“Kau sudah bangun?”
Drake Aiden melangkah masuk. Wajah tampannya tampak muram. Ia memandangi Jude seperti belum pernah melihatnya sebelum ini.
“Di mana aku?” Jude mengabaikan ucapan Drake. Ia menyibak selimut, dan melompat turun dari ranjang. Mendadak, rasa pusing menyerangnya hingga ia kembali jatuh terduduk.
“Hati-hati!”
“Jangan sentuh aku!” Jude merentangkan tangan, menghentikan pergerakan Drake yang sudah hendak menangkapnya.
Isi kepala Jude berputar cepat. Kilau biru mata Drake membawa kilasan-kilasan asing, yang semakin menambah kepalanya pusing.
“K-kau ….” Jude memegangi kepala frustasi. Deru angin menulikan telinganya. Seolah-olah, ia kembali terbang di bawah apitan cakar Drake yang keras dan kuat. “Apa kau seekor naga?”
Dahi Drake berkerut tidak senang. “Kau membuatnya terdengar tidak keren,” keluh Drake terang-terangan. “Tapi, ya, aku adalah naga hitam. Ras terkuat kaum naga.”
Jude terkesiap. “Jadi, naga itu betulan ada?” Suaranya bergetar hebat. “K-kalian tidak betulan memakan manusia seperti yang banyak dikisahkan orang-orang, kan?”
“Terkadang, dalam keadaan tertentu, kami memperlakukan manusia tidak begitu baik … tapi memakan mereka, ugh … rasanya, masih banyak hidangan lain yang jauh lebih menggugah selera ketimbang mengunyah makhluk kecil seperti kalian. Memangnya orangtuamu tidak memberitahu keberadaan kami?”
Kali ini, giliran dahi Jude yang berkerut. “Orangtuaku … mereka sudah tiada.”
“Oh, aku minta maaf.”
“Tapi aku masih punya pamanku, dan … astaga, ladangnya terbakar! Bagaimana ini! Paman Darius akan memenggal kepalaku karenanya, dan semua ini gara-gara kau!” Jude menuding Drake emosional.
“Aku sudah minta maaf.” Drake mengulanginya salah tingkah.
“Dan itu tidak merubah kenyataan bahwa sekarang ladang pamanku terbakar! Kau bahkan tidak berusaha memadamkan apinya.” Jude cemberut.
“Api naga tidak bisa dipadamkan begitu saja.” Drake membela diri. “Lagipula, itu hanya ladang gandum.”
“Hanya ladang gandum?” Suara Jude meninggi. “Itu satu-satunya ladang yang pamanku miliki untuk menopang kehidupan kami, tahu!”
“Oh.” Wajah Drake memerah. Namun rona itu hilang dengan cepat. Ekspresinya kembali angkuh.
“Aku bisa menggantinya berkali-kali lipat, tapi … kita akan bicarakan itu nanti.” Drake meneliti Jude yang kebingungan di hadapannya. Terlebih lagi, saat si gadis mulai terisak.
“Tenanglah, aku benar-benar akan mengurus semuanya.” Drake mendekati Jude hati-hati, dan mengulurkan tangan impulsif untuk menyentuh kepala Jude semata-mata demi menenangkan si gadis. Namun, Jude malah menjerit kesakitan.
“Ada apa?”
“Sakit sekali rasanya.” Jude melompat dari sisi ranjang dan pergi menjauhi Drake ke sisi tembok. Rahang Drake mengeras. Tampak jelas ia tengah dilanda keraguan.
“Sekarang, perlihatkan lenganmu.” Dari sekian banyak hal yang ingin dikatakan, justru itulah yang keluar dari bibir Drake.
“Apa?” Jude memiringkan kepala.
“Lenganmu,” ulang Drake sabar. “Yang aku sentuh di ladang ….”
“Oh.” Jude menyesali wajahnya yang mendadak terasa panas. Ia menatap lengannya dan terkejut mendapati ada sebuah tanda hitam meliuk-liuk di sana.
“Apa ini?!”
Drake menghela napas berat. “Itu sebuah tanda.”
“Aku tahu, tapi tanda apa?” Jude mulai panik. “K-kau tidak sedang mencoba menyakitiku lagi, kan?”
“Sayangnya, aku tidak tahu.”
“Bagaimana bisa kau tidak tahu, sementara kaulah yang membuat tanda ini?” Jude berusaha keras untuk berdiri tegap walau gerakannya masih limbung.
“Itu sebuah tanda pengabdian. Setiap naga akan menandai manusia-manusia yang hendak mereka jadikan budak,” jelas Drake.
Jude menatap tanda di lengannya tanpa berkata apa-apa.
“Setiap manusia yang sudah ditandai, akan menjadi budak para naga seumur hidup.” Suara Drake menggema ke langit-langit mewah ruangan, dan menghilang tanpa tanggapan.
Denging ketakutan menguar nyata dari dalam diri Jude Smith. Gadis itu berusaha tegar, tetapi bahunya bergetar hebat dan akhirnya ia menyerah dalam tangisan hebat.
Drake terpaku di tempat, tak tahu harus berbuat apa sementara si gadis terisak-isak di sudut tembok.
“Aku tidak mau jadi pelayan naga. Kalian jahat. Aku bisa mati.” Jude menangkup wajah dan menangis lebih keras.
Drake mengangguk samar. “Ya, kau benar. Setiap budak bisa mati di tangan naga mereka. Itulah kenapa aku melakukannya. Menandaimu.”
“Kenapa kau menandaiku?” Jude menurunkan tangan, lalu menatap Drake putus asa. Wajahnya merah padam, dan pipinya basah oleh air mata. “Aku tidak punya salah padamu, atau naga manapun. Kenapa tidak kau biarkan aku mengurus ladang saja? Walau terdengar sama mengerikannya, tapi setidaknya, paman tidak akan membiarkanku mati.”
Drake bicara dengan gigi terkatup. “Dia menyiksamu juga, ya?”
Jude terdiam. Ia tidak lagi menangis. Nampaknya, gadis itu tengah memikirkan sesuatu yang besar, hingga membuat dahinya berkerut-kerut.
“Kau benar. Di ladang maupun di sini, aku sama tersiksanya. Tidak akan ada beda.” Jude mengusap sisa air mata di pipi, dan mengedikkan kepala. Ia mengangkat dagu tegar, dan menatap Drake dengan sorot keberanian.
“Aku akan jadi pelayanmu, dan siap mati kapanpun. Toh, kembali ke ladang pun, paman akan tetap membunuhku,” tambah Jude sarkastik.
Hal itu membuat Drake tertawa.
Jude terkesima akan kerupawanan sang naga kala bibir itu tersenyum. Begitu juga Drake. Ia terkejut mendapati dirinya sendiri tertawa.
“Terima kasih, Jude.”
Alis Jude terangkat naik. “Untuk apa?”
“Karena sudah membuatku tertawa. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku tertawa seperti ini.” Drake menghela napas. Ia mengabaikan kilasan ingatan kala ia tengah tertawa lebar bersama sang ibunda, Ratu Aine, yang telah tiada. Ibunya wafat sesaat setelah melahirkan keturunan naga bangsawan terakhir.
“Wah, kau harus membayar mahal untuk itu,” gurau Jude.
Drake tersenyum lagi. Kemudian, ia melambai lembut pada Jude. “Kemarilah, aku akan membayarnya lunas.”
Ragu-ragu, Jude melangkah menghampiri Drake.
Lalu, dengan pelan dan lemah lembut, Drake menyentuh leher Jude. Seketika, Jude merasa lehernya disentuh oleh sesuatu yang dingin dan berat.
“A-apa ini?” Jude menyentuh kalung logam yang melingkari lehernya.
“Tanda perbudakan. Sekarang, kau resmi menjadi budakku. Tak boleh ada yang menyentuhmu, kecuali aku.”
Wajah Jude padam seketika. “Jadi, seperti inikah cara para naga berterima kasih?”
Drake mengangguk muram. “Ya. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk melindungimu.”
Jude berpaling marah, dan bersidekap. “Terima kasih.”
“Jude,” panggil Drake lembut. “Kau harus menuruti perintahku, tanpa kecuali.”
“Aku tahu, Drake.” Jude berkata skeptis. “Seperti itulah para budak seharusnya bersikap.”
“Bagus kalau kau mengerti.” Drake tidak menangkap nada sinis dalam ucapan Jude. “Aku ingin kau tetap tinggal di sini selama aku tidak ada. Jangan pernah pergi kemanapun, tanpa aku menyertaimu. Dan lagi, aku ingin kau berpakaian sopan dan menjaga tanda itu tetap tersembunyi.”
“Aku akan dengan senang hati hilir mudik mengenakan sweter daripada berpakaian seksi di tengah para naga mata keranjang seperti … siapa dia si rambut kuning itu?”
Drake terkekeh. “Ancalagon. Dia saudara laki-lakiku.”
“Ah, aku tidak melihat ada kemiripan di antara kalian berdua.” Jude mengangkat bahu.
“Naga tidak melahirkan naga-naga identik.” Drake tersenyum. “Hanya putra sulung penerus garis kekuasaan yang dilahirkan dalam bentuk naga hitam mata biru.”
Sudut bibir Jude tertarik turun. “Ya, kaukah itu? Calon raja?” cibirnya tanpa perasaan.
“Ya. Itu aku.”
“Wah, wah … apa aku harus gembira karena menjadi budak seorang calon Raja?”
“Aku … tidak yakin.” Drake menyugar rambutnya yang hitam dan halus. Jude tidak senang mendapati dirinya dibuat amat tertarik dengan cara Drake mengikat rambut dan menonjolkan garis dahinya yang rupawan.
“Yang pasti, patuhi semua perintahku tadi, dan kau akan aman. Lebih-lebih lagi, aku akan sangat sibuk belakangan ini karena kami para naga tengah mempersiapkan perang perebutan wilayah melawan kaum Griffin.”
Jude mengedip saat Drake menancapkan pandangan dengan sorot mata birunya yang benderang.
“Eh?”
Baik Jude maupun pria tua pemilik toko roti saling bertukar kedipan bingung. Keduanya diam sejenak sebelum kemudian pria tua itulah yang bicara.“B-bagaimana bisa … oh, astaga! Bagaimana bisa aku mengabaikan tanda itu di lehermu! Seumur hidup tak pernah kukira akan melihat tanda itu dengan mata kepalaku sendiri!”Kepanikan pria itu menular cepat pada Jude. Gadis itu meringis dan berkata, “Tanda apa?”Pria tua menunjuk leher Jude dengan jemari bergetar. “Kalung perbudakan!”Disitulah Jude ingat keberadaan kalung di lehernya. “Ah, ini.” Si gadis meraba lehernya. Kalung itu terasa dingin di jemari Jude. Jauh lebih dingin dari terakhir kali Jude ingat. Pikirannya melayang pada Drake dan merasa sangat menyesal karena telah membayangkan hal buruk terjadi pada sang naga biru.“Pergi sana!” Tahu-tahu pria tua itu berteriak. Jude terperanjat kaget.“Apa? T-tapi kenapa?”“Pergi! Aku tidak menerima apapun yang berhubungan dengan naga!”“Tapi, Sir⸻” Jude tak sempat menyelesaikan ucapannya karena
“Situasi sulit macam apa yang telah membuat naga biru tertunduk begitu lemah?” Tetua terkekeh. Ia memetik ujung daun hijau tua di hadapannya, dan memeriksa hal tersebut seolah itu adalah sesuatu paling penting yang harus ia lakukan.“Nyawaku.” Mata biru Drake berkilat muram, sejenak setelah ia mengatakan hal tersebut.Tatapan Tetua jatuh pada pelepah daun yang terkulai di jemarinya. Ia terlihat sedang berpikir keras hingga dahinya yang semula mulus kini berlipat-lipat.“Situasi sulit,” ucap Tetua nyaris tak terdengar. “Sangat sulit, Naga Biru….”***“Ssshhh ….” Dari tempatnya bersembunyi, Jade bisa melihat sosok naga kuning yang merayap berbahaya. Gadis itu gemetaran dari kepala hingga kaki. Desisan Ancalagon memanas di telinganya.Tak ada yang bisa dilakukan Jude kecuali terus bergerak mundur. Punggungnya menabrak deretan jubah besar dan berbulu, beberapa rompi perang dan deretan pakaian pesta aneka warna milik Drake, hingga kemudian Jude sadari Ancalagon tak terlihat lagi.Gadis itu
“Hm … aku bisa mencium baumu, Sayang. Dekat … dekat sekali.” Suara Ancalagon menggeram rendah menyakiti telinga Jude yang berusaha bergerak tanpa suara.Jude memejamkan mata. Ia menunggu Ancalagon yang mengintai di sisi ranjang sedikit menjauh, sebelum kembali bergerak sangat hati-hati.Beruntungnya, tubuh mungil Jude bisa diajak bekerja sama dengan baik. Seprai beludru merah yang melingkupi ranjang menutupinya dengan sempurna. Dan Ancalagon dalam bentuk naganya terlalu besar untuk bisa membungkuk serendah batas seprai.Saat naga itu mengitari sisi lain ranjang, Jude tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan gesit, ia menyelinap ke kaki ranjang yang berbonggol-bonggol, merayap ke sisi lemari dan menyelundup ke balik peti baju zirah.Sialnya, kaki Jude menyenggol helm tempur di dalam peti menyebabkan bunyi kemeretak pelan. Gadis itu mengutuki diri.“Dasar, Bodoh!” erangnya dengan gigi terkatup.“Aha!” Suara Ancalagon terdengar sangat gembira. Dari tempatnya bersembunyi, Jude bisa melihat
Nyatanya, semakin Jude mengabaikan suara itu malah semakin jelas terdengar. Si gadis kembali duduk tegap. Diperhatikannya daun pintu dengan hati berdegup kencang.“Drake?” panggilnya serak. Jude menyesali suaranya yang tercekat. Ia tidak pernah menyukai rasa takut, namun sepertinya takdir senang bermain-main dengan hal-hal menakutkan.“Tenang, Jude, Ancalagon sedang pergi berperang, kan. Tidak ada yang lebih mengerikan dari naga kuning satu itu.” Jude mengusap dada, menenangkan diri.Ia menunggu beberapa saat hingga suara garukan itu menghilang. Lama Jude terdiam dalam gelisah, hingga kemudian ia memberanikan diri untuk pergi memeriksa pintu.Drake sudah menambah pengamanan khusus yang membuat pintu bisa dibuka dari luar hanya oleh sang naga seorang. Tak ada yang bisa membukanya dengan mudah, jika tidak memiliki identitas pemilik kastil. Begitulah yang Drake katakan pada Jude untuk menenangkan si gadis sejak Ancalagon berhasil merangsek masuk.Jude menghampiri pintu, menempelkan telin
“Apa yang Anda inginkan dariku, Tuan?” Jude tersenyum manis walaupun matanya sudah sangat mengantuk.Drake menelusur wajah Jude, turun ke leher dan tubuhnya, hingga kemudian berakhir di kaki.“Aku perlu sedikit penyemangat sebelum pergi berperang,” kata Drake kemudian.Jude berpikir keras. “Apa itu misalnya?”“Hm, sedikit hiburan.” Drake memberi saran.“Hiburan seperti apa?” Kening Jude berkerut bingung. Pasalnya, ia tidak pernah mengenal hiburan sepanjang hidup yang ia habiskan bersama perkakas kebun di ladang gandum.“Kau bisa menari?” Drake memiringkan kepala.Wajah Jude mendadak merah padam. “T-tidak. Kuharap kau tidak memintaku menari di depanmu.”“Kenapa memangnya? Bukankah tadi kau sendiri yang mengajukan diri untuk memenuhi permintaanku?”“Ya, tapi ….”“Nah, menarilah untukku.” Drake bersidekap, siap untuk menyaksikan pertunjukan.Jude bergerak gelisah. “Tarian macam apa? Aku tidak pernah menari sebelum ini.”“Apa saja. Aku hanya ingin sedikit hiburan di sini.”Jude termenung
“Kau benar.” Drake kembali menghadap Jude. Mata birunya menyapu wajah Jude yang kemerahan.“Selama aku memilikimu, kau belum pernah melakukan sesuatu untukku. Alih-alih punya budak, aku jadi seperti punya kucing peliharaan yang selalu merepotkan dan sulit diatur.” Ucapan Drake mengubah roman malu-malu Jude menjadi sebal. Gadis itu cemberut masam.“Lekas selesaikan urusanmu, dan temui aku di ruang makan.” Drake bergegas meninggalkan Jude yang malu sendiri karena perbuatannya.“Yang benar saja! Ancalagon mengejarku seperti orang gila, sementara dia tidak menggubrisku sama sekali.” Jude menatap pintu kamar mandi yang menutup di belakang punggung Drake dengan mulut ternganga.Gadis itu segera merendam tubuh serta rasa malunya ke dalam cairan beraroma bunga dan rumput segar. Menikmati kehangatan yang begitu nyaman di atas luka-lukanya.Jude sangat ingin berendam lebih lama lagi, namun ia ingat perintah Drake untuk berendam hanya tiga puluh menit saja. Maka, Jude memaksa dirinya untuk kelua
Sekali lagi, Jude merasa terseret oleh riak biru mata Drake yang begitu berkilau. Seolah-olah ia tenggelam dalam biru lautan nan menyilaukan mata. Itulah sebabnya Jude terpejam. Mendadak, hatinya jadi hangat.“Benarkah itu? Kau bisa merasakan apa yang aku rasakan?” Suara Drake begitu lembut di telinga Jude.Gadis itu mengangguk. “Dan nyatanya, semua ini tidak mengganggumu, kan?”Drake meringis. “Aku … tidak yakin,” katanya gugup. “Jujur, ini belum pernah terjadi sebelumnya.”Sang naga menatap budaknya kebingungan. “Tidak ada yang bisa meretas ke dalam bathin naga, apapun hubungannya. Tidak antar pasangan, apalagi budak dan tuannya.”Jude cemberut. Gadis itu mengedikkan bahu, dan menepis jemari Drake yang tergantung di atas lukanya. “Ya, mana aku tahu. Kalau kau pikir aku membual, terserah saja. Lagipula, tidak ada untungnya bagiku kau percaya atau tidak. Yang jelas, kau tidak bisa berbohong padaku, Tuan.”Si gadis memberi cengiran jahil. “Aku akan tahu perasaanmu, sekalipun bibir somb
“Jangan ikut campur urusan orang lain, Jude. Pikirkan dirimu sendiri. Bersembunyilah sampai aku menemukanmu.” Suara Drake berdengung di kepala Jude, tumpang tindih dengan erangan dari balik batang pohon mati.“T-tolonglah ….”“Sial!” Jude menjejak tanah kesal, mengerem kakinya yang berlari, dan berbalik arah. Sambil mengutuki diri sendiri, Jude melompat ke balik batang pohon dan terkesiap melihat seorang pemuda sekarat menatapnya merana.“K-kau!” Jude terbelalak menatap budak Rodelline, terluka di wajah dan bahunya. “Apa yang telah terjadi padamu?”“A … aku … d-disiksa ….”Jude mengabaikan rasa melilit di ulu hati. Ia berusaha menahan muntah di dekat budak Rodelline yang akan menambah buruk harinya.Susah payah Jude membantu pemuda itu berdiri. Darah mengucur dari tulang selangkanya.“Kau bisa berdiri?”Budak itu mengangguk gemetar. Jude tahu mereka tak punya pilihan selain berusaha sekeras mungkin untuk tetap bertahan hidup.Mengerahkan sisa tenaga, Jude menghela pemuda itu bangkit d
Jude mengerjap kaget.“Aku ….” Ia kehilangan kata untuk beberapa saat. Pasalnya, Jude merasa gadis Anglo itu benar. Dialah penyebab acara perburuan ini diadakan. Andai saja ia tidak bersikap sok pahlawan, mungkin malam ini dirinya sedang tidur nyenyak di kastil Drake.“Apa yang kau lakukan di pesta tadi … sungguh mengagumkan. Aku merasa gugup duduk di sampingmu, sementara diriku ingin sekali mengajakmu bicara.” Mata gadis itu berbinar-binar mengejutkan Jude.“Kau sungguh pemberani,” pujinya tulus.“Aku tidak ….” Jude mengedip-ngedip. “Sungguh, aku hanya … andai saja kau lihat bagaimana Ancalagon memperlakukan budaknya. Tapi sungguh, aku bukan pemberani seperti yang kau pikirkan. Kalau aku punya sedikit saja keberanian, mungkin, aku tidak akan ada di sini bersamamu.”Gadis itu tertawa. Sebuah t