"Apa benar itu kamu, Senja?" Orang berjubah hitam itu mengulangi pertanyaannya dan mulai menurunkan pertahanannya.
"Ini bukan waktunya untuk reuni," jawabku dengan nada ketus. Aku tetap bersiaga menghadapinya. Seskipun dia adalah orang yang dulu kukenal, aku tidak boleh menurunkan pertahananku karena sekarang kami berada di pihak yang berlawanan.
Orang itu terdiam mendengar jawabanku lalu menyindirku. "Setelah lebih dari 10 tahun kami mencarimu, sekarang kamu berpihak kepada para tirani itu? Apa otakmu sudah dicuci oleh mereka?"
Aku mengepalkan tinjuku dengan erat dan menggertakkan gigiku. "Diam kamu, kamu tidak tahu apa-apa."
Dia menghela napasnya lalu berkata, "Ini tak tertolong, kalau kamu tidak mau kembali kepada kami, maka aku tak punya pilihan lain selain menghabisimu."
Dia menghentakkan kaki kanannya, membuat permukaan lantai dilapisi oleh es. Aku melompat agar tidak ikut membeku. Tanpa aba-aba, dia langsung muncul di hadapanku.
Sudah terlambat untuk membuat perisai kegelapan, kutahan serangannya dengan menyilangkan kedua tanganku. Pukulannya yang sangat kuat menghantam lenganku, membuatku terpental ke dinding.
Bunyi yang sangat nyaring terdengar saat badanku terbanting ke dinding berwarna abu-abu muda. Punggungku terasa sakit sekali. Tidak hanya itu saja, kedua lenganku pun membeku sehingga tidak dapat digerakkan. 'Sial, kalau seperti ini aku bisa kalah.'
"Fylax!" Teriakan itu berasal dari seorang pria yang baru saja tiba di tempat ini. Orang berjubah hitam itu menoleh ke belakang, melihat Kapten yang berlari ke arah kami. Sepertinya suara keributan ini mencapai kantornya.
Orang yang disebut sebagai Fylax berdecak kesal lalu menoleh ke arahku. "Kita akan bertemu lagi, kutunggu jawabanmu."
Seluruh tubuhnya berubah menjadi es lalu hancur menjadi serpihan kristal kecil. Dia menghilang ke udara tipis.
Kapten berlari ke arahku. Es yang melapisi lantai langsung menghilang begitu dia menginjakkan kakinya di atasnya. Dia menyentuh lenganku yang membeku. Es itu pun langsung lenyap.
Setelah itu, Kapten melangkah memasuki ruang interogasi. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat keadaan ruangan itu. Kapten Giedrius melenyapkan semua es yang ada dengan sentuhannya. 'Ternyata 'Arte' milik Kapten sangat berguna untuk membersihkan kekacauan, ya?'
Suara Kapten menyadarkanku dari lamunanku. "Trystan, jangan melamun saja. Cepat bawa mereka ke klinik," perintah Kapten, kuanggukan kepalaku dan menjalani perintahnya.
Kini klinik dipenuhi oleh orang-orang yang terluka. Kulihat Dokter yang kewalahan menyembuhkan 6 orang sekaligus, termasuk diriku yang mengalami fraktur tulang belakang dan frostbite ringan pada kedua lenganku.
Aku duduk di kursi yang berada di samping ranjang Layla. Kulitnya tampak pucat dan dingin. Aku tidak tahu berapa lama dia terperangkap di dalam es, tetapi syukurlah tidak ada cidera berat padanya.
"Sepertinya kamu dan orang itu saling kenal, ya?" Pertanyaan itu keluar dari mulutnya. Aku terdiam sesaat lalu menganggukkan kepalaku.
"Siapa dia? Bagaimana kamu bisa mengenalnya?" tanya Layla seolah-olah menginterogasiku.
"Dia adalah anggota Fylax," jawabku memberitahu dia identitas orang yang menyerang kami beberapa saat lalu.
"Fylax? Bukannya itu organisasi anti-Treis?" tanya Layla memastikan jawabanku barusan. Kuanggukkan kepalaku membenarkan pernyataannya.
"Apa hubunganmu dengannya?" Dia menanyakan pertanyaan yang ingin kuhindari. Aku menarik napas panjang-panjang sebelum menjawabnya.
"Aku adalah mantan anggota Fylax," jawabku dengan suara kecil.
Mata Layla terbelalak kaget mengetahui fakta yang sudah lama kukubur darinya. "Apa ...? Kapan?"
"Mungkin sejak aku berumur 5 tahun. Intinya aku sudah keluar dari mereka saat berumur 8 tahun," jawabku kurang yakin. Itu sudah lama sekali sampai-sampai aku tidak ingat kapan pastinya aku bergabung dengan Fylax.
"Bagaimana bisa seorang anak kecil menjadi anggota kelompok anarkis itu ...?" Ekspresi tak percaya dan syok terpasang di wajahnya. Layla tidak bertanya-tanya lagi. Dia hanya diam dan menundukkan kepalanya sambil menggenggam erat selimut yang menutupi kakinya.
Layla mengangkat kepalanya lalu berkata, "Bisa tinggalkan aku sebentar? Aku butuh waktu untuk mencerna informasi ini." Kuanggukkan kepalaku dan berdiri dari kursi lalu mengayunkan kaki meninggalkan sisinya.
Kuhentikan kakiku di ambang pintu lalu menengok ke belakang, melihatnya yang duduk terdiam di atas ranjangnya. 'Sebenarnya apa yang dia renungkan sampai sedalam itu?'
Kuputuskan untuk melangkah pergi dari klinik dan berjalan menuju asrama. Sesampainya di kamarku, aku langsung merebahkan badanku di atas kasur. Kupejamkan kedua mataku, mencoba untuk tidur.
***
Kericuhan dimana-mana. Teriakan, jeritan, ledakan, bunyi rentetan tembakan, semuanya menyatu menjadi satu di dalam medan ini.
Kota yang seharusnya dipenuhi oleh hiruk pikuk kehidupan berubah menjadi puing-puing reruntuhan. Begitu pula langit yang seharusnya biru cerah berubah menjadi merah menyala. Ini adalah saat terjadinya kerusuhan di Ibu Kota, 13 tahun yang lalu.
"Bubarkan Treis! Kami tidak butuh pemerintah korup seperti kalian!"
"Tutup mulut kalian, anjing-anjing gila!"
"Berikan keadilan kepada pemilik 'Arte' berisiko tinggi!"
Pemandangan bentrokan antara Custodia dengan Fylax yang bertempat di depan Istana Putih. Kedua kubu ini saling beradu kekuatan. Meskipum Fylax kalah jumlah terhadap Custodia, mereka tidak terdorong mundur karena memiliki beberapa pemilik 'Arte' berisiko tinggi.
"Bala bantuan mereka berdatangan dari arah jam 7! Senja, jangan biarkan mereka mendekat!" suara wanita memberi perintah kepada orang bernama Senja. Tak banyak tanya, figur berjubah hitam dan bertopeng putih itu langsung menjalankan perintahnya.
Tampak puluhan orang berjas hitam yang merupakan personel Custodia berdatangan dari arah yang disebut wanita itu. Senja mengkonsentrasikan 'Arte'-nya ke tempat lawannya berada.
Bayangan di bawah kaki mereka menggeliat, bayangan itu mencuat ke atas mencabik tubuh musuhnya. Teriakan personel Custodia terdengar jelas di telinganya walau jarak mereka beratus-ratus meter jauhnya.
Beberapa saat telah berlalu, Custodia mulai terdesak mundur oleh Fylax. Sayangnya, kemenangan itu tidak dimenangkan oleh mereka. Semenjak seorang pria berambut biru malam dan berjas hitam menginjakkan kakinya di medan ini, keadaan terbalik menjadi Fylax yang terdesak mundur.
Pria itu mengangkat tangannya ke atas dan mengocehkan sesuatu. Entah apa yang dilakukannya, tiba-tiba saja hampir semua anggota Fylax lenyap begitu saja, menyisakan 8 orang berjubah hitam dan bertopeng putih di tempat ni.
"Tangkap mereka hidup atau mati, tetapi jangan remehkan mereka karena mereka semua merupakan pemilik 'Arte' berisiko tinggi," perintah pria itu. Ratusan orang berjas hitam langsung mengepung 8 orang yang berbahaya itu.
"Mundur!" teriak salah seorang dari kelompok yang kalah jumlah itu. Mereka berlari menerobos orang-orang berjas hitam yang menghalangi jalan mereka.
Akan tetapi, salah satu dari mereka tersandung oleh reruntuhan dan terjatuh. "Senja!" Suara rekan-rekannya menyerukan namanya dengan panik dan khawatir.
Seseorang mencengkeram lehernya dan mengangkatnya hingga kakinya tidak menyentuh tanah lagi. Pria berambut biru malam itu membuka topeng orang yang ditangkapnya.
"Tidak kusangka anak sekecil ini adalah anggota Fylax," gumam pria itu setelah melihat wajahnya.
"Sayangnya, hukum tidak memandang usia. Kamu tetap harus diadili oleh Treis," lanjutnya dan membuat anak itu kehilangan kesadarannya.
Ekspresi mukanya yang menahan kesakitan perlahan berubah menjadi lega karena akan segera terbebas dari siksaan api itu. "Terima kasih, Trystan ...," ucapnya berterima kasih kepadaku.Setetes air mata keluar dari mata kanannya lalu jatuh ke kobaran api di bawah dan lenyap tak bersisa. "Semoga di kehidupan selanjutnya ... kita tidak akan bermusuhan lagi." Layla mengucapkan kata-kata terakhirnya sebelum aku mengakhiri hidupnya di tempat dan saat ini juga.Kejadian itu terputar-putar di kepalaku puluhan, ratusan, bahkan ribuan kali terulang di dalam kepalaku. Ingatan itu masih menghantui pikiranku hingga hanya ingatan itu saja yang menjadi satu-satunya hal yang memenuhi pikiranku.Satu bulan telah berlalu sejak saat itu, aku dapat keluar dari alam bawah sadar Layla dan kembali ke dunia nyata dengan selamat, tanpa luka sedikit pun. Bagiku waktu 1 bulan itu terasa begitu lama seolah-olah terhenti.Aku berdiri di depan makam yang sederhana. Aku berjongkok di dep
"Kamu tidak percaya padaku? Aku janji aku benar-benar akan mengeluarkanmu dari sini kalau waktunya tiba," tanya Layla yang diikuti dengan mengucapkan janji yang tidak kuketahui apakah dia dapat memegang janjinya atau malah mengingkarinya.Saat aku hendak membalas perkataannya, tiba-tiba langit biru berawan yang ada di sekeliling kami berubah menjadi jingga. Langit itu berwarna jingga bukan karena senja telah tiba, melainkan karena kobaran api yang muncul di mana-mana.Tidak hanya langit di sekeliling kami saja yang dilahap oleh api, Layla yang berdiri di hadapanku ikut terbakar. "Kyaaa! Panas!!" Dia langsung menjerit kesakitan ketika kobaran api itu melahap dirinya. Kulihat kulit sekujur tubuhnya mengalami luka bakar yang parah."Sebenarnya apa yang terjadi?" gumamku yang keheranan. Aku tidak tahu kenapa situasi di alam bawah sadarnya mendadak berubah menjadi seperti neraka. 'Apa ini hukuman dari Dewa atas perbuatan-perbuatan Layla yang tidak manusiawi itu?'
"Sepertinya aku bisa menebak kenapa dulu kamu bilang begitu," ujarku sambil melepaskan pegangan tanganku dari pergelangan tangan Layla.Layla menarik tangan kanannya dan memegangi pergelangan tangannya yang memerah, padahal aku tidak sekuat itu memegang pergelangan tangannya hingga dapat semerah itu.Layla mengangkat kedua alisnya dan menantangku. "Kalau begitu, coba tebak kenapa dulu aku bilang begitu."Bibirku melengkung ke atas mendengar Layla menantangku seperti itu. Aku pun menimpali perkataannya dengan tebakanku yang kuyakin 100% benar."Dulu aku mencintaimu karena kamu mengendalikanku untuk jadi begitu, kan? Makanya semenjak aku sudah berhenti mempercayaimu, aku tidak lagi mempunyai perasaan suka padamu karena aku sudah terlepas dari kendalimu."Layla terdiam mendengar jawabanku. Dia tidak membantah tebakanku. Tampaknya apa yang kutebak itu tepat sasaran, makanya dia tidak dapat menyanggah perkataanku.Aku tersenyum sinis kepada Layla
Layla tersenyum mendengar pertanyaanku. Dia pun menjawab rasa heran dan penasaranku. "Sepertinya kamu lupa kalau kita bisa menggunakan kekuatan kita melewati batas yang seharusnya. Yah, yang pasti bakal ada efek sampingnya." Hampir saja aku lupa dengan hal itu, 'melewati batas', yaitu kemampuan seseorang untuk menggunakan 'Arte'-nya melewati batas tingkat absolutnya. Tentunya akan ada efek samping yang mengikuti setelah digunakannya kemampuan untuk melewati batas itu. Seperti saat aku menggunakan 'Arte'-ku untuk melenyapkan Kapten Giedrius yang tingkat absolutnya berada di atasku, energiku langsung terkuras banyak hingga hampir tidak bersisa. Menggunakan 'Arte' sampai melewati batas dengan berlebihan dapat memberikan efek samping yang fatal, bahkan dapat membuat penggunanya mati. Contohnya, Alcyone, anak perempuannya kakek Fero dan nenek Nevada. "Kenapa kamu sampai melewati batas kekuatanmu? Kamu tahu 'kan risikonya sebesar apa kalau kamu menggunakann
"Sekarang semua orang yang kamu kendalikan sudah mati, kali ini apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku kepada Layla.Layla menyeringai mendengar pertanyaanku. "Semua orang katamu? Kamu salah, Trystan. Mereka bahkan belum mencapai seperempat dari total orang yang sudah kukendalikan," balasnya.Aku terdiam mendengar jika ratusan orang itu tidak sampai seperempat dari keseluruhan orang yang dikendalikannya. Itu berarti, ada ribuan orang yang telah dikendalikan olehnya.'Benar juga, penduduk kota Boreus saja jumlahnya lebih dari 5.000 orang. Jumlah orang yang sudah dikendalikannya lebih banyak dari yang kukira.'Layla beranjak dari tempatnya berdiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh tak bernyawa yang berserakan di atas lantai.Entah apa tujuannya berjalan menghampiriku. Aku menciptakan sepasang pedang yang melayang di sisi kiri dan kananku, bersiaga jika dia akan melakukan sesuatu terhadapku.'Dia tidak akan bisa mengendalikan pikiranku lagi karen
Aku menaikkan salah satu alisku karena heran melihat Layla tiba-tiba tertawa seperti itu. "Apa yang lucu sampai membuatmu tertawa begitu?" tanyaku dengan nada serius.Setelah tertawa dengan nyaring selama beberapa detik, akhirnya tawanya itu reda juga. Dia menyeka air mata yang menggenang pada sudut matanya lalu menjawab pertanyaanku. "Haha, ... itu karena kamu terlalu bodoh sampai-sampai bisa membuatku tertawa begini."Layla mengembalikan ketenangannya dan berhenti tertawa. Dia menatapku dengan instens dan tersenyum menyeringai. "Kamu pikir hanya karena aku bersedia untuk mati di tanganmu berarti aku juga bersedia untuk menyerah dan berhenti mengendalikan mereka?"Bodoh, kamu terlalu naif sampai-sampai kelihatan seperti orang tolol," hina Layla sambil memandang rendah aku.Kepalan tanganku semakin kuat hingga kuku jariku menggali ke dalam kulit telapak tanganku. Tak kurasakan lagi rasa sakit yang menusuk telapak tanganku dan lengan kananku yang terluka.