Sebelum maghrib Bu Lina, Andika, dan Lia sudah datang ke tempat Maya. Mereka ikut pengajian yang diselenggarakan di rumah itu, mengingat itu juga adalah rumah Bu Lina dan para tetangga sudah mengenalnya. Mereka datang diantarkan oleh orang suruhan Rangga, setelah itu orang itu pun pergi dan akan datang lagi nanti saat acara selesai.Setelah maghrib, Bu Indah dan Arya juga datang atas permintaan Maya. Kedatangan Arya ke situ untuk membantu Maya menyiapkan segala keperluan dari pihak keluarga perempuan karena Maya tak mempunyai saudara laki-laki.Saat bertemu dengan Lia, Arya terlihat begitu bersemangat. Dia mulai sering mencuri pandang dan kadangkala mereka kedapatan mengobrol berdua.Hal itu tentu saja tak lepas dari pengamatan Bu Indah dan Bu Lina, selaku ibu dari Lia.Rangga tak ikut serta karena Bu Lina tak mengijinkannya datang sebelum akad nikah besok pagi. Maya keluar dengan balutan gamis putih yang lembut dan elegan, pemberian dari Rangga. Dengan riassan modern dan natural, di
"Lah, gimana sih Mbak. Semua harus minta ijin dan nurut sama kamu. Iya, aku dan Aldo memutuskan untuk tinggal di sini, rumah ini besar, fasilitasnya lengkap, jadi aku juga pingin tinggal nyaman di sini," tutur Hesti ringan."Jangan ngaco kamu, Hes! Ini rumah Mas Rangga, kamu gak bisa seenaknya tinggal di sini tanpa ijin darinya," sahut Maya geram.Hesti melotot, sementara Aldo malah asyik bermain ponsel di ranjang, tak peduli dengan kemarahan Maya."Mas Rangga pasti ngijinin aku tinggal di sini! Jangan khawatir besok aku akan bilang sendiri sama orangnya," sahut Hesti menatap Maya tajam.Hesti lalu mendorong tubuh Maya untuk mundur sedikit, lalu dia menarik tangan kakaknya untuk menjauh dari kamarnya, tak ingin Aldo mendengar ucapannya."Apaan sih, Hes?!" tandas Maya seraya melepaskan cekalan tangan Hesti."Mbak, asal kamu tahu aja ya. Kamu itu cuma beruntung karena kamu lah orang pertama yang bertemu dengan Mas Rangga, seandainya dia ketemu aku duluan, yakin deh dia bakalan jatuh cin
"Yaa ... aku terlambat!" sahut Hesti dengan rona wajah kecewa dan pasrah."Busyet ... ini bocah baru bangun langsung liat acara nikahan! Mandi sono, gih! Masih ileran gitu," Bi Ijah negur Hesti yang masih memakai baju tidur s*ksi."Syirik aja jadi orang, terserah dong aku mau ngapain," jawab Hesti ketus, perempuan itu lalu kembali ke kamarnya."Astaghfirullah ...." Bi Ijah beristighfar sambil mengelus dada setelah kepergian Hesti.Setelah acara akad nikah selesai, Penghulu menutupnya dengan acara doa bersama dan setelahnya mereka semua pun merayakannya dengan menikmati hidangan yang sudah disediakan.Sementara Maya dan Rangga mendapat banyak ucapan selamat dari orang-orang di sekitarnya. Mereka juga sudah mengabadikan momen spesial itu dengan berfoto ria bersama. Beberapa saat lamanya mereka berinteraksi dengan semua tamu yang hadir, hingga Rangga berniat untuk mengajak Maya istirahat sebentar di kamar karena nanti malam acara akan dilanjutkan di ballroom sebuah hotel bintang 5."Saya
Acara di ballroom hotel berlangsung dengan meriah. Banyak kerabat, tetangga, relasi dan rekan bisnis Rangga yang datang memenuhi undangan itu.Maya sempat merasa minder berada diantara mereka semua. Dia baru menyadari jika sang suami adalah orang yang diperhitungkan dalam bisnis interiornya. Rata-rata mereka yang datang dari kalangan atas, terlihat dari penampilan mereka yang berbeda.Rangga tak membiarkan istrinya merasa sendiri, dia tak pernah melepas tangan Maya, bahkan dia selalu melibatkan Maya di saat berbaur bersama teman-temannya.Saat tengah asyik mengobrol, Maya melihat seseorang yang dikenalnya. Beberapa kali dia meyakinkan pandangannya bahwa apa yang dilihatnya itu benar adalah Kinan.Kinan dan Radit memang sengaja datang ke pesta pernikahan itu. Mereka ingin memberikan kado spesial untuk Maya dan Rangga."Maya, selamat ya. Akhirnya kalian bisa bersama." Kinan memberikan selamat seraya memeluk Maya."Terima kasih, Mbak sudah menyempatkan datang ke sini jauh-jauh," sahut Ma
"May, bumbu yang sudah kamu racik, haluskan pake cobek aja. Jangan diblender." ucap mertuaku."Tapi ini banyak sekali, Bu. Pasti akan menghabiskan waktu yang lama jika aku menguleknya," jawabku.Ibu mertua melirikku tajam, aku yakin dia tak setuju dengan ucapanku."Kalau blendernya keseringan dipakai nanti cepat rusak. Apa susahnya, sih tinggal ulek aja protes. Makanya cepetan kerjain, jangan dilihat aja kapan selesainya kalau begitu," ketusnya."Iya, Bu." Aku menjawab pasrah.Aku menarik nafas panjang, kembali kuletakkan blender ke tempat semula. Membantah perintah ibu mertua sama halnya cari masalah.Kuusap keringat yang membasahi wajahku dengan punggung tangan. Lelah rasanya tubuh ini, sedari tadi belum sempat mengistirahatkan diri.Terdengar gema takbir di mana-mana karena besok adalah hari lebaran, dimana semua umat islam merayakan hari kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa.Luruh air mata ini setiap kali mendengar suara takbir yang menggetarkan hati. Dalam hati aku berdoa, s
BUGH!Mas Galih melemparku dengan bantal, matanya nyalang menatapku penuh kemarahan."Sekali lagi kamu membantah, aku suruh kamu tidur di luar!" seru Mas Galih dengan mata berkilat.Sakit rasanya hatiku diperlakukan seperti ini oleh suamiku sendiri. Bukan karena dia melempar aku dengan bantal tapi karena sikapnya yang kasar dan tak menganggapku sebagai teman hidup."Kenapa, mau nangis lagi? Bosen lama-lama aku sama kamu, udah gak bisa nyenengin suami malah ngeyel terus kalau dibilangin." Mas Galih menggerutu.Aku menunduk menghindari tatapannya, tak ingin dia semakin marah karena imbasnya pasti tak akan bagus buatku."Buruan pijitin, jangan sampai aku berubah pikiran!" seru Mas Galih padaku.Dengan menahan sesak di dada aku memijit tubuh Mas Galih. Yang aku heran, seharian ini dia cuma rebahan sambil bermain game di ponsel, kenapa dia mengeluh sakit seluruh tubuhnya.Karena lelah dan mengantuk, kadang pijitanku berhenti tanpa aku sadari."Maya! Kamu niat apa gak sih mijitnya" Mas Gali
"Mbak, tunggu sebentar! Ini pake sandal saya," ucapnya seraya meletakkan sandal di depan kakiku.Aku melongo tak percaya, begitu pun Mbak Diana. Pria itu rela berjalan telanj*ang kaki demi aku.Pria misterius, aku menyebutnya selama ini. Kata Mbak Diana dia duda sombong, sikapnya juga selalu dingin kepada siapa saja. Tapi ternyata dia bisa baik juga ya ...."Te-terima kasih, Mas," ucapku terbata.Bukannya menjawab pria itu langsung berlalu meninggalkan kami. Sepintas kulihat raut wajahnya, tak ada ekspresi tak ada senyum di sana, dingin! Tak apalah yang penting dia sudah menolongku kali ini."Ngelamun lagi?" Mbak Diana menghardikku."Eh, enggak, Mbak." sahutku lantas mengikuti Mbak Diana yang ngeloyor meninggalkanku.Kulihat sudah banyak yang datang di masjid meskipun aku berangkat pagi sekali."May, fotoin aku sebentar di depan masjid! Yang bagus ya," ucap Mbak Diana seraya menyodorkan ponselnya kepadaku.Aku ambil foto dirinya yang tersenyum manis di depan kamera. Setelah itu kukemb
Aku melirik Mas Galih, dia pun tahu soal ini. Tapi dia hanya diam saja tak berusaha membelaku.Aku lihat dia malah asyik bermain bersama Farel, anak dari Dewi sepupu jauhnya. Kenapa aku melihat mereka seperti keluarga kecil yang bahagia?Dewi seorang janda, suaminya baru saja meninggal karena kecelakaan. Dia dan Mas Galih masih saudara jauh, mungkin dari nenek terdahulu."Coba lihat, Farel senang banget sama Galih ya, seperti anak dan ayah," ucap Mbak Diana seraya melirikku."Iya, wajar saja Mas Galih menyukai Farel, dia sangat menginginkan anak. Mbak Maya aja yang gak peka," sindir Dikna kepadaku.Aku diam tak menaggapi perkataan mereka, percuma saja karena di sini suaraku seakan tak didengar."Tapi mungkin Maya emang belum siap punya anak, sih. Coba aja lihat belum punya anak saja dia udah kumel begitu. Gak ada menarik-menariknya ya, 'kan. Beda sama Dikna atau pun Dewi, meskipun mereka udah beranak tapi penampilannya masih cetar." sambung Mbak Diana."Bukannya belum siap, Mbak. Dia