Happy rading.
"Liana, aku ingin mengatakan satu hal lagi." Wajah Riana terlihat lebih serius, apa yang ingin ia katakan mungkin merupakan sesuatu yang amat penting.Liana yang masih tertunduk malu, kini mulai mengangkat kepalanya untuk menyimak baik-baik apa yang akan dikatakan Riana-tantenya.
"Tadi aku membicarakan tentang permintaanmu untuk tinggal di rumah lama itu dengan Oma kamu," ungkap Riana sembari melambai memanggil pelayan.
"Soal itu? Ya, beliau melarangku tinggal di sana," keluh Liana.
"Hart, kau mau minum apa?" tanya Riana pada pemuda yang telah menarik perhatiannya.
"Beri dia secangkir kopi, dia tidak akan menolak," sela Liana menjawab pertanyaan untuk Hart.
"Jadi kau sudah tahu minuman kesukaannya." Riana tersenyum merayu.
"Tante," rintih Liana dengan wajah cemberut manja.
"Hahaha, wajahmu memerah," goda Hart meledek, meskipun tanpa menatap ke arah Liana.
"Ini karena aku terlal
Baba-bab selanjutnya akan menceritakan konflik dalam keluarga Veronica mulai bermunculan hingga memakan korban jiwa. Masa lalu kelam keluarga kelurga Liana mulai terungkap. Watak asli Liana, tujuan Ali, kehebatan seorang Hart, serta moen-momen romantis hubungan asmara atara Liana dan Hart. Makasih buat semua pembaca, sampai jumpa dalam bab selanjutnya. :)
Ketiganya dikagetkan oleh suara hantaman di belakang mereka, suaranya seperti handuk basah yang dipukulkan ke tembok. Mereka semakin terkejut saat mengetahui penyebab suara itu. "Aahhh!" Liana menjerit histeris, spontan memejamkan matanya dan menutup wajah dengan telapak tangannya. "Masuklah, Nona." Liana yang ketakutan masuk ke mobil tanpa membuka matanya, pemandangan yang ia lihat benar-benar membuatnya terpukul. "To ... tolong!" Suara lirih seorang wanita yang bersimbah darah, terkapar lemah tak berdaya di atas jalanan beton yang mengarah ke pintu utama rumah Veronica. Tatapannya yang mulai kosong memandang sayu ke arah Hart. Mengulurkan tangannya untuk meraih apapun yang dapat menolongnya. Hart mengenalnya, Hart pernah melihat wanita yang kini kesakitan di hadapannya. Pemuda itu langsung melompat mendekatinya, merangkul tubuh wanita itu dan menopang kepalanya. "Kau akan baik-baik saja, tetaplah sadar.
Hart menatap jam tangannya, "Sudah larut rupanya," ungkapnya.Ia kembali ke depan, berharap dapat menemukan taksi jam sekian untuk tumpangan pulang.Entah kenapa Hart mengkhawatirkan kondisi Liana yang kurang baik, ingin segera melihat wanita itu dan memastikan keadaannya.Kini Hart berdiri di depan rumah sakit mengawasi sekitar, tapi yang ia lihat hanya kendaraan pribadi yang parkir di sana."Di depan ada jalanan umum, pasti akan ada taksi yang lewat," ungkap Hart dalam hati dan mulai melangkah."Hart, di sini!""Ali?"Hart menghampiri Ali yang baru saja keluar dari dalam sedan hitam dan berteriak memanggilnya."Kau di sini?""Ya, aku baru saja tiba.""Untung saja kau datang sebelum aku pulang.""Masuklah! Kita pulang sekarang," ajak Ali."Bagaimana keadaan Liana?"Hart bertanya saat kendaraan yang dibawa Ali mulai melaju."Dia baik-baik saja, Liana tertidur saat aku ke sini menj
"Bagaimana jika terjadi sesuatu padaku saat kau pergi. Tetaplah di sini dan temani aku." "Huh?" "Huh?" Liana mengucapkan kata yang sama. "Kau bercanda." Hart tersenyum tipis, kembali melangkah dengan niat yang sama. "Baiklah, kau boleh pergi. Jika terjadi sesuatu yang buruk padaku, maka itu salahmu." Liana menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya, termasuk kepalanya. Tangan Hart sudah menempel pada gagang pintu, tinggal memutarnya sebelum keluar dari kamar Liana. Namun, Hart mengurungkan niatnya setelah mendengarkan ucapan Liana. "Biasakan mengunci pintu kamarmu," saran Hart sembari memutar logam yang menancap pada lubang kunci. Dari balik selimut, Liana mendengar suara langkah kaki Hart semakin mendekat. Setelah suara itu menghilang, Liana merasakan kasur tempat tidurnya terguncang seperti ombak. Sigap Liana membuka selimut yang menutupi kepalanya. Hanya menunjukkan wajahnya dengan ekspresi
Liana tidak melepaskan diri hingga pagi, wajah Hart menjadi pemandangan pertama yang ia lihat begitu membuka matanya. Masih dalam dekapan Hart seperti guling. Liana menyeret tubuhnya sedikit ke atas, berusaha mencapai puncak wajah Hart. Lalu mendaratkan kecupan manis pada kening lelaki yang sedang memeluknya itu. Entah dari mana Liana mendapatkan inisiatif dan keberanian melakukannya. Keberanian Liana kali ini berbeda dengan waktu itu, malam di mana Liana membelai nakal tubuh Hart di bawah kuasanya. Kali ini tidak ada pengaruh anggur, tidak ada efek cairan perangsang, cairan serupa yang diberikan pada Hart. Kecupan kali ini murni hasil inisiatif dan keberaniannya sendiri. Kecupan yang dibalut dengan kasih sayang sebagai ucapan terima kasih. Liana bersyukur telah menyeret Hart ke dalam hidunya. "Kau tidak bisa lagi mengelak, kau menciumku diam-diam," lirih Hart dengan suara serak, tapi dengan mata yang masih tertutup. Liana y
Hart dan Liana saling menatap kaget setelah mendengarkan pesan dari Ali. Gairah yang tadinya terkumpul hingga membentuk bola yang besar, meledak dan lenyap dalam sekejap. Liana memasang kembali tali gaun yang baru saja dilepaskan lalu turun dari pangkuan Hart. Liana mengambil mantel yang tergantung pada dinding di samping pintu kamarnya, bergegas turun untuk menemui Ali seraya mengenakannya. Seketika Ali berdiri dari duduknya begitu melihat Liana turun menyusuri tangga, disusul Hart dan pelayan yang ditugaskan oleh Ali untuk memanggil Liana. "Ada apa, Ali?" tanya Liana saat suaranya bisa menjangkau pendengaran Ali. Sekilas pandangan Ali tertuju pada Hart, sebuah pertanyaan terbesit di kepalanya, tapi ia harus segera menjawab pertanyaan Liana. "Aku mendapat kabar dari rumah besar, nyonya Elisa meninggal." "Jangan bilang kalau dia ...." "Benar, Nona. Itulah kabar buruknya, beliau dibunuh," ungkap Ali. Liana
Hart meletakkan cangkir kopi miliknya dengan isi yang hampir habis, lalu lanjut mengutarakan pendapatnya."Bagaimana jika pelakunya adalah orang lain, bukan Elisa seperti yang kalian kira," ungkap Hart dengan pendapatnya."Itu yang kami takutkan Hart. Elisa mungkin masih punya perasaan dan tidak tega mencelakai Liana-cucunya, tapi jika ini orang lain maka akan berbeda hasilnya."Ali membenarkan."Apa menurutmu pelakunya bukan dari keluarga Veronica?""Mungkin saja, tapi apa tujuannya?" Ali merasa kembali pada titik nol setelah penyelidikannya selama bertahun-tahun."Masih ada kemungkinan ketiga," sahut Liana dari belakang.Kedua lelaki itu dibuat terkejut dan spontan menoleh ke arah Liana datang."Nona?""Liana?"Mereka mengucapkan kata yang berbeda secara bersamaan.Liana duduk di ujung bangku di samping Hart. Bangku itu cukup panjang, lima orang duduk di sana masih akan muat."Tadi kau mengat
"Menghilang!"Semuanya dikejutkan oleh jawaban seseorang yang muncul dari ujung tangga."Tahu dari mana kau, budak sialan?" timpal Viana."Dia yang membawa pelayan itu, Nona," tunjuk salah satu pengawal yang melihat Hart menyelamatkan pelayan yang terjatuh."Oh ... jadi pelayan itu suruhanmu?" Viana kembali melayangkan tuduhan yang tidak jelas, kali ini Hart menjadi sasarannya.Hart hanya menatap Viana sekilas, pemuda itu tidak peduli dengan ucapannya.Liana yang tiba bersama Hart, langsung menghampiri Riana untuk mendapatkan pelukan darinya."Apa pelayan itu ada hubungannya dengan kematian ibu?" tanya Riana setelah Liana melepaskan pelukannya."Kemungkinan begitu. Saya Isac Marius, detektif yang menangani kasus ini. Bisa saya minta beberapa keterangan dari Anda?" kata Isac kepada Hart."Tidak masalah," jawab Hart tanpa ragu."Isac?" panggil Ali yang baru saja tiba."Ali? Kau masih bekerja di
"Jadi ... Liana! Apa orang yang kita curigai ini sama?" Dengan santainya Hart mengungkapkan kecurigaannya. Liana cukup terkejut mendengar ucapannya, ia takut jika seseorang sampai mendengarkan perkataan pemuda itu. "Diamlah! Dasar bodoh!" bentak Liana dengan berbisik, matanya berputar mengamati sekitar, memastikan tidak ada siapa pun di sana selain mereka berdua. "Entak kenapa jawaban yang aku temukan dari dua pertanyaan detektif tadi selalu mengarah padanya. Aku menyadari jika pikiranmu sama denganku saat kamu menahanku tadi." Hart seakan tidak peduli dengan teguran Liana, pemuda ini seakan tak punya rasa takut sama sekali. "Kau ingin anggur ini kutuangkan ke wajahmu?" ancam Liana sebagai ungkapan kekesalannya saat peringatannya diabaikan. Hart mendekatkan wajah ke hadapan Liana, "kenapa kau begitu takut?" bisiknya. Liana tak mampu bertahan lama bertatapan dengan Hart, bola matanya bergerak tidak karuan menc