“Budak yang kabur, eh?” Suara serak dan dingin menggema di dinding berbatu.
Jude mengangkat pandangan. Di hadapannya berdiri seorang wanita tinggi langsing menatap Jude angkuh dari atas dagu yang terangkat.
Jude tidak bisa menebak siapa wanita itu, terlebih lagi saat terdengar derap cepat dari balik punggungnya yang Jude pastikan adalah Ancalagon.
Dia butuh pertolongan!
Hanya dari melihat penampilannya saja, Jude tahu bahwa wanita ini pastilah punya kedudukan tinggi.
Rambutnya sehalus sutera, jatuh menutupi punggung kurus berbalut gaun mewah berwarna emas darah. Semerah bibirnya yang melengkung indah bak permadani mahal.
Rasa terpesona itu hilang sekejap bersama rintihan pilu dari seseorang yang merangkak di dekat kaki jenjang berbalut stiletto hitam runcing yang dikenakan si wanita.
“Astaga.” Jude mendekap mulut. Matanya terbelalak menatap seorang pemuda dengan wajah babak belur, dan bahu berdarah-darah. Pemuda itu diikat di kakinya, dan diseret seperti anjing penjaga. Wajahnya yang tampan mengerut sedih.
“Di sana kau rupanya!” Suara Ancalagon menggelegar memecah kubah langit-langit. Jude terperanjat. Seluruh bulu kuduknya meremang.
Tawa Ancalagon merambat cepat di dinding batu. “Dia budakku, Rodelline,” ucap sang naga pada wanita merah yang tampak tak peduli.
Sekejap saja, Ancalagon tiba di hadapan Jude. “Kemari kau!” Ancalagon meremas lengan Jude, dan menariknya kuat.
Jude berjengit. Ia tahu, tidak akan ada gunanya meminta tolong pada Rodelline. Namun ia berharap akan ada sedikit kelembutan seorang wanita dalam diri naga cantik itu untuk bisa menolongnya.
“Nyonya,” Jude berkata dengan suara gemetar. “Bisakah Anda menolongku? Aku tersesat, dan aku bukan budaknya.”
“Kena kau!” Ancalagon meraih pinggang Jude, dan menariknya mendekat.
“Nyonya, kumohon … tolong ….”
Rodelline mengangkat alis acuh. Ia menyibak rambut merah batanya yang indah, lalu tertawa mengejek.
“Aku tidak ada urusan dengan naga dan budaknya. Nah, ayo, Bodoh, kau tahu apa yang harus kau lakukan!” Wanita itu menendang pemuda yang sudah kepayahan tanpa ampun.
“Y-ya, Nyonya.” Si budak mencicit di bawah kakinya.
Seandainya ia tidak sedang dirisaukan akan nasib sendiri, mungkin Jude sudah menangisi keadaan si pemuda yang kini kembali diseret sambil merintih-rintih oleh Rodelline, sang naga merah.
“Lepaskan aku!” Jude meronta sekuat tenaga. Namun sia-sia. Kekuatan Ancalagon beribu kali lipat dibanding keseluruhan usaha Jude. Ia bahkan tak bisa melonggarkan sedikitpun cengkraman sang naga.
“Akan kuadukan kau pada Drake!”
Tawa Ancalagon semakin meledak. “Oh, coba saja!”
Naga kuning itu membawa Jude kembali ke ruangannya yang megah, dan menutup pintu raksasa di balik punggung mereka kuat-kuat, menyisakan bunyi memekakan telinga.
“Katakan padaku, apa tuanmu yang gagah perkasa itu bisa mengambilmu sekarang?” Ancalagon menatap Jude sambil tertawa mengejek. “Kau milikku sekarang, Budak!”
“Aku tidak sudi!”
“Ha! Ha! Ha! Kami para naga tidak butuh persetujuan kalian, manusia hina!” Ancalagon menjilati bibir seperti binatang buas yang lapar.
“Tolong!” Jude berteriak sekuat tenaga. “Tolong aku, siapapun di luar sana!”
Ancalagon terbahak-bahak. “Berteriaklah sampai kerongkonganmu robek! Tak akan ada yang mendengarmu, Manis. Dinding-dinding ini terlampau tebal untuk bisa meloloskan cicitanmu itu ke luar ruangan.”
“Kumohon ….” Jude benci mendapati dirinya menangis putus asa. Diakuinya, ia sangat ketakutan.
Ancalagon mencengkram tangan Jude yang tidak menyerah memberontak. Semua usaha Jude tidak menghasilkan apa-apa kecuali rasa sakit. Gadis itu merasa seluruh tulangnya remuk dalam cengkraman Ancalagon, dan ketika naga kuning itu menekannya ke lantai dan mulai memanjati tubuhnya, rasa sakit luar biasa meledak dalam diri Jude. Sebuah rasa sakit berbalut amarah yang sangat kontradiktif dengan perasaan takut yang ia rasakan sebelumnya.
“Akhirnya … aku bisa merasakan kelembutan ini ….” Suara Ancalagon menggeram rendah. Ia bernapas dekat sekali dengan kulit leher Jude.
Napas mencekam menguar dari tubuh Ancalagon membuat mata Jude berair. Ia masih ingin membela diri, namun tenaganya habis. Ancalagon nyaris berhasil merobek pakaiannya, ketika mendadak beban berat itu terangkat dari tubuhnya seiring dengan bara amarah memuncak di ubun-ubun Jude.
Pintu raksasa meledak seketika. Menyisakan hujan debu ke lantai marmer tempat Jude terkapar kesakitan.
“Brengsek!” Seseorang berteriak liar.
Jude memejamkan mata saat ledakan lain menggelegar di dinding ruangan.
“Apa yang kau lakukan pada budakku!”
“Drake … tunggu ….”
“Sial!”
Tubuh Ancalagon terlempar ke sudut ruangan hingga menabrak tembok, membuat retakan disana-sini.
“Tidak ada yang boleh menyentuh milikku! Kau tahu itu!”
“Dia … dia yang datang sendiri ke sini.” Ancalagon berusaha bangkit, namun Drake Aiden berdiri gagah di atasnya. Mata biru sang naga hitam berkilat penuh amarah.
Jude terkejut mendapati dirinya sangat marah, sampai rasanya ingin menghabisi siapapun yang membuatnya marah. Rasa marah yang begitu kuat, yang belum pernah Jude rasakan sebelumnya, hingga membuatnya lelah dan jatuh pingsan.
***
“Mereka memakan manusia, Jude. Saat taring naga-naga itu menancap di kulitmu, kau akan memohon agar bisa langsung mati saja. Daripada harus menderita karena nyeri dari racun yang menyayat nadimu ….”
“Tidak.” Jude mendesah gelisah. Mimpi buruk soal naga lagi.
Kepalanya berdenyut gila-gilaan, dan saat ia berusaha membuka matanya, tak ada yang bisa dilihat kecuali sebuah putaran cepat di pelupuk mata hingga membuat perut mual.
Jude bangkit duduk sambil memegangi kepala. Serbuan ingatan kembali membuatnya limbung. Jude bahkan bisa merasakan cengkraman cakar Ancalagon di pinggangnya.
Perlahan, citra ruangan merah yang dikenalnya semakin jelas di pelupuk mata. Jude meringis, tepat ketika sudut matanya menangkap sosok Drake Aiden duduk di tepi ranjang, memandangnya muram.
“Oh, astaga! Kau mengejutkanku!” Jude menyentuh dadanya yang berdebar.
“Oh, ya?” Drake berkata datar tanpa perubahan ekspresi.
“Aku … yah … telah mengalami hal buruk belakangan, kalau kau mau tahu.” Jude memijat pergelangan tangan, tempat Ancalagon menariknya kuat-kuat.
“Ya.” Drake mengangguk dengan rahang mengeras. “Tepat setelah aku memperingatkanmu untuk tidak pergi kemanapun kecuali bersamaku. Apa kau terlalu bebal untuk bisa mengerti perintah sederhana seperti itu?”
Jude membelalak. Ucapan Drake telah menyinggung hatinya. Gadis itu membuka mulut hendak bicara, lalu menutupnya lagi.
“Aku ….” Jude memutar otak mencari kata yang tepat. Namun gagal. Ia sama sekali tidak bisa memutuskan hal apa yang bisa ia katakan pada Drake, untuk sekedar membela diri.
“Aku serius soal ada bahaya di luar sana yang mengintaimu, Jude.” Drake menatap Jude tajam. “Aku pikir kau mengerti.”
“Aku pikir, kau lah yang akan mengerti, Drake. Tidakkah kau lihat situasinya? Aku dijadikan budak oleh naga. Makhluk kejam dan buas dalam legenda. Ketika akhirnya aku punya kesempatan ditinggal sendirian, manusia normal manapun akan memanfaatkannya untuk kabur.” Napas Jude naik-turun saat mengatakannya.
Jiwanya didesak perasaan tak karuan yang berasal entah dari mana. Jude sadar, ada percik rasa empati dan geli, yang tidak ada hubungan dengan kemarahannya.
Kening Jude berkerut-kerut. Ia kewalahan mengurai perasaannya sendiri. Banyak hal asing yang tidak bisa dimengerti sejak ia dibawa ke istana naga, dan Jude berusaha keras untuk memahaminya.
Mendadak, mata si gadis terbelalak lebar. “Astaga, Drake Aiden!”
“Apa?” Drake yang sejak tadi memasang tampang marah, kini terperanjat kaget.
“Kau … kau!”Jude membawa pandangannya ke arah Drake, dan melotot galak.“Kau apakan aku, hah?”“Hah?” Drake malah membeo.“Ancalagon telah merobek pakaianku, dan dia melukai lenganku. Sekarang … sekarang, oh, astaga! Aku sudah berganti pakaian!” Jude merentangkan tangan kaget. Ia menunduk, memandangi dirinya dalam balutan piyama kain linen baru. Luka di bahunya pun sudah dibebat.“Kau kah yang melakukannya?”“Oh, itu.” Mendadak wajah Drake merona. “Aku, yeah, tidak bisa membiarkan lukamu terbuka tanpa perawatan, kan?”“Seharusnya kau tidak boleh melakukannya! Belum pernah ada yang melihat … melihat tubuhku selain diriku sendiri.” Pipi Jude terbakar emosi.Drake mengedik ringan. “Aku tidak bisa membiarkanmu tidur dengan pakaian compang-camping.”“Kau ….” Jude menatap Drake yang balik menatapnya lugu. Mendadak, emosi itu sirna. Bahu Jude merosot lemas.“Kau benar,” katanya kemudian, dengan nada rendah tanpa semangat. “Seharusnya aku berterima kasih padamu.”“Eh.” Drake semakin bingung.
“Buka atau kudobrak pintunya, Jude Smith!” Jude menutup kedua kuping dan menangis. Ia menunggu Ancalagon meledakkan pintu, dan menyongsong akhir hidupnya sambil menghitung mundur. “Tiga ….” “Jude, kau serius?” “Dua ….” Jude terisak semakin keras. “Sa ….” Brak! Pintu ganda keemasan yang menjulang megah, meledak seketika. Jude tidak berani membuka mata. Ia tetap duduk meringkuk di atas ranjang, dan menangis sampai matanya perih. Gadis itu sudah sangat siap jika Ancalagon menyerangnya sekarang. Namun, hal itu tidak kunjung terjadi. Alih-alih mendapat serangan brutal yang biasa dilancarkan Ancalagon, pergerakan lembut di sisi ranjang membuat Jude refleks mengangkat wajah. Wajah teduh Drake menatapnya khawatir. “Apa yang terja⸻” “Drake!” Jude melompat dari tempatnya duduk, dan nyaris menghambur ke pelukan Drake kalau saja ia tak menahan diri tepat waktu. Keduanya bergerak canggung dari jarak setipis helaian rambut. “Maaf, aku … um ….” Jude menjilat bibir gugup, dan berkali-kali
“Apa yang membuatmu berubah pikiran?” Jude balik bertanya. Drake tertawa kecil. “Kau harus belajar untuk menjawab pertanyaan dengan pernyataan, manusia kecil.” Jude cemberut. “Ya, aku memang lapar. Tapi kurasa, aku belum bisa menikmati hidangan yang disajikan di atas paksa dan siksa.” Drake tertawa ringan menanggapi sarkasme Jude. Dengan santai, ia mendului Jude duduk di kursi keemasan berpunggung tinggi, dan membalik piring. “Wah, tuna sirip biru kesukaanku!” Drake mengisi piringnya banyak-banyak, dan mulai makan dengan lahap. Jude memperhatikannya dengan sudut bibir terangkat. “Oh, lihat bagaimana dia begitu menikmati keringat manusia yang diperasnya.” “Jangan terus merutuk begitu. Datang dan makanlah bersamaku, atau akan kugigit kau!” Jude terbelalak ngeri, lalu buru-buru menghampiri Drake dan duduk berhadapan dengannya. “Makanlah,” kata Drake tanpa kehilangan senyuman. Ia selalu senang melihat wajah ketakutan budaknya yang manis. Jude mengambil sepotong kentang rebus, dan
“Agar kau senantiasa tampak tertutup.”Jude tersenyum sangat manis. “Ya, dengan senang hati.” Sesungguhnya ia tidak peduli sekalipun Drake memintanya hadir ke pesta dengan pakaian compang-camping. Jude hanya ingin datang dan melihat dengan mata kepala sendiri kemeriahan pesta dansa yang selama ini hanya ada dalam angan-angan.“Pestanya dimulai jam delapan nanti. Kita masih punya waktu sekitar dua jam. Apa makanan sudah tersedia?”“Ya, tentu.” Jude mengangguk tak sabar. “Kau bisa makan sendiri, sementara aku bersiap-siap, ya.”“Jangan, Jude.” Nada rendah sarat kewaspadaan dari ucapan Drake berhasil menghentikan langkah ceria Jude. “Kau harus menemani tuanmu makan kecuali jika aku memintamu pergi, begitu aturannya.”“Oh, maafkan aku.” Jude membungkuk-bungkuk. “Aku harus banyak bela
Saat Drake membuka pintu utama, angin malam dari lorong koridor berembus meniup rambut Jude ke balik bahu.Bulu kuduk si gadis meremang seketika. Terakhir kali ia pergi ke luar ruangan adalah di hari kala ia mencoba untuk kabur dari Drake.Jude pastikan itu akan jadi percobaan pertama dan terakhirnya, karena apa yang ia temui di luar sana jauh lebih mengerikan dibanding dikurung seorang diri di dalam aula Drake.Keduanya berjalan dalam diam. Hanya suara kelotakan sepatu yang terdengar memantul ke dinding batu sepanjang lorong. Setelah tiba di tikungan akhir menuju aula utama, suara-suara dengungan keramaian menjalar hingga tempat Jude berjalan. Semakin lama semakin jelas.Pencahayaan pun sudah tak lagi didominasi obor-obor. Pantulan api yang bergoyang-goyang di dinding batu berubah menyaru dengan kemerlap cahaya yang jauh lebih terang.Saat keduanya berbelok, nampak oleh Jude naga-naga berbagai jenis memenuhi lorong-lorong menuju aula besar. Gadis itu merinding ketakutan, tapi ia beru
“Hati-hati.” Drake menangkap lengan Jude tepat waktu sebelum si gadis jatuh menyentuh lantai. Kejadian itu menarik perhatian semua orang, tak terkecuali sang raja.“Oh, gaun yang indah, kan, Drake Aiden? Kau pintar memilih seorang budak.” Suara sang raja menggema ke dinding aula, sekalipun pria gagah itu bicara dengan nada tanpa tekanan.Drake tersenyum salah tingkah. “Aku tidak punya banyak persediaan. Dia budak pertamaku.”“Tidak apa-apa.” Raja Aiden tersenyum sumringah. Ia mengibaskan ekor jubahnya, dan duduk tegap di kursi megah ujung meja, menghadap pada kaumnya.“Nah, aku senang kalian bisa menikmati pesta walaupun kenyataannya, pesta ini hanya hiburan sebelum besok kita bermandi darah.” Raja Aiden melempar lelucon, memaksa para naga tertawa tak ingin.“Aku harap, sedikit hiburan bisa melemaskan otot-otot yang menegang, yang sudah ditempa di arena tarung belakangan ini, agar kita semua bisa turun ke medan laga dalam performa terbaik kita.” Raja Aiden memiringkan kepala ke arah p
“Jude Smith!” Drake memperingatkan Jude yang sudah kadung berang. Karena emosi yang begitu meluap-luap Jude jadi tidak bisa mendengar teguran Drake. Alih-alih menahan diri, Jude malah beranjak dari tempatnya duduk dan melangkah berani mengitari meja. Diraihnya lengan budak Ancalagon yang meringkuk di lantai, dan membujuknya agar mau bangkit.Gadis itu menggeleng-geleng ketakutan. Ia tidak mau membuat tuannya lebih marah lagi. Karena kasihan, Jude melepas selendang gaun dari bahunya, lalu menyelimuti budak Ancalagon yang tampak mengenaskan.Sama terkejut dengan yang lain, Ancalagon yang sempat tak bisa berkata-kata, kini telah kembali mendapatkan kesadarannya.Pertunjukkan heroik Jude telah mengusir rasa mabuk yang sempat membuat Ancalagon linglung. Sambil bertepuk tangan dengan gaya dibuat-buat, Ancalagon berbicara keras-keras hingga seluruh aula bisa mendengarnya.“Pertentangan seo
“Itu ….” Drake menarik-narik daun telinga gugup. “Sesuatu yang akan disiapkan pelayan istana, segera.”Tak lama, gaun yang dimaksudkan tiba. Seorang wanita kusut masai membawa peti kecil dan memberikannya pada Jude. Ia melirik sekilas ke arah Jude dengan mata sendu tak bercahaya, seolah mengasihani gadis molek di hadapannya itu.“Pakai semua itu, beberapa diantaranya akan melindungimu dari … um … goresan.” Drake tampak kacau. Ia berjalan hilir mudik di aula kastilnya, sambil menunggu Jude membongkar keseluruhan isi peti.“Apa ini?” Jude menarik keluar sebuah gaun mini berwarna kuning cerah yang seolah bisa bersinar dalam kegelapan.“Itulah gaun buruan.” Drake sendiri merasa geli melihatnya. Selama ini ia tidak pernah ikut serta setiap diadakannya acara tersebut. Baginya, berlomba mengejar para budak yang berlarian di seb