Semua Bab Bukan Budak Nafsu Majikan : Bab 1 - Bab 10
67 Bab
1.
Plaaaak!Tuan Hamiz melayangkan tangan hingga mendarat ke pipiku. Terasa kebas, karena ini tamparan yang ke empat kalinya dalam setengah jam ini. Sementara, sudut bibirku sudah sejak tadi mengalir darah. Aku masih sama, menatapnya tanpa air mata. ”Saya sedang hamil, Tuan,” ucapku sembari menyeka sudut bibir yang basah. Tuan Hamiz berteriak sambil mencengkram kedua bahuku. ”Cewek bodoh!”Aku tetap tersenyum karena makian dari mulutnya sudah menjadi makanan sehari-hari. Kupandangi wajahnya yang putih berubah kemerahan karena marah. Tuan Hamiz menendang meja riasku hingga bedak tabur yang ada di atasnya jatuh. Aku memilih duduk saja di pinggir ranjang sambil mengusap perutku yang baru hamil dua bulan. ”Setelah anak ini lahir, kamu akan aku ceraikan!” Mataku terpejam ketika Tuan Hamiz memilih keluar kamar sambil membanting pintu. Kembali kuusap perutku yang belum membuncit. Semoga, anak yang kukandung tidak sedih mendengar ayahnya seperti itu. Matanya yang sendu menatapku dua bulan l
Baca selengkapnya
2.
”Kamu serius sama keputusan kamu, kan, Alana?” Ibu menggenggam tanganku. Matanya kembali mengeluarkan buliran kaca yang siap pecah. Bibirnya yang mulai keriput bergetar. Aku mengangguk dan membalas genggaman tangannya. ”Semoga kita bisa lebih damai di desa, Bu.”**Ya, aku akhirnya menyerah hanya karena melihat Nyonya Sarah dan Dania membicarakan tentang pernikahan. Pesta seperti apa yang Dania inginkan. Gaun apa yang hendak dipakai. Makanan apa saja yang hendak disajikan untuk para tamu. Bulan madu di mana dan memiliki berapa anak. Mengingat itu semua hanya membuat perutku kembali kram. Ya, aku kira akan semudah dua bulan ini bersabar. Nyatanya sulit. Tubuhku seperti terbakar melihat Tuan Hamiz mencumbu Dania di kamar yang menjadi saksi kebrutalan Tuan Hamiz padaku. Kamar di mana kehormatanku hilang. Argh!Tanpa sadar aku berteriak dan memukuli kepala. Aku depresi hingga terasa sekarat. Mungkin sopir taksi online menilaiku orang aneh. Aku tidak perduli. Ibu justru kembali menangi
Baca selengkapnya
3.
”Iya, Sayang. Kurang dari setahun kita bisa kayak biasa lagi.”Aku mendengar suara Tuan Hamiz tengah menelfon seseorang. Tuan Hamiz berada di dekat kolam ikan yang menyatu dengan taman. Dari caranya menelfon, sudah pasti itu Dania.”Aku nggak bisa nyuruh gugurin. Tenang aja, Sayang. Lagian di surat perjanjian juga, Alana nggak bisa nuntut apa-apa lagi.”Seharusnya aku memang tidak perlu berharap, bukan? Perkataan Tuan Hamiz sudah jelas. Jus alpukat yang hendak kuberi padanya kuurungkan. Lebih baik aku kembali ke dalam rumah. Kupijat pelipisku dan juga mengusap perut. Entah dosa apa yang kulakukan hingga Tuhan memberiku cobaan sebesar ini. ”Alana, kenapa jusnya belum kamu kasih ke Tuan Hamiz?” Ibu mendekat dan mengambil tempat duduk di sebelahku.”Tuan Hamiz lagi telfon sama orang kantor, Bu,” jawabku, memang berbohong. Ibu mengusap perutku dan memandangi wajahku seperti ada noda di sana. Aku tersenyum, tanpa mengatakan apa pun, aku ingin ibu melihatku baik-baik saja. ”Seenggaknya k
Baca selengkapnya
4.
Malam ini Tuan Hamiz berpakaian rapi. Rambutnya ia sisir klimis dan lehernya memakai dasi berwarna merah tua. Jas yang dipakainya sangat bagus dipadu padankan dengan kulitnya yang bersih. Apa Tuan Hamiz akan menghadiri pesta? Karena jika hanya ke kantor, menurutku terlalu berlebihan. ”Saya mau dinner sama Dania. Kalo kamu ngantuk, tidur saja lebih dulu.”Pertanyaanku terjawab. Ingin rasanya kukatakan jika Dania tengah menemani anaknya yang sakit di ICU. Aku hanya mengiyakan, karena meminta Tuan Hamiz agar tidak pergi pun percuma. Aku memilih keluar kamar saja dan ke dapur, hendak mengiris beberapa buah-buahan. Tuan Hamiz mengekor di belakang, seakan melihatku hendak apa karena membuka kulkas. Akhirnya aku berbalik karena merasa canggung diperhatikan begitu.”Tuan mau saya buatin sesuatu?” tanyaku.Tuan Hamiz menggeleng, justru mengambil buah yang hendak kumakan. Tuan Hamiz mengirisnya dan menaruh di piring lalu diletakkan di depanku. Tuan Hamiz berlalu begitu saja setelah membuatku
Baca selengkapnya
5.
”Harusnya kamu sadar posisimu apa. Jangan karena kamu saya perkenalkan sebagai istri, sikapmu jadi seenaknya!” bentak Tuan Hamiz padaku.Ibu diam tidak membelaku karena menurut ibu, jika aku memang bersalah, tidak ada pembelaan meski aku anaknya. Tapi aku memang tidak bersalah dan ibu belum mengetahui apa yang sebenarnya. ”Tapi saya nampar Dania karena dia sudah memfitnahku lebih dulu, Tuan. Dia--”Praaang! Makanan yang tersaji di meja makan jatuh berhamburan karena Tuan Hamiz menarik penutup meja. Aku tidak takut, masih teguh pendirian jika aku memang benar. Tuan Hamiz maju dan wajahnya ia dekatkan padaku. Tangannya mencengkram lenganku erat dan aku yakin setelah ini akan ada tanda biru kehijauan di sana.”Sadar posisimu. Kamu masih anak dari seorang pembantu,” ucapnya lirih, namun terasa sangat panas di telinga.Aku mendongak agar saling bertatapan dengan Tuan Hamiz. ”Benar, Tuan. Saya adalah anak seorang pembantu. Seharusnya, saat saya dan ibu akan pergi dari rumah mewah Tuan. Tu
Baca selengkapnya
6.
Ternyata untuk berdamai dengan diri sendiri itu sangat sulit. Pertemuan dengan Tuan Hamiz dan berakhirnya aku sekarang hamil anaknya sukar kuterima. Aku tengah duduk menatap jalanan yang basah akibat gerimis. Melihat orang-orang berjingkat menyebrang jalan agar celana dan bajunya tidak terciprat membuatku nyaman.Orang-orang yang di jalanan setidaknya memiliki tujuan, sedangkan aku? Entah apa tujuanku sejak menjadi ibu hamil di usiaku yang baru 20 tahun. Aku memiliki cita-cita, tapi apa harus kukubur? Aku terlalu malu kembali kuliah karena sebentar lagi perutku tidak bisa disembunyikan.Apa kata teman-temanku? Ya, agaknya aku terlalu risau dengan pandangan orang terhadapku. Apa yang harus kuceritakan? berawal dari seandainya dan menjadi begini, begitu? Itu memalukan.Aku memang sedang menenangkan diri di sini, menikmati udara pagi yang dingin sambil meneguk kopi. Keributan yang terjadi di rumah membuatku muak, karena keributan seperti itu akan kembali terulang sampai aku melahirkan na
Baca selengkapnya
7.
”Kamu udah bangun? Aku udah bikinin kamu nasi goreng. Dimakan, ya, Sayang. Ibu sebentar lagi pulang dari pasar. Aku harus ke kantor karena ada beberapa masalah.”Tangannya mengusap rambut, tapi yang berantakan justru hatiku. Jantungku kembali berulah. Ah! Rasanya aku ingin berteriak.”Pipi kamu merah,” imbuh Tuan Hamiz sebelum menghilang dari pintu. Bahkan Tuan Hamiz tersenyum sampai matanya menyipit. Aku masih terpaku meski Tuan Hamiz sudah menghilang.Dari saya ke aku. Ada apa ini? Kenapa sikapnya sangat berbeda, tidak kaku seperti biasanya. Kuraba dada yang berdetak kencang untuk memastikan di dalam sana jantungku tidak mengalami serangan. Perutku yang kini berulah. Di dalam sana, perutku minta diisi makanan. Teringat nasi goreng hasil masakan Tuan Hamiz membuatku penasaran. Segera saja aku ke luar kamar untuk mencicipi seenak apa buatan Tuan Hamiz.Kubuka tudung saji dan terlihat nasi goreng dengan dua telur ceplok di atasnya. Di samping piring terdapat catatan kecil bertinta mera
Baca selengkapnya
8.
”Kamu udah wudhu, Sayang? Jangan sentuh aku, ya,” canda Tuan Hamiz.Suamiku ini tampak tampan, menawan. Memakai sarung hitam dan baju muslim berwarna merah marun. Kulitnya yang putih terlihat semakin bersih. Wajahnya masih sedikit basah karena baru mengambil wudhu.Tuan Hamiz sendiri yang bilang akan mengimami aku dan ibu. Hal yang tidak kusangka, Tuan Hamiz bisa melakukannya. Aku tersenyum kaku melihatnya tengah memakai kopiah.”Aku ambil air wudhu dulu,” jawabku sambil berdiri dari ranjang.”Sayang. Aku ambil air wudhu dulu, Sayang,” ralat Tuan Hamiz menatapku dengan alis berkerut.”Aku ambil air wudhu dulu, Mas Hamiz.” Tuan Hamiz tersenyum dan mengiyakan. Tangannya hampir mengusap rambutku, tapi segera kuingatkan jika ia sudah berwudhu.”Gemes denger kamu bilang Mas. Ya udah, Mas tunggu di luar ya.”Tanpa menjawab, aku segera ke kamar mandi untuk berwudhu. Selesai berwudhu, ponselku berdering berkedip-kedip menampilkan nomor tak dikenal di layar. Kuabaikan karena ibu dan Tuan Hami
Baca selengkapnya
9.
Niko. Dulu Niko pernah menyatakan perasaannya padaku, tapi aku tidak ada perasaan apa-apa padanya. Aku tidak tahu juga, Niko akan menunggu jawaban dariku sampai 9 tahun lamanya.”Selama itu, harusnya kamu tau jawabannya, Nik,” candaku sambil tersenyum. Niko duduk di hadapanku, sedikit berjongkok. ”Aku pengen denger jawaban dari kamu, tapi jangan sekarang. Aku bakal pastiin, kamu bakal ubah jawaban kamu. Kita bakal sering ketemu.””Tapi aku ....””Aku pergi dulu. Dah!”Belum kujawab tuntas jika sudah bersuami, tapi Niko lebih dulu berlalu. Kuberdiri, merasa sudah siang dan pasti Tuan Hamiz sudah pergi ke kantor. Saat hendak menengok ke belakang, Tuan Hamiz tengah berdiri dengan pakaian rapi sambil berkacak pinggang. ”Dari mana aja kamu? Siapa cowok tadi?”Aku menatapnya sekilas, tanpa ada gairah untuk menjawab. Aku melangkah lebar tidak peduli Tuan Hamiz mengekor di belakang. Berkali-kali Tuan Hamiz memanggil sampai lalu lalang orang memandang ke arahnya dan arahku. Aku tetap melanju
Baca selengkapnya
10.
Badanku menggigil duduk di depan meja makan, berhadapan dengan wajah garang ibu. Sejak pelarianku dan ibu dari kampung, baru kali ini aku melihat wajah ibu yang semarah ini hingga menamparku. ”Diam dan jangan ungkit-ungkit tentang bapak!” Ibu memandangku tanpa berkedip, nada bicaranya terselip kemarahan. ”Nggak bisakah kamu bahagiain ibu sedikit aja, Alana? Cukup diam di sini, layani Tuan Hamiz jadi istri yang baik. Kamu malah apa? Pengen balik ke kampung? Nanggung malu?”Ibu berdiri, mengitari meja makan. Aku sudah menunduk sambil meringis memegangi pipi. Hatiku sakit diperlakukan seperti ini oleh ibu.”Urusan Tuan Hamiz di luaran, itu urusannya. Mau dia pacaran sama Dania, atau siapa, ya terserah dia. Yang terpenting kamu dikasih uang bulanan gede, rumah mentereng, nggak miskin.” ”Ibu!” Ucapan ibu sudah kelewatan. Ibu seolah menjelma menjadi orang lain sejak tinggal di rumah ini. Aku tidak bisa membendung tangis. Kasihan anak yang ada di kandunganku, calon ibunya tidak bahagia.”
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status