Share

Ellina

Aku mencintaimu, hanya saja Ratih bisa memberikan banyak hal yang tak bisa kudapat darimu. Aku tau ini salahku, El. Jika aku menginginkan Ratih, harusnya aku dapat melepaskanmu pergi. Namun, aku tak dapat melakukan itu. Aku benar-benar mencintaimu, dan kepada Ratih ... Hanya tidak sengaja aku menyukainya. 

Terkadang aku sering bergelud dengan isi hatiku sendiri yang kontra dengan perbuatanku. Aku tak bisa terus-terusan begini. Membuatmu sakit sementara aku bersenang-senang dengan yang lain. Aku tak mau! Maka dari itu kumohon, El. Terima aku beserta permohonan maaf ini. 

Aku memang sepecundang ini. Tega-teganya aku menyayat habis hatimu sekaligus dirimu tanpa belas kasihan sedikitpun. Maka lakukanlah sesuka hatimu, El. Pukul aku! Tikam aku sehingga kau Sudi memaafkan aku. 

Dibanding dirimu, Ratih itu sebetulnya tidak ada apa-apanya. Hanya aku baru saja menemukan sesuatu yang sebetulnya aku butuhkan. Aku butuh perhatian serta belaian dari seseorang, dan semua itu kudapatkan dari Ratih. 

"Alle, makan siang dulu!" Tukas Ratih, menyodorkan sebuah kotak berisi makanan. 

Ingin rasanya aku menolak. Namun, hati kecilku berbisik memberontak. Di saat yang bersamaan aku teringat akan dirimu.

"Kenapa gak dibuka?" Tanya Ratih, menatapku heran. 

"Iya, iya." Jawabku, sedikit terkekeh setelahnya. 

"Makanannya gak enak, ya?" Lagi-lagi Ratih menatapku. Hampir salah tingkah aku dibuatnya.

"Engg---enggak, justru ini enak banget." Jawabku seadanya. Ia hanya tersenyum, sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

Saat itu juga perasaan ini berkecamuk, El. Jantungku rasanya berdegup lebih kencang dari biasanya. Apalagi tatapan Ratih itu, sungguh dapat meneduhkan diriku. Sekaligus menjadi pelega dari rindu-rinduku padamu yang tak kunjung mereda.

"Alle, kenapa bengong?" Tanya Ratih. 

"Apa?" Aku balik bertanya. Konsentrasiku sedikit memudar, lamunan panjangku masih belum berkesudahan untuk membahas tentang dirimu, El. 

Ratih tiba-tiba tertawa. Aku masih belum paham, dia kenapa? 

"Kenapa?" Tanyaku heran. 

"Kamu lucu." Ujarnya, menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. 

"Lucu?" Aku memang masih belum mengerti maksudnya. 

"Iya, kalau kamu bengong begitu. Makin lucu!" 

Bukannya marah atau apa, justru aku ikut tertawa bersamanya. Dia lihai membuat aku tertawa, pun membuat aku salah tingkah. 

Jujur aku nyaman bersamanya, hanya mencintainya saja yang belum. Atau bahkan tidak pernah bisa untuk mencintainya. Karena bagaimanapun yang ada di hatiku hanyalah kau seorang, El. 

"Mau kemana?" Tanyaku pada Ratih.

"Mau pulang. Aku mengantuk sekali." Jawabnya. 

"Naik apa?" Tanyaku lagi. 

"Naik delman istimewa!" Jawabnya asal.

"Aku serius." Dengan mimik wajah kesal aku menatapnya. Dia tertawa, berhasil membuat aku tersipu malu. 

"Memangnya kenapa? Mau nganterin?" 

Degh! To the point sekali perempuan di depanku ini.

"Enggak. Aku cuma nanya aja." Jawabku sekenanya.

"Hadeuhh. Sekian kalinya aku bilang kamu lucu." Sembari mengambil tasnya dan berlalu keluar.

"Hati-hati, ya!" Teriakku ketika ia hampir menghilang di ambang pintu. Tak ada jawaban. Mungkin ia kesal, mungkin juga tidak. Apa peduliku. 

***

Aku buru-buru mengambil ponselku yang berdering di atas meja. Kau meneleponku, El. Segera aku mengangkatnya.

"Sore," sapamu lebih dulu. 

"Sore juga," jawabku tak kalah semangatnya.

"Udah makan siang?" 

Degh! Kenapa harus ada pertanyaan ini. 

"Udah dong. Kamu sendiri gimana?" Aku berusaha untuk mengalihkan pembicaraan. 

"Udah juga, di kampus tadi." 

"Bagus deh. Kamu jangan telat makan, aku takut kamu sakit. Kalo kamu sakit, aku sedih." Ungkapku tanpa rasa bersalah. 

"Siap komandan, tenang aja. Aku gak bakalan sakit kalo bukan kamu yang nyakitin aku." Katamu. Diikuti cekikikan setelahnya. 

Jujur kata-katamu itu hampir saja membuat aku mati. Benar-benar tepat mengenai sasaran. Aku tetap berusaha tenang, kutarik napas panjang. Berusaha menetralkan diriku agar tetap tenang. 

"Hei, kenapa diam?" 

"Gapapa. Kangen aku sama kamu." Ucapku. 

Kali ini aku bicara jujur, aku memang merindukanmu. Cuma aku tak bisa berharap banyak, kau sibuk menyelesaikan pendidikanmu, sementara aku terkadang juga ikut disibukkan dengan berbagai macam permasalahan dalam pekerjaanku.

Entah kapan aku bisa mengutarakan semuanya padamu, meskipun antara aku dan Ratih tidak ada ikatan apa-apa. Aku tetap merasa berdosa karena selalu berada bersamanya.

"Aku juga kangen. Cuma maaf deh, soalnya lagi banyak tugas." Ungkapmu. 

Aku mengerti betul posisimu saat sekarang ini. Akupun juga tak ingin mengekangmu sehingga kau tak merasa nyaman lagi ketika bersamaku. Aku hanya ingin yang terbaik buatmu, El. Karena orang baik harus mendapatkan yang terbaik juga.

Hampir satu jam berlalu, kau memutuskan untuk mematikan teleponnya. Banyak tugas yang musti dibuat, katamu. 

Setelah telpon itu berakhir, lagi-lagi aku merasa ada yang kurang dari diriku. Hilangnya dirimu seperti menghilangnya setengah nyawa dari diriku. Padahal hanya berpamitan untuk sekedar membuat tugas, sudah tak serela itu aku, El. Apalagi jika harus benar-benar kehilangan dirimu sepanjang hidupku. Mungkin aku akan tergeletak tak bernyawa. 

"Namanya juga rindu, atas nama dipisahkan oleh apapun, sakitnya tetap tak berujung."

***

Sore itu aku memutuskan untuk langsung pulang saja kerumah. Jalanan yang basah serta hujan yang deras dihidangkan Tuhan untukku. Aku terpaksa melawan kenyataan itu, dengan mengendarai mobilku, aku fokuskan tatapan pada jalanan yang berasap pun tertutup hujan. 

Namun, mobilku yang ku kendarai berhenti di persimpangan. Kulihat Ratih berdiri di ujung jalan itu, awalnya aku takut salah. Hingga kuputuskan untuk memberhentikan mobilku tepat di tempat ia berdiri. 

Aku membuka kaca mobil. Alih-alih untuk masuk ke mobil, ia justru pergi begitu saja. Entah apa pikirku, saat itu juga aku memutuskan untuk mengejarnya. 

"Tunggu, Ratih! Kamu enak payungan, ini lho aku basah-basahan gini entar kalo sakit gimana?" Teriakku, sembari berlari-lari kecil mengejarnya. Akhirnya ia berhenti, di lorong kecil jalan setapak itu. 

"Gitu dong ..." Ujarku, bersandar di tembok lorong itu. 

"Kamu kenapa ngikutin aku?" 

"Gapapa. Aku lihat kamu jalan sendirian, mana hujan lagi. Entar sakit." Jelasku padanya.

"Aku udah beli payung. Jadinya gak kehujanan." 

Kala itu juga aku mendekatkan tubuhku padanya, hanya memberi jarak beberapa senti saja. 

"Jangan ngeyel!" Cercahku, menjitak pelan dahinya. Lalu tertawa lepas. Rupa-rupanya ia tidak terima dengan perlakuanku barusan, ia membalas. Hanya saja badannya kurang tinggi, tak sengaja pukulannya mengenai batang hidungku. Membuat aku sedikit meringis, bagaimanapun ini tetap sakit.

"Aww!" Ringisku. Kembali menyenderkan tubuhku di tembok. 

Ratih mendekat, mimik wajahnya seperti khawatir. Aku yakin itu. Padahal hidungku tidak kenapa-kenapa.

"Sakit, ya?" Tanyanya panik.

"Iyalah!" Jawabku bohong. 

"Sini, sini. Aku lihat." 

Tiba-tiba kepalaku ditariknya asal. Kasar sekali. 

"Hei, ini kepala bukan boneka!" 

"Aku mau lihat lukanya!" Umpatnya. Membuat aku tersenyum.

"Gak ada yang luka." Ungkapnya.

Sontak aku tertawa terbahak-bahak. Sepertinya ia paham, karena setelah itu mimik wajahnya berubah kembali kesal.

"Ihh, bohong!" Cercahnya. 

"Emang." Jawabku. 

"Gak boleh gitu!" Timpalnya, mencubit perutku.

****

Hujan mulai mereda. Ratih bersamaku, aku mengajaknya duduk sebentar di taman. Membelikannya es krim dan gulali. Wajahnya nampak sumringah sekali, membuat aku nyaman melihatnya. 

"Mau?" Tawarnya padaku. Mengacungkan es krim yang hampir habis itu padaku. Aku hanya menggeleng saja. Ia tidak menghiraukannya sama sekali. Justru malah menghabiskan es krim itu dan menyisakan plastiknya saja buatku. 

"Ini!" Ia menyodorkan plastik bekas es krim tadi kepadaku sambil tertawa. Aku menatapnya sinis. Tiba-tiba ia menepuk pundakku. 

"Gak boleh gitu, nanti matanya juling, lho." Ungkapnya. Terlihat menggemaskan sekali. Arghhh! Benar-benar menghancurkan pondasi kesetiaanku. 

"Udahlah, aku mau pulang." Aku berdiri dari dudukku. Namun, sesetangan itu menahan ku. Ia ikut berdiri, menggantungkan kedua tangannya di pundakku. Entah apa yang sudah berhasil merasukiku. Aku membalikkan badanku, posisi kami kini saling berhadapan. Ku tatap lekat-lekat wajah itu, ia membalas menatapku. Telapak tangannya mengelus dadaku yang ditutupi kemeja beserta jas itu. Aku terbuai, terbawa suasana. 

Sadar jika ia menjinjitkan kakinya untuk menyama ratakan tinggi badan kami. Aku pun lebih mendekatkan tubuhku padanya. Hingga kedua benjolan itu menyentuh dada bidangku. 

Aku terkejut bukan main. Ia melumat bibirku. Awalnya aku diam saja, kepalang tanggung sudah merasuki isi kepalaku. Aku membalas lumatannnya. Bibir mungil itu tak kuberi jeda sedikitpun untuk bernapas. Aku benar-benar terbawa suasana, tak ada alasan bagiku untuk berhenti. 

Tak terasa jika matahari sudah tenggelam. Ratih merapikan rambut serta pakaiannya. Sedang aku terduduk di kursi kayu itu. Saat itu, aku teringat padamu, El. Entah apa yang barusan aku lakukan bersama Ratih? Aku sudah menodai janji-janjiku. 

Aku tak banyak bicara, begitupun juga dengan Ratih yang sedari tadi memilih untuk diam saja. 

Aku juga mengantarnya pulang. Ini bukan perihal tentang kesetiaan atau apa, ini lebih kepada sikap sosialku sebagai manusia yang masih punya hati. Bagaimanapun ia adalah seorang perempuan, tidak mungkin aku membiarkannya pulang sendirian. 

Ketika sampai di sebrang rumahnya, aku tak banyak berkata-kata. Cuma sekedar berpamitan saja padanya. Ia pun juga tidak memberi jawaban apapun, melainkan hanya mengangguk sembari masuk ke pagar rumahnya.

***

Setelah kejadian hari itu, aku sedikit menjauh dari Ratih. Itu yang kulakukan, El. Karena aku tak mau terus-terusan berada dalam rasa bersalah yang berkesudahan ini. 

Sepanjang malam aku memikirkan hal itu. Bagaimana jika aku jujur saja padamu? Itu yang selalu kutanyakan pada diriku yang bajingan ini. Tetap tak ada keberanianku untuk melakukan hal itu. Sama sekali tidak ada.

Sesekali aku pergi ke kantor. Sesekali juga Ratih berkunjung ke kantorku untuk menjemput berkas kerja. Tidak ada pembicaraan lebih melainkan hanya untuk urusan kerja saja di antara kami.

Ratih agak sedikit menghindar dariku. Mungkin dia merasa bersalah, atau apa ... Entahlah. Akupun tak paham juga. Ketika tak sengaja aku melihatnya, ia selalu membuang muka lalu berlalu pergi begitu saja. 

Pada siang itu tak sengaja aku berpapasan dengannya di jalan. Aku memberanikan diri untuk mendekatinya, tidak ada niat apa-apa. Aku hanya ingin tahu alasan mengapa ia selalu menghindar dariku.

"Tunggu, Ratih!" Sambil berlari-lari kecil aku menghampirinya. 

"Bisa kita bicara?" Tanyaku langsung. Ratih hanya mengangguk saja. Ia mengikuti langkahku yang kemudian mengajaknya untuk duduk di kursi di dekat kami berada.

"Kamu kenapa?" Tanyaku, tidak ada basa-basi sama sekali.

"Aku gapapa kok." Ungkapnya singkat. 

Aku yakin jika Ratih memang sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja. Wajah polosnya kini tertunduk sayu. Aku mendengus kesal.

"Ngomong aja. Jangan diam!" Pintaku, seolah memelas ingin tahu.

"Maafin aku, untuk kejadian sore kemarin itu." Tukasnya. Dapat kudengar dengan jelas Isak tangisnya itu. 

"Aku melakukannya karena ternyata selama ini aku mencintaimu." Sambungnya. 

Kepada Ratih aku selalu menceritakan setiap inci dari dirimu, El. Sekarang ia mengutarakan perasaannya padaku. Entah bagaimana jika aku bertukar posisi saja padanya, beban percintaan ini membuat aku setengah gila.

Hampir setiap bertemu dengannya, aku selalu memberi kabar tentangmu. Ia pun juga menyambutnya dengan suka ria, bahkan ia pernah mengatakannya padaku 'jika ingin bertemu denganmu. Namun, kali ini semuanya berbalik. Ia tersesat bersama perasaannya, lalu aku? Aku tak dapat mengelak dari kenyataan itu.

"Udahlah, lupain aja yang kemarin itu. Maafin aku juga, ya." Timpalku padanya. Ada rasa bersalah menyeruak di dadaku ketika mengatakan ini. Jahat sekali rasanya jadi aku.

"Aku menghargaimu, sebagai kawan aja. Gak lebih." Aku berusaha melawan arus. 

"Aku paham." Ucapnya, lalu kemudian meninggalkan aku duduk sendirian di kursi itu.

Aku masih saja bergelud dengan isi di hatiku. Semuanya menolak setiap hal yang aku lakukan, tapi di sisi lain ada gejolak yang mendukung agar aku melakukannya. 

Aku membiarkan Ratih pergi begitu saja. Aku terpaksa melakukan itu agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Untuk sakitnya biar aku yang menanggungnya. Meskipun sebetulnya ada yang memberontak pun memaksa kedua kakiku ini untuk cepat-cepat mengejarnya. 

***

Malam ini suasananya agak berbeda, El. Berulang kali aku mencoba untuk menghubungimu. Tetap saja tidak ada jawaban. Ada rindu bercampur khawatir di sini, El. Kau kemana sebenarnya? Apakah tugasmu tidak memberikan peluang bagi kita untuk saling bertukar kabar? 

Sudah seharian lebih aku mencoba menghubungimu. Kenapa kau tak paham jika aku mengkhawatirkanmu? Kabari saja aku di sela-sela kesibukanmu, aku tak apa! Asal jangan hilang. Aku tak sanggup jika setiap hari harus bergelud dengan kenyataan buruk. 

Ellina, pengkhianat ini memupuk rindu setiap harinya. Jadi, jangan biar aku menuai kenyataan buruk dari setiap benih yang aku tanam. Aku tak mau, aku tak siap. Jika aku harus menelan resiko untuk kehilangan dirimu, aku siap menggantungkan diriku di bilik rumahku ini. 

Perasaan berkecamuk ini berhasil membius ku. Hingga aku terbangun pada pagi yang penuh dengan sesak yang saling berdesakan. Pagi ini aku sudah mendapat kabar buruk dari Ratih. Katanya ia dirawat di rumah sakit, semalam pingsan. Aku terburu-buru berangkat ke rumah sakit. Tidak ada mandi pagi ataupun sarapan bersama segelas susu dan selembar roti. 

"Alle!" Seseorang itu menghampiriku. 

"Ratih gimana?" Tanyaku panik. 

"Dia cuma perlu istirahat aja. Kamu kelihatan panik sekali. Ada apa?" Tanya Malik, teman sekaligus rekan kerjaku juga. Sama seperti Ratih. 

Kau tahu, El? Temanku Malik ini telah jatuh cinta kepada Ratih. Di sini aku sadar, jika aku harus bisa menjaga perasaan kalian. Sama sepertiku, Malik juga selalu menceritakan tentang Ratih kepadaku. Maka dari itu, aku lumayan banyak tahu mengenai Ratih. 

"Gapapa, panik aja." Ungkapku, menarik napas panjang. Malik menepuk-nepuk pelan pundakku, mengajakku masuk ke ruangan tempat Ratih dirawat.

"Ratih masih tidur," Malik setengah berbisik padaku.

"Sebetulnya apa yang terjadi?" Tanyaku, mengambil posisi duduk di samping ranjang.

"Entahlah, Dokter bilang dia drop." Malik bersandar di depan rak. Wajahnya masih terlihat cemas dan khawatir.

Jujur, aku juga cemas sebetulnya pada kondisi Ratih. Pikiranku tertuju pada hal kemarin sore. Apa karena kejadian itu Ratih menjadi begini? Entahlah, aku ikut sesak dalam hal ini. Pikiranku kacau, jahat sekali rasanya diriku ini.

Selang beberapa menit Ratih terbangun dari tidurnya. Wajahnya masih pucat saja, Malik sigap menghampirinya. Aku berdiri dari dudukku, membiarkan Malik untuk beralih duduk di kursi itu. 

"Tunggu di sini, Le. Aku mau minta obat dulu." Malik berlalu pergi keluar, meninggalkan aku bersama Ratih dalam kecanggungan ini. 

Aku mendekati Ratih. Ia bukan menatapku justru malah membuang muka. 

"Ratih, apa yang terjadi?" 

Lama kumenunggu jawaban, Ratih tak kunjung menjawab pertanyaanku. Ia hanya diam saja.

"Ratih." Ucapku pelan, terdengar agak serak suaraku ini. 

"apa semua ini salahku?" Tanyaku lagi. Penasaran.

Kali ini Ratih bicara. Meskipun dalam keadaan memunggungiku. 

"Gapapa, mungkin aku kecapean." Jawabnya singkat. 

"Aku minta maaf, Ratih." Ungkapku memelas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status