tampan.""Bagaimana dengan James?"Violet mendengus lalu menjauh untuk mengambilkan secangkir kopi untuk suaminya. "Dia sangat mirip denganmu. Tampan, berkarisma dan menggoda. Tapi aku tidak yakin berapa banyak wanita yang berani mendekatinya.""Hal itulah yang sedang aku cemaskan." Fyodor menerima kopi itu kemudian mendudukkan tubuhnya di sofa. "Kau tahu bagaimana dia. Aku khawatir James tidak bisa bersikap baik pada wanita manapun."Kening Violet berkerut. "Apa yang sebenarnya kau bicarakan?" Lalu sebuah pemikiran membuatnya mendadak terkejut. "Tunggu dulu. Kau sudah menemukannya?"Fyodor menyesap kopi di cangkir itu dan menikmati sensasi pahit yang khas sambil memejamkan mata. Ia lantas berkata, "Aku sudah mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai anak gadis lain kecuali salah seorang putri dari janda Roseu. Tapi si berengsek itu bersih keras.""Kau sudah menelusuri keluarga Stamford. Tapi James tak mungkin salah. Dia tak mungkin bermain-main saat mengatakan apa yang benar-benar dia inginkan," Violet berpendapat.Fyodor mengangguk. Ia meletakkan cangkir kopi itu di atas meja lalu melipat kedua tangannya. "Awalnya aku berpikir seperti itu. Sampai secara mengejutkan Alfonso Stamford menghubungiku.""Benarkah? Apa yang kalian bicarakan?" ucap Violet antusias.Fyodor tersenyum penuh arti. "James akan segera bertolak ke Inggris."---Dengan kecepatan sedang Grassiela membawa mobilnya pergi meninggalkan st. Leonard, sebuah kawasan perumahan di mana selama beberapa tahun terakhir ini ia tinggal. Bagi Grassiela, rumah mungil yang nyaman dan tenang sudah cukup untuk ia tinggali bersama kedua pelayannya. Sementara bagi ayahnya, keamanan lah yang terpenting. Alfonso mengirimkan beberapa orang pengawal dan itu bukan masalah selama Grassiela masih diijinkan untuk tinggal di kota ini.Kedua iris biru itu masih tertuju ke jalanan di depannya, tapi benaknya tak berada di sana. Ancaman dari Isabele Lerager mungkin sama sekali tidak ia pedulikan, namun peringatan dari ayahnya sukses membuat Grassiela gelisah.Demi Tuhan, sekarang untuk apa keluarganya menginginkan ia kembali ke Newcastle? Pemikiran itu membuat Grassiela geram. Bertahun-tahun yang lalu mereka meninggalkannya sendirian di Toronto sampai kekecewaan yang mendalam perlahan berubah menjadi kebencian. Grassiela bersumpah, ia tak akan pernah mau kembali ke rumahnya lagi.Selama ini Alfonso dan Helena telah memberi Grassiela kebebasan untuk melakukan apa yang dia inginkan, menjamin seluruh kehidupannya serta menjaga keamanannya. Mereka bahkan tidak ambil pusing meski putrinya memilih tak pulang di hari-hari libur. Selama Grassiela tetap aman dan tidak mencemarkan nama baik keluarga, itu sudah cukup. Tapi apakah hubungan seperti itu bisa dikatakan sebagai keluarga?Grassiela tak merasakannya.Lantas mengapa kini ia harus menjadi bagian dari keluarga Stamford lagi? Apa yang akan ayahnya lakukan jika ia bersih keras tak ingin kembali? Apakah para pengawalnya itu akan memaksa dengan melakukan kekerasan? Apapun yang terjadi, Grassiela bertekad untuk tetap kembali ke kota ini.Tanpa terasa, mobil yang ia kemudikan sampai di area parkir sebuah panti asuhan. Humanitarian Gift adalah salah satu lembaga filantropi yang dipercaya mengelola serta menyalurkan dana sosial untuk pemberdayaan masyarakat. Mereka mempunyai banyak program yang berfokus dari kota ini hingga ke berbagai negara. Grassiela berpikir bahwa dengan mengabdikan dirinya untuk kegiatan amal, ia dapat mengapus sedikit demi sedikit rasa bersalahnya di masa lalu. Jika saja, Alfonso memberinya kebebasan lebih, Grassiela akan memilih untuk menjadi seorang relawan di medan perang. Tapi tentu saja, keluarganya tak memberi ijin.Dan pagi ini, dia mendapat tugas untuk melangsungkan sebuah acara sosial bersama timnya di sebuah panti asuhan. Jaraknya sekitar dua belas meter dari tempat Grassiela memarkirkan mobilnya sampai ke geduang tua itu. Saat ia berjalan, tanpa sengaja pandangannya menangkap pasangan muda yang tengah berbincang dengan seorang teman relawannya. Lalu tak lama, mereka tampak masuk melalui pintu utama.Grassiela mengangkat sudut bibirnya sambil terus berjalan. Rupanya Isabele memang sudah datang lebih dulu. Tapi ia yakin bahwa hal itu tidak akan terjadi jika Thom tidak menjemput kekasihnya tepat waktu. Grassiela teringat bagaimana dirinya dan Isabele kerap bangun kesiangan dan mereka harus berlari di sepanjang koridor asrama agar tidak terlambat masuk kelas. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu, dan ia tidak menyangka bahwa pertemanan mereka akan sampai hingga hari ini.Ada sedikit perasaan sedih saat Grassiela mengingat jika sahabat lamanya itu akan segera menikah. Ia tak lupa bahwa salah satu cita-cita Isabela ketika masih kecil adalah menjadi seorang putri dan menikah dengan pangeran. Itu adalah impian setiap gadis kecil, termasuk dirinya. Namun saat Isabele mengenalkannya dengan Thomas Hansen, Grassiela dapat melihat bahwa pria itu memang mencintai sahabatnya. Thom mungkin bersikap baik dan tampak menyayangi Isabele. Hal itu membuat Grassiela lega. Akhirnya Isabele benar-benar akan menikah bersama pangerannya.Lantas, bagaimana dengan masa depan Grassiela sendiri? Akankah seseorang hadir dalam hidupnya? Tepat ketika pemikiran itu melintas, suara dentuman keras terdengar hingga menggetarakan tempatnya berpijak.Boom.Tubuh Grassiela terhempas sejauh setengah meter ke dasar tanah.Semua orang berteriak panik ketika ledakan keras mengguncang sebuah panti asuhan ternama di Toronto.Grassiela membuka kedua matanya dan yang ia lihat adalah kabut debu yang tebal. Telinganya masih berdengung saat ia mencoba untuk bernapas dengan normal tanpa terbatuk-batuk lagi.Ketika ia berusaha bangkit, seseorang datang untuk membantunya berdiri. Grassiela mengangguk berkali-kali pada pria plontos itu sebagai jawaban bahwa dirinya baik-baik saja.Tapi tunggu dulu, apa yang baru saja terjadi? Grassiela mendadak terserang panik mengingat bahwa ada banyak anak-anak bersama tim relawannya terjebak di dalam gedung yang meledak itu!Lalu Isabele?Spontan Grssiela meronta dan meneriakkan nama sahabatnya. Suaranya nyaris tak terdengar ditelan keramaian. Entah apa yang terjadi pada Isabele karena dia berada di dalam bersama Thom saat ledakan terjadi. Ketika kabut debu sedikit menipis, Grassiela dapat melihat gedung yang rusak bersama beberapa titik api dari balik jendelanya. Ia menangis dan tak bisa berbuat apa-apa karena pengawalnya tetap berusaha membatasi pergerakannya.Lantas perlahan pandangan Grassiela beralih pada pria di sampingnya. Tak ada kekhawatiran yang berarti dari ekspresi sang pengawal. Tatapannya dalam dan tangis Grassiela terhenti. Ia mulai menyadari apa yang baru saja terjadi.Perlahan ia bergerak untuk menjauh. Grassiela menatap kepanikan serta gedung rusak di hadapannya dengan nanar. Kabut debu masih berputar di udara. Suara sirine mobil polisi, pemadam kebakaran dan ambulan terdengar. Mereka mulai sibuk mengevakuasi korban. Beruntung, Grassiela tidak mendapatkan luka yang berarti. Atau mereka mungkin sudah memperhitungkannya. Maka dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, Grassiela berbalik dan mulai melangkah.Rasa bersalah yang mendalam seakan menamparnya hingga ia tersadar siapa dirinya dan bagaimana cara keluarganya bekerja. Grassiela menyadari bahwa dirinya harus segera mengambil sebuah keputusan. Ia menyeka air matanya dengan kasar lalu melangkah pasti bersama amarah serta kekecewaan yang melukai hati.Mungkin ini akhirnya. Mungkin ini saatnya. Grassiela benar-benar harus kembali.Di depannya, dua buah mobil berwarna hitam tengah menunggu. Pria plontos berseragam hitam tadi berjalan mendahuluinya dan membukakan pintu mobil untuknya. Mereka benar, Grassiela tidak punya pilihan.Seolah tak tahu menahu dengan ledakan yang terjadi di sana, wanita muda itu memasuki mobil. Mereka kemudian melaju meninggalkan kekacauan yang ada.***Angin berembus ringan, namun ketegangan di antara keduanya jauh lebih tajam dari udara pegunungan. Dedaunan bergoyang pelan di sekitar mereka. James meraih tangan Grassiela sebelum wanita itu sempat melangkah pergi, seolah takut kehilangan. Lagi.Mereka saling menatap. Pandangan yang dulu pernah menyala karena cinta, benci, dendam, kini dipenuhi luka dan sisa-sisa rasa yang tak pernah benar-benar padam.“Masuklah,” ucap James lirih, suaranya lebih lembut dari sebelumnya. “Istirahatlah sebentar. Kau terlihat lelah.”“Aku tidak datang untuk itu,” sahut Grassiela, masih berusaha mempertahankan keteguhan suaranya. “Aku datang untuk permintaan yang tak kau penuhi.”“Kalau begitu seharusnya kau tak datang,” jawab James, lalu tanpa menunggu izin, dia membungkuk dan mengangkat Grassiela ke dalam pangkuannya.“James, turunkan aku...”“Jangan mencoba memberontak,” bisiknya tajam namun terdengar cemas. “Kau bahkan terlalu lemah untuk b
Langit biru terbentang tanpa cela, hanya diwarnai oleh satu titik hitam yang membesar mendekat—sebuah helikopter pribadi tipe AgustaWestland AW109, elegan dengan lapisan logam mengilap dan logo kecil Sicaryovskaya di pintunya. Dari kejauhan, suara baling-baling memecah keheningan di atas perbukitan. Di bawahnya, tersembunyi di tengah rindangnya pepohonan pinus dan bunga mawar liar, berdiri sebuah bangunan megah bergaya klasik Eropa—bukan seperti penjara, melainkan seperti resort milik bangsawan yang sedang “mengasingkan diri.” Helikopter mendarat mulus di atas helipad pribadi di sisi timur kompleks. Angin dari putaran baling-baling menyingkap tirai-tirai tipis yang tergantung di gazebo dekat taman. Pintu helikopter terbuka. Turunlah Grassiela, perlahan namun tegas, mengenakan mantel wol merah panjang yang menutupi tubuhnya yang kini tengah hamil besar. Rambutnya diikat anggun, sepatu hak rendah menjejak ringan di tanah, wajahnya teduh namun kuat. Di belakangnya, Greta, seorang pela
Ruang rapat utama di lantai tertinggi gedung Daxprom dipenuhi aroma kopi hangat dan kilauan cahaya matahari yang menembus jendela besar. Meja panjang dari kaca gelap membentang di tengah para eksekutif perusahaan, semuanya mengenakan setelan formal. Di ujung meja duduk Fyodor Draxler, penuh wibawa dengan tatapan yang berkharisma.Ia menatap sekeliling ruangan sebelum akhirnya membuka suara, “Sebelum kita mulai, izinkan saya memperkenalkan seseorang yang akan menjadi bagian penting dari arah baru Daxprom ke depan.”Semua mata tertuju pada Grassiela, yang duduk tenang di samping Fyodor. Mengenakan gaun formal putih selutut dan blazer biru muda, tampil anggun dan profesional. Senyumnya tipis, namun matanya memancarkan ketegasan.“Grassiela Draxler,” lanjut Fyodor, “adalah salah satu pemegang saham utama kini. Saya harap kalian semua menyambutnya dengan rasa hormat yang setimpal.”Tepuk tangan singkat terdengar. Beberapa wajah tampak menahan eksp
Sisa-sisa ketegangan masih menggantung di udara, tapi kini—menjadi lebih dingin. Lebih gelap. Pukulan terus mendarat di tubuh James. Tinju, tendangan, hentakan sepatu ke perut dan punggungnya—namun tak ada satu pun keluhan keluar dari mulutnya. James tetap diam. Tetap angkuh. Tanpa penyesalan. Meski tubuhnya diguncang rasa sakit, matanya tak tunduk. Bahkan dalam keadaan seperti ini, dia tetap menatap Grassiela seolah berkata: “Kau tak akan bisa menjatuhkanku.” Senyuman iblis itu masih ada di sudut bibirnya. Arogan. Tak gentar. Dan justru itulah… yang membakar emosi Grassiela. Dia memerintahkan para pengawalnya untuk terus memukuli suaminya tanpa ampun. "Sampah..," umpat Grassiela seperti bergumam. Matanya menatap nanar, tak percaya bahwa siksaan ini sama sekali tidak membuat James goyah. Para pengawal terus menghajarnya. Suara pukulan, desahan tertahan, dan hentakan kaki menggema di antara reruntuhan bangunan megah yang kini menjadi panggung pembalasan dendam. Gra
Iring-iringan mobil hitam melaju membelah jalanan Moscow. Sebuah jalan lengang menuju distrik khusus—wilayah yang hanya dihuni oleh orang-orang berkuasa, berdinding tinggi dengan lapisan keamanan berlapis, tak mudah ditembus oleh mata awam. Sirene pengawal tak berbunyi, tapi keberadaannya cukup memberi pesan bahwa yang lewat bukan orang sembarangan.Di dalam salah satu mobil itu, suasana begitu tegang. Grassiela duduk berhadapan dengan kedua orangtuanya. Helena tampak cemas. Jemarinya menggenggam erat clutch kecil di pangkuannya, sorot matanya tak pernah lepas dari wajah putrinya. Ketakutan yang menghantuinya sejak dulu belum juga reda.Bagaimana jika bajingan itu menyakitinya lagi? Pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya, tapi tak mampu ia utarakan lagi.Sementara Grassiela duduk dengan tenang. Hanya matanya yang bergerak memandangi keluar jendela. Jalanan berwarna kelabu, pucat dalam pantulan lampu jalan yang remang. Ingatannya kembali ke masa
Lampu ruang keluarga menyala lembut, menciptakan suasana hangat yang kontras dengan ketegangan di dalamnya. Helena berdiri di depan jendela, memeluk tubuhnya sendiri, sementara Alfonso duduk tenang di sofa. Grassiela, yang baru saja menyampaikan niatnya untuk menemui James, berdiri di tengah ruangan seperti pusat badai.Keheningan seketika menggantung di udara.Helena membeku, matanya membelalak. Dalam sekejap, tubuhnya terasa lemas.“Apa yang kau katakan barusan?” suara Helena nyaris berbisik, seolah berharap dirinya salah dengar.Grassiela tidak mengulanginya. Ia hanya menatap ibunya dengan tenang.Helena menutup mulutnya dengan tangan, lalu menggeleng perlahan. “Tidak. Tidak, Grace. Kau pasti bercanda. Ini... ini gila.”Dengan menahan panik, ia berdiri di hadapan putrinya, kedua tangannya menggenggam lengan Grassiela seolah ingin menahannya agar tidak pergi ke mana-mana. "Kau tidak bersungguh-sungguh, kan? Katakan bahwa ini ha