“Aku serius, Jude. Jangan pergi kemanapun tanpa aku!” Drake menegaskan ucapannya, sebelum berbalik memunggungi Jude dan menghilang di balik pintu.
Sebuah senyuman penuh siasat, terukir di wajah cantik Jude Smith.
“Oh, lihat apa yang bisa budakmu ini lakukan tanpa dirimu, Calon Raja.”
Jude berputar cepat, dan berlari ke sudut lain ruangan. Tanpa jeda, ia menyongkel birai jendela dan mendorongnya terbuka lebar.
Angin malam menyibak rambut Jude ke belakang. Lautan hitam beriak di hadapan Jude. Ia tak bisa melihat apapun kecuali gelap.
Menelan rasa takut yang bergelegak sampai kerongkongan, Jude menginjak jambangan emas hias dan mendongkang tubuhnya ke atas. Sekejap saja, ia sudah duduk di bingkai jendela keemasan yang menjorok langsung ke balkon berbatu.
Jude memanjangkan leher, memeriksa seberapa jauh jarak jendela ke balkon. Setelah memastikan ia bisa melompat dengan baik, gadis itu meluncur anggun seperti kucing yang mendarat tanpa suara dengan dua kakinya.
“Ya! Sayangnya, kau berurusan dengan Jude Smith yang dibesarkan oleh kerasnya takdir.” Jude cekikikkan. Ia menatap balkon yang mengular menjadi lereng-lereng sempit di hadapannya. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung berlari menyusuri sisi bidang tanah sepanjang tembok yang berbatu. Semakin lama semakin sempit.
Tak putus asa, gadis itu melompati batas pagar batu satu ke pagar lain. Berharap menemukan jalan keluar dari setiap belokan yang dilaluinya.
Alih-alih mendapati kebebasan, Jude malah terjebak di dalam lorong-lorong batu dengan obor menyala-nyala di setiap tembok. Setiap gadis itu memilih belokan, lorong akan membawanya ke lorong lain yang nyaris serupa.
Jude akhirnya lelah berlari. Putus asa menggerogoti keberaniannya. Ia duduk bersandar di tembok batu, dan berpikir keras. Jude memaksa dirinya berani, karena kalau ia menyerah, sama saja dengan memasrahkan lehernya sendiri ke bawah pisau pancung secara suka rela. Namun Jude merasakan keberanian itu meleleh dari belulangnya, menyisakan sepi nan mencekam.
Menghela napas berat, Jude mengeraskan rahang dan bangkit berdiri. “Aku bisa! Jude Smith selalu berhasil keluar dari lubang masalah, sesulit apapun itu!” Ia mendesis menyemangati diri.
Gadis itu meneruskan langkah walau dengan lutut gemetar. Langkah kakinya menggema ke dinding batu lorong, memantulkan ketakutan yang kini sudah sampai di puncak kerongkongan.
Jude berulang kali menoleh melewati bahu, memeriksa ke belakang siapa tahu ada yang mengejarnya.
Namun, hanya ada cahaya obor kekuningan yang membuat bayangan dirinya seolah menari hingga puncak langit-langit, membaur bersama gelap.
Setelah melewati dua kelokan, yang keduanya sama-sama berakhir di lorong serupa, Jude benar-benar putus asa. Istana ini seolah menelannya, dan tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali terus berjalan hingga ke dasar perutnya.
“Tidak ada jalan keluar,” keluhnya sendirian. Namun, tepat saat ia mengatakannya, Jude melangkah keluar dari lorong dan tiba di sebuah selasar luas dan megah.
Gadis itu terperangah kagum akan arsitektur luar biasa di hadapannya yang berkilauan serba emas. Pilar-pilar terpancang gagah, menopang kubah langit-langit yang juga terbuat dari emas.
Tak jauh dari tempatnya berdiri terdapat sebuah pintu ganda raksasa dengan sulur keemasan. Tak ambil jeda karena merasa lelah setelah tersesat di lorong batu, Jude langsung memburu pintu tersebut. Berharap itu adalah pintu utama istana yang akan membawanya keluar.
Perlu usaha keras dari gadis berperawakan mungil seperti Jude untuk bisa mendorong pintu tersebut hingga terbuka. Setelah berhasil mendorongnya beberapa senti, gadis itu menyelinap gesit di antara daun pintu.
“Ah, luar biasa, Jude. Sudah aku bilang, kan⸻”
“Aaarrgghhhh!”
Jeritan nelangsa menyambut kedatangan Jude. Gadis itu terkesiap. Seluruh darahnya terserap habis tatkala menyaksikan seorang gadis kira-kira seusia dengannya, melayang ke udara dan terhempas begitu saja ke lantai marmer.
“Menjerit lagi, ayo! Lebih keras!” Pemuda tegap tertawa-tawa puas. Ia menggamit kerah gaun si gadis, dan menariknya ke udara seolah gadis itu seringan kapas.
“Mana suaramu, Manis? Aku senang mendengar jeritan itu.”
Rasa mual mendesak ulu hati Jude mendengar suara pemuda yang dikenalinya. Tiba-tiba saja, pemuda itu menyeret si gadis hingga tubuh gadis itu membentur tembok, dan mendorongnya kuat-kuat.
“Aaahhh!”
“Tidak!”
Jerit kesakitan si gadis dan teriakan ngeri Jude berpadu jadi satu. Hal itu membuat pemuda berambut kuning yang sejak tadi asyik bermain-main dengan budaknya, berbalik badan dengan cepat. Ketika dilihatnya Jude terpaku di dekat pintu, pupil mata Ancalagon membesar, menyorot penuh ambisi.
“Wah, wah, lihat apa yang kudapat di sini,” desis Ancalagon bergairah. Ia melepaskan budaknya yang langsung terpuruk seketika ke atas lantai dan merintih-rintih kesakitan. Sebagai gantinya, ia menghadap sepenuhnya pada Jude.
Jude menatap gadis di belakang punggung Ancalagon prihatin, namun dengan segera, rasa kasihan itu berpindah cepat pada dirinya sendiri.
Ancalagon berderap ke arah Jude dengan senyum picik tergambar di wajahnya yang tampan.
“Selamat datang di sayap istanaku, Cantik.” Suara Ancalagon terasa panas di leher Jude. Mendadak, kalung logam tanda perbudakan di leher Jude terasa jadi lebih berat.
“Apa yang kau lakukan? Mencariku? Padahal, kau tak perlu repot-repot melintasi separuh istana untuk menemuiku, cukup bilang saja pada majikanmu bahwa kau ingin pindah kepemilikan.” Ancalagon tergelak.
Rasa tidak suka menggelegak dalam diri Jude. Ia benci pemuda di hadapannya yang kini berjalan mondar-mandir memperhatikan, seperti seorang pembeli banyak uang sedang menaksir jambangan mahal yang hendak dibeli. Mendadak, mata Ancalagon meredup kala dilihatnya kalung logam perbudakan di leher Jude.
“Kau tidak seharusnya memperlakukan orang lain seburuk itu!” ucap Jude muak. Hal itu malah membuat Ancalagon tertawa terbahak-bahak.
“Oh, kami para naga sangat berhak memperlakukan budak-budak kami seburuk apapun yang kami mau. Bahkan, aku bisa menguliti kulit budakku hidup-hidup, kalau kau perlu bukti!”
Jude merasa ia bisa muntah kapan saja.
“Kau dan keberanian kecilmu itu ….” Ancalagon mendesis di telinga Jude. “Membuatku sangat … sangat tidak bisa menahan diri!”
Dengan kecepatan tidak manusiawi, Ancalagon menerjang ke arah Jude. Beruntungnya, Jude yang terbiasa menghadapi situasi sulit, dengan gesit berlari menghindari Ancalagon.
Naga itu menggeram rendah karena terkejut. Lebih-lebih lagi, saat Jude menarik jambangan emas di lemari pajangan, dan melemparkannya pada Ancalagon.
Sang naga tercengang. Kesempatan itu dimanfaatkan Jude untuk berlari ke arah pintu dan menyelinap keluar.
Telinganya tuli oleh deru napas, berpacu cepat dengan tungkai kaki yang bekerja keras membawa tubuhnya menjauhi ruangan Ancalagon.
Jude bisa mendengar naga itu terbahak, dan dengan sentakan kengerian yang menjilati seluruh kulit, Jude menabrak sosok tinggi langsing di perempatan selasar.
“Aduh!”
“Maaf … maafkan aku.” Jude melambai putus asa. Napasnya putus-putus. Ia mengira kepalanya akan meledak karena berdenyut gila-gilaan. Jude hendak bicara lagi, ketika makhluk di hadapannya mendului bicara.
“Budak yang kabur, eh?” Suara serak dan dingin menggema di dinding berbatu.Jude mengangkat pandangan. Di hadapannya berdiri seorang wanita tinggi langsing menatap Jude angkuh dari atas dagu yang terangkat.Jude tidak bisa menebak siapa wanita itu, terlebih lagi saat terdengar derap cepat dari balik punggungnya yang Jude pastikan adalah Ancalagon.Dia butuh pertolongan!Hanya dari melihat penampilannya saja, Jude tahu bahwa wanita ini pastilah punya kedudukan tinggi.Rambutnya sehalus sutera, jatuh menutupi punggung kurus berbalut gaun mewah berwarna emas darah. Semerah bibirnya yang melengkung indah bak permadani mahal.Rasa terpesona itu hilang sekejap bersama rintihan pilu dari seseorang yang merangkak di dekat kaki jenjang berbalut stiletto hitam runcing yang dikenakan si wanita.“Astaga.” Jude mendekap mulut. Matanya terbelalak menatap seorang pemuda dengan wajah babak belur, dan bahu berdarah-darah. Pemuda itu diikat di kakinya, dan diseret seperti anjing penjaga. Wajahnya yang
“Kau … kau!”Jude membawa pandangannya ke arah Drake, dan melotot galak.“Kau apakan aku, hah?”“Hah?” Drake malah membeo.“Ancalagon telah merobek pakaianku, dan dia melukai lenganku. Sekarang … sekarang, oh, astaga! Aku sudah berganti pakaian!” Jude merentangkan tangan kaget. Ia menunduk, memandangi dirinya dalam balutan piyama kain linen baru. Luka di bahunya pun sudah dibebat.“Kau kah yang melakukannya?”“Oh, itu.” Mendadak wajah Drake merona. “Aku, yeah, tidak bisa membiarkan lukamu terbuka tanpa perawatan, kan?”“Seharusnya kau tidak boleh melakukannya! Belum pernah ada yang melihat … melihat tubuhku selain diriku sendiri.” Pipi Jude terbakar emosi.Drake mengedik ringan. “Aku tidak bisa membiarkanmu tidur dengan pakaian compang-camping.”“Kau ….” Jude menatap Drake yang balik menatapnya lugu. Mendadak, emosi itu sirna. Bahu Jude merosot lemas.“Kau benar,” katanya kemudian, dengan nada rendah tanpa semangat. “Seharusnya aku berterima kasih padamu.”“Eh.” Drake semakin bingung.
“Buka atau kudobrak pintunya, Jude Smith!” Jude menutup kedua kuping dan menangis. Ia menunggu Ancalagon meledakkan pintu, dan menyongsong akhir hidupnya sambil menghitung mundur. “Tiga ….” “Jude, kau serius?” “Dua ….” Jude terisak semakin keras. “Sa ….” Brak! Pintu ganda keemasan yang menjulang megah, meledak seketika. Jude tidak berani membuka mata. Ia tetap duduk meringkuk di atas ranjang, dan menangis sampai matanya perih. Gadis itu sudah sangat siap jika Ancalagon menyerangnya sekarang. Namun, hal itu tidak kunjung terjadi. Alih-alih mendapat serangan brutal yang biasa dilancarkan Ancalagon, pergerakan lembut di sisi ranjang membuat Jude refleks mengangkat wajah. Wajah teduh Drake menatapnya khawatir. “Apa yang terja⸻” “Drake!” Jude melompat dari tempatnya duduk, dan nyaris menghambur ke pelukan Drake kalau saja ia tak menahan diri tepat waktu. Keduanya bergerak canggung dari jarak setipis helaian rambut. “Maaf, aku … um ….” Jude menjilat bibir gugup, dan berkali-kali
“Apa yang membuatmu berubah pikiran?” Jude balik bertanya. Drake tertawa kecil. “Kau harus belajar untuk menjawab pertanyaan dengan pernyataan, manusia kecil.” Jude cemberut. “Ya, aku memang lapar. Tapi kurasa, aku belum bisa menikmati hidangan yang disajikan di atas paksa dan siksa.” Drake tertawa ringan menanggapi sarkasme Jude. Dengan santai, ia mendului Jude duduk di kursi keemasan berpunggung tinggi, dan membalik piring. “Wah, tuna sirip biru kesukaanku!” Drake mengisi piringnya banyak-banyak, dan mulai makan dengan lahap. Jude memperhatikannya dengan sudut bibir terangkat. “Oh, lihat bagaimana dia begitu menikmati keringat manusia yang diperasnya.” “Jangan terus merutuk begitu. Datang dan makanlah bersamaku, atau akan kugigit kau!” Jude terbelalak ngeri, lalu buru-buru menghampiri Drake dan duduk berhadapan dengannya. “Makanlah,” kata Drake tanpa kehilangan senyuman. Ia selalu senang melihat wajah ketakutan budaknya yang manis. Jude mengambil sepotong kentang rebus, dan
“Agar kau senantiasa tampak tertutup.”Jude tersenyum sangat manis. “Ya, dengan senang hati.” Sesungguhnya ia tidak peduli sekalipun Drake memintanya hadir ke pesta dengan pakaian compang-camping. Jude hanya ingin datang dan melihat dengan mata kepala sendiri kemeriahan pesta dansa yang selama ini hanya ada dalam angan-angan.“Pestanya dimulai jam delapan nanti. Kita masih punya waktu sekitar dua jam. Apa makanan sudah tersedia?”“Ya, tentu.” Jude mengangguk tak sabar. “Kau bisa makan sendiri, sementara aku bersiap-siap, ya.”“Jangan, Jude.” Nada rendah sarat kewaspadaan dari ucapan Drake berhasil menghentikan langkah ceria Jude. “Kau harus menemani tuanmu makan kecuali jika aku memintamu pergi, begitu aturannya.”“Oh, maafkan aku.” Jude membungkuk-bungkuk. “Aku harus banyak bela
Saat Drake membuka pintu utama, angin malam dari lorong koridor berembus meniup rambut Jude ke balik bahu.Bulu kuduk si gadis meremang seketika. Terakhir kali ia pergi ke luar ruangan adalah di hari kala ia mencoba untuk kabur dari Drake.Jude pastikan itu akan jadi percobaan pertama dan terakhirnya, karena apa yang ia temui di luar sana jauh lebih mengerikan dibanding dikurung seorang diri di dalam aula Drake.Keduanya berjalan dalam diam. Hanya suara kelotakan sepatu yang terdengar memantul ke dinding batu sepanjang lorong. Setelah tiba di tikungan akhir menuju aula utama, suara-suara dengungan keramaian menjalar hingga tempat Jude berjalan. Semakin lama semakin jelas.Pencahayaan pun sudah tak lagi didominasi obor-obor. Pantulan api yang bergoyang-goyang di dinding batu berubah menyaru dengan kemerlap cahaya yang jauh lebih terang.Saat keduanya berbelok, nampak oleh Jude naga-naga berbagai jenis memenuhi lorong-lorong menuju aula besar. Gadis itu merinding ketakutan, tapi ia beru
“Hati-hati.” Drake menangkap lengan Jude tepat waktu sebelum si gadis jatuh menyentuh lantai. Kejadian itu menarik perhatian semua orang, tak terkecuali sang raja.“Oh, gaun yang indah, kan, Drake Aiden? Kau pintar memilih seorang budak.” Suara sang raja menggema ke dinding aula, sekalipun pria gagah itu bicara dengan nada tanpa tekanan.Drake tersenyum salah tingkah. “Aku tidak punya banyak persediaan. Dia budak pertamaku.”“Tidak apa-apa.” Raja Aiden tersenyum sumringah. Ia mengibaskan ekor jubahnya, dan duduk tegap di kursi megah ujung meja, menghadap pada kaumnya.“Nah, aku senang kalian bisa menikmati pesta walaupun kenyataannya, pesta ini hanya hiburan sebelum besok kita bermandi darah.” Raja Aiden melempar lelucon, memaksa para naga tertawa tak ingin.“Aku harap, sedikit hiburan bisa melemaskan otot-otot yang menegang, yang sudah ditempa di arena tarung belakangan ini, agar kita semua bisa turun ke medan laga dalam performa terbaik kita.” Raja Aiden memiringkan kepala ke arah p
“Jude Smith!” Drake memperingatkan Jude yang sudah kadung berang. Karena emosi yang begitu meluap-luap Jude jadi tidak bisa mendengar teguran Drake. Alih-alih menahan diri, Jude malah beranjak dari tempatnya duduk dan melangkah berani mengitari meja. Diraihnya lengan budak Ancalagon yang meringkuk di lantai, dan membujuknya agar mau bangkit.Gadis itu menggeleng-geleng ketakutan. Ia tidak mau membuat tuannya lebih marah lagi. Karena kasihan, Jude melepas selendang gaun dari bahunya, lalu menyelimuti budak Ancalagon yang tampak mengenaskan.Sama terkejut dengan yang lain, Ancalagon yang sempat tak bisa berkata-kata, kini telah kembali mendapatkan kesadarannya.Pertunjukkan heroik Jude telah mengusir rasa mabuk yang sempat membuat Ancalagon linglung. Sambil bertepuk tangan dengan gaya dibuat-buat, Ancalagon berbicara keras-keras hingga seluruh aula bisa mendengarnya.“Pertentangan seo