Share

Persetujuan Anin

Kupastikan alamat yang diberikan Anin sesuai dengan rumah di depan mata. Fotonya sama. Rumah dominasi batuan alam dari luar dengan furnitur kursi dan meja rotan yang sudah langka ditemukan pada masa kini, tersusun melingkar di pelataran. Hal moderen yang bisa ditemukan hanya pada sistem keamanan seperti pengunci pintu menggunakan kata sandi dan beberapa kamera pengawas.

Anin sudah memberitahu kalau aku bebas masuk, menelisik koridor berlantai vinyl corak kayu yang terlihat sejuk sejak pertama menginjakkan kaki. Seperti yang dia bilang, rumahnya sangat sepi.

Beberapa kali Anin bercerita mengenai jarangnya interaksi di dalam rumah. Bangunan besar yang dimilikinya hanya tempat persinggahan di kala istirahat. Harusnya. Apa yang terjadi ketika satu-satunya sandaran Anin, si suami, malah jadi orang yang menciptakan neraka dalam hidupnya?

“Enggak perlu buka sepatu, kan?” Aku masih sempat bertanya pada ruang kosong. Lucu. Masuk lebih jauh, terdengar kecipak air. Mungkin ada kolam di dalam.

Benar saja. Kulihat Anin naik ke pinggiran. Dia hampir duduk pada kursi santai jika tidak menyadari keberadaanku yang lebih dulu menempati.

“Enggak pakai bikini, Tan?” tanyaku saat dia meraih handuk yang kuambilkan dari pinggiran kursi.

Kaus putih dan celana pendek yang Anin kenakan tampak mencetak tubuhnya, memperlihatkan pakaian dalam yang kontras. Hitam. Black and bold always sexy.

“Gerah. Langsung aja nyelam.” Anin duduk pada kursi santai lain, meminum cairan hijau kental dari gelas di meja. Handuknya menggantung, menutupi pundak yang basah.

Setelah insiden di hotel, sebenarnya cukup lama Anin tidak menghubungiku. Tanpa kabar, lalu mendadak dia mengajak bertemu? Apa mungkin ada sesuatu hingga Anin memerlukan kehadiranku?

Insiden yang terjadi saat itu ketika aku harus mengganti pakaian Anin yang basah karena muntah dadakan di kamar mandi setelah buang air. Alhasil, aku jadi harus menghubungi Dean yang kebetulan berada di hotel yang sama.

Sempat aja gitu si playboy demit buang benih di penghujung malam menjawab panggilan? Jijik dengerin dia iya-iya pakai suara latar perempuan mendesah.

Balik lagi ke nyonya besar, Anindya Betari. Biasanya Anin baru memanggilku setelah pertengkaran hebat. Dia selalu ngerasa butuh teman berbagi kisah. Semacam buang sampah biar bisa lega, aku yang kebagian baunya.

Kalau dia minta pendapat, jawabanku masih sama. “Kenapa enggak nyoba ke psikolog?”

“Aku enggak gila, Yo.”

Ayolah! Ke psikolog bukan hanya untuk masalah gangguan jiwa.

“Kamu bisa konsultasi soal pernikahan sama suami. Saling memperbaiki diri. Nggak harus gila buat datang ke psikolog.” Aku menggeleng setelah mendengar tanggapan spontan Anin. “Atau keluargamu? Keluarga dia?”

Anin tergelak dengan opsi yang kuberikan. “Kamu bilang, aku bisa memanggilmu jika butuh teman bicara. So, buat apa manggil psikolog?”

That’s the main point. Harusnya keberadaanku jadi pilihan terakhir jika Anin tidak ingin melangkah dalam dosa. Bukankah kembali pada keluarga adalah hal terbaik jika lelah bertualang?

Aku merebahkan diri pada kursi santai setelah melepas sepatu, menikmati cahaya matahari yang terik di musim kemarau. Untuk beberapa daerah, mungkin musim ini akan sangat kering. Bahkan air di rumahku terkadang tidak mengalir. Sedang Anin, dengan mudahnya berenang dan menganggap masalahnya paling pelik se-dunia. Terdengar lucu.

Ada teman yang bilang, masalah tiap orang pasti berbeda tingkatannya. Seperti aku yang punya masalah dengan syahwat yang sulit dikendalikan. Godaannya besar untuk tidak bermain elup-celupan, tapi uang masih lebih berkuasa dan menjadikan perainan justru pembawa rupiah terbaik.

“Keluarga? Siapa yang bisa disebut keluarga saat enggak ada satu pun yang bertahan ketika sulit?” Lagi, Anin berkelit.

Aku sempat menertawakannya. “Keluarga tetaplah keluarga. Biar enggak dekat, darah yang mengalir sama, Tan.”

Darah yang mengalir sama belum tentu dekat, mengingatkanku pada seseorang di masa lalu. Bapak. Dia justru menganggapku saingan ketika istri mudanya justru lebih sering menempel padaku. Padahal Ibu sudah terlampau sabar menerima pernikahan mereka yang jelas tidak diakui pihak gereja.

Anin menggeleng, sepertinya menolak membicarakan urusan keluarga lebih lanjut. Mungkin ada hal lain di masa lalu yang menyakitkan untuknya dan tidak boleh kugali.

“Mas Zaki meminta tanda tanganku untuk surat persetujuan nikah," ucap Anin setelah menyesap isi gelas dan meluruskan kaki mulusnya di perpanjangan kursi.

Aku terdiam sesaat, membiarkan kedua mata mensyukuri pemandangan memancing imajinasi untuk menyentuhnya. Salah. Anin belum memberi izin.

“Kenapa enggak milih cerai?” tanyaku setelah mempertimbangkan kalimat apa yang dibutuhkannya kali ini.

Anin menghela napas. Sepertinya ada lagi hal lain yang tidak perlu kuketahui.

Hidup ... kesulitan tiap orang enggak bisa disamaratakan. Anggap aja di sini posisiku sebagai setannya, memengaruhi dia untuk keuntunganku sendiri. Kepuasan dan uang jajan.

Daripada ngebayar PSK atau menjalin hubungan yang mengharuskan bermanis muka tetapi berjalan lambat. Aku enggak bakal munafik untuk urusan selangkangan dan isi dompet.

Lagi pula, pacaran itu butuh biaya. Buat traktir atau memberi hadiah, minimal uang transportasi. Mungkin, aku tipe yang enggak mau rugi.

Seperti waktu masih bareng Kea. Kencan ke mana? Nemenin main GTA di Playstation atau Stronghold doang? Atau PUBG pas sudah temenan kayak sekarang biar dapet wifi gratis?

Aku jadi merasa enggak ada perkembangan. Jalan di tempat. Kadang ngebayangin bisa melakukan hal lebih sama Kea, tapi urung karena dia sendiri selalu nolak. Belum lagi orang tuanya yang sangat menjaga si anak gadis.

“Enggak boleh ngelanggar aturan,” kata Kea.

Tanpa sadar aku menertawakan masa lalu bersama cewek itu. Mungkin cuma penasaran sama dia dan aku milih enggak cerita sama Ibu daripada dikasih aturan yang bisa kulanggar sewaktu-waktu. Kea bisa jadi tameng sempurna buat alasan keluar rumah.

Toh, Ibu cuma bilang, “Jangan ngehamilin anak orang!” bukan melarang seks.

“Kamu bilang dia mengeluh karena kamu konservatif? Maksu kamu mainnya gitu-gitu aja?”

Aku mengulang keluhan Anin di pertemuan sebelumnya. Mungkin, aku hampir terpejam karena mulai bosan dengan pembicaraan. Kulirik Anin yang membisu, menggoyangkan gelasnya yang sudah kosong.

“Aku dibayar, loh. Tante perlu apa? Mau aku ajarin yang ekstrim? Atau Tante mau ngasih tau gimana imajinasi Tante mengenai ini?” Sengau dalam kalimatku begitu kentara ketika mengisyaratkan lingkaran dan tusukan dari jemari.

Aku butuh semangat, dan menggodanya pun mampu menaikkan hasrat terdalamku.

Anin tertegun saat aku kembali duduk. Bola matanya terlihat bergerak, tidak tenang. Kurasa, tebakanku benar. Dia beranjak, mungkin akan meninggalkanku lagi jika menghindari pembicaraan.

Aneh. Anin tuh selalu pergi, menghindar, tapi masih manggil lagi.

“Mau ke mana?” Kuraih tangannya ketika melangkah di dekatku.

Anin terdiam. Jemarinya seolah bergetar meremas gelas dalam pegangannya ketika menjawab, “Naruh ini.”

Aku mengerutkan kening, merasa lebih aneh lagi. Apa Anin terlalu takut dengan sentuhan?

“Letakkan di sini saja. Tante mau aku makan gaji buta dengan jadi patung tak tersentuh?” Kuambil gelas dari tangannya, memindahkan ke atas meja tanpa melepaskan tangannya yang lain.

Jemari Anin yang dingin dalam genggaman kutarik mendekat. Jari-jarinya panjang dan lentik, hanya kukunya yang kurang rapi.

“Tante nguli?” tebakku. Pertanyaan yang bersarang dalam pikiran semenjak memangkas jarak dengannya di awal.

Anin tertawa mendengar tebakanku, memecah kecanggungan yang sempat hampiri.

“Kenapa ketawa? Ini enggak dirawat? Ke salon gitu, Tan. Meni-pedi. Masa muka aja yang cantik, tapi jarinya gini?”

Kekehanku membuatnya langsung mengulum senyum. Aku hanya mengulang istilah yang biasa disebut pelanggan sebelumnya kalau aku memuji soal kuku mereka yang cantik.

“Mas Zaki minta aku mengurus rumah sebesar ini. Katanya kalau pakai pembantu, mahal. Padahal aku juga kerja. Lagian, rumah ini juga punyaku. Tapi tahu sendiri bagaimana orang tua zaman dulu memandang seorang wanita? Istri? Harus bisa mengurus rumah biarpun kerja.”

Penjelasan Anin membuatku langsung terdiam. Enak banget jadi suami Anin. Merasa tuan, tapi sebenarnya tidak memiliki apa pun. Kerjanya apa?

Aku enggak tahu dari mana asal kekayaan Anin, karena dia juga belum mau cerita.

“Tan, aku penasaran.”

“Apa?”

“Konservatif itu seperti apa, sih? Ajarin, ya?”

Spontan kedua pipi Anin merona, paham maksud dari pertanyaanku. Dia masih bergeming, melemparkan pandangan ke arah lain, menghindari tatapan. Jemarinya yang masih dalam genggaman, kuhidu perlahan. Bisa kurasakan rambut di lengannya meremang.

“Apa seperti ini?”

Anin menggeleng cepat.

“Enggak, Yo.” Dia hampir mundur jika tidak segera kutahan.

“Perlu kulanjutkan?”

Tidak ada suara. Hanya anggukan sebagai jawaban. Anin telah setuju.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Pradipta Adi Tama
lumyan tapi kurang jelas ceritaya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status