Share

Motivasi dari Pria Misterius

"Maya, mau ke mana kamu?" tanya Diana begitu Arya dan keluarganya undur diri.

Mereka semua mengantarkan keluarga Arya hingga ke teras depan.

"Mau beberes, Mbak." sahut Maya.

Diana lantas menghampiri Maya dengan wajah yang memerah.

"Lain kali kamu jangan s*k akrab sama calon suamiku ya, aku gak suka!" Diana berkata ketus.

"Kami bersahabat sejak kecil, Mbak. Bu Indah dan Pak Angga dulu juga baik sekali sama aku," sahut Maya.

"Itu dulu! Sekarang jangan coba-coba mendekati calon suamiku, awas kamu ya," omel Diana seraya mend*rong tubuh Maya ke belakang.

Nyaris saja Maya jatuh ke belakang jika saja tangannya tak menyahut pagar yang ada di sampingnya.

Galih dan Pak Sandi sudah masuk ke dalam rumah. Tinggal Bu Ullah dan kedua putrinya yang masih menatap ny*lang ke arah Maya.

"Tuh, dengerin kalau ada orang ngomong, m!skin aja belagu!" seru Dikna.

Mereka bertiga kemudian jalan beriringan masuk ke dalam rumah. Tinggal Maya sendiri yang masih mematung di depan pagar.

Saat Maya hendak menutup pintu pagar, dia melihat pria misterius itu berdiri dan mengamatinya. Maya pun menatap pria itu dengan pandangan bertanya. Tak lama pria itu berjalan ke depan dan melewati pagar rumahnya.

Maya masih berpikir apakah pria itu akan menghampirinya apalagi sorot matanya tak lepas menatap Maya dengan lekat. Lelaki itu berjalan semakin dekat dan kini sudah beberapa senti saja jaraknya dari Maya.

"Itu yang dinamakan keluarga? Dan kamu masih bertahan dengan keadaan seperti ini?" ucap lelaki itu begitu ada di hadapan Maya.

Tak ada ekspresi, tak ada senyum hanya terlihat mata berkilat dan raut muka dingin dari ekspresi lelaki itu.

"A-apa maksudmu?" tanya Maya masih tak paham.

Seulas senyum yang lebih tepat seperti seringaian muncul dari bibir pria itu.

"Jangan lemah, lawan mereka yang menyakitimu. Percuma ... di sini kebaikanmu tidak akan bisa diterima selama kamu masih m!skin," jawab lelaki itu lalu pergi meninggalkan Maya yang masih terpaku.

Maya heran dengan sikap lelaki misterius itu. Ini baru kali pertamanya pria itu berbicara banyak kepada dirinya.

Dia sering melihat pria itu, namun jarang sekali pria itu menegurnya, bahkan tidak pernah sekali pun kecuali waktu sholat ied kemarin dan juga hari ini.

Tapi Maya mulai memikirkan apa yang dikatakan pria itu dan ada benarnya setiap ucapannya.

Selama ini dia selalu mengabdi pada keluarga ini dan selama ini juga dia selalu mendapatkan perlakuan buruk dari keluarga Raharjo.

Setelah menutup pagar, perlahan Maya berjalan ke dalam rumah, terdengar teriakan dari seseorang yang sangat dikenal memanggilnya.

"Maya!"

Maya menoleh dan ternyata di sana di depan pagar berdiri 3 orang yang kini menunggunya. Mereka adalah keluarga Maya. Bapak, Ibu dan adiknya yang masih SMA datang berkunjung ke rumah itu.

"Cepetan bukain pagarnya!" teriak Bu Romlah, ibunya Maya.

Maya lantas berlari dan membuka pagar rumah itu. Setelah pintu terbuka, Maya hendak melakukan sungkem karena baru bisa bertemu dengan orangtuanya.

"Bu, Aku minta maaf atas semua khilafku selama ini," ucapnya seraya mencium tangan ibunya.

"Iya, udah ah ... jangan lama-lama, ibu udah laper nih pingin makan," ucap Bu Romlah.

Kemudian Maya mencium tangan bapaknya dan mengucapkan hal yang sama.

"Dimaafkan, May. Asal jangan lupa baktimu kepada kami. Kamu belum ngasih kami uang bulanan, 'kan," ucap Pak Amir, ayah dari Maya.

Selalu saja uang, uang dan uang yang mereka bahas saat bertemu dengan Maya.

Sedangkan Hesti adiknya malah sibuk memainkan ponselnya tanpa peduli ataupun melihat Maya.

Selama ini suami Maya mengelolah tokoh sembako milik keluarganya. Tokoh keluarga Raharjo terbilang lengkap dan besar. Hampir semua orang kampung berbelanja di sana.

Namun begitu masalah keuangan dikendalikan oleh Bu Ullah, Sandi menerima gaji dari hasil kerjanya dan dia membaginya sebagian kepada Maya.

Oleh Maya uang itu selalu disimpan karena untuk belanja dapur dan bulanan, Bu Ullah sudah memenuhinya. Tapi uang simpanan Maya yang tak seberapa selalu saja diambil paksa orangtuanya.

Bu Ullah setiap hari memesan kepada langganannya untuk sayur mentah dan lauk pauknya. Setelah itu Maya yang akan memasaknya. Maya memang dibatasi untuk keluar rumah apalagi berinteraksi dengan lingkungam sekitarnya.

Sedangkan Diana lebih memilih berkarir sesuai bidangnya, begitu pun Pak Sandi yang masih aktif bekerja di kantor perpajakan.

Di ruang tamu semua keluarga masih berkumpul di sana. Melihat kedatangan Maya dan orangtuanya, Diana dan Dikna memilih pergi.

"Bu, aku balik dulu ke rumah, anakku pasti sudah mencariku," ucap Dikna kemudian berlalu begitu saja.

Diana bahkan lansung ngeloyor masuk ke dalam kamarnya tanpa ada kata basa-basi pada mereka yang ada di sana.

"Bu Ullah, maaf kami ke sini mendadak jadi gak sempat bawa apa-apa." ucap Pak Amir basa-basi. Padahal setiap kali mereka berkunjung ke rumah itu memang tidak pernah membawa apa-apa.

Mereka kemudian saling bersalaman sebagai formalitas saja.

"Iya, udah biasa! Tapi gak apa-apa sih kalian datang tepat pada waktunya." Bu Ullah tersenyum jahat.

"Bagaimana, Bu?" tanya Bu Romlah tak paham.

"Di dapur kerjaan banyak sekali. Sementara Maya membereskan piring dan perlengkapan dapur yang kotor, Bu Romlah bisa meracik bumbu untuk masak besok pagi," ucap Bu Ullah enteng.

"Oh soal itu mah gampang, Bu. Tapi lauk hari ini masih ada kan, Bu? Soalnya saya lapar belum makan dari tadi," ucap bu Romlah tanpa sungkan.

Maya hanya bisa geleng-geleng mendengar obrolan dua manusia itu.

"Iya, masih ada. Sekalian nanti kamu bungkus sisanya karena kami sudah bosan makan menu yang sama," sahut Bu Ullah lagi.

"Wah boleh juga tuh." Bu Romlah tersenyum girang.

"Oh iya, Pak Amir kalau gak ada kerjaan bisa cabuti rumput di depan ya, udah pada tinggi itu." Pak Sandi memerintah Pak Amir.

"Iya, besok saya ke sini, jangan lupa uang rokoknya ya, Pak," sahut Pak Amir.

"Beres lah seperti biasa," jawab Pak Sandi.

Hesti lantas memasukkan ponselnya ke dalam saku. Lalu dengan senyum termanis yang dia punya dia berkata kepada Bu Ullah.

"Bu, makin hari makin kelihatan muda saja ... kayak anak ABG,"ucap Hesti memuji setinggi langit.

Bu Ullah yang dipuji sedemikiam rupa senyam-senyum salah tingkah.

"Masa sih, Hes?" jawab Bu Ullah tersipu malu.

Hesti tersenyum. "Iya, Bu. Aku lihat sekilas tadi saya pikir Mbak Diana. Sama cantiknya, sih!" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wisma Widiana
ikut gabung novel ini ribet gak bsa bcany hrs ini itu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status