Share

Broken Vessel
Broken Vessel
Author: V I L

Chapter 1

Ruangan serba putih yang sangat familier. Di tengah-tengahnya ada sebuah meja bundar. Tiga orang dewasa yang adalah dewan eksekutif atau yang biasa disebut sebagai Treis duduk di meja itu. Suara argumen mereka menggema ke seluruh penjuru ruangan.

"Kalian sudah lihat betapa berbahayanya 'anak itu', kan? Lebih baik 'dia' segera dieksekusi!" tuntut wanita berambut ungu magenta dan mengenakan gaun maxi navy.

"Tidak! 'Dia' hanyalah anak kecil! 'Dia' pasti dapat mengendalikan 'Arte'-nya dengan bijak saat sudah besar nanti!" sanggah pria berambut merah jambu dan mengenakan mantel lab putih.

"Saya setuju dengan pendapat Prof. Horatius. 'Anak itu' menggunakan kekuatannya karena dipaksa, bukan atas keinginannya sendiri. 'Dia' hanya anak malang yang dimanfaatkan oleh orang dewasa untuk keuntungan mereka," tutur pria berambut biru malam dan mengenakan jas hitam.

Mereka terus berdebat sambil menunjuk-nunjukkan jarinya kepada bocah laki-laki berambut hijau gelap dan mengenakan baju kaus putih. Dia hanya bisa berdiri diam menyaksikan perdebatan mereka. Anak itu adalah diriku saat berusia 8 tahun.

Kenangan 13 tahun yang lalu itu terasa seperti baru kemarin saja. Tak kusangka aku masih dapat melihat dunia ini setelah berada dalam posisi itu, dimana ada salah satu anggota Treis yang menginginkanku mati.

"Trystan, kenapa diam saja?" tanya pria berambut biru malam berjas hitam yang berdiri di sampingku. Dia adalah Kapten Giedrius Svino Exaleifo, salah satu sosok yang ada di dalam memori itu.

"Saya hanya teringat masa lalu." Aku membuka kunci pintu di depanku. Tampak belasan anak tangga mengarah ke bawah. Ujung tangga itu tidak terlihat karena minimnya pencahayaan.

Kami berjalan menuruni anak-anak tangga itu. Obor-obor yang menempel di dinding batu menyala dengan sendirinya, menerangi tempat ini.

Di ujung tangga ada sebuah pintu dengan sihir yang menyegelnya. Kapten Giedrius, orang yang datang bersamaku mengangkat tangannya. Dia menyentuh sihir itu dengan ujung jarinya, seketika sihir itu lenyap.

Papan besi di hadapan kami terbuka lebar. Suara deritan pintu metal itu memekikkan telinga. Tampak ruangan yang sangat luas di baliknya. Kami melangkah memasuki ruangan itu.

Di ujung ruangan ini ada sebuah kursi, seorang pria berambut merah maroon duduk terbelenggu di kursi itu.

Pria itu menyadari kehadiran kami dan mengangkat mukanya walau dia tidak dapat melihat kami karena matanya ditutupi dengan kain hitam. Dia bertanya, "Siapa di sana?"

"Kapten Custodia dan eksekutor," jawab Kapten yang berdiri di sampingku, ia adalah seorang kapten atau pemimpin dari Custodia, sebuah badan yang dibentuk untuk menjaga ketertiban, keamanan, dan menegakkan hukum di negara.

"Kalau eksekutor sudah datang, berarti sudah saatnya aku dieksekusi, ya? Ternyata 3 hari terasa sangat singkat." Pria itu tertawa getir mengetahui hidupnya akan segera berakhir.

Kapten memberi sinyal kepadaku dengan menganggukan kepalanya, kubalas dia dengan sinyal serupa. Aku melangkah mendekati pria yang dibelenggu di kursi itu. Kuhentikan langkahku saat jarak antar aku dengan dia sejauh 2 meter.

"Morpheus Quies Somnium, dengan ini engkau akan dieksekusi atas kejahatan yang telah engkau perbuat, pencurian dokumen rahasia, penyusupan, dan pembunuhan terhadap personel Custodia." Aku menyebutkan kejahatan apa saja yang telah dilakukannya.

Kuangkat tangan kananku ke atas menciptakan bayangan hitam yang sangat besar. Lalu kuayunkan tanganku ke arah orang yang akan dieksekusi itu. Bayangan hitam yang kuciptakan langsung menyambarnya. Pria itu lenyap bersama bayangan hitamku.

Kapten bergidik ngeri. "Saya tetap merasa takut walaupun sudah beberapa kali saya melihat 'Arte' milikmu." Aku terdiam saja sambil menatap tanganku. 'Arte' ini memang mengerikan, bahkan aku pun takut terhadap kekuatanku sendiri, kegelapan yang dapat melahap apa saja.

Kapten membalikkan badannya lalu berjalan menuju pintu keluar. "Ayo keluar. Tugas kita sudah selesai," ajaknya tanpa menoleh ke belakang. Kuikuti dia melangkah keluar meninggalkan ruangan ini.

Walaupun dibiarkan hidup sampai sekarang, hidupku ini tidak jauh berbeda dari sebuah boneka pembunuh. Boneka yang dikendalikan oleh Treis untuk mengeksekusi kriminal terpidana hukuman mati dan juga orang-orang yang memiliki 'Arte' berisiko tinggi sepertiku.

'Kapan aku bisa lepas dari tali kendali ini?' Pertanyaan itu muncul di benakku.

Aku pun berpisah jalan dengan Kapten, dia akan kembali ke kantornya sedangkan aku akan kembali ke kamar asrama.

Saat dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku mendengar sesuatu yang mencurigakan dari ruang referensi, ruangan yang menyimpan berkas kasus dan dokumen penting milik Custodia.

"Dokumen itu seharusnya ada di sekitar sini."

"Cepatlah, nanti ada yang curiga kalau tahu pintu ini terkunci dari dalam."

'Terkunci dari dalam? Selain itu, barusan dia bilang 'dokumen itu'? Jangan-jangan mereka adalah komplotan dari penyusup yang baru saja kueksekusi?'

"Sepertinya aku bakal lama mencarinya. Kamu pergilah berjaga di luar."

"Oke."

'Uh, oh, dia bakal keluar.' Aku celingak-celinguk mencari tempat untuk bersembunyi, 'Sial, hanya ada pot bunga di tempat ini, masa aku harus bersembunyi di balik pot bunga?'

Suara kunci diputar terdengar. Pintu dibuka dari dalam. Keluarlah seorang wanita berambut hitam dan mengenakan jas hitam ala personel Custodia.

Tidak tahu ada orang yang berdiri tepat di depan pintu, dia menabrak dada bidangku hingga terpental dan jatuh terduduk di lantai.

"Ah, maaf, kamu tidak apa-apa?" ucapku sambil mengulurkan tanganku kepadanya.

"Tidak apa-apa, aku yang salah, maaf." Dia meraih tanganku, kutarik dia untuk membantunya berdiri.

"Sykurlah kalau kamu tak apa-apa. Kalau begitu, aku masuk duluan, ya?" ujarku. Dia menyingkir dari depan pintu dan memberikanku jalan untuk masuk. Kulihat rekannya yang berambut cokelat sedang mencari-cari dokumen di rak besi.

Tiba-tiba sebuah benda tumpul menghantam bagian belakang kepalaku dengan keras. Tubuhku langsung ambruk ke permukaan lantai.

"Sepertinya aku tidak pernah melihat orang ini di daftar personel Custodia. Kita apakan dia?" tanya pelaku yang menghantam kepalaku kemudian menyeret badanku masuk ke dalam kemudian menutup pintu.

"Justru semakin mencurigakan kalau dia tidak terdaftar di data yang kita dapatkan. Lebih baik kita habisi saja dia," saran rekannya.

"Menghabisiku? Coba saja kalau bisa," tantangku yang masih mempertahankan kesadaranku. Mereka tersentak kaget mengetahui aku masih sadarkan diri. Aku menopang tubuhku dengan kedua tanganku, berusaha untuk bangkit berdiri.

"Baru pertama kali aku llihat ada orang yang menyebalkan sepertimu," gumam wanita berambut hitam itu. "Begitu sadar bukannya kabur, malah melunjak. Kamu mau mati, ya?!"

"Daritadi aku sudah menahan diri setelah kamu menghantam kepalaku dan sekarang kamu mengancamku? Jangan menantang kesabaranku," geramku yang mulai kehabisan kesabaran. Bayangan hitam meluap keluar dari tubuhku.

Wanita berambut cokelat itu tersentak melihat 'Arte' milikku. Dia memperingati temannya. "Marina! Kurasa lebih baik kita kabur saja! Firasatku mengatakan kalau orang itu berbahaya!"

Aku menyeringai dan langsung menerjang ke arah wanita berambut cokelat itu. Dia terkesiap melihatku yang sudah berada tepat di depannya.

Saat aku hendak menyerangnya, tiba-tiba seisi ruangan ini dipenuhi oleh air. Akibatnya, aku tidak dapat bergerak dengan leluasa dan juga tidak dapat bernapas.

Perempuan yang ingin kuserang tadi memanfaatkan kesempatan ini untuk kabur dariku. Dia berenang ke arah pintu keluar. Saat aku hendak mengejarnya, temannya yang berambut hitam datang menghalangiku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status