Nomer yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan area.
"Kamu kemana sih Fer? Susah sekali dihubungi. Mana Huda lagi sibuk gak bisa jemput, lagi. Gak mungkin aku minta Mbak Nisha jemput soalnya dia piket malam. Huft," gerutuku.Akhirnya aku pasrah dan menunggu angkot di halte kampus. Andai motorku gak ngadat, pasti gak bakalan pulang pergi naik bus disambung angkot.Tin ... Tin.Aku menoleh kearah orang yang membunyikan klakson motor. Aku berdiri dan menghampiri si empunya motor."Kok belum pulang?""Belum dapat angkot Mas. Mas Rayyan anterin Na ke Tanjung ya? Nanti Na nunggu bus disana. Kalau nunggu disana bisa naik bus malam jurusan Bandung juga. Banyak alternatif pokoknya.""Ayuk naik.""Oke. Makasih Mas."Aku segera membonceng Mas Rayyan. Untung tadi pakai celana panjang kalau enggak rempong naiknya. Selama perjalanan aku mengajaknya ngobrol seperti biasa. Kadang malah disertai derai tawa."Loh-loh, kok turun disini Mas?"Aku bingung karena Mas Rayyan malah menurunkanku di toko helm."Masuk Na."Aku masih diam tak bergerak, masih bingung dengan maksud Mas Rayyan. "Ck."Mas Rayyan langsung menarik tanganku menuju toko helm yang cukup besar bahkan banyak pengunjung pula. Sejak tadi aku hanya mengikuti langkah kaki Mas Rayyan. Sesekali pandanganku berkeliling. Hihihi, hampir semua mata menatap Mas Rayyan dengan pandangan penasaran, tertegun, tertarik dan penuh selidik. Bahkan si Mbak pelayan aja sampai memandang Mas Rayyan dengan tatapan terpesona serta senyum yang selalu terkembang.Mas Rayyan sendiri tampak cuek dan bersikap datar. Ckckck. Baru aku tahu, rupanya dibalik sikap ramahnya Pak Dokter blasteran ini juga bisa bersikap datar bin dingin macam kutub saja. Hahaha. Untung sama aku enggak. Awas kalau iya, aku kutuk dia biar jatuh cinta sama aku. Haish... "Kamu pilih yang mana Na?""Hah? Pilih apa Mas?" Aku mendadak linglung."Helm? Kamu mau pilih yang mana?""Buat apa? Na sudah punya helm dirumah.""Buat dipakailah Na, gak mungkin aku nganter kamu tanpa kamu pakai helm. Bisa ditilang nanti kitanya.""Hah?" tanpa sadar aku melongo.Hap, tangan Mas Rayyan menekan daguku agar aku berhenti mangap."Awas nanti lalat masuk. Yang Ink warna biru ya?""Pink," pekikku. Lalu tersenyum manis sekali."Hahaha. Oke. Tolong yang pink ya, Mbak."*****Aku sudah memeluk helm baruku. Berkali-kali kuucapkan terima kasih padanya."Udah, sampai pegel Mas dengernya.""Makasih loh Mas.""Iya Nasha, udah yuk pulang. Mas anterin sampai rumah.""Oke."Aku segera memakai helmku dan kelakuanku berhenti saat tangan besar Mas Rayyan ikut membantu. Aku diam saja, membiarkan dia mengatur anak rambutku agar masuk ke dalam helm dan mengunci gesper helm dengan lembut sekali."Udah," ucapnya sambil tersenyum."Makasih Mas.""Sama-sama. Ayuk kita pulang.""Ayuk."Kami pun pulang menuju Jatilawang. Seperti biasa kami akan mengobrol banyak hal. Bahkan kedua tanganku refleks menggenggam jaketnya. Sesuatu yang tak pernah kulakukan jika aku membonceng lelaki yang bukan keluargaku. Termasuk Feri.*******Sepuluh hari lagi acara pernikahan kakakku. Tapi aku sedang sibuk-sibuknya karena akan memasuki semester enam. Belum lagi aku bergabung dengan KSR sehingga semakin padat pula kegiatanku. Seperti saat ini, aku sedang mengikuti kegiatan Jumbara PMR tingkat Banyumas. Kami tim KSR Unsoed sedang membantu pihak PMI menjadi panitia penyelenggara."Na, gimana persiapan untuk upacara penutupan besok?" Ajeng sahabatku bertanya."Insya Allah fix, piala, piagam sudah dipersiapakan semua," jawabku."Syukurlah, akhirnya mau selesai. Capek aku.""Iya, akhirnya. Aku udah kangen sama kasurku." "Hahaha, eh Na. Kakakmu katanya mau nikah?""Iya ini. Kurang dari seminggu. Akhirnya aku bisa ikutan bantu-bantu juga.""Emang kamu bisa bantu apa? Paling bantu habisin makanan doang kan?""Hahaha, kamu tahu aja Jeng.""Surprise," teriak beberapa orang padaku."Ya Allah kalian dateng," aku berseru senang."Iya lah, kangen kita sama kamu," ucap Leo."Kenalin temen-temen aku, Jeng. Guys kenalin ini Ajeng." Aku memperkenalkan Ajeng ke gengku."Lah, kok Rosi gak ikut?" tanyaku."Sibuk kali dia. Udah antar kita keliling aja yuk," ajak Dino. "Iya Na, percuma kita jauh-jauh kemari kalau gak di ajak berkeliling. Ayuk ah," sambung Lusi.Entah kenapa aku merasa mereka seperti menyembunyikan sesuatu padaku. Raut wajah mereka seperti menahan kesal, entahlah.Aku pun mengajak mereka berkeliling area Jumbara. Bukan Dino dan Leo kalau tidak bikin gaduh. Saat ini mereka tengah berada di panggung ikut menghibur ceritanya. Ya Allah entah tarian apa yang sedang mereka peragakan. Sedang Gita, Jeni dan Lusi sedang hunting jajanan. Mereka semua hobi jajan tapi gak tahu kenapa badan gak melar-melar gak kayak aku. Makan sedikit banyak aja, nih pipi makin tembem.Aku mengambil ponselku mengetik nama Feri dan menghubunginya. Tapi tak tersambung. Akhirnya aku chat dia.Feri: Lagi dimana?Aku mengirim pesan WA. Masih centang satu. Huft. Apa aku terlalu sibuk ya? Belakangan ini Feri sulit aku hubungi. Mungkin dia protes. Akhirnya aku memutuskan menelepon Rosi."Halo Ros?""Eh... Oh hai Na. Ada apa telepon?" kudengar nada sedikit panik dari Rosi."Gak ada apa-apa. Ros, kamu kok gak ikut nengok aku sih? Temen-temen yang lain datang loh?""Oh maaf, aku sibuk.""Sibuk ngapain? Bukannya masih libur semester ya?""Sayang... Sekali lagi yuk?" aku mendengar suara seseorang di seberang sana. Tapi, suara itu kok sepertinya tidak asing."Siapa Ros?" tanyaku."B-bukan siapa-siapa. Udah dulu ya. Aku sibuk. Dah Nasha.""Eh… Ros. Tunggu," dia mematikan teleponnya. Kucoba hubungi lagi tapi tidak aktif.Ah sudahlah. Besok pas ketemu Rosi, aku tanyakan lagi.*****Akhirnya semua acara selesai, waktunya pulang. Aku menghubungi sepupuku Huda untuk menjemputku. Dari kejauhan kulihat Mas Rayyan berjalan ke arahku."Udah siap Na, Yuk pulang.""Loh, kok Mas Rayyan yang jemput?""Huda lagi sibuk. Aku anter kamu sampai Patikraja. Nanti Huda jemput kamu disana.""Ckckck repot bener. Kenapa gak sampai Jatilawang Mas?""Maunya Mas gitu tapi katanya pamali." Kulihat senyumnya ish... Manisnya. "Haduh... Perasaan ya setiap hari ketemu di Rumah sakit kan Mas. Sok-sokan pamali.""Hahaha... Iya yah. Udah yuk jalan," titah Mas Rayyan.Mas Rayyan langsung berjalan sambil menenteng tas besar milikku. Aku berada di belakangnya karena tak bisa mengimbangi langkah Mas Rayyan yang cepat. Apalagi dilihat dari postur tubuhnya yang tinggi besar. Kalau lagi tidak capek mungkin aku bisa mengimbanginya. Bruk."Aduh." Aku meringis karena menabrak punggungnya."Mas. Sakit tahu. Kenapa berhenti mendadak?""Lah Mas nyariin kamu. Takut hilang," dia hanya cengengesan."Lagian Mas jalannya cepet banget deh. Gak usah cepet-cepet kenapa? Aku lagi capek Mas, gak bisa aku mengimbangi langkah kakimu. Bagaimana Mas mau membangun masa depan bahagia kalau langkahmu saja tak bisa kuimbangi. Hem," ujarku lebay."Astaga Na. Hahaha." Lihatlah dia tertawa, kemudian ikut larut dalam kekonyolanku."Kenapa dengan langkah kakiku? Bukankah aku imam? Langkahku menentukan segalanya dalam keluarga kita." Ya akhirnya calon kakak iparku ikutan ngedrama. Oh baiklah. Mari aku ladeni."Lalu aku siapa? Babu atau istrimu. Ingat Mas, aku ini makmum kamu. Aku memang akan selalu melangkah di belakangmu. Tapi tak bisakah sekali saja kita berbagi pikiran dengan menyamakan langkah kita?" ucapku lebay."Tapi aku harus melangkah terlebih dahulu untuk mencari tahu seberapa besar kesempatan yang bisa kugapai. Lagi pula lihat nih masih ada punggung Mas. Tempat bersandar yang nyaman dan tempat berlindung paling aman. Punggungku ini mampu membawa beban beratmu. Dan dengan ini, Mas bisa membawamu melangkah menuju masa depan."Kami akhirnya tergelak sendiri melihat akting kami yang amburadul. Bahkan beberapa pasang mata melihat kami. Mungkin menganggap kami pasangan suami istri. Hahaha."Dek, maafin Mas ya. Mas khilaf. Janji ini yang terakhir khilafnya." Aku hanya bisa menghembuskan nafas. Dulu sekali Mas Rei juga bilangnya khilaf tapi ini malah khilaf lagi. "Dek, jangan marah ya. Senyum dong." "Buat apa marah Mas? Toh udah kejadian bukan?" sahutku sinis. "Iya juga sih. Tapi Mas seneng kok bisa khilaf terus." "Ck." Aku mencebik dan mencubit perutnya. Dasar. Mas Reihan hanya tertawa, sesekali mencium tanganku dan keningku. Bahkan aku yakin kalau gak ada orang, pasti dia sudah mengajakku adu bibir. Haish. Punya suami kok gini amat, untung aku cinta. Mungkin karena aku diam saja Mas Reihan kembali membujukku dengan kata-kata manis. "Iya, iya nanti Mas lebih hati-hati tapi khilafnya gak bakalan ilang, Sayang." Dia mengucap dengan seringai jahil. Dih, dasar! Aku memilih mengerucutkan bibir. Bodo amat kelihatan jelek. Salah sendiri tuh Kulkas jadiin aku istri. Jadi harus terima dong lahir batin kecantikan sama kejelekanku kalau lagi ngambek. "Udah jangan marah ya B
"Kalian gak bawa baby sitter?" tanya Joshua."Gak.""Gak kerepotan?""Enggaklah," jawab Mas Reihan cuek."Kalian kok bisa cuma punya ART sekaligus pengasuh bayi tanpa pakai jasa baby sitter sih?""Ya bisalah," ucap Mas Reihan."Kok Zaza bisa ya ngajar sekaligus bisa kasih ASI. Eksklusif lagi.""Istriku gitu loh.""Iya-iya yang istrinya paling cantik, paling pinter, paling ter-semua pokoknya.""Harus. Kan istri sendiri bukan istri orang lain.""Ck. Dasar Dokter Kulkas." Joshua mengumpati suamiku. Lalu dia bergegas mengikuti gadis cilik yang berlari hendak bermain dengan air.Aku hanya bisa menahan tawa melihat bagaimana interaksi suamiku dengan para sahabat sekaligus rekan kerjanya."Mimik muka suamimu loh Za, gak berubah. Bisa datar gitu. Kok kamu mau sih nikah sama dia.""Eh Bu Mila." Aku menyalami Bu Mila, salah satu istri dari rekan Mas Reihan. Dokter Siswo, spesialis jant
Sepuluh hari aku dan Baby Twins di rumah sakit. Kini kami kembali ke Sokaraja dan disana aku dan Twins disambut oleh seluruh keluarga. Bahkan, Tante Raisa sekeluarga pun datang.Malamnya acara akikah kedua anakku diselenggarakan dengan meriah. Sebetulnya acara akikah standar, hanya saja malam ini semua keluargaku dan Mas Reihan datang jadi sangat ramai.Seperti biasa Royya dan Rael akan bertengkar. Kali ini mereka bertengkar memperebutkan siapa yang jadi saudara ketiga. Astaga.Acara akikah sudah selesai dari tadi tapi kami masih sibuk bercengkrama. Aku yang merasa lelah meminta ijin untuk ke kamar lebih dulu, tentu saja dengan diantar oleh Mas Reihan."Mas temeni yang lain aja. Rana gak papa sama Twins.""Oke. Tidur yang nyenyak ya Dek.""Iya."Mas Reihan mencium pipi Twins dan terakhir mencium keningku mesra."Tidur ya, Mas keluar dulu.""Oke."Aku merebahkan diri di samping si kembar. Kami memutuskan meme
"Mereka luar biasa Mas.""Iya. Sangat luar biasa."Aku dan Mas Reihan tengah menatap baby twins. Keduanya benar-benar luar biasa. Mereka adalah hadiah terindah bagi kami setelah tiga tahun penantian. Aku bersyukur, Allah memberi kami kepercayaan dua buah hati sekaligus. Mana kembar sepasang lagi.Cup.Aku menoleh ke arah Mas Reihan. Lalu mencubit perutnya."Mas!" bentakku sambil memelototinya. Dasar! Suka sekali cari kesempatan."Apa? Hem ...." Dia hanya tersenyum dan menatapku jahil. Bahkan tangannya sudah memainkan kerudungku dari tadi dan diputar-putarnya."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Refleks Mas Reihan menghentikan aksi anehnya dan berdiri menyambut tamu yang datang."Zazaaaaa.""Yayaaaa."Yaya menuju ke ranjangku. Dia langsung memelukku dan aku balik memeluknya, heboh pokoknya. Aku menyambut uluran tangan semua rekan kerjaku yang datang."Wah ganteng dan cantik ya Za
POV RanaAku terbangun di sebuah hamparan pasir yang indah. Kutatap sekelilingku. Pantai?Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Sepi. Kemana semua orang?Mana Mas Reihan? Dan ... kenapa perutku kempes? Dimana bayiku? Aku panik. Aku mencoba berlari mencari orang-orang tapi tak ada satupun yang kutemui. Hingga kulihat sebuah perahu di sana. Aku berlari menuju perahu yang masih berada di bibir pantai sepertinya mereka akan berlayar."Permisi ... permisi. Bolehkah sa-" Aku tertegun. Mataku berkaca-kaca. Aku segera berlari menyongsong kedua orang yang sangat kurindu."Ayah, Bunda, Rana kangen." Kedua orang tuaku memelukku. Lama kami berpelukan."Kalian mau kemana?""Berlayar," ucap Ayah."Boleh Rana ikut?""Boleh," kini Bunda yang menyahut.Aku menggenggam tangan Ayah dan Bunda di kanan kiriku. Aku bahagia sekali. Kami berjalan bergandengan tangan dan akan naik ke perahu. Ayah yang pertama naik, kemudian Ayah mengulurkan t
Sudah tiga hari, Rana masih tak sadarkan diri. Menurut ahli obgyn, perut Rana mengalami benturan yang cukup keras. Namun tak membahayakan rahimnya. Aku masih ingat, bagaimana Rana berkutat dengan Karina yang ingin memukul perutnya saat itu. Berulangkali dia menghalangi tinju Karina. Ya Allah. Semoga Engkau membalas perlakuan Karina sesuai dengan tindakannya, amin.Pembersihan rahim juga sudah dilaksakan. Nindy bilang, tak ada masalah. Ketidaksadaran Rana diakibatkan kelelahan dan pasokan oksigen ke otak yang hampir saja berkurang.Selama tiga hari ini kondisi baby twins mulai stabil. Mereka sudah dipindahkan ke ruang anak. Bersyukur Aya dan Fiqa memiliki ASI yang melimpah. Riyyan dan Ela juga sudah berusia satu tahun dan sudah makan. Jadi, ibu mereka bisa mendonorkan ASI-nya untuk kedua anakku."Kondisi mereka sudah stabil." Mamah menghampiriku dan mengelus kedua pipi cucu kembarnya. Mamah habis melaksanakan sholat tahajud di masjid."Iy