21+Awas ketagihan!Hart dipaksa menelan pahitnya kehidupan sejak usia 10 tahun setelah ayahnya yang merupakan pangeran dihukum mati karena tuduhan pengkhianatan. Hart dan ibunya diusir dari istana, nama mereka dihapus dari silsilah dan catatan kerajaan. 18 tahun kemudian, Hart dewasa diculik dan dipaksa menjadi kekasih seorang wanita cantik, kaya dan masih muda. Hal demikian mungkin dianggap sebagai keberuntungan oleh seorang lelaki, tapi tidak demikian bagi Rainer Hart. Liana menyeret Hart ke dalam hidupnya, dipaksa menjalani status sebagai budak. Namun, siapa sangka kalau ternyata budak itu adalah seorang pangeran.Hart menyembunyikan jati diri dan statusnya hingga akhir. Masuk ke dalam kehidupan Veronica rupanya telah ia rencanakan sejak awal, segalanya telah diatur hingga terlihat seperti sebuah kebetulan. Semuanya demi tujuan balas dendam Hart. Lantas bagaimana dengan perasaan mereka? Apakah cinta akan tumbuh di antara keduanya? Lalu apa sebenarnya tujuan Hart?@vazio092
View More<span;>Hart mulai sadar perlahan membuka mata, tapi pandangannya terhalang selembar kain hitam yang menutup wajahnya.
<span;>Hart mencoba menggerakkan tangan kiri guna melepaskan kain yang menghalangi, tetapi tak bisa. Pergelangan tangan kirinya terikat pada sebatang tiang kecil, begitu juga dengan tangan kanan pria kidal itu.<span;>Bukan hanya tangan, ujung kedua kakinya yang mengangkang juga terikat. Hart yang mulai sadar dengan keadaan dirinya mencoba berteriak. Namun, tindakan itu sia-sia, ada lakban hitam yang melekat erat pada mulutnya mencegah ia melontarkan teriakan.<span;>Hart meronta, berusaha melepaskan tubuhnya yang terikat.<span;>"Huuustt, tenanglah anak muda," pinta seseorang pria yang menjaganya di ruangan itu.<span;>"Hmmm ... hmmm." Hart ingin mengatakan sesuatu.<span;>"Tenangkan dulu dirimu! Percayalah kami tidak akan menyakitimu," kata pria penjaga seraya mendekati tubuh Hart yang diikat diatas ranjang mewah.<span;>Melihat keadaan tawanannya mulai tenang, pria penjaga itu melepaskan kain yang menutupi wajah Hart dan menarik paksa lakban yang melekat di mulutnya.<span;>Kini Hart dapat melihat pria umur 40-an dengan setelan rapi mengenakan jas hitam berdiri di samping ranjang tempat ia terbaring.<span;>"Namaku Ali, Kau pasti haus." Pria itu menyuguhkan segelas air putih pada Hart untuk diteguknya.<span;>"Saya sarankan agar kau menghemat suaramu, tidak akan ada yang mendengar teriakanmu di tempat ini, permisi." pamitnya setelah memberikan peringatan halus pada tawanannya.<span;>Ribuan pertanyaan melayang di dalam kepala Hart, mencoba mengingat kembali setiap kejadian sebelum ia berada di tempat itu.<span;>"Dia sudah bangun," bisik Ali pada seseorang yang sedang menikmati segelas anggur di ruangan tengah. Wanita muda itu adalah Veronica Diarliana-atasannya.<span;>"Beri aku privasi untuk malam pertamaku," ungkap Liana.<span;>"Permisi." Ali pamit dengan sopan.<span;>Hart menoleh, ia mendengar suara langkah kaki perlahan mendekat. Pintu terbuka diikuti wanita dengan mantel tebal melangkah masuk.<span;>"Kau?" lirih Hart.<span;>Liana tersenyum tipis, menutup pintu tanpa berpaling. Melangkah pelan mendekati ranjang sambil melepaskan mantel tebalnya, lekuk indah tubuhnya tampak samar dari balik gaun tipis yang ia kenakan. Hart langsung memalingkan pandangannya.<span;>Liana merangkak anggun di atas ranjang mendekati tubuh Hart lalu duduk di atas perut yang berbalut otot.<span;>Jemari Liana mulai melepaskan satu per satu kancing kemeja Hart hingga tampak gumpalan otot dada lelaki itu. Jemari Liana semakin nakal, meraba permukaan kulit Hart dan sesekali meremasnya.<span;>Hart masih diam, belum berani menatap ke arah Liana yang menindihnya. Kini dia paham tujuan tali yang melilit bagian tubuhnya.<span;>Setelah puas bermain di area atas, Liana berbalik 180 derajat mengubah arah posisi duduknya. Hart diam-diam melirik punggung molek Liana yang sibuk melepaskan tali pinggangnya.<span;>Libido Hart mulai meningkat saat Liana memainkan bagian tubuhnya yang paling istimewa. Seharusnya host profesional itu masih bisa menahan birahi, tapi kali ini hasratnya begitu kuat hingga tak dapat dibendung lagi.<span;>Tubuhnya terasa panas, aliran darah berpacu dengan detak jantung yang semakin kencang, seluruh indra semakin peka. Hart merasakan sensasi kenikmatan yang berlebihan pada salah satu bagian tubuhnya.<span;>"Lepaskan ikatannya," pinta Hart.<span;>Liana tersenyum mendengar permintaan Hart, ia tahu jika tawanannya itu mulai hanyut dalam permainan nakalnya. Liana yakin jika cairan yang di tambahkan Ali ke dalam minuman Hart mulai bekerja.<span;>Liana hanya melepaskan pengikat pada salah satu tangan Hart lalu berbaring dan membiarkan Hart melepaskan sisanya.<span;>Hart kemudian berbaring menyamping di sebelah tubuh Liana, menatap wajah Liana sambil mengelus rambutnya lalu mulai mencumbu lembut batang leher Liana.<span;>Tangan kiri Hart perlahan menarik turun tali gaun Liana, lalu meremas lembut gumpalan daging kenyal yang tergantung bebas, berlanjut meraba turun dan berhenti pada area yang mulai basah di antara kedua paha Liana.<span;>Suhu terasa semakin panas, Hart melepaskan pakaian yang melekat pada tubuh indah Liana hingga tak tersisa sehelai pun.<span;>Dengan celana sedikit melorot, Hart melancarkan serangan pamungkasnya dengan dorongan yang sangat lembut.<span;>"Pelan-pelah, akh ...." Liana mendesah saat benda keras menyentuh permukaan kulitnya yang paling sensitif.<span;>"Akhhh ... aaakh," desah panjang Liana, tubuhnya menggeliat, jemarinya meremas seprai.<span;>Sebuah sensasi kenikmatan dirasakan Liana untuk pertama kalinya, rasa nikmat bercampur rasa nyeri dan ngilu.<span;>Hart terus melakukan gerakan yang sama, bibirnya tak bisa berhenti beraksi, mencium, melumat, dan menghisap bagian tubuh Liana.<span;>Lelaki yang semula terkesan terpaksa, kini justru menjadi penguasa yang mengendalikan permainan birahi di atas ranjang. Sentuhannya lembut, tapi tepat sasaran, gerakan pinggulnya pelan dan satai dengan irama tetap.<span;>Tidak ada tindakan kasar atau beringas seperti singa kelaparan yang menerkam mangsa. Semuanya dilakukan sangat lembut dalam diam, tapi hal itu justru mempercepat perjalanan Liana untuk sampai ke puncak.<span;>"Aaakkhhhh, sesuatu ... keluar, aakhhh." Liana mendekap tubuh kekar Hart, pelukan yang begitu erat diikuti cairan kenikmatan yang meluncur deras, bagaikan mata air mengalir membasahi sungai yang kering.<span;>Liana mencapai puncak lebih awal. Sensasi itu kembali terulang hingga tiga kali.<span;>Kini giliran Hart, seluruh kenikmatan berkumpul pada satu titik, dorongan gairah semakin kuat menuju klimaks. Hart bisa merasakan carian kental mengalir deras pada saluran kecil. Akhirnya, dengan otot yang mengeras dan urat yang tertarik, pemuda itu menembakkan peluru kejantanan beberapa kali di atas perut liana.<span;>Hart langsung menjatuhkan tubuhnya di samping Liana, wanita itu juga terkapar lemas setelah proses pendakian yang cukup panjang.<span;>"Apa yang telah kulakukan?" gumam Hart seakan menyesali perbuatannya.<span;>"Heii, tolong jelaskan maksud semua ini!"<span;>Hart menatap benci pada wanita di sampingnya. Setelah bertahun-tahun dia bekerja sebagai host profesional, baru kali ini ada wanita yang berani memperlakukannya sampai sejauh itu.<span;>Meski pekerjaan Hart memang untuk menyenangkan hati para pelanggan wanita, tapi bukan berarti dia bisa seenaknya dijadikan pemuas nafsu bagi tamu-tamunya.<span;>"Surat perjanjiannya akan menjelaskan semuanya padamu, jadi diam dan tidurlah," lirih Liana yang terbaring lemas dengan mata terpejam.<span;>"Huh! Perjanjian?" Jawaban Liana justru mengundang pertanyaan baru di dalam kepala Hart.<span;>"Kau berisik sekali! Diamlah atau keluar dari kamar ini, tapi jangan berpikir kalau kau bisa kabur dariku."<span;>Hart terpaksa menahan diri, mencoba tenang dan bersabar, menunggu sampai wanita itu siap menjelaskan segalanya.<span;>"Hei, bersihkan ini!" Liana menunjuk ke arah perutnya.<span;>Hart meraih tisu di atas meja kecil, meletakkan di samping Liana lalu turun dari ranjang.<span;>Hart bangun lalu turun dari tempat tidur, berdiri di samping ranjang, mengenakan serta merapikan kembali pakaiannya yang sebelumnya dilucuti paksa oleh wanita yang tidak dikenalnya.<span;>"Ali akan menjelaskan semuanya padamu."<span;>Liana masih terbaring lesu, perlahan menarik kain selimut untuk membungkus tubuh bugilnya, mengubah posisi tidurnya dengan memutar badan ke arah yang berlawanan.<span;>Hart melangkah keluar kamar, meninggalkan Liana seorang diri agar wanita itu biasa tidur dengan tenang. Lagi pula, berada di dekatnya hanya akan memancing Hart untuk terus melontarkan pertanyaan padanya.<span;>"Sepertinya rumah ini ditinggalkan cukup lama," gumam Hart berbicara sendiri.<span;>Pemuda itu keliling mencari sesuatu yang dapat mengalihkan perhatiannya dari semua peristiwa yang membuatnya kebingungan.<span;>Hart berhenti ketika tiba di balkon, tempat yang menurutnya sangat cocok untuk menenangkan pikiran. Di sana ia dapat melihat hamparan langit malam bertabur bintang, meskipun sisanya hanya gulita yang terbentang menyelimuti rumah tempatnya bernaung.<span;>Tidak ada tanda-tanda adanya seseorang selain mereka berdua di tempat itu, tak ada satu pun penjaga.<span;>"Sepertinya, aku bisa pergi dari tempat ini dengan mudah," batin Hart.<span;>Hart bergegas turun ke lantai bawah, menelisik setiap sudut ruangan mencari jalan untuk keluar. Tidak sulit baginya untuk menemukan pintu utama yang berdiri jelas di sisi ruangan lantai dasar.<span;>Pintunya terkunci, tapi kuncinya menempel di sana, maka Hart dapat dengan mudah membuka pintunya, bergegas melangkah ke luar tanpa lupa untuk menutupnya kembali.<span;>Hart berhasil keluar, tapi langkahnya berhenti setelah ia melewati pintu utama.<span;>'Aku perlu kendaraan untuk pergi dari sini, tapi sepertinya ....'<span;>Hart mulai mencemaskan rencananya ketika ia tidak melihat adanya satu pun kendaraan yang parkir di sana.<span;>"Mungkin di tempat lain, akan kucari," batin Hart, ia tidak ingin menyerah begitu saja.<span;>Pemuda itu mulai mengitari rumah, menyusuri setiap sisi, mencari kendaraan apa saja di setiap sudut yang dapat ia jangkau. Hart terus mencari, tapi pada akhirnya ia kembali ke tempat semula tanpa menemukan satu pun kendaraan.<span;>"Sepertinya memang tidak ada, pasti dibawa pergi pria tadi," keluh kesah Hart dalam hatinya. Namun, itu tidak berarti kalau Hart telah putus asa, meskipun ia gagal dalam pencariannya.<span;>Hart duduk pada tangga kecil di depan pintu, melirik jam yang melingkar pada pergelangan tangannya dan mulai memikirkan kembali langkah selanjutnya yang akan ia ambil.<span;>"Sudah hampir jam dua dini hari rupanya,"<span;>Hart mulai memikirkan beberapa hal, mempertimbangkan segala sesuatunya sebelum mengambil keputusan agar usahanya tidak berakhir sia-sia.<span;>Hart bisa kabur dengan berjalan kaki, ia juga tidak perlu khawatir dengan arah mana yang akan diambil, ia hanya perlu menyusuri jalanan yang ada. Namun, pemuda itu tidak tahu berapa jauh ia akan berjalan dalam kegelapan tanpa alat penerangan.<span;>Pilihan yang lain adalah menelepon kenalannya dan meminta untuk menjemputnya, tetapi Hart sendiri tidak tahu lokasi keberadaannya saat ini, ditambah lagi pemuda itu tidak menemukan ponsel miliknya di dalam saku celana, pasti direbut saat ia disekap.<span;>'Jangan berpikir kau bisa kabur dariku.'<span;>Hart teringat akan ucapan Liana padanya yang sebelumnya ia sepelekan. Kini Hart mengerti jika wanita itu tidak main-main dengan ancamannya.<span;>Kini hanya tersisa satu pilihan untuk Hart, pilihan terakhir yang terpaksa ia ambil. Pemuda yang menemui kebuntuan itu berdiri dan melangkah masuk kembali ke dalam rumah, tidak ada pilihan lain lagi untuknya.<span;>"Apa salahnya menunggu hingga esok pagi, aku juga bisa mendengarkan penjelasan dari mereka. Lagi pula, sepertinya mereka tidak berniat menyakitiku," tutur Hart dalam hatinya saat ia berjalan lamban menuju ke kamar sebelumnya. Mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan di atas ranjang yang sama dengan wanita asing.<span;>Liana bangun lebih awal, mengenakan kembali pakaiannya dan bergegas menuju ruangan tengah.<span;>"Ali, jemput aku sekarang!" tegas Liana lewat sambungan telepon.<span;>"Baik, Nona."<span;>"Ingat juga untuk mengajak dua orang pelayan ke sini."<span;>Liana memutuskan panggilannya setelah mengatakan apa perlu ia sampaikan.<span;>"Permisi, Nona."<span;>Ali pun tiba beberapa menit kemudian, diikuti dua orang pelayan wanita bersamanya.<span;>"Sudah kau jelaskan tugas mereka?"<span;>"Sudah, Nona."<span;>"Dia masih tertidur, jelaskan semuanya saat ia bangun!" pesan Liana sembari melirik jam mewah di pergelangan tangan kirinya sebelum berdiri dan berjalan keluar.<span;>Ali mengawalnya sampai ke depan, di mana seorang sopir menunggu di samping sedan mewah dengan pintu belakang yang terbuka.<span;>"Hati-hati, Nona!"<span;>Ali kembali ke dalam setelah Liana pergi. Terlihat Hart turun dari lantai atas tepat saat pria itu melewati pintu masuk.<span;>"Kemarilah!" ajak Ali seraya berjalan menuju tempat duduk.<span;>"Di mana wanita itu?" tanya Hart yang tak melihat batang hidung Lina sejak ia terbangun.<span;>"Duduklah dulu," jawab Ali tenang.<span;>Salah satu pelayan menyajikan kopi di atas meja untuk mereka.<span;>"Waktu yang tepat untuk secangkir kopi," ungkap Hart seraya meraih cangkir dan mencicipi kopi yang disuguhkan untuknya.<span;>"Jadi, perjanjian apa yang di maksud wanita itu?""Bu-bukannya kau yang kalah? Kukira aku menang karena kamu pergi di tengah-tengah taruhan," terang Ryu. "Aku tidak kabur!" tampik Momo berteriak. "La-lalu kenapa kau mencuci piringmu?" "Ka-karena kamu berisik banget pas aku lagi sibuk. Jangan salah paham, aku cuma tidak mau kalau kau mengusik pekerjaanku," jelas Momo beralasan. Saat itu Momo memang merasa sudah kalah. Ia sadar betul kalau mulutnya sudah mengeluarkan desahan lirih. Namun, karena Ryu mengungkitnya, harga dirinya tidak terima kalau lelaki itu merasa sudah menang. "Lagi pula, kau tegang, kan?" tukas Momo lirih. Ryu tersentak, tapi berusaha tetap bersikap normal, meski bintik keringat mulai bermunculan di wajahnya. "Ja-jangan bercanda. Aku tidak tegang, kok. Ya, aku tidak tegang," kata Ryu meyakinkan. "Serius?" Momo menatap tajam seolah tak percaya. "Tentu saja! Memangnya kau lihat? Huh? Kau lihat?" Ryu akhirnya bisa mendapatkan lagi ket
"Kau mau grepe-grepe, kan? Dasar orang jahat," lirih Momo tampak lelah. "Kalau kau menang, aku akan lakukan semua pekerjaan rumah. Kalau aku menang, lakukan bagianmu," kata Ryu mengingatkan tujuan taruhan mereka. "Woi! Kau dengar?" tanya Ryu sebab tak mendapat tanggapan. "Aku capek, mau tidur. Lakukan saja, kalau punyamu sudah 'naik', bangunkan aku," lirih Momo tanpa membuka mata, berniat tidur sambil duduk. "Cih! Dia meremehkanku. Waktu itu semuanya selesai sebelum aku menyentuhmu, tapi itu tidak akan terjadi lagi. Jangan main-main denganku, aku menang kali ini meski harus bertaruh nyawa," tekad Ryu dalam hati. Ryu menaikkan lutut kiri pada sofa tepat di samping tubuh Momo, lengan kirinya bertumpu pada punggung sofa di mana Momo bersandar. Telunjuk kanan Ryu bergerak perlahan ke arah tonjolan kecil pada pusat dada kiri Momo. Gadis itu jelas tak memakai kutang, hal itu bukan lagi kejutan bagi Ryu. Kali ini ia mampu bertahan dari j
"Apa lagi kalau bukan perempuan. Ryu pasti sudah dapat pacar baru, sepertinya lebih buruk dari mantannya." "Masa, sih? Tapi aku tidak sangka kalau Ryu itu tipe lelaki yang ganti kepribadian setiap kali ganti pacar. Dulu dia selalu tepat waktu, aku rasa kita harus berterima kasih pada mantannya." Diam-diam Ryu mendengar dan menyimak pembicaraan dua wanita yang terdengar sedikit prihatin padanya. Berbaliklah ia dan menyela. "Em ... aku pastikan tidak akan terjadi lagi, soal keterlambatan itu," kata Ryu tersenyum. "Wah! Maafkan aku!" Perempuan yang membicarakannya tersentak kaget. "Harusnya aku yang minta maaf. Kalian repot gara-gara aku selalu terlambat," balas Ryu. "Ya- ya sudah. Kami mau makan siang dulu. Permisi." Kedua wanita muda itu buru-buru pergi. "Jangan dimasukkan ke hati. Yah, seharusnya kau memperhatikan kondisimu, kau terlihat kelelahan. Aku paham kau ingin membantu temanmu, tapi kamu tidak bisa melakukannya k
Apa-apaan ini?' Ryu tertunduk diam menahan kesal sebelum mulai bicara, "Apa kau pernah dengar tentang 'hormon gila pria'?" lirihnya bertanya. "Pernah. Itu saat mereka mendapat rangsangan tertentu, bukan?" "Kadang saat lelaki kelelahan, dia bisa tegang dengan sendirinya. Itulah yang terjadi padaku saat di kereta, itu bukan seperti kau yang membuatku tegang atau semacamnya. Dan aku bukan penjahat kelamin, kau pasti menyadari semua itu, kan?" jelas Ryu menegaskan. "Sebaliknya, orang yang terangsang itu justru kau. Kau cuma ingin memutar balikkan fakta dan menuduhku jadi tersangka. Tapi tinggal dengan orang itu ... bahkan memintaku memijatmu. Aku tak tahu mana penjahat kelamin atau yang mesum di sini! Faktanya, mungkin kau sengaja mengintipku di kamar mandi kemarin!" lanjut Ryu menuduh. Momo hanya diam saja menyimak, menahan suara tak mengatakan apa pun. Namun, bagi Ryu, hal itu justru lebih menakutkan dibanding gadis itu membalas tuduhannya
"Apa? Kok, tidak bisa?" Saat Ryu akan menjelaskan alasannya, seseorang mendorong lelaki itu dari belakang hingga ia harus menempelkan tubuhnya ke dada Momo. Paha Ryu bahkan menyusup di antara paha Momo dan menyentuh selangkangannya. Namun, Momo seolah tak peduli dan mencoba memohon lagi. "Tolonglah. Tolong biarkan aku menyewa kamarmu," pinta Momo menatap Ryu dengan wajah sedih penuh harap. Tatapan itu berdampak kuat pada mental Ryu. "Ini, kan ...? Mirip di film-film ... yang ada yang sales sedang jualan," batin Ryu. Imajinasi nakalnya mulai berkeliaran, membayangkan Momo menyerahkan tubuhnya demi mendapatkan sebuah kamar. "Sial ...! Anuku bangun. Apa dia menyadarinya. Apa dia serius, tinggal serumah dengan seorang lelaki yang bisa saja hilang kendali?" batin Ryu bertanya-tanya. Meskipun kemarin Momo terlihat sangat percaya diri, kali ini dia tampak begitu lemah. Ryu kasihan melihatnya, merasa ingin menolong, tapi membantu
"Hei, apa kau serius bilang kalau aku yang terangsang?" Nada bicara Momo terdengar berat. "Eh? Ti- tidak." Ryu coba mengelak, menarik kembali ucapannya. "Kau yakin tidak akan tegang meski kau menyentuhku?" Momo bertanya lagi. "Be- benar." Ryu menjawab singkat, mulai menyesali perkataan sebelumnya. "Baiklah. Ayo kita taruhan! Sentuh aku sepuasmu," tantang Momo. "Apa? A- apa kau bilang? Taruhan?" tanya Ryu gugup. "Aku kesal, kau ngoceh terus dari tadi dengan alasan konyol." "Bukan. Tadi itu bukan alasan." "Cukup! Ayo kita jadikan kesempatan ini untuk menyelesaikan segalanya. Aturannya mudah saja. Selama sepuluh menit, kau boleh menyentuh bagian mana saja di tubuhku. Kalau aku mulai mendesah, kau yang menang. Tapi kalau kau tegang sebelum aku mendesah, aku yang menang," tutur Momo menjelaskan. Mereka bukan pasangan kekasih, bahkan baru kenal beberapa jam yang lalu. Semua berawal di hari sebelumnya, kehidupan R
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments