Share

Wajah Kemerahannya

“Sama siapa, Bas?” Dean—teman yang kukenal semenjak menginjak bangku perkuliahan dan terkenal sering bergonta-ganti pasangan—menghampiri. Dia sadar kalau aku berada di tempat yang sama.

Padahal sejak awal ngelihat keberadaan Dean dalam klub, aku sudah memilih tempat untuk menyingkir dari keramaian, menemani Anin yang bersandar pada sofa di pojokan setelah minum beberapa tegukan. Lagian, buat apa juga Anin mabuk di tempat seperti ini sendirian setelah menghubungiku? Apa Anin sedang menghadapi masalah lagi?

Aku menjawab pertanyaan Dean dengan menggerakkan kepala, menunjukkan wanita di sisi yang telah menutup mata. Tubuh Anin masih mengenakan pakaian formal setelah mengajar tertutupi jaket milikku. Bisa aja kan banyak lelaki yang mengambil kesempatan karena kondisi Anin kalau enggak hubungi aku sejak awal?

“Baru lagi?” Dean melepaskan rangkulannya pada gadis yang mengiringi. Mereka berpamitan dengan saling berbalas cium pipi. Mungkin sudah bertukar kontak atau bahkan janji temu di tempat lain melihat isyarat Dean.

“Lumayan.” Kubenahi posisi Anin, memindahkan bahunya dalam rangkulan. Namun, Anin malah telungkup di pangkuanku. Bahaya.

"Tante? Tante Anin?" Kuguncang tubuh yang sebenarnya lebih kecil dariku ini, tetapi geliat Anin justru membangunkan kobra dalam celanaku.

Sialnya, Dean malah tertawa dan duduk pada kursi di depanku, mengambil botol yang masih sisa setengah di meja untuk dituang pada gelas bekas Anin.

“Enggak bisa beli baru?" Kualihkan perhatian dari godaan Anin dengan mendebat Dean. "Kayak enggak modal.”

Apa suaraku terdengar mendesah? Entah. Ini sebenarnya nikmat, kalau aja Anin melakukannya dengan sadar ..., dan tanpa penghalang.

“Gratis.” Dean meneguk isi gelas seperti tanpa beban dan mengangguk-angguk mengikuti hentakan musik.

Aku mendesis, ingin dia segera pergi daripada terus melihat perbuatan Anin padaku. Dasar otak mesum!

“Pacar?" Dean mengedikkan dagu ke arah Anin. Dinyalakannya batang nikotin dari kotak milikku yang tergeletak di meja.

“Belum.” Harapanku, sih. Apalagi kontrak yang kami tandatangani menyebutkan kemungkinan naik ke tingkat berikutnya dengan perjanjian ulang. Aku snagat tidak sabar bisa menaklukan kebekuan Anin.

“Gimana Kea?” Malah dia nanyain si mantan. Padahal jelas-jelas kami satu angkatan di perkuliahan, cuma si Dean aja yang belum tuntasin beberapa mata kuliah dan dipastikan tertunda urus skripsinya.

Aku mengambil gelas yang diletakkan Dean dan mengisinya dengan cairan dari botol. Sekali tegukan enggak bakal bikin mabuk.  “Enggak tau. Kenapa?” Kutanya balik meski tahu jawabannya.

“Enggak. Kali dia tau gebetan elo.”

“Bisa dilabrak kali.”

Dean tertawa lagi. Kenyataannya, enggak sekali dua kali Kea melabrak cewek di kampus yang mencoba dekat denganku. Sekadar meminta id Line aja, malah nyambungnya ke ponsel dia.

Kebayang apa yang bakal Kea lakuin kalau berkirim pesan atas namaku? Dia bakal buat cewek-cewek pada illfeel buat temuin aku lagi. Entah foto jelek sampai pengakuannya tentang hubungan kami yang sudah kandas.

Dean kembali turun ke lantai dansa setelah bergantian menghabiskan isi botol bersamaku, mengikuti pengunjung lain yang bergerak mengikuti hentakan musik. Sedangkan aku, meresapi pemandangan yang tersaji di depan mata.

Wajah tenang Anin setelah benar-benar tak bergerak seperti bidadari tanpa cela. Anggaplah aku memanfaatkan keadaan ketika meraih wajahnya untuk mendekat, menyentuh bentuk rahang atau hidungnya yang mancung, dan menyapu lembut bibir tipisnya yang membuatku penasaran.

Anin mengerang sesaat. Dia meracau, mengerutkan wajah, seolah menahan perlakuan menyakitkan. Dia... menangis dalam tidur. Isakannya begitu halus. Entah apa yang dikatakannya, lebih seperti gumaman dalam bungkam.

Apa Anin selalu menahan diri selama ini? Apa yang pelru dikatakannya?

Enggak tega ngebangunin Anin, tapi aku jadi bingung sendiri. Kalau aku bawa dia ke basemen, aku enggak bisa menyetir mobil. Mau manggil Dean, kayaknya si playboy sudah menghilang di antara kerumunan, enggak kelihatan batang hidungnya.

Harus kubawa Anin ini ke mana?

***

“Kita di mana, Yo?” tanya Anin begitu sadarkan diri. Dia tampak memeriksa pakaian di balik selimut.

“Enggak kuganti, Tan. Takut amat.” Aku hampir tertidur di sofa karena menunggu semalaman. Nyatanya, aku masih menopang dagu menggunakan lengan di pinggiran sofa.

Takut juga kalau aku enggak bisa nahan diri sampai berkali-kali mencoba push up biar capek dan terlelap. Siapa tahu kalap masih kuat malah ngegasak si tante pas enggak sadar?

Kuusap kedua mata yang terlihat merah saat berkaca pada kamera ponsel. Harusnya tidur aja daripada berjaga. Toh, Anin juga enggak bakal mikirin cowok panggilannya ini bakalan pergi atau berada di sampingnya.

“Ke mana, Yo?” Anin nanya pas aku berusaha berdiri. Dia menyingkap selimut, memperlihatkan pakaian semalam berlapis jaketku yang tidak tersentuh sama sekali.

“Cuci muka. Mandi mungkin.” Susah imbang kalau masih di bawah pengaruh minuman, tapi aku perlu menyegarkan diri, terutama mendinginkan ketegangan di bawah sana karena ulah Anin semalam.

Hampir lupa. Aku berbalik dan menunjukkan tas kertas di samping ranjang. "Semalam aku pesenin baju ganti buat kamu. Jangan lupa transfer bayaran gantinya ke rekeningku."

Mungkin lain kali tolak aja kalau ajakan Anin cuma buat nemenin minum. Kapok. Biar sudah kena air juga, tetap aja mata ini berat. Sayangnya yang di bawah malah bangun. Aih, Anin.

Ternyata enggak bisa nyari ke lain karena perjanjian jadi peliharaan itu menyiksa juga. Enggak ada pelampiasan. Ayo, Nabastala! Kuat! Bentar lagi pasti si tante luluh.

Aku melepas pakaian, sepertinya butuh mandi air dingin sekalian biar benar-benar sadar. Baru juga masuk dalam bak, ketukan dari luar sudah mengganggu.

“Aryo! Gantian!” Anin memanggil. Enggak bisa disebut berteriak kalau suaranya rendah. Beda banget sama Kea yang enggak tanggung-tanggung biar di samping telinga.

Apa? Gantian pakai kamar mandi? Perasaan belum lama.

“Sebentar!” Segera kuraih handuk dari kabinet di samping wastafel dan melingkarkannya di pinggang.

Kayak enggak ada istirahatnya kalau teken perjanjian sama Anin. Baru juga nemu air. Kalau enggak inget digit bayarannya, bakal kugasak di tempat juga kayak si Dean kalau nyari cewek buat memenuhi kebutuhan lubang.

Enggak ketemu mangsa buat diajak mandi kucing, istilahnya si Aksa—teman lama yang memperkenalkanku pada dunia menghibur dalam tanda kutip —kalau ngebahas soal menaiki ranjang dan beradu gairah. Lama juga enggak ketemu tuh anak kalau diingat-ingat.

“Cepet, Yo!” Lagi, Anin mendesak dengan ketukan di pintu.

“Bentar.”

“Kebelet!”

Pantas. Enggak bisa nahan bentar, ya?

Anin terkejut ketika aku keluar hanya mengenakan handuk di pinggang. Dia spontan menunduk, menyembunyikan rona yang jelas menguasai.

“Lihat apa?” Aku bertanya ketika dia justru berhenti sesaat.

Jemarinya sempat menyentuh lekuk yang terbentuk pada otot perutku. Tangan Anin terdiam, tidak bergerak di sana.

“Pegang aja lama-lama, Tan.”

Anin segera menggeleng, mendorongku keluar sebelum menutup pintu. Dia merona. Beneran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status