Akhirnya pernikahan berlangsung juga di rumah. Tidak ada hiasan bunga-bunga untuk memeriahkan, bahkan Alana hanya memakai baju lusuh dan kerudung segi empat. Hanya disaksikan Paman dan keluarga yang ada di rumah, juga beberapa keponakan saja. Tidak ada yang memberikan ucapan selamat menempuh hidup baru selayaknya orang menikah pada umumnya. Alana menjabat tanganku dan mencium punggung tangan. Ada getar berbeda ketika ia melakukan itu-- seolah beban yang tadinya tidak ada dan tak terlihat kini justru beralih ke pundak.Bahkan untuk mahar pernikahan, Alana hanya kuberi uang sebanyak tiga ratus ribu. Sepanjang kami berdua akan menikah, Alana tidak menegur atau bahkan tersenyum. Tidak ada raut berseri dari wajahnya. Bahkan sepanjang ijab qobul diucapkan, Alana hanya diam meski tidak menangis. Gadis seperti apa yang ada di sampingku ini yang telah kurusak, Tuhan? Segini jahatnya, kah, aku? Bukankah di zaman sekarang, hal seperti ini sudah termasuk lumrah?Semua kerabat sudah pulang, kini
Aku mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi menuju terminal bus terdekat. Namun tinggal sedikit lagi perjalanan, aku harus berhenti karena lampu merah. Ini sudah setengah jam yang lalu dan aku mulai berpikir-- bagaimana jika Alana sudah berangkat?Kutancap pedal gas saat lampu merah berubah hijau. Membunyikan klakson melengking pada mobil-mobil yang ada di depanku. Tak kupedulikan mereka yang emosi mendengar klakson. Setidaknya aku harus sampai ke Alana lebih cepat. Aku mungkin sudah kehabisan waktu.Terminal bus sudah di depan mata. Aku memarkir mobil sembarangan, lalu menaiki satu per satu bus yang ada di sana lalu mencari satu per satu juga dari wajah-wajah penumpang. Sudah tiga bus yang kunaiki, namun Alana tidak ada di ketiga bus itu. Jalanku mulai lunglai, kemudian bersandar pada bus ke empat. Namun senyumku merekah, hatiku lega. Aku melihat gadis yang kucari dan kuyakin itu Alana, hanya dari rambut panjang yang menjuntai saja dapat kupastikan itu memang dia.”Balik ke rumah!”
”Kamu kenapa, sih, jadi susah dihubungi sekarang?” omel Dania. Kami tengah berada di restoran sashimi, pilihan Dania. ”Aku nggak bisa hubungi kamu se-leluasa dulu, Beb. Sekarang di rumah kan ada Alana sama ibunya, aku nggak enak kalo telfon kamu ada mereka,” jelasku. ”Gimana malem ini? Kamu bisa ikut aku ke hotel buat hadir, kan?”Dania mengurungkan niatnya memasukkan daging salmon ke mulut. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. ”Ada apa?””Udah dua hari ini mami dirawat di rumah sakit, Sayang. Aku kayaknya nggak bisa.” Kuhela napas. Tidak ada pilihan lain, aku harus mengajak Alana seperti yang Oma bilang. Memang dipikir-pikir, Alana yang harus dikenalkan sebagai istri. Namun, aku tidak yakin, apa Alana pantas dibawa ke acara sebesar itu?”Kolega-kolega mendiang kakekmu bakalan dateng, Hamiz. Oma nggak mau kamu bawa Dania buat dikenalin sebagai menantu Oma,” kata Oma tegas, saat tadi aku mampir ke rumah.”Ngomong-ngomong, kenapa mami dirawat? Apa sakit jantungnya kambuh lagi?” tany
Menikah? Kupandangi Dania yang masih tersenyum seraya menampilkan deretan giginya yang putih. Ia mengatakan perihal pernikahan selugas itu, seolah itu bukan hal besar. ”Pergi, Dania. Sebentar lagi aku mau meeting.” Alih-alih pergi, Dania justru berdiri dan memegangi dasiku. Ia tersenyum menggodaku. Di kantor memang tahu, jika Dania adalah pacarku. Aku tidak masalah meskipun mereka akan mengetahui jika aku menikahi Alana. Selagi tidak terdengar sampai telingaku.”Kamu ke sini pas makan siang aja, kita makan siang di restoran depan,” ujarku memberi solusi agar Dania mau pergi.Ia justru menggeleng. ”Nggak mau. Aku mau dimakan sama kamu.”Kutinggalkan Dania setelah membawa beberapa berkas. Kutekan telepon kantor yang terhubung langsung ke sekertarisku untuk menyiapkan apa saja untuk meeting.”Baik, Pak Hamiz. Semuanya sudah siap, ya, Pak. 13 menit lagi kita meeting.”Dania bergelayut manja di lenganku, mengedipkan matanya. ”Ayolah, masih ada waktu 13 menit lagi.”Tidak. Aku meninggalka
Di kantor aku tidak tenang, ingin pulang cepat namun pekerjaan menumpuk. Pikiran yang tidak jernih membuatku banyak menunda pekerjaan. Sudah dua jam aku hanya memelototi laptop. Kuusap wajahku, sepertinya aku membutuhkan kafein agar pikiranku yang berkabut ini sedikit jernih.”Sayang.”Dania tiba-tiba datang tanpa mengetuk pintu. Ia langsung menghujaniku dengan ciuman. Aku hanya diam saja menatap kosong ke depan.”Kamu kenapa, sih? Aku tau.” Dania segera melumat bibirku, kubalas dengan malas. ”Kamu kenapa sih! Aku juga istri kamu! Aku mau kamu sekarang juga!”Kutinggalkan Dania, biar saja dia merengek. Aku sudah pusing menghadapi satu istri, salahku juga yang menambah kepusingan itu sendiri. Aku ke cafe di depan gedung kantor, ternyata Dania pun mengekor. ”Kamu kenapa!”Ini pertanyaan entah ke berapa kali dalam sejam. Aku enggan menjawab. Menjawab pun akan salah kembali. Kopiku datang, kuhirup aromanya yang membuatku tenang. Kemudian menyeruputnya seolah kabut yang memenuhi kepala mu
POV AlanaBebanku seolah berkurang pergi dari rumah megah itu. Meski air mataku tak hentinya mengalir. Meski hatiku terus saja berdarah. Meski perutku terasa kram, aku masih bilang, bebanku perlahan berkurang. Aku kesakitan, tapi tidak ada luka menganga yang terlihat. Hatiku berulangkali menjerit, sakitnya sampai membuatku sesak saat bernapas.Kupandangi rumah bercat ungu ini dengan pandangan buram, karena air mata tak hentinya mengalir. Seseorang mengusap bahuku. ”Tante Arumi nggak ikut?” tanya Niko.Ya, aku memang bersama Niko. Aku berniat ikut kembali ke desa, di mana dulu aku di sana. Tabunganku sudah lebih dari cukup jika hanya tinggal di kampung. ”Ibu nggak mau hidup miskin lagi, Nik,” jawabku.”Aku janji bakal cukupin kehidupan kalian berdua. Biar aku ke rumah kamu lagi buat ngomong sama tante, aku liat mobil suamimu pergi nggak lama kamu ke sini,” ujarnya.Sebelum aku memintanya untuk mengabaikan ibu, Niko sudah pergi menyebrangi jalan menuju rumah. Satu menit, 10 menit, hin
Sudah hampir terbit fajar, namun tidurku tak kunjung lelap, sekalinya terlelap aku bermimpi Tuan Hamiz sedang dalam keadaan berlumur darah. Sakitkah dirimu, Tuan? Kuambil air wudhu untuk menjalankan dua raka'at. Mendoakan dirimu setulus hatiku, agar kamu di sana selalu baik-baik saja.Setelah menyelesaikan dua raka'at, aku ke bawah menemui Bi Sumi untuk memberikan uang belanja. Namun kucari Bi Sumi tidak ada, jadi aku ke depan, ternyata Niko datang sedang membawa plastik berisi sayur-sayuran. ”Kamu yang belanja, Nik?” Niko bahkan belum mengganti bajunya. Ia tersenyum manis. ”Mana mungkin aku biarin kamu di sini kelaperan, Ra. Aku beli sayur, ayam, dan daging buat stok seminggu. Kalo persediaan udah habis, kamu yang harus belanja nemenin aku. Aku maksa, loh.”Aku tertawa. Aku mulai membantu menyusun buah-buahan dan sayur-sayuran yang sudah dibawa ke dapur. ”Maaf, ya, udah ngerepotin kamu. Kamu pasti juga belom tidur. Tidurlah abis ini, ya, Nik.””Karena Dinda udah nyuruh Kanda tidur,
PoV Penulis Sudah 5 bulan Hamiz mencari keberadaan Alana. Namun, tetap tidak ada di mana pun. Sudah dicari di sosial media, tapi tidak ada foto profil yang menandakan itu Alana. Selama sebulan pula hidup Hamiz tak terarah. Terasa ada rongga besar yang menganga di dalam tubuh. ”Kenapa, sih, aku ngrasa kamu udah beda? Kamu udah suka sama Alana?” tanya Dania. Hamiz berdecak. ”Pikiran kamu aja. Aku lagi pusing sama kerjaan.” Kemudian Hamiz meninggalkan Dania ke ruang kerja, malas menanggapi Dania yang selama sebulan ini marah-marah. Tidak ada hari tanpa amarah yang keluar dari wanita itu. Cinta yang meluap-luap saat pacaran tiba-tiba hilang. Kini Hamiz tak merasakan apa pun lagi yang menggebu-gebu pada Dania. Bahkan saat ia menyodorkan tubuhnya pada Hamiz, ia tidak merasakan sesuatu seperti yang sudah-sudah.Perut Dania sudah membesar. Sudah 6 bulan usia kandungannya. Hamiz justru semakin bertanya-tanya, kesulitankah Alana di sana. Pasti perutnya sudah besar dan sebentar lagi melahirk