Share

003. Kabur dan Tersesat

“Aku serius, Jude. Jangan pergi kemanapun tanpa aku!” Drake menegaskan ucapannya, sebelum berbalik memunggungi Jude dan menghilang di balik pintu.

Sebuah senyuman penuh siasat, terukir di wajah cantik Jude Smith.

“Oh, lihat apa yang bisa budakmu ini lakukan tanpa dirimu, Calon Raja.”

Jude berputar cepat, dan berlari ke sudut lain ruangan. Tanpa jeda, ia menyongkel birai jendela dan mendorongnya terbuka lebar.

Angin malam menyibak rambut Jude ke belakang. Lautan hitam beriak di hadapan Jude. Ia tak bisa melihat apapun kecuali gelap.

Menelan rasa takut yang bergelegak sampai kerongkongan, Jude menginjak jambangan emas hias dan mendongkang tubuhnya ke atas. Sekejap saja, ia sudah duduk di bingkai jendela keemasan yang menjorok langsung ke balkon berbatu.

Jude memanjangkan leher, memeriksa seberapa jauh jarak jendela ke balkon. Setelah memastikan ia bisa melompat dengan baik, gadis itu meluncur anggun seperti kucing yang mendarat tanpa suara dengan dua kakinya.

“Ya! Sayangnya, kau berurusan dengan Jude Smith yang dibesarkan oleh kerasnya takdir.” Jude cekikikkan. Ia menatap balkon yang mengular menjadi lereng-lereng sempit di hadapannya. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung berlari menyusuri sisi bidang tanah sepanjang tembok yang berbatu. Semakin lama semakin sempit.

Tak putus asa, gadis itu melompati batas pagar batu satu ke pagar lain. Berharap menemukan jalan keluar dari setiap belokan yang dilaluinya.

Alih-alih mendapati kebebasan, Jude malah terjebak di dalam lorong-lorong batu dengan obor menyala-nyala di setiap tembok. Setiap gadis itu memilih belokan, lorong akan membawanya ke lorong lain yang nyaris serupa.

Jude akhirnya lelah berlari. Putus asa menggerogoti keberaniannya. Ia duduk bersandar di tembok batu, dan berpikir keras. Jude memaksa dirinya berani, karena kalau ia menyerah, sama saja dengan memasrahkan lehernya sendiri ke bawah pisau pancung secara suka rela. Namun Jude merasakan keberanian itu meleleh dari belulangnya, menyisakan sepi nan mencekam.

Menghela napas berat, Jude mengeraskan rahang dan bangkit berdiri. “Aku bisa! Jude Smith selalu berhasil keluar dari lubang masalah, sesulit apapun itu!” Ia mendesis menyemangati diri.

Gadis itu meneruskan langkah walau dengan lutut gemetar. Langkah kakinya menggema ke dinding batu lorong, memantulkan ketakutan yang kini sudah sampai di puncak kerongkongan.

Jude berulang kali menoleh melewati bahu, memeriksa ke belakang siapa tahu ada yang mengejarnya.

Namun, hanya ada cahaya obor kekuningan yang membuat bayangan dirinya seolah menari hingga puncak langit-langit, membaur bersama gelap.

Setelah melewati dua kelokan, yang keduanya sama-sama berakhir di lorong serupa, Jude benar-benar putus asa. Istana ini seolah menelannya, dan tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali terus berjalan hingga ke dasar perutnya.

“Tidak ada jalan keluar,” keluhnya sendirian. Namun, tepat saat ia mengatakannya, Jude melangkah keluar dari lorong dan tiba di sebuah selasar luas dan megah.

Gadis itu terperangah kagum akan arsitektur luar biasa di hadapannya yang berkilauan serba emas. Pilar-pilar terpancang gagah, menopang kubah langit-langit yang juga terbuat dari emas.

Tak jauh dari tempatnya berdiri terdapat sebuah pintu ganda raksasa dengan sulur keemasan. Tak ambil jeda karena merasa lelah setelah tersesat di lorong batu, Jude langsung memburu pintu tersebut. Berharap itu adalah pintu utama istana yang akan membawanya keluar.

Perlu usaha keras dari gadis berperawakan mungil seperti Jude untuk bisa mendorong pintu tersebut hingga terbuka. Setelah berhasil mendorongnya beberapa senti, gadis itu menyelinap gesit di antara daun pintu.

“Ah, luar biasa, Jude. Sudah aku bilang, kan⸻”

“Aaarrgghhhh!”

Jeritan nelangsa menyambut kedatangan Jude. Gadis itu terkesiap. Seluruh darahnya terserap habis tatkala menyaksikan seorang gadis kira-kira seusia dengannya, melayang ke udara dan terhempas begitu saja ke lantai marmer.

“Menjerit lagi, ayo! Lebih keras!” Pemuda tegap tertawa-tawa puas. Ia menggamit kerah gaun si gadis, dan menariknya ke udara seolah gadis itu seringan kapas.

“Mana suaramu, Manis? Aku senang mendengar jeritan itu.”

Rasa mual mendesak ulu hati Jude mendengar suara pemuda yang dikenalinya. Tiba-tiba saja, pemuda itu menyeret si gadis hingga tubuh gadis itu membentur tembok, dan mendorongnya kuat-kuat.

“Aaahhh!”

“Tidak!”

Jerit kesakitan si gadis dan teriakan ngeri Jude berpadu jadi satu. Hal itu membuat pemuda berambut kuning yang sejak tadi asyik bermain-main dengan budaknya, berbalik badan dengan cepat. Ketika dilihatnya Jude terpaku di dekat pintu, pupil mata Ancalagon membesar, menyorot penuh ambisi.

“Wah, wah, lihat apa yang kudapat di sini,” desis Ancalagon bergairah. Ia melepaskan budaknya yang langsung terpuruk seketika ke atas lantai dan merintih-rintih kesakitan. Sebagai gantinya, ia menghadap sepenuhnya pada Jude.

Jude menatap gadis di belakang punggung Ancalagon prihatin, namun dengan segera, rasa kasihan itu berpindah cepat pada dirinya sendiri.

Ancalagon berderap ke arah Jude dengan senyum picik tergambar di wajahnya yang tampan.

“Selamat datang di sayap istanaku, Cantik.” Suara Ancalagon terasa panas di leher Jude. Mendadak, kalung logam tanda perbudakan di leher Jude terasa jadi lebih berat.

“Apa yang kau lakukan? Mencariku? Padahal, kau tak perlu repot-repot melintasi separuh istana untuk menemuiku, cukup bilang saja pada majikanmu bahwa kau ingin pindah kepemilikan.” Ancalagon tergelak.

Rasa tidak suka menggelegak dalam diri Jude. Ia benci pemuda di hadapannya yang kini berjalan mondar-mandir memperhatikan, seperti seorang pembeli banyak uang sedang menaksir jambangan mahal yang hendak dibeli. Mendadak, mata Ancalagon meredup kala dilihatnya kalung logam perbudakan di leher Jude.

“Kau tidak seharusnya memperlakukan orang lain seburuk itu!” ucap Jude muak. Hal itu malah membuat Ancalagon tertawa terbahak-bahak.

“Oh, kami para naga sangat berhak memperlakukan budak-budak kami seburuk apapun yang kami mau. Bahkan, aku bisa menguliti kulit budakku hidup-hidup, kalau kau perlu bukti!”

Jude merasa ia bisa muntah kapan saja.

“Kau dan keberanian kecilmu itu ….” Ancalagon mendesis di telinga Jude. “Membuatku sangat … sangat tidak bisa menahan diri!”

Dengan kecepatan tidak manusiawi, Ancalagon menerjang ke arah Jude. Beruntungnya, Jude yang terbiasa menghadapi situasi sulit, dengan gesit berlari menghindari Ancalagon.

Naga itu menggeram rendah karena terkejut. Lebih-lebih lagi, saat Jude menarik jambangan emas di lemari pajangan, dan melemparkannya pada Ancalagon.

Sang naga tercengang. Kesempatan itu dimanfaatkan Jude untuk berlari ke arah pintu dan menyelinap keluar.

Telinganya tuli oleh deru napas, berpacu cepat dengan tungkai kaki yang bekerja keras membawa tubuhnya menjauhi ruangan Ancalagon.

Jude bisa mendengar naga itu terbahak, dan dengan sentakan kengerian yang menjilati seluruh kulit, Jude menabrak sosok tinggi langsing di perempatan selasar.

“Aduh!”

“Maaf … maafkan aku.” Jude melambai putus asa. Napasnya putus-putus. Ia mengira kepalanya akan meledak karena berdenyut gila-gilaan. Jude hendak bicara lagi, ketika makhluk di hadapannya mendului bicara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status