Beranda / Romansa / Broken Flower / 3. Last warning

Share

3. Last warning

Penulis: Ikabelatrix
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-09 20:32:44

Chapter 3

***

"Kau akan mendapat masalah jika tidak membawa gaunnya. Jangan terlambat, aku akan berada di panti asuhan lima belas menit lagi."

Grassiela nyaris melempar ponselnya setelah membaca pesan text tersebut. Sial! Dia sudah terlambat. Isabele benar-benar menyebalkan dan Grassiela tak punya pilihan selain menyambar tas kertas berisikan gaun yang belum lama ini ia miliki sebelum terburu-buru menuju mobilnya di pelataran.

Entah permasalahan macam apa yang akan Isabele ciptakan jika Grssiela tidak melakukan perintahnya. Sesungguhnya ia yakin bahwa ancaman itu hanyalah omong kosong belaka dan Grassiela sama sekali tidak peduli. Tapi pagi ini suasana hati wanita itu sedang tidak baik. Ada resah yang sejak semalam bergumul dalam hatinya. Grassiela tak tahu mengapa, tapi ia merasa bahwa pagi ini dirinya memang harus segera menemui sahabatnya.

Lari-lari kecil itu mendadak terhenti tepat di depan pintu utama. Grassiela mendengus kesal saat mendapati seorang pria pelontos bertubuh besar berdiri di hadapannya.

"Apa lagi? Jangan halangi jalanku!" bentak wanita muda itu.

"Saya harus mengingatkan, bahwa sekarang adalah hari terakhir anda berada di kota ini."

Grassiela berdecak. Ia sudah mengetahuinnya. Berkali-kali pengawal pribadinnya itu mengingatkan tetapi ia sama sekali tak peduli. Lantas dengan menghela napas panjang, ia menahan segala emosinya. "Bagaimana jika aku tetap tak ingin pergi?"

"Maka Tuan besar akan memberi anda peringatan terakhir," jawab sang pengawal pasti.

"Sungguh? Kalau begitu mari kita lihat, peringatan terakhir apa yang akan ayahku kirimkan sebagai kejutan." Grassiela menabrak sisi tubuh pria itu kemudian masuk ke dalam mobilnya dan pergi melaju.

---

Pria baya berusia lebih dari setengah abad itu kini tengah menatap sebuah foto berukuran besar yang menggantung di atas perapian. Pasangan suami istri yang baru saja menikah tampak bahagia pada gambar hitam putih di hadapannya. Seakan masih bisa merasakan kebahagiaannya dahulu, Fyodor Draxler tersenyum. Meski rasa rindu selalu merasuk setiap kali ia memandang foto mendiang istrinya, tapi pria itu telah lama merelakannya.

Setidaknya, Yulia sudah bahagia di alam sana.

Saat ketukan di pintu kayu yang besar terdengar, secara refleks Fyodor menoleh. Matanya yang kelabu memandang seorang wanita muda bertubuh ramping yang melenggang masuk. Tercium aroma lezat dari dua cangkir kopi panas pada nampan di tangan wanita itu.

"Kau masih tampan seperti dulu," gurau Violet sambil meletakan nampannya di atas meja.

Fyodor terhibur mendengarnya hingga ia tertawa kecil. Lantas Violet merangkulnya dan ikut memandangi foto berbingkai emas itu.

"Aku sudah tua sekarang," ucap Fyodor setelah menghela napas panjang.

Violet memandang pria di sampingnya dan memberikan senyuman menggoda. "Bagiku kau yang paling tampan." Satu kecupan singkat ia hadiahkan tepat di bibir pria yang lebih pantas menjadi ayahnya itu.

"Apa kau tidak pernah melihat pria muda lain?"

"Pria muda mana? Sudah kukatakan, di mataku kau yang paling tampan."

"Bagaimana dengan James?"

Violet mendengus lalu menjauh untuk mengambilkan secangkir kopi untuk suaminya. "Dia sangat mirip denganmu. Tampan, berkarisma dan menggoda. Tapi aku tidak yakin berapa banyak wanita yang berani mendekatinya."

"Hal itulah yang sedang aku cemaskan." Fyodor menerima kopi itu kemudian mendudukkan tubuhnya di sofa. "Kau tahu bagaimana dia. Aku khawatir James tidak bisa bersikap baik pada wanita manapun."

Kening Violet berkerut. "Apa yang sebenarnya kau bicarakan?" Lalu sebuah pemikiran membuatnya mendadak terkejut. "Tunggu dulu. Kau sudah menemukannya?"

Fyodor menyesap kopi di cangkir itu dan menikmati sensasi pahit yang khas sambil memejamkan mata. Ia lantas berkata, "Aku sudah mengatakan bahwa mereka tidak mempunyai anak gadis lain kecuali salah seorang putri dari janda Roseu. Tapi si berengsek itu bersih keras."

"Kau sudah menelusuri keluarga Stamford. Tapi James tak mungkin salah. Dia tak mungkin bermain-main saat mengatakan apa yang benar-benar dia inginkan," Violet berpendapat.

Fyodor mengangguk. Ia meletakkan cangkir kopi itu di atas meja lalu melipat kedua tangannya. "Awalnya aku berpikir seperti itu. Sampai secara mengejutkan Alfonso Stamford menghubungiku."

"Benarkah? Apa yang kalian bicarakan?" ucap Violet antusias.

Fyodor tersenyum penuh arti. "James akan segera bertolak ke Inggris."

---

Dengan kecepatan sedang Grassiela membawa mobilnya pergi meninggalkan st. Leonard, sebuah kawasan perumahan di mana selama beberapa tahun terakhir ini ia tinggal. Bagi Grassiela, rumah mungil yang nyaman dan tenang sudah cukup untuk ia tinggali bersama kedua pelayannya. Sementara bagi ayahnya, keamanan lah yang terpenting. Alfonso mengirimkan beberapa orang pengawal dan itu bukan masalah selama Grassiela masih diijinkan untuk tinggal di kota ini.

Kedua iris biru itu masih tertuju ke jalanan di depannya, tapi benaknya tak berada di sana. Ancaman dari Isabele Lerager mungkin sama sekali tidak ia pedulikan, namun peringatan dari ayahnya sukses membuat Grassiela gelisah.

Demi Tuhan, sekarang untuk apa keluarganya menginginkan ia kembali ke Newcastle? Pemikiran itu membuat Grassiela geram. Bertahun-tahun yang lalu mereka meninggalkannya sendirian di Toronto sampai kekecewaan yang mendalam perlahan berubah menjadi kebencian. Grassiela bersumpah, ia tak akan pernah mau kembali ke rumahnya lagi.

Selama ini Alfonso dan Helena telah memberi Grassiela kebebasan untuk melakukan apa yang dia inginkan, menjamin seluruh kehidupannya serta menjaga keamanannya. Mereka bahkan tidak ambil pusing meski putrinya memilih tak pulang di hari-hari libur. Selama Grassiela tetap aman dan tidak mencemarkan nama baik keluarga, itu sudah cukup. Tapi apakah hubungan seperti itu bisa dikatakan sebagai keluarga?

Grassiela tak merasakannya.

Lantas mengapa kini ia harus menjadi bagian dari keluarga Stamford lagi? Apa yang akan ayahnya lakukan jika ia bersih keras tak ingin kembali? Apakah para pengawalnya itu akan memaksa dengan melakukan kekerasan? Apapun yang terjadi, Grassiela bertekad untuk tetap kembali ke kota ini.

Tanpa terasa, mobil yang ia kemudikan sampai di area parkir sebuah panti asuhan. Humanitarian Gift adalah salah satu lembaga filantropi yang dipercaya mengelola serta menyalurkan dana sosial untuk pemberdayaan masyarakat. Mereka mempunyai banyak program yang berfokus dari kota ini hingga ke berbagai negara. Grassiela berpikir bahwa dengan mengabdikan dirinya untuk kegiatan amal, ia dapat mengapus sedikit demi sedikit rasa bersalahnya di masa lalu. Jika saja, Alfonso memberinya kebebasan lebih, Grassiela akan memilih untuk menjadi seorang relawan di medan perang. Tapi tentu saja, keluarganya tak memberi ijin.

Dan pagi ini, dia mendapat tugas untuk melangsungkan sebuah acara sosial bersama timnya di sebuah panti asuhan. Jaraknya sekitar dua belas meter dari tempat Grassiela memarkirkan mobilnya sampai ke geduang tua itu. Saat ia berjalan, tanpa sengaja pandangannya menangkap pasangan muda yang tengah berbincang dengan seorang teman relawannya. Lalu tak lama, mereka tampak masuk melalui pintu utama.

Grassiela mengangkat sudut bibirnya sambil terus berjalan. Rupanya Isabele memang sudah datang lebih dulu. Tapi ia yakin bahwa hal itu tidak akan terjadi jika Thom tidak menjemput kekasihnya tepat waktu. Grassiela teringat bagaimana dirinya dan Isabele kerap bangun kesiangan dan mereka harus berlari di sepanjang koridor asrama agar tidak terlambat masuk kelas. Itu sudah bertahun-tahun yang lalu, dan ia tidak menyangka bahwa pertemanan mereka akan sampai hingga hari ini.

Ada sedikit perasaan sedih saat Grassiela mengingat jika sahabat lamanya itu akan segera menikah. Ia tak lupa bahwa salah satu cita-cita Isabela ketika masih kecil adalah menjadi seorang putri dan menikah dengan pangeran. Itu adalah impian setiap gadis kecil, termasuk dirinya. Namun saat Isabele mengenalkannya dengan Thomas Hansen, Grassiela dapat melihat bahwa pria itu memang mencintai sahabatnya. Thom mungkin bersikap baik dan tampak menyayangi Isabele. Hal itu membuat Grassiela lega. Akhirnya Isabele benar-benar akan menikah bersama pangerannya.

Lantas, bagaimana dengan masa depan Grassiela sendiri? Akankah seseorang hadir dalam hidupnya? Tepat ketika pemikiran itu melintas, suara dentuman keras terdengar hingga menggetarakan tempatnya berpijak.

Boom.

Tubuh Grassiela terhempas sejauh setengah meter ke dasar tanah.

Semua orang berteriak panik ketika ledakan keras mengguncang sebuah panti asuhan ternama di Toronto.

Grassiela membuka kedua matanya dan yang ia lihat adalah kabut debu yang tebal. Telinganya masih berdengung saat ia mencoba untuk bernapas dengan normal tanpa terbatuk-batuk lagi.

Ketika ia berusaha bangkit, seseorang datang untuk membantunya berdiri. Grassiela mengangguk berkali-kali pada pria plontos itu sebagai jawaban bahwa dirinya baik-baik saja.

Tapi tunggu dulu, apa yang baru saja terjadi? Grassiela mendadak terserang panik mengingat bahwa ada banyak anak-anak bersama tim relawannya terjebak di dalam gedung yang meledak itu!

Lalu Isabele?

Spontan Grssiela meronta dan meneriakkan nama sahabatnya. Suaranya nyaris tak terdengar ditelan keramaian. Entah apa yang terjadi pada Isabele karena dia berada di dalam bersama Thom saat ledakan terjadi. Ketika kabut debu sedikit menipis, Grassiela dapat melihat gedung yang rusak bersama beberapa titik api dari balik jendelanya. Ia menangis dan tak bisa berbuat apa-apa karena pengawalnya tetap berusaha membatasi pergerakannya.

Lantas perlahan pandangan Grassiela beralih pada pria di sampingnya. Tak ada kekhawatiran yang berarti dari ekspresi sang pengawal. Tatapannya dalam dan tangis Grassiela terhenti. Ia mulai menyadari apa yang baru saja terjadi.

Perlahan ia bergerak untuk menjauh. Grassiela menatap kepanikan serta gedung rusak di hadapannya dengan nanar. Kabut debu masih berputar di udara. Suara sirine mobil polisi, pemadam kebakaran dan ambulan terdengar. Mereka mulai sibuk mengevakuasi korban. Beruntung, Grassiela tidak mendapatkan luka yang berarti. Atau mereka mungkin sudah memperhitungkannya. Maka dengan berbagai perasaan yang berkecamuk dalam hatinya, Grassiela berbalik dan mulai melangkah.

Rasa bersalah yang mendalam seakan menamparnya hingga ia tersadar siapa dirinya dan bagaimana cara keluarganya bekerja. Grassiela menyadari bahwa dirinya harus segera mengambil sebuah keputusan. Ia menyeka air matanya dengan kasar lalu melangkah pasti bersama amarah serta kekecewaan yang melukai hati.

Mungkin ini akhirnya. Mungkin ini saatnya. Grassiela benar-benar harus kembali.

Di depannya, dua buah mobil berwarna hitam tengah menunggu. Pria plontos berseragam hitam tadi berjalan mendahuluinya dan membukakan pintu mobil untuknya. Mereka benar, Grassiela tidak punya pilihan.

Seolah tak tahu menahu dengan ledakan yang terjadi di sana, wanita muda itu memasuki mobil. Mereka kemudian melaju meninggalkan kekacauan yang ada.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Broken Flower   114. The Last Request

    Sebuah pernikahan. Ikatan yang sakral. Janji yang terucap di hadapan Tuhan. Dua cincin yang disematkan di jari manis masing-masing. Perjanjian pernikahan. Sekuntum mawar merah. Seuntai kalung berlian. Sebutir peluru. Setets air mata. Dan, sebuah nyawa. Grassiela mengusap perutnya yang mulai membuncit. Dia menatap dari balik jendela tinggi kamarnya, sorot matanya penuh gejolak. Puluhan mobil yang melaju mendekati kastil berdinding batu tua yang telah berdiri berabad lamanya. Langit pagi di atas Cestershire diselimuti kabut tipis, menciptakan kesan seperti medan perang yang baru akan dimulai. Dia beranjak, keluar dari kamarnya dengan tergesa-gesa, jantungnya berdetak kencang tak karuan. Setiap desah napas membawa kecemasan yang kian mencekik. Sejak kabar mobil-mobil hitam itu datang, hatinya tak bisa tenang. Apakah itu James? Apakah dia datang untuk membalas? Ataukah dia datang untuk membawanya kembali ke Moscow? Greta, pelayan setianya, berusaha menghalangi. “Nona, tolong kem

  • Broken Flower   113. Traces of Fire and Blood

    Di pinggiran kota Newcastle, di sebuah rumah tua bergaya Victoria yang berdiri tenang di tengah kabut musim semi, Alfonso Stamford sedang duduk di ruang kerjanya. Bangunan ini terlihat biasa dari luar—halaman rapi, pagar besi tua, jendela besar menghadap taman. Namun di dalamnya, rumah itu adalah bekas markas yang sunyi dari seorang pria yang dahulu dikenal sebagai maestro strategi keluarga Stamford. Waktu menunjukkan pukul 17.06 ketika notifikasi muncul di pojok layar laptop tua Alfonso. Hanya satu nama: Grassiela. Ia menatap layar dalam diam, lalu membuka pesan terenkripsi itu. Di dalamnya, laporan singkat dalam bahasa administratif yang terlalu rapi untuk dianggap biasa. Namun Alfonso tentu dapat langsung memahaminya. Properti Moskow berarti mansion Draxler. Penghuninya tak lagi bersahabat. Karantina dan kosongkan berarti semua orang harus keluar. Bersihkan dari struktur lama, dan api bisa digunakan — artinya: bakar habis! Alfonso tidak tersenyum. Tapi dari sorot matanya yan

  • Broken Flower   112. Red Code

    Penjara Moskow, dini hari. Udara lembap menusuk tulang, dan dinding batu berlumut memantulkan suara tetesan air yang lambat namun menyiksa. Di dalam sel yang suram, James duduk di atas bangku besi tanpa sandaran. Wajahnya muram, matanya menyala dengan amarah yang tertahan.Pintu besi terbuka di ujung lorong. Seorang pria berjas gelap dengan koper kulit berjalan cepat menghampiri. Sergei Navaly, pengacaranya datang.“Apa yang kau bawa?” tanya James tajam, bahkan sebelum Sergei sempat menyapa.Sergei mendekat ke jeruji, membuka berkas yang ia bawa. “Gugatan sudah didaftarkan resmi tadi malam. Tuduhan pemalsuan dokumen kepemilikan Romeo's Night. Sidang perdana dijadwalkan minggu depan.”James menyeringai sinis. “Keparat mana yang punya nyali bermain seperti ini?”Sergei menatap James tajam. Ia tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, “Vadim Ivanov. Yang mengajukan gugatan adalah kuasa hukum Grassiela.”Keheningan tiba-tiba

  • Broken Flower   111. Judgment in Motion

    Cahaya matahari pagi menerobos masuk lewat tirai tipis, menari di atas lantai marmer yang mengilap. Kamar itu terasa tenang dengan warna pastel mendominasi. Di sisi ruangan, meja rias tampak tertata rapi dengan peralatan make-up dan parfum mahal. Di hadapan cermin oval berbingkai kayu, Grassiela tengah duduk, mengenakan gaun krem lembut yang menonjolkan siluet kehamilannya yang masih muda. Rambutnya ditata rapi, dan bibirnya dipoles warna nude yang lembut.Tangannya membuka botol kecil berisi vitamin, meneguk satu kapsul dengan segelas air putih. Sejenak ia mengusap perutnya dengan lembut, bibirnya tersenyum samar.Pintu diketuk pelan. Setelah mendapat ijin, seorang pelayan masuk dengan sopan."Nona, semua persiapan keberangkatan sudah siap," ucap Greta. "Koper Anda sudah di dalam mobil. Nyonya Alexa sedang bersiap, dan seorang perawat sudah menunggu di bawah."Grassiela bangkit dari meja rias. "Bagus. Pastikan dokumen sementara dan hasil pem

  • Broken Flower   110. Back for Revenge

    Langit mendung menggantung rendah di atas manor Gluzenskov, membungkus dinding batu tua dalam dingin kelabu yang menyayat. Hujan masih menetes tipis seperti bisikan duka dari langit. Di dalam kamar tua dengan jendela lebar yang berembun, James terbangun dari pingsannya. Matanya terbuka perlahan, samar, penuh beban. Napasnya berat, dadanya sesak, otaknya belum sepenuhnya memahami apa yang baru saja terjadi. Begitu kesadarannya pulih, James langsung bangkit kasar dari ranjang. Seorang dokter, pelayan, dan beberapa pengawal di sudut ruangan buru-buru mendekat. Tapi sebelum satu pun sempat menyentuhnya— “Keluar,” ucap James pelan tapi tajam. Tak ada yang bergerak. “Keluar. SEMUA!” ulangnya, kali ini disertai lemparan botol kaca dari meja samping ke dinding, meledak seperti granat kecil. Orang-orang bergegas mundur tanpa sepatah kata. Hanya Alexsei yang tersisa. Ia berdiri tegak di dekat pintu, tangannya menyilang di dada. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi. Matanya tajam, dingin, sep

  • Broken Flower   109. Whispers of the Manor

    Hujan rintik-rintik jatuh membasahi tanah. Lampu jalan berpendar sayu, nyaris tak mampu menembus kabut malam yang menggantung rendah. Benicio berdiri tegak, mengenakan jas hitam yang kuyup, matanya tajam menatap Alexsei yang berdiri beberapa langkah darinya, tampak kaku dan enggan menatap balik.Dengan suara berat dan penuh tekanan, Benicio berkata, "Aku tahu, ada yang terjadi di malam itu. Dan kau menyembunyikan sesuatu."Alexsei mendengus. "Apa maumu?"Benicio mendekat dengan tatapan tajam."Apa rencanamu? Apa yang akan kau lakukan dengan perintah James kali ini? Tidak ada mayat. Tidak ada peluru yang kau lepaskan. Tidak ada penjelasan."Rahang Alexsei mengencang. Tangannya mengepal di balik mantel. Ia tahu ia seharusnya tidak berbicara, tapi sorot mata Benicio memaksanya."Grassiela masih hidup, kan?" suara Benicio meninggi, penuh dorongan emosi.Alexsei menunduk. Diam. Bahunya tegang, tapi ia tak mengatakan sepatah k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status