Aisyah merasa tercekik saat mendengar ucapan ibu mertuanya. Kabar baik katanya? Wanita itu hanya bisa mengatur napasnya agar ia bisa bersuara.
“Benar, itu kabar baik. Mas Wahid bisa segera punya anak,” celetuk Aisyah pelan.
“Dek!” panggil Wahid seraya meraih tangannya.
Jujur saja, Aisyah ingin menepis tangan suaminya. Namun, ia menahan dirinya di depan kedua orang tua suaminya. Mereka pasti akan menyerangnya jika tahu dirinya bersikap kasar pada anak mertuanya.
“Aisyah, aku tahu kamu pasti sedih karena harus menerima kenyataan ini, tapi—“
“Aku tahu, Kak Zali! Bukankah aku tidak berkata menentangnya,” sahut Aisyah memotong ucapan Zalimar. Aisyah bahkan tersenyum kecut padanya.
Wanita itu lalu memindai wajah mereka yang tiba-tiba terdiam. “Jika tidak ada yang mau dibahas lagi, aku mau istirahat?” tanya Aisyah mempertahankan nada sopannya.
“Tunggu sebentar, Aisyah! Kami belum selesai,” pinta Ibrahim dengan nada canggung.
Aisyah pun urung bangkit dari duduknya. Walaupun hatinya sudah bergejolak dan tangisnya ingin pecah, ia menahannya sekuat mungkin. Ia harus bisa kuat di hadapan mereka.
“Begini, Aisyah. Karena besok acara ijab qabul suamimu, kamu juga harus ikut serta yah! Alasannya agar keluarga kyai Reza tahu kalau kamu sudah mengizinkan suami menikah lagi,” jelas Ibrahim lugas.
“Baik, Abi,” sahut Aisyah cepat dan datar. “Ada lagi?”
Bukan tanpa sebab, ia menjawab cepat dan datar. Hatinya sudah tak mampu lagi menerima beban dan rasa sakit, hingga membuatnya mati rasa. Air mata yang sedari tadi ditahannya agar tidak tumpah mendadak menguap dan embun tipis dalam kedua bola matanya seolah ikut menguap.
“Masih ada,” jawab Ibrahim lagi. Aisyah hanya mengangguk dengan tatapan kosong.
“Setelah ijab qabul, Nurul akan dibawa ke rumah ini dan tinggal di rumah ini. Ada satu kamar yang kosong di lantai dua, tetapi Nurul ‘kan sedang hamil ... tidak baik untuknya naik turun tangga. Bagaimana kalau.” Bapak mertuanya tak melanjutkan kalimatnya. Tampaknya Aisyah sudah dapat mencerna ucapannya.
“Aku yang akan pindah ke kamar di lantai atas, Abi. Biarkan Nurul di kamar utama dengan Mas Wahid. Aku tidak keberatan,” jawab Aisyah lugas diakhiri senyum datarnya. “Masih ada lagi?” tanyanya lagi.
Bapak mertuanya menggeleng, lalu Aisyah menatap ibu mertuanya dan wanita itu juga menggeleng. “Kalau begitu aku pamit, ya! Aku akan membersihkan kamar atas dan memindahkan semua pakaianku, jadi besok pagi Nurul sudah langsung ke kamar utama,” tukas Aisyah tanpa jeda.
Rahma dan Ibrahim saling bertukar pandang dengan tatapan bersalah. Sementara Wahid terus menggenggam tangan istrinya, berharap Aisyah mau menoleh padanya. Sayangnya, wanita itu sama sekali tak ingin menatap wajah suaminya. Tatapannya kosong menatap ke arah meja yang masih dipenuhi suguhan untuk tamunya tadi.
“Aisyah,” panggil Rahma lembut, hingga wanita itu menatapnya dan mempertahankan kedua bola matanya agar tidak menciptakan embun tebal.
Wanita itu hanya berguman pelan, sebagai jawaban panggilan namanya. Wajah Rahma terlihat ragu dan penuh sesal, tetapi Aisyah sama sekali tak melihatnya. Jika Aisyah berani, ia ingin mengumpati wanita itu. Akan tetapi, ia memilih diam menunggu mertuanya bersuara seraya menata hatinya.
“Umi minta maaf tadi berkata kasar padamu di hadapan kyai Reza dan bu Sarah. Sungguh, Umi juga nggak bermaksud berkata seperti itu. Umi khilaf dan lepas kendali, Aisyah,” ucap Rahma penuh sesal seraya menundukkan wajahnya.
Namun, yang Aisyah tangkap dari ucapan mertuanya itu seolah menegaskan kalau dirinya harus tahu diri. Aisyah berdecak pelan dan tersenyum tipis nan datar. Rahma langsung menaikkan pandangannya menatap menantunya yang tengah menatap langit-langit rumah seraya menarik napas panjang.
“Tidak perlu minta maaf, Umi! Aku paham maksud Umi. Mungkin memang salahku karena sampai saat ini belum juga hamil dan lima tahun bukanlah waktu yang sebentar,” suara Aisyah datar, kemudian ia melirik pada suaminya. “Apalagi Mas Wahid sudah membuktikannya kalau memang akulah yang bermasalah,” sindirnya.
“Dek Aisyah!” suara Wahid tersentak.
Aisyah langsung mengalihkan tatapannya dari suaminya dan menarik menarik tangannya yang sedari tadi berada dalam genggaman tangannya. Bukan hanya Wahid saja yang tersentak dengan sindiran Aisyah. Mertua dan kakak iparnya pun ikut tersentak.
“Aisyah, tolong jangan keterlaluan!” tegur Ibrahim padanya.
Sontak saja Aisyah langsung menatap bapak mertuanya. Kemudian ia menatap ibu mertua dan kakak iparnya, tatapan mereka sama. Menatap dirinya kesal.
“Aku keterlaluan?” tanya Aisyah memastikan teguran Ibrahim.
Lelaki paruh baya itu menghela napas panjang. “Abi tahu, kamu pasti sakit haru karena perbuatan suamimu, tapi jangan bersikap seperti ini. Ini semua sudah terjadi, dan tidak bisa dihindari lagi. Jika kamu bersikap seperti ini, artinya kamu tidak ikhlas suamimu menikahi Nurul, padahal dia mempertanggung jawabkan perbuatannya. Kamu bisa berdosa karena menghalangi jalan suamimu!” papar Ibrahim tegas.
Sayangnya, Aisyah sudah mati rasa. Dosa seperti apa yang dimaksud mertuanya? Aisyah ingin tertawa, tetapi tenggorokannya terasa tercekik.
“Lalu aku harus bersikap seperti apa, Abi? Aku harus tertawa dan terus tersenyum saat aku tahu suamiku akan menikah lagi dengan wanita hamil?” suara Aisyah sedikit tercekik, susah payah ia bersuara dan pertama kalinya suaranya meninggi selama menjadi menantunya Ibrahim.
“Asiyah, cukup!” tegur Rahma padanya, tak terima dengan sikapnya.
Kemudian wanita itu menoleh pada suaminya. “Abi juga. Sudahi saja! Kita harus paham perasaan Aisyah, Abi! Istri mana yang rela dimadu, Abi? Itu yang harus Abi ingat!” nasehatnya untuk suaminya.
Ibrahim menghela napas panjang. Ucapan istrinya benar. Ia lalu menatap menentunya yang tengah menguasai emosinya.
“Maafkan abi, Aisyah. Abi hanya merasa kamu sengaja membuat kami semua berdosa padamu,” cetus Ibrahim tanpa menatap wajahnya.
Aisyah langsung mematung. Bukankah memang mereka berdosa padanya, kenapa seolah dirinya yang bersalah? Dada Aisyah terasa sesak, hingga harus memegangi dadanya. Ibrahim langsung bangkit berdiri tanpa menunggu jawaban darinya.
Rahma dan Zalimar mengekori Ibrahim meninggalkan Aisyah dan Wahid. Tangan Wahid meraih pundaknya, berusaha memutar tubuhnya. “Dek, dengarkan mas dulu!” pintanya.
“Maaf, Mas, aku nggak ada waktu. Aku harus mengemasi barang-barangku dan membersihkan kamar di lantai atas,” jawab Aisyah seraya bangkit berdiri setelah menangkis tangan suaminya.
Tentu saja Wahid mengekorinya. Ke mana lagi jika bukan ke kamar mereka. Sesampainya di dalam kamar, wanita itu langsung meraih koper berukuran besar di atas lemari kayu dengan menaiki kursi kayu.
Untunglah Wahid langsung masuk dan menahan tubuh Aisyah yang hampir terjatuh saat menarik turun koper besar tersebut. Koper dari tangannya terlepas dan menimbulkan suara keras. Wanita itu langsung menarik tubuhnya dari tangan suaminya.
“Terima kasih,” ucap Aisyah datar seraya memutar tubuhnya.
Aisyah mengabaikan Wahid dan langsung membuka kopernya. Namun, Wahid langsung menghentikannya dengan menahan tangannya kuat. “Dengarkan suamimu dulu, Aisyah Khumairah!” tegas Wahid seraya menatapnya kesal.
Wanita itu terdiam dan menatap penuh amarah pada suaminya. Hingga akhirnya tangannya melemas, barulah Wahid menurunkan tangannya. Lelaki itu lalu menghela napas pendek dan tersenyum tipis pada istrinya.
“Dek, Mas tidak akan menikahi Nurul. Kamu pasti tahu ‘kan alasannya? Anak dalam kandungannya bukan anakku,” ucap Wahid lembut. “Mas tidak akan sampai hati untuk mengkhianatimu, Dek,” sambungnya seraya membelai wajah istrinya.
Air mata Aisyah tumpah. Wahid hendak menyapu air matanya, tetapi wanita itu menahannya. Ia lalu tersenyum tipis, tetapi hatinya terasa perih. Hatinya terasa dipermainkan.
“Akhirnya kamu sadar juga kalau kamu memang tidak bisa memberikan seorang anak pada istrimu,” bisik Aisyah tajam. Ia tak peduli kalau kalimatnya akan menyakiti hati suaminya.
Benar saja. Wahid menatapnya tak percaya. Tentu saja, selama ini Aisyah adalah istri yang selalu menjaga hati dan perasaanya.
“Mas, jika memang benar kamu tidak tega menyakitiku, kamu tidak akan mengkhianatiku! Kamu memang tidak menanamkan benih dalam rahim Nurul, tapi berapa kali kamu menumpahkan calon benihmu saat bersamanya?” ucap Aisyah tegas mengingatkan suaminya akan tumpahan spermanya dalam celana dalam milik Wahid.
Wahid terdiam. Ia tak bisa menjawab. Aisyah makin tak peduli. Ia hanya ingin menuntaskan rasa sakitnya.
“Pesan mesra yang kamu kirimkan setiap hari untuk wanita itu? Kenapa kamu menggunakan kata-kata yang sama saat merayuku, Mas? Itu yang membuat aku sakit hati, Mas!” ungkap Aisyah.
Ingin rasanya ia berteriak memekik meluapkan semuanya di hadapan suaminya, tetapi Aisyah masih bisa menahannya untuk tak menimbulkan keributan. “Jika kamu memang tidak akan menikahi Nurul, kenapa tidak kamu katakan tadi, di depan orang tuanya Nurul dan di hadapan kedua orang tuamu?” cecarnya.
Lelaki di hadapannya hendak membuka mulutnya, tetapi langsung mengatup kembali. Aisyah berdesis heran. Ia kembali tersenyum tipis yang dipenuhi luka.
“Selama ini aku diam menerima semua hinaan untuk menutupi kekuranganmu, Mas. Aku tahan dan menelan ucapan setiap orang yang mengatakan kalau aku ini mandul, bahkan ibumu sudah tega mengatakan hal tersebut di hadapan calon mertua barumu, Mas,” ungkap Aisyah lagi. Ia belum tuntas dengan semua rasa sesak dalam hatinya. “Kamu tidak perlu khawatir, Mas! Aku akan tetap diam, tetapi untuk istri barumu, sebaiknya kamu katakan sendiri kelemahanmu!”
“Dek, kamu—““Apa? Kamu mau berkata aku keterlaluan seperti yang abi ungkapkan saat di depan tadi?” potong Aisyah dengan tatapan nanar. “Aku masih bisa menahan hinaan mandul untukmu, tetapi kamu mengkhianatiku, Mas. Entah benih siapa di dalam kandungan Nurul? Yang jelas kamu sudah menduakan aku, Mas,” ungkapnya.Air mata Aisyah yang sebelumnya mengering mendadak mengalir deras melintasi kedua pipinya. Wahid hanya bisa menundukkan wajahnya. Air mata penyesalannya pun menetes.“Maafkan aku, Dek. Mas bersalah. Tak tahu setan apa yang merasukiku, hingga aku sebodoh ini dan menyakitimu,” sesal Wahid seraya menetap penuh ampun pada istrinya. “Tolong maafkan aku, Dek!”“Aku bisa saja memaafkan kamu, Mas, te
“Insya Allah, Dek. Mas, pasti akan berlaku adil pada kalian,” ucapan Wahid terdengar meyakinkan, hingga beberapa orang yang ada di sana mengukir senyuman bangga dan dukungan.“Mbak Aisyah! A—aku ...,” kalimat Nurul terhenti dan gagap, hingga ia memilih menundukkan wajahnya tak berani membalas tatapan Aisyah.Aisyah lantas meraih tangan wanita yang sudah resmi menjadi istri suaminya tersebut. Tinggi mereka tak jauh berbeda, sehingga ia tak perlu menengadahkan pandangannya. Ia hanya pura-pura berani di hadapan semua orang.“Tak usah sungkan! Kini kamu berhak atas suamiku juga. Aku harap kita bisa akur!” ujar Aisyah sesantun mungkin.Tanpa diduga Nurul justru memeluk Aisyah erat. Ia dapat merasakan wanita itu menangis da
“Aku langsung saja, ya. Jika kamu dan suami memutuskan untuk program hamil, aku selalu menyarankan agar istri dan suaminya itu datang! Atur waktu agar selalu bisa menemuiku berdua karena untuk bisa hamil harus berjuang bersama bukan hanya istri saja,” terang Haidar mencoba menenangkan pasiennya. Dokter tampan itu dapat melihat garis kegelisahan Aisyah. Tentu saja wanita bercadar itu menyimaknya. Ia tak menyela sahabatnya yang kini tengah memberikan nasehat tentang keluhannya. “Aku tahu kegelisahan seorang istri yang sudah lama menikah dan tak kunjung hamil. Apalagi jika mereka mendapatkan tuntutan dari mertua, saudara dan keluarga untuk cepat hamil. Sayangnya mereka selalu menyudutkan seorang istri dan lebih parahnya kata keramat yang paling menyakitkan selalu terlontar pada seorang istri,” Haidar menjeda penjelasannya. Ia menatap ekspresi Aisyah yang tampak tersentak. “Mandul!” sambung Aisyah mengerti penjelasan terakhirnya Haidar. Lelaki di hadapannya mengangguk. “Perlu kamu keta
“Kenapa kamu izinin Aisyah pulang?” geram Rahma pada putranya.“Biarkan Aisyah menenangkan dirinya, Umi!” jawab Wahid tanpa menoleh pada ibunya.Rahma hampir tersentak. Ia menatap wajah Wahid yang tengah menuangkan gula pada cangkir tehnya. Wanita paruh baya itu berdecak kesal pada putranya.“Menenangkan pikiran? Memangnya Anak itu punya pikiran?” celetuk Rahma sinis.Wahid refleks beristighfar. “Umi, jangan keterlaluan! Seharusnya Umi sebagai seorang istri bisa memahami perasaan Aisyah saat ini,” ucapnya menahan dirinya agar tak meninggikan suaranya pada ibunya.“Kenapa Umi yang harus memahami perasaannya, Aisyah aja nggak mau memahami perasaan Umi,” sahut Rahma tak
Aisyah tak punya pilihan selain menuruti tawaran Haidar. Ia tak ingin membuat keributan karena dokter tampan itu enggan bergerak, padahal mobil di belakangnya terus membunyikan klakson isyarat untuk maju dan keluar dari rumah sakit. Haidar tersenyum puas dan lega.“Gitu, dong!” ucap Haidar setelah memastikan Aisyah memasang sabuk pengaman pada tubuhnya.“Kamu tuh nggak berubah ya, Dar, suka maksa!” protes Aisyah setelah Haidar melajukan mobilnya.Sayangnya dokter tampan itu hanya tertawa kecil. Sungguh, ia tiba-tiba rindu dengan raut wajah sahabatnya saat merajuk ketus seperti saat ini. “Kamu itu kalau nggak dipaksa, nggak akan jalan. Padahal aku nawarin kebaikan, loh,” cicitnya.“Iya, makasih, tapi bukannya kamu sedang buru-buru?” tanya Aisyah mencoba untuk tak canggung.Haidar menoleh sebentar, kemudian ia kembali fokus pada laju mobilnya. Tiba-tiba, ia teringat akan kejadian di ruang kerjanya. Aisyah langsung berpamitan tanpa menunggu persetujuannya saat ia menerima telepon.Benar,
“Tapi, Umi—“ ucapan Aisyah terpotong seiring sambungan teleponnya yang terputus sebelah oleh Rahma.Aisyah menghela napas berat nan panjang. Ia tahu hal tersebut menandakan mertuanya marah besar. Namun, apa yang bisa dilakukan Aisyah saat ini?Sejujurnya, ia bisa saja mengabaikan kemarahan Rahma, bukankah suaminya sudah memberinya izin. Aisyah tak perlu mengabdi pada mertua, ‘kan? Tak ada kewajiban, apalagi Wahid sangat mengerti keadaannya dan tak pernah menuntut dirinya untuk memenuhi semua perintah Rahma.Akan tetapi, nalurinya sebagai istri merasa dirinya perlu membantu dan menggantikan tugas suaminya yang tetap mengabdi pada ibu mertuanya. Walaupun semua pengorbanannya tak pernah terlihat di mata Rahma. Ia masih berharap suatu hari Rahma bisa melihat ketulusannya sebagai seorang menantu yang mengabdi pada mertuanya.Sesak sekali rasanya dada Aisyah, hingga tak terasa air matanya menetes. Namun, suara dehaman kecil Haidar langsung menyadarkannya. Hampir saja Aisyah lupa di mana ia
“Umi, tolong jangan keterlaluan!” tergur Wahid hati-hati.“Maafkan Ais, Umi, jika kepergian Ais membuat Umi berpikir seperti itu,” ucap Aisyah pasrah.Wahid langsung menoleh pada istrinya yang menunduk pilu. Ia dapat melihat sorot mata Aisyah menahan sakit. Percuma saja membela diri, toh mertuanya akan semakin berprasangka buruk lebih lagi, jika ia terus menyanggah. Itulah yang ada dalam pikiran Aisyah.“Dek!” Wahid memanggilnya lirih, tetapi istrinya tak menoleh.Aisyah menegapkan wajahnya menghadap mertuanya yang masih memberikan tatapan penuh murka padanya. “Ais akan menyimpan tas dulu ke kamar, lalu akan langsung masak. Ais akan usahakan Isya sudah tersaji di meja makan,” terangnya.
“Benarkah? Mas Wahid mau menerimaku sebagai seorang istri?”Kedua bola mata Nurul berbinar. Senyumannya mengembang sempurna menatap wajah gagahnya Wahid. Lelaki di hadapannya menurunkan tubuhnya lalu merah kedua lengannya. Wahid membawa tubuh wanita itu bangkit berdiri.“Maafkan aku, jika aku mengabaikanmu,” ucap Wahid lembut seraya menghapus air mata Nurul.“Aku bisa mengerti, Mas. Kamu pasti terkejut dan marah padaku,” sahut Nurul diakhiri senyuman lebarnya.Tanpa izin wanita itu memeluk Wahid yang kini sudah menjadi suaminya. Lelaki itu tampak tersentak, tetapi ia tak melawan. Tangannya menggantung tak berani bergerak atau mengusap kepalanya, seperti yang biasa ia lakukan saat Aisyah memeluknya mesra.