Kehidupan Aisyah benar-benar terasa tenang. Dimas Fahri yang semula mencibir karena iri padanya, mulai menerima dan memahami alasan wanita cantik tersebut. Shahira yang benar-benar memutuskan berhenti dari dunia entertainer memilih membantu Aisyah membuat rancangan berbagai pakaian muslim.
Bahkan Shahira memutuskan membeli sebuah ruko untuk membuka butik pakaian muslim dan Aisyah lah yang menjadi perancang busananya. Tentu saja, wanita itu lebih bersemangat. Hingga tak terasa masa iddahnya pun selesai dan rencana pernikahannya dengan Haidar akan terlaksana.
Dokter tampan itu sudah merencanakan semuanya berjalan dengan lancar. Hingga di malam sebelum acara pernikahan mereka Zalimar mendatangi Haidar. Untuk pertama kalinya lelaki itu mendekati Zalimar dengan wajah penuh penyesalan yang sungguh-sungguh.
Zalimar m
“Siapa yang bertamu, Aisyah?”Pertanyaan dari Rahma, mengejutkan menantunya. Aisyah yang baru saja menutup pintu langsung menunduk, tak berani menatap wajah mertuanya. Tangannya terlihat gemetar.Aisyah, wanita itu sudah berusaha menutup pintu sepelan mungkin agar tak mengganggu mertuanya. Bukan mengganggu, tetapi menghindari Rahma. Niatnya, setelah menutup pintu akan berjalan cepat menuju kamarnya, menyembunyikan bungkusan yang berada di tangannya.“Kurir, Umi,” jawab Aisyah pelan. Ia tak mungkin berbohong. Rahma sudah melihat bungkusan berukuran sedang pada tangannya. Benar dugaan Aisyah. Mertuanya langsung memasang wajah tak suka saat ia memberanikan diri menatap wajah Rahma.“Kamu beli paket apa?” tanya Rahma ketus.“Mm ... beli pembalut, Umi. Kebetulan lagi ada diskon besar. Ais pikir lumayan untuk berhemat, lagi pula gratis ongkir,” jawab Aisyah dengan nada was-was. Dalam hatinya berharap mertuanya menerima alasannya.Sayangnya, Rahma tak menerima alasan menantunya itu. Ia maki
Bab 2Wanita berparas cantik tertutup kain hitam yang menutupi kepala serta mulut dan hidungnya itu segera menghapus jejak air matanya. Ia menghela napas panjang seraya memejamkan matanya. Aisyah lantas melihat pantulan dirinya di cermin seraya tersenyum menyemangati diri sendiri.“Semangat, Aisyah!” ucapnya.Aisyah lantas keluar dari kamar dan kembali membantu Rahma menjamu para tamu. Suasana yang tidak mengenakkan tadi kini berkurang secara berangsur-angsur berkat senyuman dan keramahan Aisyah. Dalam benak wanita bercadar itu bersyukur bahwa mereka semua tidak mengungkit lagi mengenai masalah tadi hingga waktu pengajian dimulai.Waktu demi waktu berlalu, matahari yang awalnya menyinari tepat di atas atap rumah kini menurun menghiasi langit cakrawala di sore hari itu. Acara pengajian yang diadakan oleh Rahma pun sudah selesai. Hingga akhirnya tugas Aisyah membereskan ruang tamu.Aisyah mengumpulkan piring dan gelas kotor, kemudian membawanya ke wastafel untuk dicuci olehnya. Dengan t
Bab 3Suara percikan air dari arah kamar mandi terdengar pada indera pendengaran Aisyah. Ia menatap gelapnya langit yang ditutupi oleh awan dari jendela kamarnya. Wanita itu terdiam, mencoba untuk mencari satu bintang yang terlihat. Namun, tak satu pun bintang yang menghiasi langit malam itu.“Seperti menggambarkan suasana hatiku,” ucapnya pelan.Masih memerhatikan langit, Aisyah tersentak mendengar suara pintu kamarnya diketuk diiringi dengan suara Rahma yang memanggil Wahid. Mendengar hal itu, ia segera membuka pintunya. Senyuman ramah Aisyah mengembang untuk mertuanya, walaupun tahu tak akan terbalas.“Di mana suamimu?” tanya Rahma singkat.“Mas Wahid lagi di kamar mandi. Ada apa, ya, Umi? Nanti Aisyah sampaikan pesan Umi ke Mas Wahid,” jawab Aisyah santun.“Kyai Reza dan anaknya datang bertamu. Mereka berdua ingin bertemu dengan Wahid. Sampaikan pada suamimu, ya!” Rahma melenggang pergi setelah menyampaikan kedatangan tamu di rumah mereka.Setelah mertuanya tak terlihat, Aisyah se
“Itu semua fitnah, Dek!” jawab Wahid yakin dengan nada lantang. “Kamu terus menyangkal, Mas?” celetuk Nurul dengan nada parau. Suasana makin memanas. Nurul menatap Wahid dengan tatapan nanar dan menahan emosi. Hati Aisyah terasa ditusuk ratusan duri. “Yang diucapkan Mas Wahid memang benar,” seru Aisyah lantang dan yakin, hingga seluruh mata tertuju padanya. “Kenapa kamu begitu yakin, Aisyah? Apa kamu begitu yakin kalau suamimu tidak berbuat nakal di luar rumah? Apa kamu punya bukti?” cecar Sarah, istrinya kyai Reza. Oksigen di dalam tubuh Aisyah serasa berkurang. Napasnya sesak dan tubuhnya melemas. Ia lalu menoleh pada suaminya dan meminta membantunya memberi penjelasan, tetapi Wahid hanya bisa diam. Aisyah bingung harus menjawab apa agar mereka yakin kalau suaminya infertilitas. “Karena sampai sekarang saya juga belum hamil, jadi tidak mungkin Mas Wahid menghamili wanita lain,” jawabnya dengan nada lemas. “Itu karena kamu mandul, Aisyah!” celetuk Rahma seraya menunjuk menantu
“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu. Mohon maaf jika kedatangan saya dan keluarga mengganggu waktu istirahat Pak Ibrahim,” ucap kyai Reza seraya bangkit dari duduknya. “Ah, jangan bicara seperti itu, Kyai Reza! Justru kalau ada masalah, lebih baik dibicarakan baik-baik agar ada solusinya,” sahut Ibrahim ikut bangkit berdiri. Ibrahim bahkan terlihat memberikan senyuman ramah yang dipaksakan sebelum menjabat tangan kyai Reza. Sementara Rahma langsung memeluk Nurul. Entah apa yang sedang diperbuatnya, yang jelas ia memeluk gadis itu lembut. Kemudian ia memeluk Sarah, ibunya Nurul. “Tolong maafkan kesalahan Wahid, Bu. Saya akan pastikan anak saya bertanggung jawab atas kesalahannya,” ucap Rahma seraya melepaskan pelukannya. Kemudian ia berpindah pada Nurul dan menggenggam lembut gadis itu. “Sabar ya, Nurul. Besok umi akan datang dengan Wahid!” “Terima kasih, Umi,” sahut Nurul tersenyum tipis. Aisyah yang sedari tadi terdiam merasakan lemas pada kedua kakinya, tak kuasa mendengar p
Aisyah merasa tercekik saat mendengar ucapan ibu mertuanya. Kabar baik katanya? Wanita itu hanya bisa mengatur napasnya agar ia bisa bersuara.“Benar, itu kabar baik. Mas Wahid bisa segera punya anak,” celetuk Aisyah pelan.“Dek!” panggil Wahid seraya meraih tangannya.Jujur saja, Aisyah ingin menepis tangan suaminya. Namun, ia menahan dirinya di depan kedua orang tua suaminya. Mereka pasti akan menyerangnya jika tahu dirinya bersikap kasar pada anak mertuanya.“Aisyah, aku tahu kamu pasti sedih karena harus menerima kenyataan ini, tapi—““Aku tahu, Kak Zali! Bukankah aku tidak berkata menentangnya,” sahut Aisyah memotong ucapan Zalimar. Aisyah bahkan tersenyum kecut padanya.Wanita itu lalu memindai wajah mereka yang tiba-tiba terdiam. “Jika tidak ada yang mau dibahas lagi, aku mau istirahat?” tanya Aisyah mempertahankan nada sopannya.“Tunggu sebentar, Aisyah! Kami belum selesai,” pinta Ibrahim dengan nada canggung.Aisyah pun urung bangkit dari duduknya. Walaupun hatinya sudah berg
“Dek, kamu—““Apa? Kamu mau berkata aku keterlaluan seperti yang abi ungkapkan saat di depan tadi?” potong Aisyah dengan tatapan nanar. “Aku masih bisa menahan hinaan mandul untukmu, tetapi kamu mengkhianatiku, Mas. Entah benih siapa di dalam kandungan Nurul? Yang jelas kamu sudah menduakan aku, Mas,” ungkapnya.Air mata Aisyah yang sebelumnya mengering mendadak mengalir deras melintasi kedua pipinya. Wahid hanya bisa menundukkan wajahnya. Air mata penyesalannya pun menetes.“Maafkan aku, Dek. Mas bersalah. Tak tahu setan apa yang merasukiku, hingga aku sebodoh ini dan menyakitimu,” sesal Wahid seraya menetap penuh ampun pada istrinya. “Tolong maafkan aku, Dek!”“Aku bisa saja memaafkan kamu, Mas, te
“Insya Allah, Dek. Mas, pasti akan berlaku adil pada kalian,” ucapan Wahid terdengar meyakinkan, hingga beberapa orang yang ada di sana mengukir senyuman bangga dan dukungan.“Mbak Aisyah! A—aku ...,” kalimat Nurul terhenti dan gagap, hingga ia memilih menundukkan wajahnya tak berani membalas tatapan Aisyah.Aisyah lantas meraih tangan wanita yang sudah resmi menjadi istri suaminya tersebut. Tinggi mereka tak jauh berbeda, sehingga ia tak perlu menengadahkan pandangannya. Ia hanya pura-pura berani di hadapan semua orang.“Tak usah sungkan! Kini kamu berhak atas suamiku juga. Aku harap kita bisa akur!” ujar Aisyah sesantun mungkin.Tanpa diduga Nurul justru memeluk Aisyah erat. Ia dapat merasakan wanita itu menangis da