Peringatan Konten 21+ Pada Bab tertentu. Aku seketika berhenti saat tanganku sudah meraih sesuatu yang sejak tadi kucari. “Kos, kamu impoten!?” Namaku Amanda William, tadinya aku sudah tidak ingin di pusingkan dengan urusan laki-laki, toh hidupku sudah cukup bahagia sendiri. Nyatanya saat aku menikmati kesendirianku yang ke lima tahun ini, ibuku malah terus-menerus menanyakan kabar hatiku. Berharap ada laki-laki yang menggantikan posisi Arjuna, mantan kekasih ku. Terlebih saat aku di diagnosis penyakit langka yang mengubah kehidupanku. Penyakit itu lah yang membawaku pada seorang pria muda bernama Koswara. Apa yang terjadi pada Amanda? Bagaimana dia melewati kehidupannya yang berubah drastis?
View MoreNamaku Amanda William. Tadinya aku sudah tidak ingin di pusingkan dengan urusan laki-laki, toh hidupku sudah cukup bahagia sendiri. Karir ku bagus, aku sudah memiliki rumah sendiri meski tak mewah. Kendaraan pun aku punya meski bukan kendaraan wah.
Nyatanya saat aku menikmati kesendirianku yang ke lima tahun ini, Ibuku malah terus-menerus menanyakan kabar hatiku. Berharap ada laki-laki yang menggantikan posisi Arjuna, mantan kekasih ku.
Terlebih ocehan kedua sahabat baik ku Fitria dan Jenny yang sudah mendahuluiku berkeluarga semakin membuat kepalaku sakit. Menurutnya hidupku tak normal, sebab aku memilih untuk sendiri selamanya. Mereka ingin aku hidup normal katanya.
Aku sudah melihat seorang perempuan cantik yang duduk memangku seorang bayi. “Ya ampun Jen, anakmu lucu sekali.” pujiku saat pertama kali melihat putra Jenny mengenakan kemeja rapi bak orang dewasa.
Jenny memutar bola matanya, “Makanya cepet bikin, biar kamu juga punya.” katanya ketus.
“Bikin? Emang dari tanah liat bisa bikin sendiri.” jawabku tak kalah ketus.
Jenny memicingkan matanya, menatapku dengan tatapan asing, seperti kesal yang tertahan. “Ya cari dong yang mau jadi partner buat bikinnya!”
“Aduh mulai ngelantur lagi. Mana nih si Fitria jam segini belum datang juga?” ujarku mengalihkan pembicaraan Jenny.
“Ayo Nak main sama Alex.” pinta Fitria pada anaknya agar mau bermain bersama Alex putra sulung Jenny.
Aku mulai resah saat Fitria yang kini ada di antara aku dan Jenny. Seperti obrolan-obrolan sebelumnya, pasti aku yang selalu terpojokan.
“Sorry ya, aku telat lagi. Maklum Pak Suami kalau libur maunya di kelonin terus. Hahaha.” lanjutnya di sambut tawa Jenny.
“Mulai deh.” protesku yang sudah badmood sejak tadi.
“Ye bukan salah kita lagi. Suruh siapa milih jomblo seumur hidup?” jawab Fitria di dukung anggukan Jenny.
Aku mulai menyalakan sebatang rokok Marioboro kesukaan ku, berbincang hangat dengan sahabat baik ku. Jenny dan Fitria sudah menjadi bagian dari keluargaku. Persahabatan kami sudah berjalan hampir lima belas tahun lamanya. Tepatnya saat kami masih sama-sama duduk di bangku SMA.
Jenny memang begitu, dia selalu galak pada topik-topik tertentu. Tapi karakter feminin nya lebih mendominasi saat mengambil keputusan-keputusan penting. Seperti keputusannya menggunakan dress bermotif bunga anggrek ungu di padukan bando rambut senada. Sempurna sekali membalut tubuhnya yang masih indah meski sudah memiliki dua orang putra. Selain memiliki anak-anak yang tampan, Tentu saja Jenny juga wanita bersuami. Samudera suaminya, seorang Dokter yang karirnya tak perlu diragukan lagi.
Lalu bagaimana dengan Fitria? Fitria itu mesum! Dia adalah orang yang paling ahli sepertinya dalam urusan ranjang. Kenapa begitu? Karena hanya dia yang selalu bersemangat mengangkat topik itu. Bahkan dahulu....
Saat kami masih duduk di bangku SMA dia punya koleksi beberapa dvd dewasa. Dan dia selalu antusias akan itu. Aku yang bekerja satu kantor dengannya kadang khawatir jika nanti ia akan meracuniku dengan kegilaannya itu. Beruntungnya, Fitria juga wanita bersuami dengan satu putra. Lexi nama putranya sedangkan suaminya Febri seorang yang paham sekali dengan teknologi.
Aku hampir tesedak asap rokok saat Jenny tiba-tiba menginjakan kakinya keras di bumi dan berkata, “Manda, udahan dong rokoknya! Makin ke sini aku perhatikan kecanduanmu malah semakin parah.” pinta Jenny sekilas menasehatiku dengan sebal.
“Maaf deh maaf.” pintaku seraya mematikan batang rokokku yang masih panjang.
Aku pun mulai tersedak kembali setelah berusaha menelan bakso berukuran kecil. Saat Fitria lagi, membuka topik yang membuat kupingku sakit.
“Man udah tahun kelima ini, masih aja belum move on dari Arjuna? Kamu juga berhak bahagia Man.” kata Fitria melanjutkan.
“Gak lah, Arjuna udah aku anggap mati. Tapi gak tau lah Fit, aku masih....”
“Masih takut kecewa lagi? Takut kalau kamu ketemu laki-laki berengsek kayak bapak mu?” cecar Jenny menyelaku.
Lagi, mereka mencecarku dengan pertanyaan yang sama yang sudah berulang hingga ratusan.
***
Awal pekan yang akan melelahkan, sebab aku di sambut tangung jawab pekerjaan baru yang lebih besar. Perusahaan memintaku untuk menangani projek apartemen baru di luar kota. Pekerjaan yang mewajibkanku untuk tinggal di Surabaya selama enam minggu lamanya.
“Proyek besar honor besar Man.” seru Doni bersemangat saat kami mulai menyiapkan berkas-berkas yang akan kami bawa ke Surabaya.
“Lumayan lah buat jajan anakmu Don.” jawabku datar. Doni menghentikan aktifitasnya sejenak. Dia melempar senyum bahagia. “Jajan anaknya sama jajan ibunya Man.” Aku terkekeh kemudian. “Iya.”
Sebagai seorang Arsitek utama di perusahaan, kaki tangan dan rekan kerjaku memang lebih di dominasi laki-laki dan aku sudah terbiasa dengan itu.
***
Kepalaku mulai pusing. Penglihatanku juga terasa hilang sebagian saat aku bersiap untuk kembali ke Jakarta setelah enam minggu aku bekerja di Surabaya. Badanku juga lemas sekali.
Doni yang duduk di sampingku seperti melihat gerak-gerikku hingga ia bertanya, “Man, kamu sakit ya?” Aku mengepalkan kedua tanganku tanpa sadar. “Kayaknya sih gitu Don,” "Kamu terlihat pucat Man, apa mau ku antar ke rumah sakit Man?” tawar Doni mulai panik. Telapak tangan Doni sudah berkali-kali menyentuh dahiku untuk memastikan suhu tubuhku. Kali ini ku silangkan tangan ke dada. “Tidak usah Don, nanti biar di Jakarta aku ke Dokter, kebetulan suami sahabatku seorang Dokter.” kataku menolak kebaikan yang Dini tawarkan. Aku memang terbiasa dengan Samudera. Dia sudah seperti private dokterku. “Yakin kamu Man?" “Gak apa-apa Don. Thanks ya.” balasku mencoba menenagkan Doni.
***
Ku tahan setiap sakit yang menjalar tubuhku hingga aku meninjakan kaki di Bandara Soekarno Hatta. Aku pamit mendahului Doni untuk pergi dengan memesan taxi online menuju klinik Dokter Samudera.
"Amanda! Tumben sekali tiba-tiba datang gak kasih kabar?" sapa Jenny merangkulku dengan menyilangkan tangan di balik tulang punggungku.
Aku hanya tersenyum seraya menahan kepalaku yang mulai terasa berat.
“Man, kenapa? Kamu sakit? Pucat sekali wajahmu. Yuk ke klinik!” Jenny sedikit berlari mengarahkanku ke pintu masuk klinik yang menyatu dengan kediamannya. Aku mengikutinya. “Hai Sam.” aku menyapanya lirih. Rasanya tenagaku sudah habis, tubuhku nyaris ambruk malah. Samudera sudah sejak tadi menyibukan tangannya untuk memeriksa keadaanku. “Hai Amanda, udah lama gak ketemu. Sekalinya ketemu malah minta obat.” Aku mengulum senyum dengan kata-kata Samudera.
Amanda mulai resah. Aku bisa merasakan dia tengah mengkhawatirkanku. “Gimana Mas? Amanda gak apa-apa kan?” Jenny menyela suaminya yang tengah memeriksa keadaanku. Samudera mengangguk pelan lalu berujar, “Sakit biasa aja Man, tekanan pekerjaan yang bikin stres, kurang istirahat jadi kecapekan dan kebiasaan rokok yang harus segera di hentikan.” jelasnya seraya menulis resep di secarik kertas. Jenny yang sebelumnya berdiri di samping kakiku kini meraih tanganku untuk sekedar membantuku agar bisa duduk di tepi brangkar. "Tuh kan Man, aku udah berkali-kali bilang. Buang sajalah rokokmu itu.” pinta Jenny yang di setujui suaminya.
Samudera beranjak dari tempat duduknya. Memutari meja kerjanya dan menempatkan bokongnya disana. “Rokok itu hanya merusakmu Man. Apalagi kamu perempuan, kamu akan mengandung di kemudian hari. Sebelum kamu tidak bisa lepas, kamu harus mulai terapi untuk berhenti dari sekarang.” “Tenang saja Sam, aku tidak ingin mengandung jadi aku tidak akan menyakiti siapapun.” jawabku datar seraya beranjak dari tepi brangkar.
Benar sekali! Aku memang memutuskan untuk hidup sendiri saja, aku tak ingin mencari pasangan yang akan meributkan kehamilan atau yang lainnya. Aku sudah mati rasa.
“Kamu menyakiti dirimu sendiri Man!” pekik Jenny yang mulai kesal. Aku tentu saja kaget mendengar Jenny membentakku keras, segalak-galaknya Jenny dia tidak pernah membentakku sekeras itu.
Sedetik kemudian mata Jenny sayu. Tidak seperti sebelumnya yang melotot hingga bola matanya nyaris jatuh. Jenny meraihku. Dengan suara lirih dia berkata, "Man aku minta maaf ya. Aku khawatir sama kamu jadi terbawa perasaan sampe bicara terlalu keras." Aku tersenyum. Lebih dari itu, hatiku pun tersenyum sebab aku masih memiliki mereka yang menyayangiku tanpa sebab. “Makasih banyak ya Jen.”
Kami pun saling meleburkan pelukan Di saat yang sama juga melepaskannya untuk pamit pulang. Aku bahkan tak pernah membayar jasa Samudera setiap kali aku sakit. Pun dengan obat yang aku ambil di apotik samping kliniknya.
Ah mereka memang keluargaku di tanah perantauan ini.
***
Bersambung...
"Ki-kita cuman tanya-tanya resep masakan sama si brondong, Man." ujar Fitria gugup. Jenny di sampingnya hanya mengangguk-anggukan kepalanya dengan cepat, begitu juga Koswara yang tiba-tiba menduplikat gelagat Jenny. Ketiganya tampak begitu cemas saat aku melayangkan tatapan menelisik untuk beberapa saat. "Ya udah, oke! Terus masalahnya kenapa kalian gugup?" tanyaku lagi. "Gak gugup Man, kita cuman kaget aja tiba-tiba kamu nongol." sahut Jenny mengelak dengan gelak tawa yang di buat-buat. "Harusnya kalian bisa tunggu Koswara balik kan, kalau memang hanya tanya resep masakan." protesku mencari kebenaran. "Ya ampun Man, tengsin kali kalau ketahuan sama suami-suami kita." sahut Fitria berkilah dengan alasan tepat.Aku kembali melebarkan mata, mencari gerakan asing yang bisa ku sanggah. Meski akhirnya kalah dengan ketiganya yang mahir berkilah. "Ya udah, yuk balik!" ajak ku di iringi anggukan dan langkah kaki yang bergerak bersama.Je
Setelah akhir pekan kemarin bekerja keras, saatnya untuk senang-senang di akhir pekan yang akan datang. Kebetulan sekali Jenny dan Fitria mengajak kami untuk piknik bersama. Tentu saja aku dan Koswara. Anggap saja acara family gathering, katanya.Koswara tengah memakai bajunya setelah dia kembali 'bekerja profesional'. Dia datang padaku dalam keadaan bagian miliknya sudah berdiri tegak, entah dengan menonton film dewasa atau memang sudah waktunya bagian milik Koswara itu memuntahkan isinya. Yang jelas, dalam keadaan seperti itu, Koswara jadi tak perlu membuang banyak waktu untuk menanamkan benihnya di dalam rahimku. "Kos, akhir Minggu ini bikin makanan spesial bisa?" tanyaku setelah menggunakan kembali celana dalamku. Aku bahkan tak perlu menanggalkan seluruh pakaianku tadi. "Teh Manda, mau saya masak apa memang?" balas Koswara kembali bertanya. "Apa ya?" aku jadi bingung saat Koswara meminta pendapatku. "Jenny dan Fitria ngajakin kita piknik bareng. Anak-
Akhir pekan ini aku harus bekerja keras, sebab hanya dalam waktu dua hari, aku harus mengevaluasi beberapa gambar desain bangunanku, agar sesuai dengan hasil di lapangan.Dimulai dengan mengemas segala keperluanku di hari Jumat malam selepas bekerja. Aku harus segera tidur, sebab jadwal penerbanganku pagi sekali. Sementara jadwal bekerja sudah menunggu di Surabaya.Aku hanya menyampaikan hal-hal penting saja pada Koswara yang akan tinggal sendiri di rumah. Misalnya agar Koswara tidak melukis di sembarang tempat hingga menyisakan cat-cat di lantai. Atau agar Koswara tidak sembarangan memakai alat-alat fitnes jika dia tak tahu cara menggunakannya.***Aku terbang ke Surabaya bersama Doni, rekan sejawatku. Sebenarnya Doni arsitek junior, dia kaki tanganku di perusahaan, tetapi aku lebih nyaman berinteraksi informal seperti teman dengannya."Lagi kangen ponakan Man?" tany
Aku jadi malas pulang, sejak perselisihan itu, aku jadi tak betah di rumah. Rasanya ingin tinggal lama di luar saja, padahal rumah itu milikku dan yang menumpang itu Koswara, bukan aku!Entah sudah berapa lama aku hanya berdiam diri di balik kemudi, menatap jalanan lurus-lurus. Aku masih tak berniat menyalakan mesin mobilku, sampai akhirnya aku memutuskan untuk meraih ponselku dan menghubungi Koswara. "Halo Kos!" panggilku saat sambungan telpon terangkat. "Iya Teh Manda." jawab Koswara singkat. "Hmm, kamu sudah memasak untuk makan malam?" tanyaku kemudian. "Masih memasak sebenarnya, saya sedang membuat sup ayam dan emping melinjo." jawab Koswara datar. "Ada apa Teh? Teh Manda, mau minta di buatkan sesuatu?" lanjut Koswara. "Gak apa-apa, hanya mau kasih kabar. Saya pulang sekarang." balasku malas.Sial! Koswara sudah memasak ternyata, padahal aku hendak makan malam di luar saja sendiri. Andai saja aku bisa cuek dengan perasaan ora
Kepalaku masih sangat panas. Mungkin saja ubun-ubunnya mulai berasap. Jika saja tidak ada pasal tentang kekerasan dalam rumah tangga, mungkin Koswara sudah ku gigit dengan gemas. Kekanak-kanakannya hanya membuatku gila. Aku benar-benar harus mengikatnya secara hukum supaya dia tidak berulah di masa yang akan datang. Apa aku berlebihan? Sepertinya tidak. Bukankah orang yang jatuh cinta akan menghalalkan segala cara? Tentu saja ya. Itulah yang aku takutkan jika Koswara benar jatuh cinta padaku.Malam sudah mulai pekat. Biasanya aku sudah terlelap pukul sepuluh malam jika esok hari kerja. Sudah berkali-kali aku menghitung domba yang katanya bisa menghantarkan kantuk. Namun tak juga berhasil. Aku bahkan sengaja menelpon Fitria yang ternyata sedang bercinta dengan suaminya. Aku juga menelpon Jenny yang tengah sibuk menidurkan anak keduanya yang masih bayi. Aku tidak mungkin menelpon ibu, sebab jam sepuluh malam adalah waktu maksimum beliau tidur.
Pagi ini aku tak bangun dari tempat tidurku yang empuk dengan ranjang yang tinggi, tapi dari lantai ruang TV beralaskan karpet tebal dengan tubuh polos terekspos. Mataku masih perih sebenarnya, kepalaku pun masih terasa pening. Jika di hitung-hitung aku hanya tidur empat jam semalam. Aku beranjak untuk pergi ke atas tanpa peduli dengan pakaianku. Lagi pula siapa yang akan melihatku selain Koswara! Aku segera mandi menguyur seluruh tubuhku dengan air hangat yang keluar dari shower yang suhunya sudah kuatur. Butuh waktu setengah jam untuk membersihkan seluruh tubuhku. Hingga aku selesai bersiap, aku menuruni tangga menuju dapur seraya memasangkan arlogi di tangan. Kegiatan serupa yang selalu ku lakukan setiap hari kerja. Koswara menyambutku di dapur dengan senyum semuringah, "Nasi goreng pete!" serunya dengan wajan yang sudah terangkat dari tunggu api. "Teh Manda kalau sudah bosan bilang ya, nanti s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments