“Do you remember I was the first for you, baby girl?”
Sayup – sayup terdengar bisikan kasar di telingaku. Aku berusaha memahami situasi saat ini. Terbangun dengan keadaan seseorang melingkarkan tangannya di pinggulku bukan hal yang pernah kupikirkan. Aku berusaha menahan napas, suara serak dan dalam itu mengingatkanku pada satu nama. Nama yang tak pernah aku ingin ingat.
“I miss you.” Sontak aku bangun dan melepaskan diriku darinya. Kesalahan apa yang pernah kulakukan kemarin sampai harus melihatnya di sini. Di tempat yang bahkan kurang lebih baru satu hari aku menempatinya.
Aku bangkit dari posisiku, turun dari kasur king size di kamar hotel ini. Langkahku mundur saat melihatnya mendekat ke arahku.
“Bagaimana bisa kau di sini?” tanyaku hampir berupa bisikan.
“Pergi!” pekikku saat dia meraih kedua tanganku. Aku mencoba melepaskannya, meskipun itu sia – sia. Tubuhnya terlalu menjulang, aku tak punya cukup tenaga melawannya.
Melihatku terus berusaha melepaskan diri. Matanya berkobar gairah. Ya, aku pernah melihat itu sebelumnya. Kejadian lima tahun lalu seolah menampar otakku.
Beberapa kenangan buruk seakan mencuak ke permukaan. Aku benci menatap mata abu - hazel kelamnya. Dia seperti predator yang siap memangsa lawannya. Tapi untuk saat ini, apa pun yang dia ingin lakukan, aku tidak takut. Aku sudah berjanji pada diriku untuk tidak menjadi lemah di hadapannya.
“Kau selalu cantik seperti dulu.” Dia mencoba meraih wajahku. Tentu saja aku buru-buru mengempasnya.
“Apa maumu?” tanyaku marah. Aku benci harus bertemu lagi dengannya. Mimpi buruk seolah kembali menarikku ke kegelapan. Memaksaku menyesali keputusan yang kubuat.
“I miss you,” ujarnya sendu. Sesaat aku menyadari dia menatapku sedih, lalu tatapan itu berubah tajam seperti sebelumnya. Sial. Aku tak pernah memahami dirinya.
“You ran from me, right?”
Aku menarik kaki mundur, saat dia mulai mendekat.
“Get the f*cking away from me, please! Aku tidak mau melihatmu. Kau pria paling menjijikkan.”
Dia tersenyum sinis. Here we go. Tiba-tiba aku merasa tubuhku terangkat, dia mencengkram rahangku kuat. Lalu melumat bibirku kasar.
“You’re mine. Always mine! Jangan berani membantahku, atau aku akan mengingatkanmu betapa kau milikku.” Usai mengatakan itu. Dia melemparku ke sofa dan memutar tubuhnya. Aku ingat, sebelum dia benar-benar pergi. Dia menatapku tajam disusul ponselnya yang berdering, sepertinya dia sedang sibuk.
Aku tahu. Seharusnya aku melarikan diri secepat mungkin. Memanfaatkan kesempatan tidak bertemu lagi dengannya. Seharusnya begitu. Namun, baru saja membereskan beberapa sisa pakaian kemarin. Aku mendengar derap kaki kembali mendekat.
Pintu kamar kembali terbuka, menampakkan wajah kejam yang sialnya tampan itu sedang menatapku tajam.
“Where you go?” tanyanya datar.
Aku tidak menjawabnya. Hanya berusaha melewati tubuh besarnya sembari menarik koperku. Baru beberapa langkah pekikanku langsung keluar. Rambut panjangku ditarik ke belakang hingga aku bisa melihat wajah marahnya yang begitu kentara.
“I told you. Don’t you dare to face me again!”
“Atau kau ingin aku menghukummu?”
“Keberadaanmu di sini sudah cukup menghukumku. Jadi kau tidak perlu capek – capek melakukannya.”
“Oh ya?” bisiknya serak.
“Tapi aku sangat suka menghukum daripada menghukum. Ingin merasakannya?”
“Come!” Dia menarikku kasar dan melempar tubuhku ke ranjang. Menindihku hingga tak ada ruang untuk bergerak.
“Lepaskan, Axe. Aku mohon. Aku tidak mau berdosa karena dirimu. Biarkan aku hidup dengan kebebasan. Aku tidak mau menjadi pemuas nafsumu. Jika kau begitu maniak. Kau bisa menikah. Itu jauh lebih baik. Kau akan memiliki keturunan dan hidup bahagia. Jangan membuat kesalahan yang sama seperti dulu. Mom dan dad akan kecewa. Kau tahu itu. Kau seharusnya menjadi panutan untukku. Tapi kenapa kau melenceng dari kodratmu sebagai seorang saudara?”
Aku tidak peduli lagi reaksi Axe mendengar setiap perkataanku. Aku hanya ingin dia sadar bahwa yang dia lakukan salah. Dia tidak bisa memaksaku untuk melakukan segala sesuatu yang aku tidak mau.
Aku bisa saja melaporkannya ke pihak berwajib. Tapi bagaimana hal itu justru merusak nama baik keluarga? Terlebih Dad adalah bisnis man yang juga berkecimpung di dunia politik. Akan menjadi kesalahan besar jika aku melakukannya.
“I beg you. Please! Leave me alone.”
“In your dream.” Axe tersenyum meremehkan. Seolah aku hanyalah mainan kecil baginya dan dia adalah bocah yang sesuka hatinya merusak mainan kecil itu.
“You talk too much, baby girl. Aku tidak suka,” ucapnya dingin. Disusul bibirnya membungkam bibirku. Setelah itu dia melumatnya kasar seperti biasa.
Aku berusaha menutup bibirku seutuhnya, tapi Axe tidak membiarkan itu terjadi. Salah satu tangannya menyentuh titik sensitif di tubuhku, dan aku tidak bisa menjamin untuk tidak membuka bibirku dengan sentuhannya. Desahanku sedikit keluar. Namun kembali kutahan, aku tidak mau dia menguasaiku dan merasa menang.
Di saat Axe menurunkan ciumannya. Aku mengambil kesempatan, melepaskan tanganku dari genggamannya.
Dengan geram kuberikan dia tamparan keras. Wajah Axe menoleh ke samping. Oh. God. Aku hampir tidak percaya apa yang kulakukan. Jelas pipi sedikit tirus itu memerah, tapi yang membuat jantungku berdebar adalah kebungkamannya. Jujur, aku sangat takut. Tubuhku bergidik ngeri mendapati tatapannya menghunus ke arahku. Axe seperti akan marah besar dan dia punya alasan untuk itu.
“How dare you!” Axe mencengkram rahangku kuat. Hal yang membuatku bisa melihat mata abu – hazel-nya dengan dekat. Sorot matanya memperlihatkan kemarahan dan kerapuhan di saat bersamaan. Aku bingung, kesedihan macam apa yang pria itu rasakan. Bukankah dia begitu kejam bahkan tak berperasaan?
“Stop it!” Aku berteriak ketika tiba – tiba Axe menarik kasar kedua sisi piyamaku. Kancingnya berhamburan ntah ke mana. Sialnya aku tidak mengenakan bra. Sebuah keuntungan baginya hingga langsung melahap tubuhku. Aku menangis. Benci akan kesalahan ini. Marah terhadap diriku yang tidak bisa melakukan apa – apa untuk menghentikan tindakan gila Axe.
Rasanya duniaku kembali mati ....Aku memeluk tubuhku erat, sesekali menggosok kulitku kasar. Tidak peduli bahwa saat ini aku menggigil penuh, bunyi derasnya shower pun tidak lagi penting. Rasanya aku ingin mati mengingat hidupku yang tak lagi berarti. Duniaku kembali hancur dalam satu hari, setelah bertahun-tahun aku menata hati untuk mengikhlaskan kesalahan itu. Pria yang tak pernah kuharapkan datang kembali merusak segalanya. Aku sungguh membencinya. Kenapa aku ditakdirkan bertemu dengannya? Kenapa hidup rasanya tidak adil bagiku. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk berdamai dengan masa lalu. Dan sekarang dia dengan sesuka hatinya merenggut kedamaian sementara itu. Sunguh, aku tak mau sampai benihnya ada di tubuhku. Lebih baik aku mati. Lagipula aku sudah tak bernilai. Tak ada gunanya bertahan. Ya. Seharusnya aku sudah menenggelemkan tubuhku di bath up. Tapi tatapan membunuh itu menatap ke arahku. Ntah kapan dia ada di situ. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin dia pergi. Benar saja. Ha
Setengah jam perjalanan di dalam jet pribadinya terasa seperti hampir satu tahun. Apakah memang seperti itu rasanya berada di dekat orang yang kau benci? Waktu terasa berputar lebih lama. Apalagi setiap gerak – gerikmu menjadi sebuah tontonan mengasyikan baginya. Ah. Siapa lagi kalau bukan Axe yang aku maksud. Bahkan sampai sekarang dia tidak melepaskan tanganku dari genggamannya walau kami sudah berada di dalam mobil. Tapi meskipun begitu, aku tahu saat ini Axe sedang tidur. Dengkuran kecil darinya membuktikan itu semua.“Wajahmu sangat familiar. Apa aku mengenalmu?” Itu pertanyaan dariku untuk tangan kanan Axe yang saat ini sedang fokus menyetir. Ketika bertemu dengannya pertama kali, aku merasa aku sangat mengenalnya. Pelawakannya yang tinggi langsing, kira – kira postur tubuhnya hampir seperti Axe. Hanya saja Axe sedikit lebih tinggi darinya. Aku langsung teringat pada seseorang. Mungkin, ‘kah?“Ya, Nona. Saya Edward.”Boo
Aku duduk terdiam di ranjang besar meratapi nasibku yang kurang beruntung. Axe berhasil memaksaku ke mansionnya. Di sini lah aku akhirnya. Terdampar di kamar yang semua dindingnya bercat putih. Beberapa lukisan tergantung di sana. Aku menghela napas kasar, menyesali janji yang kubuat hingga aku harus menepatinya. Axe memang sialan. Dia sangat licik dan kejam. Aku sudah seperti seorang tawanan dibuatnya. Bahkan di kamarku tidak ada jendela. Hanya ada beberapa ventilasi udara, itu pun lubangnya kecil untuk melarikan diri. Aku ingat betul bagaimana letak mansion miliknya. Sepanjang perjalanan kami memasuki hutan yang sangat dalam. Benar. Mansion ini berada di tengah hutan, jauh dari peradaban kota. Ntah apa tujuannya membawaku ke tempat seperti ini. Aku yakin. Mansion ini adalah tempat persembunyiannya. Sebab, di tengah perjalanan tadi. Axe sempat membawaku ke Penthouse-nya. Mengambil beberapa barangnya yang tertinggal. “Nona, tuan sudah menunggu untuk makan mal
Aku membuka mataku dan mendapati hari mulai siang, terlihat dari jam dinding yang menunjukkan pukul 10.30 am. Aku mengusap wajahku kasar, tidak biasanya terlelap begitu dalam. Beberapa saat kusadari tanganku sudah tidak terikat. Bahkan sudah terlilit perban karena sepertinya aku terluka saat mencoba melepaskan diri. Tapi yang menjadi pertanyaanku adalah, siapa yang mengobatiku?Axe?Apa mungkin. Aku tidak percaya. Bisa saja pria itu meminta Edward yang melakukannya.Aku turun dari ranjang. Tak mau memikirkan hal yang tidak penting. Pikiranku lelah. Lebih baik membersihkan diriku sekarang. Aku bisa saja memancing kemarahan pria kejam itu jika hanya menangis dan menangis. Sejujurnya, aku lelah memberontak jika hasil yang kudapati dari pemberontakanku tidak ada. Percuma, bukan?Usai urusan pribadiku selesai. Aku tak sengaja melihat sepucuk surat terletak di atas nakas. Dahiku mengerut heran, bukankah jika ada yang ingin Axe sampaikan. Dia bisa mengirim p
“Ya, Tuan.”“Nona belum sadar, Tuan.”“Baik, Tuan.”Sayup – sayup terdengar suara berat menjadi alarm pagi bagiku. Aku membuka mata dan langsung menyadari bahwa aku sudah berada di kamarku. Kepalaku terasa sedikit pusing, beberapa potongan kejadian semalam melesak mengingatkanku pada sosok yang marah kemarin malam, Axe. Ke mana dia sekarang? Bukankah aku seharusnya melihat kembali kondisi Axe saat mendengar kekacauan yang ditimbulkannya? Lalu bagaimana bisa aku berada di sini. Terbangun dalam keadaan kacau begini?“Selamat sore, Nona. Anda ingin makan apa?” Suara berat tadi mengangetkanku.“Ed, apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku tak percaya. Kutarik selimut yang menutup, memastikan pakaianku masih aman di tempatnya. Syukurlah, tidak ada yang kurang di tubuhku.“Tuan meminta saya menjaga Anda, Nona.”“Memangnya aku kenapa?”“Semalam Anda pingsan,
“Kembalikan ponsel dan laptopku, Axe.” Aku tidak sedang memohon padanya. Nada suaraku terdengar ketus tentu saja. Apa yang dia ambil dariku adalah asetku. Aku berhak memintanya bahkan jika dia tak ingin mengembalikannya.“Untuk apa?” Axe menutup laptopnya sedikit keras. Dia menatapku tajam sebelum akhirnya mengemasi barang – barangnya. Aku heran dengannya, ini hari libur, tak seharusnya Axe sibuk dengan pekerjaannya sekarang.“Aku bosan,” jawabku pelan. Tak mau menatap matanya yang terus menghunusku.“Separuh kebenaran lebih buruk daripada kebohongan yang utuh. Kau jelas tahu itu, baby girl.” Axe bangkit dari duduknya. Tubuhnya yang menjulang tinggi seakan mengingatkan bahwa aku bukanlah tandingannya.“Kau ingin melarikan diri bukan? Meminta pertolongan orang lain. Aku tahu apa yang ada di otak cantikmu itu.” Axe mencengkram rahangku sedikit. Bisa kurasakan atmosfer yang berubah di tubuhnya. Dia ma
Aku menatap diriku di depan cermin. Sesosok wanita yang tampak ringkih tapi berusaha terlihat baik – baik saja berdiri di depanku. Senyum paksa kuuraikan hingga bayangan diriku di cermin itu melakukan hal yang sama. Penampilanku begitu sempurna. Sepertinya Axe sengaja memberikan gaun bermodel decolette look bukan busty look sehingga hanya bagian leher dan dadaku yang terekspos sempurna. Rambutku ditata dengan Messy Bun Style oleh orang – orang suruhannya. Pria itu mempersiapkan diriku sedetail ini hingga aku hampir tak mengenali diriku sendiri.Langkahku pelan keluar kamar, menuju ke arah Axe. Dia tampak begitu tampan dengan balutan Tuxedo hitam dan dasi kupu – kupu berwarna senada. Aku sedang tidak memujinya karena itulah faktanya. Bisa kubilang Axe adalah salah satu pria yang memiliki ketampanan luar biasa. Dia memang sangat tampan. Sayangnya sifat buruknya menutup kenyataan itu di mataku.Axe mengulurkan lengannya untukku. Aku hanya menatapnya sesaat sebelum mengaetnya. Tat
Aku tersenyum melihat pemandangan di depanku. Sepasang suami istri bersamaku saat ini sedang memanen kentang di kebun halaman rumah mereka. Masih ingat dengan wanita paruh baya yang menolongku melarikan diri. Ya. Akhirnya dia memberikanku tumpangan untuk tinggal bersamanya. Tadinya aku menolak karena merasa tidak enak. Tapi melihatnya begitu memohon, aku merasa tidak tega. Mereka adalah sepasang suami istri yang penuh perhatian. Awal tinggal di sini aku mengatakan alasan aku melarikan diri di malam pesta gala yang diadakan Mr. O’connor. Aku hanya bercerita sedikit saja sisanya ada beberapa kebenaran yang aku sembunyikan, termasuk identitas antara aku dan Axe. Aku tidak mengatakan pada mereka bahwa pria yang menahanku adalah saudaraku sendiri yang begitu terobsesi padaku. Meskipun begitu, mereka terus menyemangatiku. Aku senang Tuhan mempertemukanku dengan orang baik seperti mereka.“Morine, aku mendapat kentang yang besar,” kataku penuh semangat. Wanita paruh