Bab 3
Suara percikan air dari arah kamar mandi terdengar pada indera pendengaran Aisyah. Ia menatap gelapnya langit yang ditutupi oleh awan dari jendela kamarnya. Wanita itu terdiam, mencoba untuk mencari satu bintang yang terlihat. Namun, tak satu pun bintang yang menghiasi langit malam itu. “Seperti menggambarkan suasana hatiku,” ucapnya pelan. Masih memerhatikan langit, Aisyah tersentak mendengar suara pintu kamarnya diketuk diiringi dengan suara Rahma yang memanggil Wahid. Mendengar hal itu, ia segera membuka pintunya. Senyuman ramah Aisyah mengembang untuk mertuanya, walaupun tahu tak akan terbalas. “Di mana suamimu?” tanya Rahma singkat. “Mas Wahid lagi di kamar mandi. Ada apa, ya, Umi? Nanti Aisyah sampaikan pesan Umi ke Mas Wahid,” jawab Aisyah santun. “Kyai Reza dan anaknya datang bertamu. Mereka berdua ingin bertemu dengan Wahid. Sampaikan pada suamimu, ya!” Rahma melenggang pergi setelah menyampaikan kedatangan tamu di rumah mereka. Setelah mertuanya tak terlihat, Aisyah segera kembali masuk ke dalam kamar. Namun begitu dirinya masuk, ia dikejutkan dengan kehadiran Wahid yang sudah berada di luar kamar mandi. Sang suami yang heran dengan reaksi istrinya itu pun segera menghampirinya. “Kenapa kamu kaget liat aku, Dek?” tanya Wahid seraya membelai pipi Aisyah. Aisyah menggeleng pelan. “Aku cuman kaget karena Mas tiba-tiba udah keluar kamar mandi.” Wanita cantik itu merentangkan kedua tangannya, kemudian memeluk suaminya. Wahid yang melihat Aisyah seperti itu hanya terkekeh pelan. Tangannya lantas tergerak mengelus kepala istrinya itu. “Lucunya,” ucap wahid yang kemudian mengecup kepala Aisyah. “Mas, tadi Umi bilang, Kyai Reza datang bertamu dengan anaknya, dan mereka berdua mau bertemu dengan Mas Wahid.” Aisyah berkata seraya merasakan wangi tubuh suaminya. Wahid terdiam sejenak. Memikirkan mengapa mereka berdua bertamu malam-malam dan ingin bertemu dengannya? Namun, pemikiran itu segera ia tepis, toh mereka akan bertemu. “Kamu juga ikut saja, Dek,” pinta Wahid diikuti senyuman hangat. Dijawab dengan anggukan, Aisyah lantas melepaskan pelukannya. Ia meraih jilbabnya beserta cadar yang sebelumnya ia gunakan. Tak lupa, Aisyah juga membantu merapikan gulungan sarung suaminya. Wanita itu senang melakukan hal itu dengan memanjakan suaminya selain urusan di atas ranjang. Setelah mereka berdua selesai bersiap, keduanya lantas pergi ke ruang tamu. Di sana tak hanya ada kyai Reza dan anaknya, melainkan istri kyai Reza pun turut serta bertemu dengan Wahid. Sayangnya, bukan suasa hangat yang tergambar di antara para tamu dan kedua mertua Aisyah, melainkan ketegangan yang mendominasi suasana. Wajahnya tiba-tiba sedikit cemas melihat wajah tegang yang tersirat dari pada wajah mereka semua yang ada di sana. Namun, ia memilih tenang dan mengikuti ajakan suaminya yang duduk di sebelahnya. Entah kenapa, wanita bercadar itu merasa kalau ia dan suaminya seperti hendak disidang. “Hm, maafkan saya kalau sudah membuat Pak Kyai dan keluarga menunggu. Saya tidak tahu kalau Pak Kyai akan datang bertamu,” ucap Wahid berbasa-basi memecahkan suasana tegang di ruang tamu. Lelaki tua di hadapan mereka yang memakai sorban putih, jambang dan janggut panjang yang sudah memutih memenuhi wajahnya menyimpulkan senyuman tipis nan mencurigakan. Ia adalah Kyai Reza, pemilik pondok pesantren tempat Wahid mengajar. Kemudian ia melirik pada gadis cantik di sampingnya yang memakai hijab lebar berwarna hijau tua. “Sepertinya saya akan langsung saja, Nak Wahid. Saya tak ingin berbasa-basi lagi karena sudah malam juga,” sahut Kyai Reza dengan nada berat. “Kedatangan saya ke mari untuk meminta pertanggung jawaban Nak Wahid yang sudah menghamili anak saya, Nurul.” Aisyah tersentak. Ucapan dari Kyai Reza sukses membuatnya refleks membulatkan kedua bola matanya. Jantungnya berdegup dengan kencang seiring keheningan menyeruak di antara mereka. Aisyah berharap apa yang dikatakan oleh kyai Reza tidaklah benar. Bahkan ia berpikir bahwa suaminya itu tidak mungkin sampai berbuat zina dengan wanita lain. “I–itu tidak benar! Tidak mungkin Mas Wahid menghamili Nurul, Pak Kyai.” Aisyah mencoba memberi pembelaan untuk suaminya. “Saya datang kemari bukannya untuk mengarang cerita, saya bukan asal menuduh!” sentak Kyai Reza dengan tatapan tak terima. “Kami datang pun dengan bukti Wahid menghamili Nurul!” Aisyah menatap Wahid yang berada di sampingnya. Suaminya itu tidak memberikan tanggapan apa pun, ia malah terdiam seraya kepalanya tertunduk dengan wajah bingung. Melihat itu seketika tangan Aisyah bergetar, dan matanya pun mulai memanas. Apa yang salah? Mengapa Wahid sampai mendapatkan tuduhan keji seperti itu? Kalau memang ucapan kyai Reza benar, kenapa Wahid melakukan hal yang sepatutnya tidak ia lakukan? Berbagai pertanyaan serupa muncul di benak Aisyah. Ia mencoba mencerna dan menelaah ucapan kyai Reza agar dirinya dapat membela Wahid lagi. Dalam diamnya, Aisyah ingat bahwa Nurul sebenarnya anak pemberontak. Kyai Reza yang merupakan seorang pemilik pondok pesantren itu menuntut anaknya itu menjadi anak yang baik dengan berbagai aturan yang ketat. Ia mengetahui hal itu sejak dirinya memergok Nurul kabur bersama dengan pacarnya. Padahal dalam aturan agama seorang perempuan dan seorang laki-laki tidak diperbolehkan untuk berpacaran terlebih dahulu. Akan tetapi, beberapa kali ia melihatnya bersama dengan seorang laki-laki di tempat yang cukup jauh dari desa mereka. “Saya tahu Pak Kyai bukan seseorang yang gegabah, tapi apa Pak Kyai benar mempercayai ucapan Nurul bahwa dia benar mengandung anak Mas Wahid? Kenapa Pak Kyai begitu percaya anak yang dikandungnya bukan dikarenakan Mas Wahid?” papar Aisyah mencoba tenang. “Umi tahu kamu tidak terima, tapi bisakah kamu menunggu penjelasan dari Kyai dan Nurul?” sergah Rahma yang sama-sama terkejut. Wanita itu menghembuskan napasnya kasar seiring jantungnya yang berpacu semakin cepat. Wahid yang mengetahui istrinya sedang tidak baik-baik saja segera meraih tangan Aisyah. Menggenggam erat tangan istrinya sembari mengelus pelan punggung tangannya. Berharap istrinya tenang dalam situasi yang dipenuhi oleh tekanan ini. “Apa yang membuat kamu yakin bahwa anak saya bukan mengandung anak suamimu? Selama ini Nurul cukup dekat dengan Nak Wahid, dan anak gadis saya hamil karena suamimu!” pekik Kyai dengan emosinya yang semakin naik. Tak bisa ditahan lagi, air mata yang terbendung di pelupuk mata Aisyah meluncur membasahi cadarnya. Semua yang didengarnya bagaikan omong kosong. Ia sungguh tak mempercayai ucapan Kyai Reza. Tentu Aisyah tahu betul bahwa suaminya tak bisa memberikan seorang keturunan. Namun di satu sisi, ia tak bisa mengatakan hal itu begitu saja karena itu adalah aib menurut Wahid. Bingung, sesak, kesal dan marah menguasai diri Aisyah. “Wahid, benarkah apa yang dikatakan Kyai bahwa kamu menyentuh wanita lain selain istrimu?” tanya Ibrahim, sang ayah mertua. “Demi Allah, saya tidak pernah menyentuh Nurul, Abi!” bela Wahid dengan lantang. “Jadi kamu menolak untuk jujur, Mas?” celetuk Nurul dengan nada parau. Ucapan Nurul berhasil membuat dunia Aisyah terasa berhenti berputar. Aliran udara terasa menipis, dadanya sesak seiring kepalanya yang terasa pusing. Ia bingung harus berkata apa lagi supaya mereka percaya bahwa bukan Wahid pelakunya. Dalam riuhnya suasana di sana, memori Aisyah tentang kejanggalan-kejanggalan suaminya terputar kembali. Sebulan terakhir ia mendapati celana dalam Wahid basah. Tentu Aisyah bukanlah wanita bodoh. Ia mengendus aroma cairan itu, dan aromanya tak hilang saat diendus. Saat itu, Aisyah tak mau berprasangka buruk. Ia percaya bahwa cairan suaminya selalu tumpah di luar seperti kala mereka berhubungan. Wanita itu berprasangka baik, sehingga berpikir bahwa Wahid melihat sesuatu yang membuat cairan miliknya itu keluar. “Apa semua ini benar? Bahkan Nurul sampai berkata bahwa kamu menolak untuk jujur, Mas,” ucap Aisyah dengan tatapan kosong.“Itu semua fitnah, Dek!” jawab Wahid yakin dengan nada lantang. “Kamu terus menyangkal, Mas?” celetuk Nurul dengan nada parau. Suasana makin memanas. Nurul menatap Wahid dengan tatapan nanar dan menahan emosi. Hati Aisyah terasa ditusuk ratusan duri. “Yang diucapkan Mas Wahid memang benar,” seru Aisyah lantang dan yakin, hingga seluruh mata tertuju padanya. “Kenapa kamu begitu yakin, Aisyah? Apa kamu begitu yakin kalau suamimu tidak berbuat nakal di luar rumah? Apa kamu punya bukti?” cecar Sarah, istrinya kyai Reza. Oksigen di dalam tubuh Aisyah serasa berkurang. Napasnya sesak dan tubuhnya melemas. Ia lalu menoleh pada suaminya dan meminta membantunya memberi penjelasan, tetapi Wahid hanya bisa diam. Aisyah bingung harus menjawab apa agar mereka yakin kalau suaminya infertilitas. “Karena sampai sekarang saya juga belum hamil, jadi tidak mungkin Mas Wahid menghamili wanita lain,” jawabnya dengan nada lemas. “Itu karena kamu mandul, Aisyah!” celetuk Rahma seraya menunjuk menantu
“Baiklah kalau begitu, saya pamit dulu. Mohon maaf jika kedatangan saya dan keluarga mengganggu waktu istirahat Pak Ibrahim,” ucap kyai Reza seraya bangkit dari duduknya. “Ah, jangan bicara seperti itu, Kyai Reza! Justru kalau ada masalah, lebih baik dibicarakan baik-baik agar ada solusinya,” sahut Ibrahim ikut bangkit berdiri. Ibrahim bahkan terlihat memberikan senyuman ramah yang dipaksakan sebelum menjabat tangan kyai Reza. Sementara Rahma langsung memeluk Nurul. Entah apa yang sedang diperbuatnya, yang jelas ia memeluk gadis itu lembut. Kemudian ia memeluk Sarah, ibunya Nurul. “Tolong maafkan kesalahan Wahid, Bu. Saya akan pastikan anak saya bertanggung jawab atas kesalahannya,” ucap Rahma seraya melepaskan pelukannya. Kemudian ia berpindah pada Nurul dan menggenggam lembut gadis itu. “Sabar ya, Nurul. Besok umi akan datang dengan Wahid!” “Terima kasih, Umi,” sahut Nurul tersenyum tipis. Aisyah yang sedari tadi terdiam merasakan lemas pada kedua kakinya, tak kuasa mendengar p
Aisyah merasa tercekik saat mendengar ucapan ibu mertuanya. Kabar baik katanya? Wanita itu hanya bisa mengatur napasnya agar ia bisa bersuara.“Benar, itu kabar baik. Mas Wahid bisa segera punya anak,” celetuk Aisyah pelan.“Dek!” panggil Wahid seraya meraih tangannya.Jujur saja, Aisyah ingin menepis tangan suaminya. Namun, ia menahan dirinya di depan kedua orang tua suaminya. Mereka pasti akan menyerangnya jika tahu dirinya bersikap kasar pada anak mertuanya.“Aisyah, aku tahu kamu pasti sedih karena harus menerima kenyataan ini, tapi—““Aku tahu, Kak Zali! Bukankah aku tidak berkata menentangnya,” sahut Aisyah memotong ucapan Zalimar. Aisyah bahkan tersenyum kecut padanya.Wanita itu lalu memindai wajah mereka yang tiba-tiba terdiam. “Jika tidak ada yang mau dibahas lagi, aku mau istirahat?” tanya Aisyah mempertahankan nada sopannya.“Tunggu sebentar, Aisyah! Kami belum selesai,” pinta Ibrahim dengan nada canggung.Aisyah pun urung bangkit dari duduknya. Walaupun hatinya sudah berg
“Dek, kamu—““Apa? Kamu mau berkata aku keterlaluan seperti yang abi ungkapkan saat di depan tadi?” potong Aisyah dengan tatapan nanar. “Aku masih bisa menahan hinaan mandul untukmu, tetapi kamu mengkhianatiku, Mas. Entah benih siapa di dalam kandungan Nurul? Yang jelas kamu sudah menduakan aku, Mas,” ungkapnya.Air mata Aisyah yang sebelumnya mengering mendadak mengalir deras melintasi kedua pipinya. Wahid hanya bisa menundukkan wajahnya. Air mata penyesalannya pun menetes.“Maafkan aku, Dek. Mas bersalah. Tak tahu setan apa yang merasukiku, hingga aku sebodoh ini dan menyakitimu,” sesal Wahid seraya menetap penuh ampun pada istrinya. “Tolong maafkan aku, Dek!”“Aku bisa saja memaafkan kamu, Mas, te
“Insya Allah, Dek. Mas, pasti akan berlaku adil pada kalian,” ucapan Wahid terdengar meyakinkan, hingga beberapa orang yang ada di sana mengukir senyuman bangga dan dukungan.“Mbak Aisyah! A—aku ...,” kalimat Nurul terhenti dan gagap, hingga ia memilih menundukkan wajahnya tak berani membalas tatapan Aisyah.Aisyah lantas meraih tangan wanita yang sudah resmi menjadi istri suaminya tersebut. Tinggi mereka tak jauh berbeda, sehingga ia tak perlu menengadahkan pandangannya. Ia hanya pura-pura berani di hadapan semua orang.“Tak usah sungkan! Kini kamu berhak atas suamiku juga. Aku harap kita bisa akur!” ujar Aisyah sesantun mungkin.Tanpa diduga Nurul justru memeluk Aisyah erat. Ia dapat merasakan wanita itu menangis da
“Aku langsung saja, ya. Jika kamu dan suami memutuskan untuk program hamil, aku selalu menyarankan agar istri dan suaminya itu datang! Atur waktu agar selalu bisa menemuiku berdua karena untuk bisa hamil harus berjuang bersama bukan hanya istri saja,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya. Dokter tampan itu dapat melihat garis kegelisahan Aisyah. Tentu saja wanita bercadar itu menyimaknya. Ia tak menyela sahabatnya yang kini tengah memberikan nasehat tentang keluhannya. “Aku tahu kegelisahan seorang istri yang sudah lama menikah dan tak kunjung hamil. Apalagi jika mereka mendapatkan tuntutan dari mertua, saudara dan keluarga untuk cepat hamil. Sayangnya mereka selalu menyudutkan seorang istri dan lebih parahnya kata keramat yang paling menyakitkan selalu terlontar pada seorang istri,” Haidar menjeda penjelasannya. Ia menatap ekspresi Aisyah yang tampak tersentak. “Mandul!” sambung Aisyah mengerti penjelasan terakhirnya Haidar. Lelaki di hadapannya mengangguk. “Perlu kamu keta
“Kenapa kamu izinin Aisyah pulang?” geram Rahma pada putranya.“Biarkan Aisyah menenangkan dirinya, Umi!” jawab Wahid tanpa menoleh pada ibunya.Rahma hampir tersentak. Ia menatap wajah Wahid yang tengah menuangkan gula pada cangkir tehnya. Wanita paruh baya itu berdecak kesal pada putranya.“Menenangkan pikiran? Memangnya Anak itu punya pikiran?” celetuk Rahma sinis.Wahid refleks beristighfar. “Umi, jangan keterlaluan! Seharusnya Umi sebagai seorang istri bisa memahami perasaan Aisyah saat ini,” ucapnya menahan dirinya agar tak meninggikan suaranya pada ibunya.“Kenapa Umi yang harus memahami perasaannya, Aisyah aja nggak mau memahami perasaan Umi,” sahut Rahma tak
Aisyah tak punya pilihan selain menuruti tawaran Haidar. Ia tak ingin membuat keributan karena dokter tampan itu enggan bergerak, padahal mobil di belakangnya terus membunyikan klakson isyarat untuk maju dan keluar dari rumah sakit. Haidar tersenyum puas dan lega.“Gitu, dong!” ucap Haidar setelah memastikan Aisyah memasang sabuk pengaman pada tubuhnya.“Kamu tuh nggak berubah ya, Dar, suka maksa!” protes Aisyah setelah Haidar melajukan mobilnya.Sayangnya dokter tampan itu hanya tertawa kecil. Sungguh, ia tiba-tiba rindu dengan raut wajah sahabatnya saat merajuk ketus seperti saat ini. “Kamu itu kalau nggak dipaksa, nggak akan jalan. Padahal aku nawarin kebaikan, loh,” cicitnya.“Iya, makasih, tapi bukannya kamu sedang buru-buru?” tanya Aisyah mencoba untuk tak canggung.Haidar menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada laju mobilnya. Tiba-tiba, ia teringat akan kejadian di ruang kerjanya. Aisyah langsung berpamitan tanpa menunggu persetujuannya saat ia menerima telepon.Benar,