Share

Menjagamu

Hai readers, cerita ini hanya fiktif belaka ya. Kalau ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Semoga suka, selamat membaca🤎

 🌼🌼🌼

Kayla memejamkan matanya sambil menghela nafas kasar.

Ia menelan air liurnya. Pahit.

Sudah dua hari ini Salsha belum juga membalas chat darinya. Perasaan takut dan bersalah bercampur jadi satu.

Takut menghadapi teman-temannya yang mungkin saja akan melabraknya lagi, sementara ia sendirian.

Benar-benar sendirian kali ini.

Tak ada Salsha, Garin, bahkan ia sendiri merasa tak mampu akan menolong dirinya.

"Ternyata benar, hanya Allah yang setia. Allah tak pernah meninggalkanku, tetapi aku yang sering meninggalkannya." Kayla bermonolog sendiri.

Makin dipikirkan makin bisa disimpulkan bahwa tidak ada yang setia di dunia ini. Semua akan pergi satu per satu.

Cepat atau lambat.

Kemudian, air mata Kayla mengalir. Dadanya terasa sesak saat tanganya spontan menutup mulutnya yang mulai mengeluarkan suara.

Ia menangis sesenggukan dalam diam.

Pahit menyadari ketika dirinya terlihat kuat tapi dalamnya rapuh.

Jika angin ingin menyapunya maka pekerjaan angin akan sangat mudah dengan kondisinya saat ini. Untuk berdiri tegak saja rasanya sudah sangat tak mampu.

Perlahan ia mulai ragu.

Benarkah keputusan yang ia ambil? Atau hanya nafsunya yang menggerogoti jiwa karena takut akan menghadapi takdir lain setelah terus menolak pengharapan orang tua?

"Ya Allah tolong aku." Ucapnya lirih, matanya kembali terpejam dengan air mata yang terus mengalir.

Setelah bergulat dengan batinya sendiri, mata perempuan berusia 20 tahun itu akhirnya terpejam lebih lama.

Tubuhnya yang lelah memilih untuk memperintahkan matanya untuk beristirahat sejenak.

Membiarkan Kayla memperbaiki seluruh organ dalam tubuhnya sehingga setelah ia bangun ia dapat bersiap lagi.

Pada hari-hari yang entah akan berakhir indah atau justru membuatnya terluka lagi.

🌼🌼🌼

Jam 09.30, hari senin.

"Kita mau kemana Fa?" Tanya Adila, Kakak satu-satunya yang Wafa punya.

Sambil memasangkan jaket denim ke tubuhnya, Wafa menoleh ke arah Adila. "Temani aku jemput Kayla ya Kak, nanti aku temani ke toko buku, oke?"

Alis Adila mengkerut. "Tumben minta temenin biasanya kamu selalu melarang setiap aku mau ikut pergi kalau sedang jalan dengan cewek lain?"

"Mau aku temenin ke toko buku ngga?" Ancam Wafa.

Bibir Adila cemberut. "Ya mau lah, tetapi aku bingung aja kok tumbenan. Ada apa sih?"

"Kakaku sayang bisa ngga usah kepoan?" Ledek Wafa sambil memijat gemas pundak Adila.

Adila menyerah, ia menghela nafas. "Oke, aku ngga banyak tanya lagi. Yaudah abis jemput Kayla terus kita kemana?"

"Kayla ada kuliah jam 10.45 nanti. Jadi aku mau nganter dia setelah itu kita ke toko buku."

"Oh Kayla minta jemput? Oke deh, aku ambil tasku dulu."

"Ngga, aku berinisiatif aja." Balas Wafa cepat.

Langkah Adila yang hendak menaiki tangga untuk mengambil tas langsung terhenti. Ia menoleh segera. "Lho nanti kalau Kayla udah berangkat gimana? Janjian dulu gih."

"Tenang aja aku punya informan paling valid," Jawab Wafa. Ia sambil mencari kunci mobil miliknya. "Bunda nya Kayla." Lanjutnya lagi.

"Oke deh." Akhirnya, Adila tak banyak tanya lagi dan memilih untuk segera mengambil tas.

🌼🌼🌼

Kayla tersentuh hatinya saat melihat Wafa benar-benar menepati janji.

Ia mengajak Kak Adila untuk menemani mereka setiap kali pergi berdua. Walaupun Kayla sempat tak nyaman saat Wafa tiba-tiba datang untuk menjemput padahal belum janjian.

Akan tetapi, dengan perhatian yang tengah ia usahakan untuk membuatnya nyaman patut diapresiasi.

Dalam diam Kayla kembali berharap, ku mohon kamu tidak tengah berpura-pura karena aku takut jika sudah menaruh hati lalu kamu melepas topeng dan meninggalkanku. Aamiin.

🌼🌼🌼

"Kayla ngambil jurusan apa?" Tanya Adila sesaat mereka sudah di dalam mobil.

Kayla yang duduk di bangku pertama sedikit memutar badanya agar nyaman untuk menjawab. "Aku ngambil jurusan sastra Kak, sastra Inggris."

Mata Adila berbinar. "Wah sama dong, aku juga jurusan itu. Udah kepikiran mau ambil topik apa saat skripsi nanti?"

Bola mata Kayla terlihat berputar. "Baru cari-cari sih Kak, tapi belom tau pasti. Kakak waktu itu ambil topik apa?"

"Aku waktu itu bahas efektivitas lagu barat terhadap pemahaman remaja dalam mempelajari bahasa Inggris, terus aku bahas juga dari sisi aspek sosial, budaya, psikologis, dan lain-lain." Tutur Adila.

"Wah menarik Kak, boleh dong kapan-kapan aku tanya Kakak pas garap skripsi?"

"Boleh banget kok,!" Ungkap Adila antusias. "Kamu juga bisa tanya banyak sama Wafa, dia yang paling bantu aku pas garap skirpsi. Calon suamimu jenius lho."

Sambil menyetir, tangan kiri Wafa mengibas asal. "Ngasal banget, mana ada. Aku juga membantu seadanya."

"Ngga usah merendah untuk meroket kamu, kali-kali memuji dirimu sendiri kenapa Fa." Tegur Adila.

Ia cukup jengah pada sikap Wafa yang selalu menganggap dirinya tidak ada apa-apanya padahal banyak hal baik yang telah ia torehkan.

Tidak, Wafa bukan pura-pura. Dia memang begitu.

"Nanti kalau aku tanya Wafa bakal diomelin ngga Kak?" Ledek Kayla, ia mulai membuka diri saat Adila ada di tengah-tengah mereka.

Adila tertawa geli mendengar pertanyaan Kayla. Bisa-bisanya gadis itu menanggap Wafa galak.

"Dia hanya galak pada hal yang ngga baik kok. Selebihnya sama sekali ngga, justru aku yang sering mengomelinya apalagi waktu Wafa menolak untuk membantu pas garap pembahasan. Udah tau itu paling penting."

Spontan, Kayla melirik wajah Wafa dari kaca spion. Terlihat wajah Wafa yang begitu meneduhkan.

Tapi ia segera membuang muka lagi dan kembali menatap jalan melalui kaca jendela.

Ia hanya takut setan merasuki dirinya dan membuatnya jatuh sedalam-dalamnya pada Wafa sebelum mereka terikat resmi.

"Oh iya, ini belok kiri ya?" Wafa mencoba mengalihkan pembicaraan.

Kayla mengangguk. "Ia tinggal belok kiri, kampusku ngga jauh dari situ."

"Ternyata kalian selama ini kuliahnya berdekatan ya." Ujar Adila.

"Tapi tetap saja Kak, Wafa kuliah di negeri sementara aku di swasta."

"Lho kenapa? Keduanya sama-sama bagus kok. Orang kayak kamu masih bisa tercium wanginya di mana saja." Puji Adila.

Senyum Kayla tersungging. "Masya Allah, aamiin."

Wafa ikut mengembangkan senyumnya secara diam-diam, ia senang dengan situasi ini.

Merasakan hawa kenyamanan dalam diri Kayla lebih dari cukup.

"Aku turun disini saja, makasih sudah mau mengantarkan.." Bibir Kayla mendadak kaku. Dirinya disambut dengan tatapan tak enak dari teman-temannya dari luar kaca.

"Ada apa Key?" Tanya Adila yang bingung dengan perubahan sikap Kayla.

Wafa yang langsung paham segera menyampingkan tubuhnya agar Kayla tidak lagi melihat tatapan tajam ke arah calon istrinya itu.

"Aku temanimu sampai depan kelas ya?" Pinta Wafa segera.

Kayla menggeleng cepat. "Jangan!"

"Lho kenapa?" Tanya Adila tak mengerti.

Wafa yang belum sempat menceritakan secara utuh tentang kondisi Kayla membuat Adila terus menatap penasaran.

"Kak, tolong temani Kayla sampai ke kelas ya?"

"Heh,?" Adila sempat bingung dengan permintaan Wafa. Tapi saat melihat kode yang diberikan oleh Wafa ia langsung mengerti. "Oke aku akan menemani Kayla."

"Kamu ditemani sama Kak Adila ya, tolong jangan nolak." Pinta Wafa. Firasatnya mengatakan calon istrinya itu akan diperlakukan yang tidak-tidak.

Kayla tidak menolak. Ia memilih untuk menerima permintaan Wafa. Setidaknya hal itu bisa meredam kecemasaanya dan mereka juga tidak mengenal Kak Adila.

"Oke, yuk." Ajak Adila lalu mereka keluar bersamaan dari dalam mobil.

Sorot mata Wafa seakan mengisrayatkan bahwa ia tidak rela melepaskan Kayla untuk kuliah hari ini.

Pria itu takut jika selepas kepergiannya akan ada hal-hal buruk yang datang.

Wafa terus memperhatikan gerak-gerik Kayla melalui kaca mobil. Ia menatap khawatir.

Sepertinya jadwal untuk langsung pergi ke toko buku selepas mengantar Kayla akan ia urungkan.

Wafa akan meminta Kakaknya untuk menunggu sampai Kayla selesai kuliah.

Ia harus memastikan bahwa calon istrinya baik-baik saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status