Share

Suara Hati

Handphone di saku celanaku berdering, aku meraihnya. Membawanya keluar dari ruang rawat Ratih. Rupanya itu telpon darimu, El. Hanya saja terbagi dua rasanya, perasaanku bercampur aduk. Ada rasa bahagia sekaligus buih-buih kekecewaan serta penyesalan yang menyeruak memenuhi ruang di dadaku.

"Tumben lama mengangkat telponku?" Tanyamu. Membuat aku bingung harus menjawab apa.

"Hei! Kok diem?" Tanyamu lagi, menaikkan volume nada bicaramu beberapa oktaf.

"Hah, iya? Aku bingung mau jawab apa, El. Karena aku rindu sekali padamu." Jawabku asal. 

"Emang lagi dimana?" 

"Lagi di kantor." Jawabku, lagi-lagi berbohong. "Kemana aja? Aku rindu." Mulai membuka pertanyaan.

"Haha, gak kemana-mana. Tugasku menumpuk, sepanjang malem aku begadang, tapi gak kelar juga." Kau mendengus kesal. Akhh! Lucu sekali.

"Iya, gapapa. Tapi aku rindu, lho. Kabarin lah, kalo aku mati karena rindu gimana?" Godaku.

Lagi-lagi kau terkekeh-kekeh. Gelak tawamu pecah tak berkesudahan. 

"Justru aku yang rindu sekali padamu. Makanya aku menelponmu, kamu kan gak pernah mau menelponku lebih dulu." Ungkapmu, tanpa ba-bi-bu.

"Haha, siapa bilang? Justru aku sering menelponmu. Tapi gak diangkat!" 

"Ya, dah takdir." Alasanmu, dengan nada sepolos-polosnya.

Lama aku terhanyut pada obrolan kita. Tiba-tiba Malik datang, katanya ia ingin pulang lagi ke kantor. Ada meeting. Akhirnya obrolan kita berakhir sampai di situ. Karena kau juga sedang ada kelas. 

"Masih mau di sini?" Tanya Malik padaku. 

"Enggak, aku pulang aja deh." 

"Gak mau nemenin Ratih dulu?" Lagi-lagi Malik bertanya. 

"Enggak. Aku capek." Tolakku. Malik hanya mengangguk, kemudian menepuk-nepuk pundakku. Berlalu pergi meninggalkan aku yang masih mematung. 

Sebelum pergi aku memutuskan untuk berpamitan kepada Ratih. Namun, kulihat ia sudah tertidur. Mungkin efek dari obat yang sudah diminumnya tadi. Jadi aku putuskan untuk langsung pergi saja. 

****

Seminggu kemudian, aku kembali bertemu dengan Ratih. Lagi-lagi pertemuan kami dikarenakan ketidaksengajaan. Kami berpapasan di jalan, hanya saja kami sama sekali tidak bicara ataupun saking menyapa. Bahkan untuk tersenyum ataupun melihatku saja ia seperti tidak sudi. Aku menghela napas panjang, kikuk. Benar-benar kikuk aku dibuatnya.

Aku sama sekali tidak mengerti apa yang sebetulnya terjadi kepada Ratih, El. Ia aneh sekali, tiba-tiba berubah dingin dan enggan menyapaku. Apa mungkin ini salahku? Tapi apa penyebabnya?

Aku mengikutinya hingga sampai di depan rumah. Namun, aku kaget bukan kepalang. Seorang pria dewasa membukakan pintu untuknya, bahkan pria itu menggamit lengannya lalu kemudian membawanya masuk ke dalam. Apa mungkin itu ayahnya? Tapi ia pernah cerita padaku jika ayahnya sudah tiada semenjak ia berumur 19 tahun. Atau mungkin itu kakaknya? Tapi seingatku dia itu anak tunggal. 

Kekhawatiranku tertuju pada Ratih. Aku berusaha mengintip kedalam rumah lewat jendela yang berada di samping pintu. Namun, tak ada sedikit celahpun yang bisa kujadikan teropong.

Aku mendengus kesal! Siapa pria tadi itu, dan ada apa denganku? Bodoh! Aku mengumpat sepanjang jalan, membanting setir mobil sembarang. Kepalaku tidak dapat berpikir secara leluasa. Aku tak mungkin cemburu kepada pria tadi itu, karena aku sama sekali tidak mencintai Ratih. 

Apa mungkin itu? Arghhh, sudahlah! Aku harus bisa membuang pikiran kotor ini dari kepalaku. Mana mungkin Ratih begitu. Setahuku Ratih itu berasal dari keluarga berada, bahkan ia sendiripun juga termasuk bos besar di kantornya. Lalu? Aku hampir mati karena penasaran dibuatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status