Share

Chapter 4

Setelah Dokter memeriksa keadaan Layla, dia mengatakan jika Layla tidak mengalami cidera apa pun dan akan segera siuman. Kuhela napas lega mendengar keadannya yang ternyata baik-baik saja.

Aku duduk di tepi ranjang pasien tempat Layla dibaringkan. Kubelai rambut peraknya yang halus seperti benang sutra. 'Sosoknya yang tak sadarkan diri terlihat bagaikan putri tidur.'

Suara tawa kecil tertangkap oleh telingaku. Suara itu berasal dari Layla. Bulu matanya yang lentik terangkat ke atas, dia membuka matanya dan menatapku sambil menyengir.

"Barusan kamu mikir apa?" Dia mengubah posisi badannya dari baring menjadi duduk. 'Jangan-jangan daritadi dia sudah sadar dan membaca pikiranku?'

"Aku baru saja terbangun kok, waktu kamu mikir tentang 'sosoknya ya-' " Omongannya terputus karena aku langsung menutup mulutnya dengan telapak tanganku. Pipi dan telingaku terasa memanas mengingat hal memalukan itu. 'Tolonglah, jangan mengungkapkan isi pikiran orang seenaknya!'

"Iya, iya, aku tidak akan mengerjaimu lagi." Dia menepis tanganku sambil tertawa jahil. 'Benar-benar tidak adil, aku jadi harus berhati-hati dengan apa yang kupikirkan gara-gara Layla bisa membaca pikiranku.'

Sekali lagi suara tawa kecil terdengar darinya. 'Layla, berhenti membaca pikiranku!' Dia menganggukan kepalanya dan memberi isyarat 'oke' dengan jarinya.

Tiba-tiba ponsel Layla berdering. Tangannya merogoh kantung celananya dan mengeluarkan ponselnya. Dia menyalakan telepon selulernya dan melihat sebuah pesan masuk dari Kapten.

Kapten memerintahkannya untuk menginterogasi 2 penyusup yang telah tertangkap dan juga memanggilku untuk datang ke kantornya. 'Jangan bilang dia memanggilku karena aku tidak menuruti peringatannya?'

Aku dan Layla pun berpisah. Dia berjalan ke ruang interogasi yang berada beberapa meter dari klinik sedangkan aku menuju tangga naik ke lantai 2. 

Sesampainya di kantor Kapten, kuketuk pintunya terlebih dahulu. Terdengar suara Kapten yang mempersilakanku untuk masuk ke dalam. Kudorong papan kayu itu dan memasuki ruangannya.

Tampak ruangan bertema monokrom abu-abu. Kapten duduk di kursinya, sibuk mengurusi berkas-berkas yang ada di atas mejanya. Dia memberi isyarat kepada wanita yang berdiri di dekatnya untuk pergi. Wanita yang merupakan asistennya itu menganggukkan kepalanya lalu meninggalkan ruangan ini.

Kini hanya ada kami berdua di kantornya. Tidak ada yang membuka pembicaraan di antara kami. Kapten hanya sibuk dengan urusannya sendiri sedangkan aku bingung akan alasannya memanggilku ke sini.

"Trystan, mengapa kamu mengabaikan peringatan saya?" tanyanya dengan nada yang mengintimidasi. Aku tidak berkutik mendengar pertanyaannya.

Dia menghela napasnya. "Sekarang kamu resmi menjadi personel Custodia. Saya akan menempatkanmu di Divisi Investigasi." Kapten menyodorkan sebuah kartu kepadaku, kuambil benda pipih itu dari tangannya.

Tertulis biodata singkat yang berisikan nama, pangkat, dan divisi. Selain itu, tertera foto formal diriku yang mengenakan jas hitam dan berlatar belakang merah. 'Darimana dia dapat foto ini? Padahal aku tidak pernah mengikuti sesi foto apa pun.'

"Ada apa ini tiba-tiba sekali? Setelah 3 tahun Anda membuat saya hidup seperti angin?" tanyaku heran.

"Sekarang tidak ada gunanya lagi menyembunyikanmu. Para 'anjing' itu telah mengendus tentang dirimu sejak kamu terlibat dalam masalah ini." Kapten memijat keningnya yang pusing akan masalahku.

"Sekarang kamu boleh pergi dan jangan lupa perbaiki ponselmu agar saya dapat menghubungimu dengan lebih mudah," tambahnya, kuanggukan kepalaku mengerti dan mengundurkan diri dari ruangan ini.

Aku berjalan menyusuri lorong. 'Sekarang apa yang akan kulakukan? Harusnya tadi aku bertanya kepada Kapten terlebih dahulu sebelum pergi meninggalkan kantornya.

'Ah, apa aku pergi ke tempat Layla saja, ya?' Kulangkahkan kakiku ke tangga turun, menuju ruang investigasi yang berada 1 lantai di bawah tempatku saat ini.

Kuhentikan kakiku di depan pintu ruang interogasi. Aku tidak masuk ke dalam karena takut akan mengganggu pekerjaan mereka. Kusandarkan punggungku pada dinding di sebelah kiri pintu sambil melipat tangan di dada.

Ada sesuatu yang mengganjal di benakku. Temperatur di sini terasa lebih dingin daripada sebelumnya padahal biasanya area ruang interogasi tidak sedingin ini.

Aku berjalan mendekati pintu. Hawa dingin menyeruak dari cela papan besi itu. Kusentuh benda itu dengan telapak tanganku. Langsung kutarik tanganku dan menjauhinya. Dingin sekali, rasanya seperti membeku. 'Ada yang tidak beres dengan ruangan ini.'

"Layla, apa kamu baik-baik saja di dalam?" Tanyaku setengah berteriak. Tidak ada jawaban darinya. Usahaku sia-sia karena sihir kedap suara yang terpasang di ruang interogasi. Berkat sihir itu, tidak ada suara apa pun yang dapat masuk maupun keluar dari ruangan itu.

Semakin lama waktu berlalu, firasatku semakin tidak enak. 'Sial, kalau seperti ini terus, aku tidak punya pilihan lain selain mendobrak masuk.'

Bayangan hitam muncul menyeliputi tangan kananku. Aku mengepalkan tinjuku dan meninju pintu sehingga papan besi itu bengkok ke dalam. Kuulangi tindakan yang sama hingga akhirnya pintu itu terbanting terbuka. Seketika udara dingin menyeruak keluar dari ruangan itu.

Tanpa pikir panjang aku bergegas memasuki ruang interogasi. Keadaan di dalam jauh lebih buruk dari yang kukira.

Seluruh permukaan dinding dan lantai dilapisi oleh es. Bahkan para personel Custodia membeku dalam balok es dan juga ada penampakan yang lebih mengerikan di sudut kiri ruangan ini.

Jarum-jarum es berukuran besar menusuk 2 orang yang seharusnya diinterogasi. Es yang bening menjadi berwarna merah oleh darah yang bercucuran keluar dari bekas tusukan di badan mereka.

"Trystan, pergi dari tempat ini! Panggil Kapten ke sini!" Suara yang kukenal itu memberiku perintah dengan nada panik. Mataku terbelalak kaget melihat keadaan Layla yang setengah tubuh bagian bawahnya terperangkap dalam balok es. Selain itu, kedua tangannya juga membeku.

"Lihat, siapa yang baru saja datang." Suara seorang wanita yang tidak kukenali berasal dari seorang yang mengenakan jubah hitam dan topeng putih yang berdiri di dekat Layla. Terdapat logo yang familier tertempel di sisi kiri topengnya dan juga lengan kirinya.

"Menghindar!" Teriakan Layla menyadarkanku. Orang asing itu berada tepat di depanku, hendak menyerangku. Aku melompat ke belakang menghindari serangannya.

Tangannya menghajar dinding sehingga muncul jarum-jarum es dari bekas serangannya itu. 'Serangannya berbahaya sekali, sepertinya pertarungan jarak dekat melawannya bukan pilihan yang baik.'

"Seharusnya kamu tetap di luar saja. Aku terpaksa harus membunuhmu karena kamu sudah melihat hal yang tidak seharusnya dilihat," ucapnya dengan nada dingin. Banyak kristal es yang berbentuk seperti anak panah muncul di sekelilingku.

Ratusan anak panah itu melesat ke arahku. Dengan sigap kuciptakan perisai bayangan berbentuk bola untuk melindungi diriku dari segala arah. Terdengar suara pecahan es yang hancur mengenai perisaiku.

Kuhilangkan bola pelindungku setelah suara pecahan itu berhenti. Kulihat dia masih berdiri di tempatnya. 'Entah apa yang dipikirkannya, dia berhenti menyerangku. Inilah kesempatanku untuk menyerangnya!'

Aku mengayunkan tanganku dari atas ke bawah. Bayangan hitam berbentuk cakar muncul di atasnya. Terdengar suara yang sangat nyaring saat seranganku mengenainya. 'Berhasilkah?'

Saat kabut putih mulai menghilang, orang misterius itu tampak masih berdiri tegap. Tak ada luka goresan sedikit pun terlihat padanya. Sebuah perisai yang terbuat dari es berada tepat di atas kepalanya. 'Dia bisa menahan seranganku?! Sial, itu berarti dia juga pemilik 'Arte' berisiko tinggi sepertiku!'

" 'Arte' kegelapan, huh. Seperti milik seseorang yang kukenal dulu sekali," gumamnya. Aku bersiaga mengawasi pergerakannya.

"Apakah itu kamu, kode nama Senja?" tanyanya. Nama yang sudah sangat lama tidak kudengar itu mengejutkanku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status