Share

Chapter 5

"Apa benar itu kamu, Senja?" Orang berjubah hitam itu mengulangi pertanyaannya dan mulai menurunkan pertahanannya.

"Ini bukan waktunya untuk reuni," jawabku dengan nada ketus. Aku tetap bersiaga menghadapinya. Seskipun dia adalah orang yang dulu kukenal, aku tidak boleh menurunkan pertahananku karena sekarang kami berada di pihak yang berlawanan.

Orang itu terdiam mendengar jawabanku lalu menyindirku. "Setelah lebih dari 10 tahun kami mencarimu, sekarang kamu berpihak kepada para tirani itu? Apa otakmu sudah dicuci oleh mereka?"

Aku mengepalkan tinjuku dengan erat dan menggertakkan gigiku. "Diam kamu, kamu tidak tahu apa-apa."

Dia menghela napasnya lalu berkata, "Ini tak tertolong, kalau kamu tidak mau kembali kepada kami, maka aku tak punya pilihan lain selain menghabisimu."

Dia menghentakkan kaki kanannya, membuat permukaan lantai dilapisi oleh es. Aku melompat agar tidak ikut membeku. Tanpa aba-aba, dia langsung muncul di hadapanku.

Sudah terlambat untuk membuat perisai kegelapan, kutahan serangannya dengan menyilangkan kedua tanganku. Pukulannya yang sangat kuat menghantam lenganku, membuatku terpental ke dinding. 

Bunyi yang sangat nyaring terdengar saat badanku terbanting ke dinding berwarna abu-abu muda. Punggungku terasa sakit sekali. Tidak hanya itu saja, kedua lenganku pun membeku sehingga tidak dapat digerakkan. 'Sial, kalau seperti ini aku bisa kalah.'

"Fylax!" Teriakan itu berasal dari seorang pria yang baru saja tiba di tempat ini. Orang berjubah hitam itu menoleh ke belakang, melihat Kapten yang berlari ke arah kami. Sepertinya suara keributan ini mencapai kantornya.

Orang yang disebut sebagai Fylax berdecak kesal lalu menoleh ke arahku. "Kita akan bertemu lagi, kutunggu jawabanmu."

Seluruh tubuhnya berubah menjadi es lalu hancur menjadi serpihan kristal kecil. Dia menghilang ke udara tipis.

Kapten berlari ke arahku. Es yang melapisi lantai langsung menghilang begitu dia menginjakkan kakinya di atasnya. Dia menyentuh lenganku yang membeku. Es itu pun langsung lenyap.

Setelah itu, Kapten melangkah memasuki ruang interogasi. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keadaan ruangan itu. Kapten Giedrius melenyapkan semua es yang ada dengan sentuhannya. 'Ternyata 'Arte' milik Kapten sangat berguna untuk membersihkan kekacauan, ya?'

Suara Kapten menyadarkanku dari lamunanku. "Trystan, jangan melamun saja. Cepat bawa mereka ke klinik," perintah Kapten, kuanggukan kepalaku dan menjalani perintahnya.

Kini klinik dipenuhi oleh orang-orang yang terluka. Kulihat Dokter yang kewalahan menyembuhkan 6 orang sekaligus, termasuk diriku yang mengalami fraktur tulang belakang dan frostbite ringan pada kedua lenganku. 

Aku duduk di kursi yang berada di samping ranjang Layla. Kulitnya tampak pucat dan dingin. Aku tidak tahu berapa lama dia terperangkap di dalam es, tetapi syukurlah tidak ada cidera berat padanya.

"Sepertinya kamu dan orang itu saling kenal, ya?" Pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Aku terdiam sesaat lalu menganggukkan kepalaku.

"Siapa dia? Bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanya Layla seolah-olah menginterogasiku.

"Dia adalah anggota Fylax," jawabku memberitahu dia identitas orang yang menyerang kami beberapa saat lalu.

"Fylax? Bukannya itu organisasi anti-Treis?" tanya Layla memastikan jawabanku barusan. Kuanggukkan kepalaku membenarkan pernyataannya.

"Apa hubunganmu dengannya?" Dia menanyakan pertanyaan yang ingin kuhindari. Aku menarik napas panjang-panjang sebelum menjawabnya.

"Aku adalah mantan anggota Fylax," jawabku dengan suara kecil.

Mata Layla terbelalak kaget mengetahui fakta yang sudah lama kukubur darinya. "Apa ...? Kapan?"

"Mungkin sejak aku berumur 5 tahun. Intinya aku sudah keluar dari mereka saat berumur 8 tahun," jawabku kurang yakin. Itu sudah lama sekali sampai-sampai aku tidak ingat kapan pastinya aku bergabung dengan Fylax.

"Bagaimana bisa seorang anak kecil menjadi anggota kelompok anarkis itu ...?" Ekspresi tak percaya dan syok terpasang di wajahnya. Layla tidak bertanya-tanya lagi. Dia hanya diam dan menundukkan kepalanya sambil menggenggam erat selimut yang menutupi kakinya.

Layla mengangkat kepalanya lalu berkata, "Bisa tinggalkan aku sebentar? Aku butuh waktu untuk mencerna informasi ini." Kuanggukkan kepalaku dan berdiri dari kursi lalu mengayunkan kaki meninggalkan sisinya.

Kuhentikan kakiku di ambang pintu lalu menengok ke belakang, melihatnya yang duduk terdiam di atas ranjangnya. 'Sebenarnya apa yang dia renungkan sampai sedalam itu?'

Kuputuskan untuk melangkah pergi dari klinik dan berjalan menuju asrama. Sesampainya di kamarku, aku langsung merebahkan badanku di atas kasur. Kupejamkan kedua mataku, mencoba untuk tidur.

***

Kericuhan dimana-mana. Teriakan, jeritan, ledakan, bunyi rentetan tembakan, semuanya menyatu menjadi satu di dalam medan ini.

Kota yang seharusnya dipenuhi oleh hiruk pikuk kehidupan berubah menjadi puing-puing reruntuhan. Begitu pula langit yang seharusnya biru cerah berubah menjadi merah menyala. Ini adalah saat terjadinya kerusuhan di Ibu Kota, 13 tahun yang lalu.

"Bubarkan Treis! Kami tidak butuh pemerintah korup seperti kalian!"

"Tutup mulut kalian, anjing-anjing gila!"

"Berikan keadilan kepada pemilik 'Arte' berisiko tinggi!"

Pemandangan bentrokan antara Custodia dengan Fylax yang bertempat di depan Istana Putih. Kedua kubu ini saling beradu kekuatan. Meskipum Fylax kalah jumlah terhadap Custodia, mereka tidak terdorong mundur karena memiliki beberapa pemilik 'Arte' berisiko tinggi.

"Bala bantuan mereka berdatangan dari arah jam 7! Senja, jangan biarkan mereka mendekat!" suara wanita memberi perintah kepada orang bernama Senja. Tak banyak tanya, figur berjubah hitam dan bertopeng putih itu langsung menjalankan perintahnya.

Tampak puluhan orang berjas hitam yang merupakan personel Custodia berdatangan dari arah yang disebut wanita itu. Senja mengkonsentrasikan 'Arte'-nya ke tempat lawannya berada.

Bayangan di bawah kaki mereka menggeliat, bayangan itu mencuat ke atas mencabik tubuh musuhnya. Teriakan personel Custodia terdengar jelas di telinganya walau jarak mereka beratus-ratus meter jauhnya.

Beberapa saat telah berlalu, Custodia mulai terdesak mundur oleh Fylax. Sayangnya, kemenangan itu tidak dimenangkan oleh mereka. Semenjak seorang pria berambut biru malam dan berjas hitam menginjakkan kakinya di medan ini, keadaan terbalik menjadi Fylax yang terdesak mundur.

Pria itu mengangkat tangannya ke atas dan mengocehkan sesuatu. Entah apa yang dilakukannya, tiba-tiba saja hampir semua anggota Fylax lenyap begitu saja, menyisakan 8 orang berjubah hitam dan bertopeng putih di tempat ni.

"Tangkap mereka hidup atau mati, tetapi jangan remehkan mereka karena mereka semua merupakan pemilik 'Arte' berisiko tinggi," perintah pria itu. Ratusan orang berjas hitam langsung mengepung 8 orang yang berbahaya itu.

"Mundur!" teriak salah seorang dari kelompok yang kalah jumlah itu. Mereka berlari menerobos orang-orang berjas hitam yang menghalangi jalan mereka.

Akan tetapi, salah satu dari mereka tersandung oleh reruntuhan dan terjatuh. "Senja!" Suara rekan-rekannya menyerukan namanya dengan panik dan khawatir.

Seseorang mencengkeram lehernya dan mengangkatnya hingga kakinya tidak menyentuh tanah lagi. Pria berambut biru malam itu membuka topeng orang yang ditangkapnya.

"Tidak kusangka anak sekecil ini adalah anggota Fylax," gumam pria itu setelah melihat wajahnya.

"Sayangnya, hukum tidak memandang usia. Kamu tetap harus diadili oleh Treis," lanjutnya dan membuat anak itu kehilangan kesadarannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status