Share

Kereta Api

"Rindu bila makin dipendam maka akan semakin menumpuk."

Kereta itu berhenti, seluruh penumpang saling berdesakan ingin keluar. Berbeda denganku yang masih duduk saja di kursi, membiarkan mereka keluar satu persatu terlebih dahulu. 

Menit-menit berlalu, tidak ada penumpang yang tersisa kecuali aku. Aku segera turun, mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Ada kedai kopi, kebetulan tidak begitu jauh dari tempatku berdiri. 

Aku langsung menuju ke kedai itu. Terlihat suasananya yang tidak terlalu ramai, mungkin aku bisa nyaman berada di sini, pikirku. Seorang waiters berseragam hitam putih itu menyerahkan kertas berisi menu padaku. Aku putuskan untuk memesan secangkir kopi panas saja, beserta roti panggang kesukaanku. Selang beberapa menit, waiters tadi kembali. Menyodorkan nampan berisi pesananku tadi, pelan-pelan ia letakkan di atas meja tepat di depanku. 

"Silahkan." Ucapnya sopan. Aku hanya mengangguk saja. Tatapanku tertuju ke arah jalan yang ada di luar. Rupa-rupanya hujan turun, sangat deras. 

Tak banyak yang bisa aku lakukan di sini. Sekedar menyeruput kopi pun menikmati sepiring roti panggang yang masih panas tadi. Di luar hujan masih gencar-gencarnya membasahi aspal, bahkan dapat terdengar jelas sampai di telingaku. Kali ini aku tak dapat berbuat banyak, sekedar beranjak meninggalkan kedai kopi ini saja sudah sangat malas sekali rasanya. 

Langit sudah berwarna jingga kemerah-merahan, hujan juga sudah mulai mereda. Aku merogoh sakuku, meraih beberapa lembar uang kertas dan meletakkannya di atas meja. Usai keluar dari pintu kedai ini aku berencana ingin mencari tempat penginapan. 

Aku bergegas keluar dari kedai ini, melangkahkan kaki mengikuti kata hatiku. Kau tahu apa yang kulakukan di sini, El? Tidak ada! Hanya sekedar liburan, berharap dengan cara ini beban-beban yang terasa berat itu dapat sedikit berkurang. 

Senja sudah tenggelam, aku masih berjalan liar sendirian. Alat transportasi masih buas-buasnya berlalu lalang, jalanan bahkan macet dibuatnya. Untungnya aku tidak sendirian, masih banyak pejalan kaki lainnya yang berseliweran di sini.

Jam sudah menunjukkan angka 19.20, sementara aku baru saja menemukan sebuah penginapan yang terletak tepat di tengah-tengah kota ini. 

"Kuncinya, Mas." Aku mengambil kunci itu, melangkah mencari kamarku. 

Kamar yang mungkin berukuran 10×10 meter ini nampak aestetik sekali. Beberapa dinding diisi dengan bordir kayu, sementara dinding lainnya diisi cat putih polos. Kemudian dipasang beberapa bingkai-bingkai lukisan serta beberapa hasil photography. 

Aku mencoba duduk di atas ranjang, Ranjang yang empuk ini tentu mampu membuat aku terlelap malam ini. Tak hanya sampai di situ saja, jendela yang dibiarkan tersingkap itu menggodaku untuk mendekatinya. Benar-benar kaget bukan kepalang aku dibuatnya, ada pemandangan yang luar biasa kini disuguhkan untukku. Seluruh kota tampak jelas dari atas sini, dihiasi berbagai warna lampu dari rumah ke rumah yang menambah nuansa cantik untuk kota ini. Di tambah dengan ribuan bintang yang bertaburan di langit, menambah keelokan yang membuat aku tak henti-hentinya mengucap syukur.

Tiba-tiba aku teringat padamu, El. Andai kau ada di sini, dan melihat seluruh pemandangan indah ini ... Kau pasti akan senang sekali. Entah kapan aku dapat menemuimu, mengajakmu mengitari kota dan menghabiskan waktu sepanjang hari. Ingin sekali aku melakukannya, cuma harus kutahan hal itu untuk saat sekarang ini.

Andai kau tahu apa yang menjadi dasar sehingga aku memutuskan untuk datang kesini. Mungkin kau akan sedikit tersekat ataupun merasa tak percaya. Aku ingin menenangkan diri serta pikiran yang acapkali mengganggu tidurku sepanjang malam, El. Semenjak melihat Ratih malam itu, pikiranku kacau. Aku selalu tak bisa tidur karena mengingat apa yang kulihat malam itu. Ratih sudah meracuni pikiranku, El. 

Kau pasti akan marah jika mengetahui alasannya. Bisa-bisanya aku terbebani oleh Ratih. Tapi inilah kenyataannya, aku sendiri mengakui hal itu, El. Maafkan aku, lagi-lagi tolong maafkan aku, El.

****

Aku terbangun dari tidurku, masih dengan kedua sepatu yang melekat di kaki. Rupa-rupanya aku ketiduran, mungkin karena kelelahan. Pikirku. 

Kuseret kedua kakiku masuk ke kamar mandi, dengan handuk yang tersangkut di pundak. Sungguh, nyawaku sepenuhnya belum terkumpul. 

Selepas mandi aku segera turun kebawah, untuk sedikit mengisi perut yang keroncongan ini dengan beberapa makanan. Benar saja, kamarku memang berada di lantai atas. 

Beberapa pelayan melemparkan senyumnya padaku. Bahkan ada beberapa pelayan perempuan yang berbisik-bisik bersama teman perempuannya selepas aku berjalan di depannya. Hal itu berhasil membuat aku salah tingkah dan berubah kikuk. Membuat rasa percaya diriku menurun beberapa persen.

"Mau pesan apa, Mas?" Seorang pelayan bertubuh gempal itu menghampiriku, kedua mataku beralih ke buku menu. Pelayan itu siap-siap mencatat.

"Nasi goreng dan segelas teh tawar aja." Ucapku. Buru-buru dicatatnya menu pesananku. 

"Tunggu sebentar ya, Mas." Ujarnya, berlalu pergi membawa buku menu tadi.

Tidak perlu menunggu waktu lama, pelayan tadi kembali datang. Diletakkannya kedua pesananku di atas meja.

"Silahkan dinikmati." Diikuti senyuman yang terlihat ramah sekali. Akupun membalas senyumannya, sontak ia bergoyang kegirangan, dan berlari ke dapur. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku saja usai melihat tingkahnya. Ada apa? Entahlah, akupun bingung.

Usai makan aku tidak langsung beranjak dari sana. Sekedar duduk-duduk di sana cukup membuatku merasa bahagia. Di sini aku bisa melihat ribuan orang yang berlalu-lalang di jalan, hal itu memantik kebahagiaan tersendiri buatku. Ada yang menguras air mata, tapi ada juga beberapa yang mampu memancing tawaku. 

Dulu aku juga selalu berkeliaran di jalanan. Mengisi jalanan dengan keringat serta nyanyian, semuanya kulakukan agar dapat bertahan hidup dan tidak kelaparan.

Berlarian kesana-kemari mencari jasa yang mau mempekerjakan aku bersama beberapa orang temanku. Lucu memang jika diingat, masa kecilku yang kurang beruntung itu dapat menjadi pengalaman tersendiri buatku. Dari sana aku belajar banyak hal; bagaimana aku dapat tetap bersyukur meskipun posisiku dalam keadaan yang serba kekurangan, bagaimana aku bisa menjadi mandiri, dan bagaimana aku dapat menjadi kuat ketika dihina dan dicibir tak berguna.

Hanya saja semua itu sudah berlalu sekitar beberapa tahun yang lalu. Tidak ada lagi Alle yang berkeliaran di jalanan atau mengemis meminta makan sekedar untuk bertahan hidup. Semuanya sudah berbeda, yang ada hanyalah Alle yang pecundang, pengkhianat, dan bermental kerupuk. 

****

Lama termenung, akhirnya aku memutuskan untuk beranjak pergi. Mencari hal-hal baru yang belum pernah kutemui di luar. Menyewa becak dan mengitari kota sepanjang hari dan mengabadikannya kedalam bentuk gambar, agar sewaktu-waktu masih dapat kukenang. 

Kadang aku berhenti di toko kerudung, El. Ingin membelikan beberapa helai untukmu, tapi kutunda dan kuundur niatku itu. Aku tak mau kau tahu jika aku sedang tidak berada di kotaku. Aku takut kau marah karena aku tidak memberitahumu hal itu. 

"Lanjut, Pak." Ujarku kepada tukang becak itu. 

"Mau kemana lagi, Mas?" 

"Kemana aja." Jawabku singkat. 

Kota ini memang indah dan masih begitu terawat sekali. Rata-rata seluruh orang di sini masih berjalan kaki, paling tidak menaiki becak atau delman sama seperti yang aku lakukan sekarang ini. 

Di kota berlegenda ini aku ingin membuang perasaan terlarangku kepada Ratih. Aku tak mau terus-terusan terhanyut dalam permainan yang kubuat sendiri. Biarlah dalam beberapa hari ini kutinggalkan pekerjaanku, asal dapat kulupakan semua hal tentang Ratih. 

Ellina, semuanya kulakukan untuk menebus satu persatu kesalahanku padamu. Ketika aku memilih jalan bersimpang bersama Ratih, hati kecilku selalu meronta-ronta agar aku menghentikan hal itu. Aku mencintaimu, El. Sangat! Aku hanya ingin menghabiskan masa tuaku hanya bersamamu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status