MasukSuro Joyo memejamkan mata sejenak. Ia sudah mengalahkan tiran. Ia sudah membalaskan dendam keluarganya. Ia telah melihat wajah Ayumanis dan Westi Ningtyas di tengah kerumunan, dan ia tahu bahwa ia telah membuat pilihan hati yang rumit—pilihan yang akan ia bawa sebagai beban maupun berkat. Tapi, tahta ini, singgasana megah di belakangnya, terasa seperti sangkar yang terbuat dari emas murni."Aku mengerti kewajibanku," jawab Suro Joyo, suaranya dalam dan terdengar jelas di seluruh aula yang hening. "Aku telah menerima takdir ini sejak aku mengangkat Tombak Bowong untuk pertama kalinya. Tetapi, aku telah melalui api dan badai sebagai seorang ksatria pengembara, bukan sebagai raden istana. Aku telah melihat penderitaan rakyat jelata dari dekat, bukan dari balik jendela benteng ini."Lodra Dahana, yang berdiri gagah dengan zirah upacara Garbaloka, melangkah maju. "Tuanku Raja, tradisi menetapkan bahwa seorang Raja harus berakar di Istana. Hanya dari sini, hukum dan ketertiban dapat ditegak
Suro Joyo bangkit dari kursinya. Ia berjalan menuju jendela besar yang menghadap ke puing-puing istana yang tengah diperbaiki. Angin sepoi-sepoi membawa dinginnya kenyataan baru. Ia merasakan beban di punggungnya, bukan lagi beban balas dendam, melainkan beban tanggung jawab atas seluruh rakyatnya.Tiba-tiba, benda sakti pemberian Brajawala, yang Suro Joyo sebut ‘Benda Brajawala’ (atau ‘Brajawala’) di tangannya bergetar hebat. Itu bukan hanya sensasi panas, melainkan sebuah denyutan ritmis. Suro Joyo meremasnya, dan tanpa sadar, ia memfokuskan ajian penyerap energi ke benda itu.Energi Ki Tambung berinteraksi dengan esensi misterius dari benda Brajawala, dan sebuah kejutan listrik menjalari kesadaran Suro Joyo. Seketika, dinding-dinding aula dewan menghilang.Suro Joyo tidak lagi di Krendobumi. Ia berada dalam visi yang dingin dan suram.Ia berdiri di puncak tebing yang tak dikenal. Di bawahnya, hamparan lautan yang gelap dihiasi oleh ratusan kapal perang dengan layar hitam yang mena
Ranunggabaya, salah satu sosok bertopeng perak itu maju selangkah. Ia mengangkat tangan kanannya, dan seketika itu juga, udara di antara mereka mengeras. Sebuah panah es kristal setajam belati terbang cepat ke arah dada Suro Joyo.Suro Joyo menangkisnya dengan Tombak Bowong, tetapi panah itu meledak dalam kontak, menyebarkan pecahan es tajam ke segala arah.Syut! Syut!“Di mana teman-temanmu?” gertak Suro Joyo. “Datangkan semuanya kemari untuk kulenyapkan!”Ranunggabaya hanya hanya tertawa dingin sambil menghunus pedang saktinya. Dia serang Suro Joyo dengan penuh semangat.Suro Joyo melayani serangan lawan dengan berkelit. Dia simpan tombak saktinya di angan-angan. Dia ingin menuntaskan perseteruannya dengan Ranunggabaya.Pertarungan Ranunggabaya lawan Suro Joyo berlangsung seru dan keras. Sekali waktu Suro Joyo berhasil menendang Ranunggabaya. Pedang lepas dari tangan. Pada saat yang tepat, Suro Joyo mengeluarkan ajian lamanya yang disimpan rapat-rapat. Ajian Rajah Cakra Geni!Dari t
Ada satu nama yang sering menjadi topik pembicaraan di kalangan Badas Wikatra nasibnya masih mengambang. Dialah Ranunggabaya.“Ia sudah mundur ke wilayah perbatasan Karangtirta, Tuanku,” lapor Lodra Dahana suatu sore, saat mereka memeriksa perbaikan Balai Kota yang rusak parah akibat pertempuran. “Kami curiga ia sedang menggalang kekuatan, menuntut janji yang dulu pernah dilontarkan Badas Wikatra padanya. Garbaloka telah mengirim mata-mata, tapi Karangtirta adalah sarang persembunyian yang sulit ditembus.”“Biarkan dia menuntut takhta yang dia inginkan,” sahut Arum Hapsari, menyapu debu dari peta yang terbentang di meja. “Fokus kita harus di sini. Gudang pangan utama di Bendasana sudah hampir penuh, tapi kita kekurangan tenaga ahli untuk memperbaiki irigasi di Kadipaten selatan. Itu mendesak untuk ditangani jika kita ingin panen besar enam bulan mendatang bisa ditampung.”Suro Joyo mengangguk, sorot matanya yang tajam tertuju pada wilayah yang ditunjuk Arum. Ia mengenakan pakaian yang
Suro Joyo berdiri di balkon istana. Ia mengamati langit yang berhias bintang dan merasakan aura dingin yang aneh, meskipun udara musim kemarau harusnya hangat.Ia tiba-tiba merasakan kepalanya pusing, dan pandangannya sekilas tertutup oleh bayangan hitam yang bergerak sangat cepat.“Sebuah ilusi?” Suro Joyo mengernyit. “Bukan. Ini racun.”Ia segera mengaktifkan Ajian Penyerapnya, mencoba mengusir rasa sakit yang tiba-tiba menyerang indra penciumannya—bau belerang yang sangat tajam, bau yang tidak seharusnya ada di sana.Tiba-tiba, telinganya berdenging. Bukan dengungan biasa, melainkan bisikan ribuan suara yang berteriak dalam kegelapan.Suro Joyo mencengkeram kepalanya, merasa seolah otaknya ditarik ke dalam jurang yang gelap.Di Gua Raga Sungsang, Agniawuri kembali tertawa, kali ini histeris. Ia melihat melalui mata kabut gelapnya, menyaksikan Suro Joyo mulai menderita.“Ya! Rasakan! Rasakan nerakaku, Raja!”Tapi, saat Agniawuri mengira ia telah menang, ia merasakan gigitan balik da
“Mereka menguji Krendobumi saat Badas Wikatra masih berkuasa. Sekarang, setelah Badas Wikatra tumbang, mereka melihat kesempatan untuk menelan wilayah ini sepenuhnya, menggunakan pasukan baja mereka sebagai ujung tombak,” jelas Ki Pandansekti. “Tugasmu, Suro Joyo, bukan lagi hanya memimpin prajuritmu. Tugasmu adalah menemukan inti spiritual Krendobumi yang sejati.”“Apa yang harus saya lakukan, Ki?”“Kau telah menguasai ajian penyerap energi dari Ki Tambung. Kau telah menemukan Tombak Bowong. Itu semua adalah kekuatan eksternal, alat untuk bertarung. Tetapi Darmawangsa tidak akan bisa dikalahkan oleh besi atau tombak. Mereka harus dilawan dengan energi yang paling murni, yang tidak bisa dibeli atau ditempa.”Suro Joyo menunggu, menahan napas. Ini adalah nasihat terakhir yang ia butuhkan, bukan tentang formasi tempur, tetapi tentang inti keberadaannya.“Di balik pusaka dan ajianmu, kau memiliki sesuatu yang istimewa. Sebuah ‘Manik’,” Ki Pandansekti berbisik. “Manik itu adalah alasan me







