“Itu semua fitnah, Dek!” jawab Wahid yakin dengan nada lantang.
“Kamu terus menyangkal, Mas?” celetuk Nurul dengan nada parau.Suasana makin memanas. Nurul menatap Wahid dengan tatapan nanar dan menahan emosi. Hati Aisyah terasa ditusuk ratusan duri.“Yang diucapkan Mas Wahid memang benar,” seru Aisyah lantang dan yakin, hingga seluruh mata tertuju padanya.“Kenapa kamu begitu yakin, Aisyah? Apa kamu begitu yakin kalau suamimu tidak berbuat nakal di luar rumah? Apa kamu punya bukti?” cecar Sarah, istrinya kyai Reza.Oksigen di dalam tubuh Aisyah serasa berkurang. Napasnya sesak dan tubuhnya melemas. Ia lalu menoleh pada suaminya dan meminta membantunya memberi penjelasan, tetapi Wahid hanya bisa diam.Aisyah bingung harus menjawab apa agar mereka yakin kalau suaminya infertilitas. “Karena sampai sekarang saya juga belum hamil, jadi tidak mungkin Mas Wahid menghamili wanita lain,” jawabnya dengan nada lemas.“Itu karena kamu mandul, Aisyah!” celetuk Rahma seraya menunjuk menantunya. “Selama ini Umi diam yah, tapi perkataanmu tadi seolah menyudutkan kalau Wahid yang mandul.”“Aku setuju dengan Umi. Seharusnya kamu bercermin dan sadar diri, Aisyah! Kamu tidak bisa memberikan keturunan, jadi wajar saja jika Wahid mencari wanita lain. Untuk apa mempertahankan wanita mandul?” seru Zalimar mendukung ucapan Rahma.Kedua bola mata Wahid langsung membulat sempurna mendengar ibu dan kakaknya menghina istrinya. “Umi, Kak Zalimar! Hati-hati dengan perkataan kalian!” pekiknya kesal.Air mata Aisyah langsung mengalir deras. Ia sungguh tak menyangka mertua dan iparnya justru menyerangnya, padahal ia tengah memperjuangkan suaminya. Wahid lantas mengelus punggungnya.“Tenang, Dek! Kita bisa bicarakan ini baik-baik,” bujuk Wahid seraya terus mengusap punggungnya dan menggenggam tangannya erat.Lelaki dengan jambang tipis itu lalu menoleh ke arah depannya tanpa melepaskan genggaman tangannya dari istrinya. “Nurul, apa yang membuatmu yakin kalau saya yang menghamilimu?” tanyanya mencoba setenang mungkin.“Munafik kamu, Mas!” cibir Nurul dengan tatapan berapi-api. “Kamu lupa saat bulan lalu kamu mengantarku ke Dinas kabupaten dan pulang kemalaman? Sejak saat itu kamu diam-diam mendekatiku.”Wahid terdiam dan mematung. Aisyah menatapnya bingung dan cemas. Ada sirat kecemasan yang ia lihat dari wajah suaminya, hingga air matanya langsung terhenti.“Mas, apa maksud Nurul bicara seperti itu?” tanya Aisyah curiga.“Tapi, saya hanya mendekatimu hanya sebatas sama-sama pengajar, tidak lebih,” jawab Wahid sedikit bergetar.Nurul kembali mencibir. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menggulir layarnya dengan gerakan cepat. Kemudian ia menyodorkannya pada hadapan Aisyah.“Lalu apa kamu bisa jelaskan isi pesan itu pada istrimu?” ucapnya seraya menatap tajam wanita bercadar di hadapannya.Tangan Aisyah terlepas dari genggaman Wahid. Ia langsung meraih ponsel Nurul yang berada tepat di hadapannya. Aisyah mempertahankan kesadarannya dan membaca secara perlahan percakapan pesannya.Percakapan mesra yang ditampilkan layar ponselnya Nurul langsung mengundang derasnya air matanya. Tangannya lalu menekan nomor pengirim pesan di sana, memastikan nomor suaminya. Tangan Wahid tiba-tiba meraih lengannya mencoba menarik ponsel tersebut.“Dek, Mas bisa jelaskan! Ini tidak seperti dugaanmu, Dek!” ucap Wahid dengan nada cemas.Aisyah terdiam dan tubuhnya terasa membeku, tetapi ia merasakan tubuhnya panas seperti terbakar. Ponsel di tangannya terjatuh tanpa disadarinya. Ingatannya tiba-tiba membawanya mundur pada beberapa kejanggalan yang sempat membuatnya berpikir buruk.Suaminya yang lebih asik dengan ponselnya. Aisyah juga seringnya memergoki Wahid tengah tersenyum pada layar ponselnya. Namun, suaminya pandai beralasan hingga ia selalu percaya.“Asal kalian tahu saja, Nurul itu gadis baik-baik! Putri saya tak mungkin berbuat keji," ucap kyai Reza membuyarkan ingatan Aisyah. "Sejujurnya, saya kecewa karena saya begitu menghargai Nak Wahid sebagai pengajar di pondok pesantren yang saya miliki. Tak disangka kamu berani merusak putri saya,” tambahnya dengan nada penuh amarah.Hati Aisyah mencibir. Andai saja ia bisa membuktikan kalau ucapan kyai Reza adalah bohong. Atau setidaknya ia punya selembar foto yang menunjukkan Nurul sering keluar bersama kekasihnya di luar desa, ia pasti bisa memperjuangkan suaminya. Akan tetapi, bukti pesan yang ditunjukkan gadis itu seolah membenarkan tuduhan tersebut.Mungkin saja jika suaminya tak mengalami infertil, pasti Wahid benar-benar menghamili Nurul. Dada Aisyah terasa semakin sesak. Ia kesulitan bernapas.“Sa--saya ingin ke kamar mandi dulu,” ucap Aisyah mengakhiri pikirannya.Tanpa menunggu persetujuan dari suaminya atau mereka yang ada di sana, wanita itu langsung bangkit. Tatap matanya terasa kosong, hingga ia tak bisa berjalan dengan benar. Aisyah limpung, hingga pot kaca di sudut dinding menuju ruang tengah ditabraknya. Prang!“Maafkan saya ... saya tidak sengaja,” ucap Aisyah tak berdaya seraya membawa tubuhnya turun untuk mengambil pecahan pot kaca tersebut.Sayangnya, pandangan matanya kabur karena berembun, pecahan kaca itu justru melukai tangannya. Akan tetapi, wanita bercadar itu tak merasakan rasa perih atau sakit pada lukanya. Wahid tak tinggal diam, ia langsung menghampirinya.“Dek, kamu terluka?” tanyanya seraya meraih tangan istrinya yang sudah berlumuran darah.Aisyah menepis tangan suaminya. Entah kenapa ia merasa jijik pada suaminya. Dadanya makin sesak dan embun pada matanya sudah pecah, tetapi tetap saja pandangan matanya terasa kosong.“Sudah biarkan saja, Wahid! Istrimu hanya perlu menenangkan diri saja. Kamu tetap di sini, Wahid!” seru Rahma membuat tatapan kosongnya Aisyah kembali berembun dan langsung pecah.“Sepertinya memang anak saya yang salah, Kyai. Saya akan pastikan Wahid bertanggung jawab atas kesalahannya. Kyai Reza tak perlu khawatir! Besok pagi saya akan datang dengan Wahid untuk menikahi Nurul.”“Abi!” pekik Wahid seraya bangkit. “Saya tidak akan menikahi Nurul!” tegasnya.Wajah kyai Reza tampak murka. Nurul bahkan langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Wahid yang masih berada di samping Aisyah. Sementara wanita bercadar itu merasakan seluruh tubuhnya melemas, hingga ia tak kuasa untuk mengangkat tubuhnya menjauh dari sana.Nurul melemparkan beberapa lembar foto pada tubuh Wahid. Tentu saja lembaran itu langsung beterbangan dan sebagian jatuh di hadapan Aisyah. Tubuh Aisyah makin melemas. Foto yang menunjukkan mereka berpelukan hangat.“Kamu bisa jelaskan pada istri dan keluargamu tentang foto-foto itu? Kamu sudah menghancurkan hidupku, dan aku hanya meminta pertanggung jawaban kamu saja, Mas,” ucap Nurul lirih diikuti air matanya.Kemudian Nurul mendekati Aisyah dan menurunkan tubuhnya menghadap wanita itu. Ia bahkan meraih tangan Aisyah dengan gerakan cepat, lalu menempelkannya pada perutnya.“Maafkan aku jika aku egois, Mbak! Di dalam perutku ini sudah tertanam benih suamimu. Kita sama-sama seorang wanita, jadi aku mohon mengertilah!” lirih Nurul dengan wajah memelas.Tiba-tiba Rahma muncul dan meraih tubuh Nurul . “Sudah cukup, Nak! Tak pantas kamu memohon pada wanita mandul!” ucapnya seraya melirik jijik pada Aisyah yang bermandikan air mata.“Dengarkan Umi, Nak! Selama ini umi memimpikan seorang cucu dari Wahid, akhirnya kamu mewujudkan impian Umi. Umi sangat bahagia sekali,” ucap Rahma seraya menghapus air mata Nurul dan diikuti senyuman bahagianya. “Jangan cemas, Umi akan pastikan Wahid menikahimu!”“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu. Mohon maaf jika kedatangan saya dan keluarga mengganggu waktu istirahat Pak Ibrahim,” ucap kyai Reza seraya bangkit dari duduknya. “Ah, jangan bicara seperti itu, Kyai Reza! Justru kalau ada masalah, lebih baik dibicarakan baik-baik agar ada solusinya,” sahut Ibrahim ikut bangkit berdiri. Ibrahim bahkan terlihat memberikan senyuman ramah yang dipaksakan sebelum menjabat tangan kyai Reza. Sementara Rahma langsung memeluk Nurul. Entah apa yang sedang diperbuatnya, yang jelas ia memeluk gadis itu lembut. Kemudian ia memeluk Sarah, ibunya Nurul. “Tolong maafkan kesalahan Wahid, Bu. Saya akan pastikan anak saya bertanggung jawab atas kesalahannya,” ucap Rahma seraya melepaskan pelukannya. Kemudian ia berpindah pada Nurul dan menggenggam lembut gadis itu. “Sabar ya, Nurul. Besok umi akan datang dengan Wahid!” “Terima kasih, Umi,” sahut Nurul tersenyum tipis. Aisyah yang sedari tadi terdiam merasakan lemas pada kedua kakinya, tak kuasa mendengar p
Aisyah merasa tercekik saat mendengar ucapan ibu mertuanya. Kabar baik katanya? Wanita itu hanya bisa mengatur napasnya agar ia bisa bersuara.“Benar, itu kabar baik. Mas Wahid bisa segera punya anak,” celetuk Aisyah pelan.“Dek!” panggil Wahid seraya meraih tangannya.Jujur saja, Aisyah ingin menepis tangan suaminya. Namun, ia menahan dirinya di depan kedua orang tua suaminya. Mereka pasti akan menyerangnya jika tahu dirinya bersikap kasar pada anak mertuanya.“Aisyah, aku tahu kamu pasti sedih karena harus menerima kenyataan ini, tapi—““Aku tahu, Kak Zali! Bukankah aku tidak berkata menentangnya,” sahut Aisyah memotong ucapan Zalimar. Aisyah bahkan tersenyum kecut padanya.Wanita itu lalu memindai wajah mereka yang tiba-tiba terdiam. “Jika tidak ada yang mau dibahas lagi, aku mau istirahat?” tanya Aisyah mempertahankan nada sopannya.“Tunggu sebentar, Aisyah! Kami belum selesai,” pinta Ibrahim dengan nada canggung.Aisyah pun urung bangkit dari duduknya. Walaupun hatinya sudah berg
“Dek, kamu—““Apa? Kamu mau berkata aku keterlaluan seperti yang abi ungkapkan saat di depan tadi?” potong Aisyah dengan tatapan nanar. “Aku masih bisa menahan hinaan mandul untukmu, tetapi kamu mengkhianatiku, Mas. Entah benih siapa di dalam kandungan Nurul? Yang jelas kamu sudah menduakan aku, Mas,” ungkapnya.Air mata Aisyah yang sebelumnya mengering mendadak mengalir deras melintasi kedua pipinya. Wahid hanya bisa menundukkan wajahnya. Air mata penyesalannya pun menetes.“Maafkan aku, Dek. Mas bersalah. Tak tahu setan apa yang merasukiku, hingga aku sebodoh ini dan menyakitimu,” sesal Wahid seraya menetap penuh ampun pada istrinya. “Tolong maafkan aku, Dek!”“Aku bisa saja memaafkan kamu, Mas, te
“Insya Allah, Dek. Mas, pasti akan berlaku adil pada kalian,” ucapan Wahid terdengar meyakinkan, hingga beberapa orang yang ada di sana mengukir senyuman bangga dan dukungan.“Mbak Aisyah! A—aku ...,” kalimat Nurul terhenti dan gagap, hingga ia memilih menundukkan wajahnya tak berani membalas tatapan Aisyah.Aisyah lantas meraih tangan wanita yang sudah resmi menjadi istri suaminya tersebut. Tinggi mereka tak jauh berbeda, sehingga ia tak perlu menengadahkan pandangannya. Ia hanya pura-pura berani di hadapan semua orang.“Tak usah sungkan! Kini kamu berhak atas suamiku juga. Aku harap kita bisa akur!” ujar Aisyah sesantun mungkin.Tanpa diduga Nurul justru memeluk Aisyah erat. Ia dapat merasakan wanita itu menangis da
“Aku langsung saja, ya. Jika kamu dan suami memutuskan untuk program hamil, aku selalu menyarankan agar istri dan suaminya itu datang! Atur waktu agar selalu bisa menemuiku berdua karena untuk bisa hamil harus berjuang bersama bukan hanya istri saja,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya. Dokter tampan itu dapat melihat garis kegelisahan Aisyah. Tentu saja wanita bercadar itu menyimaknya. Ia tak menyela sahabatnya yang kini tengah memberikan nasehat tentang keluhannya. “Aku tahu kegelisahan seorang istri yang sudah lama menikah dan tak kunjung hamil. Apalagi jika mereka mendapatkan tuntutan dari mertua, saudara dan keluarga untuk cepat hamil. Sayangnya mereka selalu menyudutkan seorang istri dan lebih parahnya kata keramat yang paling menyakitkan selalu terlontar pada seorang istri,” Haidar menjeda penjelasannya. Ia menatap ekspresi Aisyah yang tampak tersentak. “Mandul!” sambung Aisyah mengerti penjelasan terakhirnya Haidar. Lelaki di hadapannya mengangguk. “Perlu kamu keta
“Kenapa kamu izinin Aisyah pulang?” geram Rahma pada putranya.“Biarkan Aisyah menenangkan dirinya, Umi!” jawab Wahid tanpa menoleh pada ibunya.Rahma hampir tersentak. Ia menatap wajah Wahid yang tengah menuangkan gula pada cangkir tehnya. Wanita paruh baya itu berdecak kesal pada putranya.“Menenangkan pikiran? Memangnya Anak itu punya pikiran?” celetuk Rahma sinis.Wahid refleks beristighfar. “Umi, jangan keterlaluan! Seharusnya Umi sebagai seorang istri bisa memahami perasaan Aisyah saat ini,” ucapnya menahan dirinya agar tak meninggikan suaranya pada ibunya.“Kenapa Umi yang harus memahami perasaannya, Aisyah aja nggak mau memahami perasaan Umi,” sahut Rahma tak
Aisyah tak punya pilihan selain menuruti tawaran Haidar. Ia tak ingin membuat keributan karena dokter tampan itu enggan bergerak, padahal mobil di belakangnya terus membunyikan klakson isyarat untuk maju dan keluar dari rumah sakit. Haidar tersenyum puas dan lega.“Gitu, dong!” ucap Haidar setelah memastikan Aisyah memasang sabuk pengaman pada tubuhnya.“Kamu tuh nggak berubah ya, Dar, suka maksa!” protes Aisyah setelah Haidar melajukan mobilnya.Sayangnya dokter tampan itu hanya tertawa kecil. Sungguh, ia tiba-tiba rindu dengan raut wajah sahabatnya saat merajuk ketus seperti saat ini. “Kamu itu kalau nggak dipaksa, nggak akan jalan. Padahal aku nawarin kebaikan, loh,” cicitnya.“Iya, makasih, tapi bukannya kamu sedang buru-buru?” tanya Aisyah mencoba untuk tak canggung.Haidar menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada laju mobilnya. Tiba-tiba, ia teringat akan kejadian di ruang kerjanya. Aisyah langsung berpamitan tanpa menunggu persetujuannya saat ia menerima telepon.Benar,
“Tapi, Umi—“ ucapan Aisyah terpotong seiring sambungan teleponnya yang terputus sebelah oleh Rahma.Aisyah menghela napas berat nan panjang. Ia tahu hal tersebut menandakan mertuanya marah besar. Namun, apa yang bisa dilakukan Aisyah saat ini?Sejujurnya, ia bisa saja mengabaikan kemarahan Rahma, bukankah suaminya sudah memberinya izin. Aisyah tak perlu mengabdi pada mertua, ‘kan? Tak ada kewajiban, apalagi Wahid sangat mengerti keadaannya dan tak pernah menuntut dirinya untuk memenuhi semua perintah Rahma.Akan tetapi, nalurinya sebagai istri merasa dirinya perlu membantu dan menggantikan tugas suaminya yang tetap mengabdi pada ibu mertuanya. Walaupun semua pengorbanannya tak pernah terlihat di mata Rahma. Ia masih berharap suatu hari Rahma bisa melihat ketulusannya sebagai seorang menantu yang mengabdi pada mertuanya.Sesak sekali rasanya dada Aisyah, hingga tak terasa air matanya menetes. Namun, suara dehaman kecil Haidar langsung menyadarkannya. Hampir saja Aisyah lupa di mana ia