Share

Keputusan [2]

“Eh kita belum kenalan ya, saya Amanda.” kataku mengulurkan tangan. Dia melirikku lalu mengelap telapak tangannya yang berlumuran cat terburu-buru saat melihat uluran tanganku. “Saya Koswara.” senyumnya mekar dan tulus.

Koswara ini sepertinya orang baik, buktinya dia masih membantuku kemarin meski kakinya sudah ku lindas. Dia juga lucu karena selalu tersenyum. Wajahnya juga tampan, sayangnya Koswara bukan seorang pria yang peduli dengan penampilan. Buktinya, dia membiarkan permukaan wajahnya di tumbuhi berewok yang tak beraturan.  Aku jadi terpikir untuk menyewanya saja. Apa dia akan setuju?

Aku segera menyadarkan diri setelah memindai Koswara dari bawah hingga ke puncak kepalanya. Aku tak ingin tertangkap basah tengah memerhatikannya. “Kamu kerja di sini Kos?" “Iya Teh, untuk semingguan ini saya kerja di sini.” aku nya sekilas melirikku. jawaban Koswara sangat menggantung, aku jadi harus memperjelas pertanyaannku. “Emangnya sehari-hari kamu kerja dimana?" “Dimana aja Teh, saya kan tukang gambar. Jadi kalau ada yang butuh jasa gambar, dimana saja tempatnya pasti saya datengin. Asal di ongkosin!  Hehe.” paparnya di balut tawa renyah. Barisan giginya yang rapih terekspos. Aku juga begitu, ikut tertawa bersamanya. Kepolosannya begitu lucu!

Koswara ramah dan santai orangnya, dia tetap meladeniku mengobrol meski tangannya tetap sibuk bekerja. Raut wajahnya sama sekali tak menampilkan bahwa dia terganggu. 

Aku kembali mengecap tetesan terakhir kopi hitam di cangkirku. “Kamu keliatan masih muda Kos, berapa umurmu?” tanyaku penasaran. “Dua puluh dua tahun.” balasnya cepat. 

Astaga dia delapan tahun lebih muda dariku! Aku tak mungkin menyewanya. Dia terlalu muda untuk menjadi suami sewaanku. "Sudahlah, lupakan saja untuk menyewanya. Masih banyak laki-laki yang akan profesional dalam bekerja." gumamku dalam hati.

“Kos kamu bisa bantu saya carikan alamat-alamat ini kan?” kataku lagi mengulurkan alamat di layar ponselku. Koswara menghentikan pekerjaannya, membaca setiap alamat yang di tampilkan di layar ponselku dan berkata, “Boleh Teh, kalau pekerjaan saya selesai. Kita cari sama-sama alamatnya.” jawabnya yang masih sibuk menggerak-gerakan kuas kecil di tangannya.

***

Siang menjelang sore, pekerjaan Koswara di hotel sudah selesai. Kami pun pergi menyusuri setiap sudut kota Bandung. Aku mengemudi mengikuti arahan Koswara. Di sudah tentu khatam dengan hiruk pikuk kota kelahirannya itu. Aku mulai merasa lebih tenang dengan adanya Koswara, setidaknya aku akan lebih mudah mendapatkan alamat-alamat yang ku cari.

Aku pun tak lupa menjelaskan tujuan mencari laki-laki yang akan kusewa, ku jelaskan tentang keadaanku, penyakitku, tentang sahabat-sahabatku, tentang pekerjaanku juga tentang ibuku. Meskipun aku dan Koswara baru saja saling mengenal, tapi aku jelas tidak ingin di cap buruk. Dan Koswara pun akhirnya paham.

Satu persatu alamat yang di tampilkan g****e ku datangi, tapi aku belum menemukan laki-laki yang cocok dengan kriteriaku. Aku tak ingin menjadi orang yang gegabah dalam melangkah, setiap baik dan buruk selalu aku pikirkan.

Koswara menunggu di dalam mobil, saat aku berkali-kali turun menemui setiap agen yang kucari. “Kenapa lagi Teh?” tanyanya sesaat setelah aku masuk ke dalam mobil. “Kemahalan Kos. Harga yang mereka tawarkan tinggi banget.” jawabku malas. “Memangnya minta berapa Teh, si AA nya?” “250 juta. Sedangkan budget saya maximum hanya 100 juta.” tambahku seraya menyalakan mesin mobil. “Apa 100 juta!? Apa saya gak salah dengar Teh?” tanya Koswara setengah berteriak. “Enggak Kos, memang rata-rata segitu untuk sewa satu tahun.” terangku datar. “Kalau 100 juta sih saya juga mau Teh!” seru Koswara membuyarkan konsentrasi mengemudiku.

'Cekiiiiiiiit!'

“Aduh! Pelan-pelan atuh Teh remnya!” pintanya saat aku rem mendadak tak terkendali.

Aku tak ingin menengok orang sebelahku saat aku seketika berpikir keras atas kesediaan Koswara menjadi laki-laki sewaan ku. “Serius kamu Kos?” pekikku. Koswara menatapku dengan mata yang bulat. “Serius Teh kalau upahnya 100 juta.” aku nya tenang. Hening pun menyapa kami beberapa detik. Kami saling menatap. Koswara tengah berusaha meyakinkanku dengan netranya. 

Koswara mengalihkan pandangannya, dengan lirih dia berkata, "Tapi, saya --" aku menarik alis mataku ke atas menunggu kalimatnya yang tercekat. “Tapi kenapa Kos?” tanyaku penasaran. Koswara kembali menatapku. “Saya kok takut dosa ya Teh, soalnya nanti kan kita harus --” Koswara mendekatkan jari telunjuk kanan dan kirinya, mengisyaratkan sesuatu yang sudah ku pahami. Ada jeda hening kembali membumi sebelum akhirnya aku terbahak tertawa “Hah! Kamu itu lucu ya” balasku yang masih terkekeh sesekali. Dahi Koswara mengerut dalam sekali melihat tingkahku. 

Saat aku mulai tenang, ku jelaskan pada Koswara. “Ya gak lah Kos, kan nikah dulu terus jadi suami isteri. Mana ada dosa.” “Begitu ya?!” jawabnya retorik. "Saya butuh kejelasan administrasi nantinya, jadi laki-laki yang akan saya sewa itu harus mau menikah resmi." paparku menjelaskan. Koswara menggaruk tengkuknya dan terkekeh pelan. Mungkin dia baru menyadari tingkah polosnya yang lucu.

Mobilku masih berhenti. Aku masih tak berniat menjalankannya di saat kepalaku tengah berpikir keras seperti ini. “Tapi saya gak bisa sewa kamu Kos.”

Dahi Koswara kembali mencetak kerut yang dalam. Alis tebalnya menyatu. “Kenapa?” tanyanya singkat.

Aku menarik napas dalam dan panjang. Aku harus kembali berpikir jika aku memang memutuskan untuk tidak memilihnya. “Kamu terlalu muda, ibu saya bisa curiga. Saya gak mau ibu tahu tentang multi schelosis saya." kataku saat Koswara masih terlihat berpikir. "Saya ingin memastikan semua rencana berjalan lancar, saya tak ingin pusing di kemudian hari.” tambahku. 

Koswara pun kembali terkekeh pelan. “Jangan khawatir Teh, nanti saya bisa akting supaya ibunya Teh Manda gak curiga. Saya ini seniman!” balasnya menepuk dada congkak. 

Aku melirik Koswara. “Yakin bisa?” alisku naik sebelah.

Koswara pun mengangguk cepat. Dia begitu percaya diri.

Aku kembali berpikir beberapa saat, sampai akhirnya ku putuskan untuk menerima tawaran Koswara. “Ya udah kita ke Yogyakarta sekarang kalau gitu.” “Ngapain ke Yogyakarta Teh?” tanya Koswara.

“Kita akan menikah di Yogyakarta. Ibu saya juga tinggal di sana.” terangku seraya memutar balik mobil.

Prosesnya begitu cepat antara tawaran Koswara dan keputusanku, aku belum pernah memutuskan sesuatu secepat ini. Tapi kali ini mengalir seperti air. Meskipun dalam hati kecilku ada ragu pada Koswara. Dia terlalu muda dan dia polos. Aku hanya takut ibu yang tahu persis tipe laki-laki impianku akan dengan mudah curiga dengan Koswara.

Pada akhirnya, keraguan itu seimbang dengan mantra-mantra positif yang ku jejalkan di kepala bahwa semuanya akan berjalan lancar seperti yang aku harapkan.

***

Sebelum ketemu ibu, aku persiapkan semuanya matang. Ku belikan Kosawara beberapa potong baju baru agar penampilannya terlihat lebih rapi. Aku pula yang memilih gaya rambutnya yang baru. Koswara tak mungkin tampil di depan ibuku dengan rambut panjang yang di kucir, terlihat kekanak-kanakan sekali. Berewok di wajahnya ku pangkas habis. Wajahnya yang bersih terlihat begitu rapih sekarang.

Koswara kini terlihat lebih rapi dan bersih dan dewasa. Wajahnya memang sudah tampan dan badannya juga bagus. Saat ku tanya apakah dia suka berolahraga, Dia malah terkekeh, katanya badannya kekar dan berat karena dia terbiasa bekerja berat.  

Aku pun tak lupa membeli sepasang cincin pernikahan.

***

Sesampainya di Yogyakarta.

“Amanda!” seru ibu saat melihatku turun dari mobil. Ibu lekas meraih badanku, mendekapku erat. Beliau begitu merindukanku. Aku pun sama, sebab sudah hampir empat bulan aku tak pulang.

“Ibu, apa kabar Bu?” tanyaku melepaskan pelukan, meski badan kami masih menempel. Ada air mata haru di kelopak matanya. 

“Baik Nak, ini!?” tanya ibu menunjuk Koswara yang seketika mencium punggung tangan Ibuku.

Koswara segera mendekat dan meraih tangan ibuku untuk mencium punggung tangannya. “Saya Koswara Bu.”

Ibu melemparkan pandangannya padaku dan Koswara secara bergantian. “Ayo-ayo Nak masuk dulu.” pinta Ibu mengapitku dan Koswara untuk masuk ke dalam rumah.

***

Note :

Teteh / Teh, sebutan kakak perempuan dalam bahasa sunda.

AA / Kang, sebutan kakak laki-laki dalam bahasa sunda.

Jang / Ujang, sebutan untuk anak laki-laki.

Melet, sebutan untuk orang yang menggunakan ilmu daya pikat.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status