“Siapa ini?!”
Ketika hendak mengambil barang belanjaannya untuk dibawa ke rumah, Devran begitu terkejut ada seorang perempuan yang meringkuk di bagasi mobilnya.
Bagaimana bisa ada di sana?
Seketika, ahli waris keluarga Alana itu teringat bahwa dia sempat meninggalkan bagasinya terbuka saat memasukkan barang karena ayahnya menelpon.
“Sial…” lirihnya tanpa sadar.
Bisa-bisa, Devran disangka menculik atau berbuat buruk pada perempuan ini. Atau yang lebih parah, perempuan ini justru komplotan penipu?
Tak ingin membuang waktu, Devan lantas mengguncang tubuh perempuan itu.
Sayangnya ketiadaan reaksi justru membuat Devran menjadi panik.
Segera, ia menoleh ke kanan dan ke kiri.
Setahun di tempat ini, Devran tahu seperti apa karakter tetangganya.
Meski perumahan ini terbilang modern–-setidaknya untuk ukuran kota kecil ini—mereka bukanlah orang yang berpemikiran terbuka seperti di tempat asalnya.
Kemarin saja, saat bos wanita di kantor tempatnya bekerja datang dengan pakaian serba ketat ke rumahnya, tetangga kanan kiri sudah banyak yang merasa tidak nyaman dan menggosipinya.
Bagaimana dengan wanita pingsan ini?
“Mbak, bangun?” Lagi Devran berusaha membangunkannya.
Namun kali ini, Devran tersadar perempuan itu masih begitu muda dan tampak sangat pucat.
Belum lagi, dia menggigil!
“Tolong aku!” lirih gadis itu tiba-tiba. Tampaknya sedang menginggau “Bunda tolong, aku ingin mati saja bersamamu!”
Terdengar pilu sekali.
Bahkan, air mata mengalir di pipinya.
Membuat Devran jadi tidak tega. Sebenarnya, apa yang dilalui gadis muda ini?
Srak!
Devran tersentak karena tiba-tiba saja, tangan gadis itu terkulai.
Pria itu khawatir gadis ini meninggal di mobilnya.
Bisa panjang urusannya nanti…!
Ke klinik pun tak ada yang buka. Jadi, terpaksa Devran menggendongnya ke dalam rumah dan menempatkannya di sofa ruang TV.
Dia sengaja tidak membawanya ke kamar, ngeri dengan ucapan tetangga bila tahu dia membawa perempuan yang bukan istrinya.
Namun, Devran masih berbaik hati mengambilkannya selimut dan membentangkannya di atas tubuh itu.
Hanya saja, gadis itu kembali mengigau!
“Aku tidak mau menikahi pria tua itu!”
“Aku mau lanjut kuliah!”
Devran jadi ngeri sendiri. “Mbak?” panggil Devran menepuk lengannya agar tersadar.
Mata itu perlahan terbuka.
Melihat Devran di depan pandangnya, Nayra langsung berjingkat dan meringsut memeluk lutut di ujung sofa.
“Aku tidak mau menikah. Kau jangan coba-coba membujukku!” tukasnya ketakutan.
Devran tertegun memandangi gadis itu. “Siapa yang mau menikahimu, Mbak?” tukasnya sembari menilai.
Pria itu hendak mengambil selimut yang terjatuh di lantai.
Sayangnya, Nayra salah paham dan malah menduga Devran hendak menyentuhnya.
Gadis itu sontak menjerit-jerit ketakutan. “Toloong, aku mau diperkosaaaa....!”
Kali ini, Devran benar-benar terkesiap. “Eh, jangan teriak-teriak begitu. Nanti apa kata orang?”
Devran mencoba menenangkannya karena tidak mau tetangga sebelah jadi curiga.
Dia bahkan sampai membungkam mulut Nayra karena tidak tahu harus bagaimana bisa memintanya berhenti berteriak.
Merasa terancam dengan sikap Devran, Nayra memukuli lengan pria itu.
Niatnya berusaha melepaskan diri dari Devran, tapi malah terjatuh dari sofa dengan reflek menarik kaus Devran hingga ikut terjatuh di atas tubuhnya.
Brak!
Bersamaan itu tiba-tiba saja pintu rumah terbuka.
Melihat pria dan wanita saling bertumpang tindih, mereka sontak terkejut.
“Astaghfirullah! Kelakuan bejat apa ini?!” pekik salah satu ibu-ibu di sana, “sekarang percaya 'kan, pria ini tadi memang menggendong perempuan masuk ke rumahnya!"
“Ya Allah. Parah ini...”
Kali ini, seorang pemuda mengangkat ponsel dan mengarahkannya pada kedua orang yang sekarang langsung bangkit dengan canggung menghadapi para tetangga.
“Jangan rekam!” Devran membentak.
.
.
.
Next~
“Buang saja kalau itu dari wanita iblis itu!” Renata langsung bereaksi keras mendengar nama Tamara disebut.“Ma?” Alana menenangkan mamanya.“Kau tidak lupa kan, karena dia cucu dan cicitku hampir celaka!” Renata masih tidak mau berkompromi.“Iya, Ma. Ludwig hanya menduga. Bisa jadi bukan.” Farah ikut menyahuti.“Tapi, aku yakin, kok. Itu dari Tamara.” Ludwig berkeras dengan pendapatnya.Bukan masalah hadiah itu mau dibuang atau tidak. Ludwig juga tidak akan menahan kalau saja semua orang tidak menyukai hadiah dari Tamara. Tapi dia tahu, Tamara akhir-akhir ini lebih banyak membisu dan tak suka banyak bicara. Diam-diam dia juga bertanya kabar putri Devran pada asistennya. Ludwig juga tak banyak bertanya tentang kondisi istrinya itu. Sejak kejadian itu, dia juga sebal dan mendiamkan Tamara. Hanya saja selama ini mereka masih serumah. Masih tidak tega dia meninggalkan Tamara dalam keadaan sakit. Kakinya yang dulu dioperasi harus kembali dioperasi lagi beberapa hari ke depan pasca keja
Bayi yang disepakati orang tuanya bernama Zahra itu, sudah hampir tiga bulan usianya. Tapi pihak keluarga belum mengadakan acara sekedar sukuran. Mereka mengikuti saran dokter agar bayi yang lahir sebulan sebelum hari perkiraan lahiran itu tidak boleh berinteraksi dulu dengan banyak orang agar higienitas terjaga.Kini setelah tiga bulan, bayi itu sudah bertambah gembuk dan menggemaskan. Keluarga Emeraldo sudah tidak tahan ingin mengenalkan pada dunia bahwa keluarga mereka punya putri yang cantik.“Kau tidak lupa menyuruh orang menjemput ustad untuk ikut mendoakan cicitku, Alan.” Renata memangku Zahra yang terlelap itu. Selalu saat melihat bayi itu, Renata beraca-kaca.“Iya, Ma. Sudah ada yang jemput, kok. Tapi kenapa malah nangis?” Alana mengelus lengan mamanya.“Aku orang yang paling beruntung, Alan. Masih bisa menggendong cicitku...” Renata terisak.Tangisannya itu mengusik si bayi mungil yang sedang tertidur. Mahluk kecil itu menggeliat, lalu menatap Renata dengan tatapan penuh
“Papa Ludwig sedang melihat cucunya, Mas. Biarin dulu!”Nayra meminta Devran untuk tidak mengusik pria itu. Devran mencuri-curi lirik pada pria yang tampak mengulas senyum sembari menempelkan telapak tangannya di kaca untuk menyapa cucunya. Dia sebenarnya sudah mulai respek pada ayah biologisnya itu. Setelah beberapa saat kemudian, Ludwig baru berjingkat. Namun sebelum beranjak pergi, masih terdengar dia berkata, “Kakek pergi dulu, mimpi yang indah ya, anak cantik!” Lalu ketika membalikan badan untuk pergi, seketika wajahnya terlihat terkejut mengetahui Devran dan Nayra ada di sana.Ada sikap canggung yang masih ditunjukan kediua pria itu saat saling bertatap muka. Sehingga Nayra yang harus mencairkan suasana.“Papa Ludwig?” Nayra mengulurkan tangannya untuk menyalimi mertuanya itu.Ludwig tersenyum menerima uluran tangan Nayra.“Tadi aku mengunjungi teman di rumah sakit, mampir jenguk putrimu.” Ludwig beralasan. Nampak masih menjaga image di depan Devran. Padahal dia memang d
Untung Nayra sudah menabung banyak asi sebelum dia lahiran. Jadi meski saat ini malah tidak bisa memberikan asi karena pengaruh obat, bayi mereka tetap bisa menikmati makanannya.Walau terlahir sebelum waktunya, untungnya seminggu perawatan membuat mahluk mungil itu perlahan bertambah bobotnya.“Anakku itu, Mas?” Nayra yang di dorong menggunakan kursi roda diantar Devran ke ruang NICU, melihat putri mereka dari dinding kaca.“Iya, Sayang. Dokter bilang perkembangannya pesat sekali.” Devran mengelus pundak Nayra dan mencium puncak kepalanya.Tatapannya beralih dari si mahluk mungil yang sedang terlelap di dalam sana menuju sang istri.Devran berlutut di samping Nayra dan menatapnya dengan berkaca-kaca.“Kenapa, Mas?” Nayra jadi ikut sedih melihat pria jutek dan dingin saat ini terlihat begitu melankolis.“Kau hebat sekali, Nay. Kau masih bisa menjaga putriku dengan baik di tengah terpaan masalah yang terus merongrongmu.”“Terima kasih banyak, Nay.” Devran menambahi sembari menciumi t
“Perlengkapan bayi?” Farah hampir terpekik. Rasanya campur aduk mendengar hal itu.Berarti bayi Nayra baik-baik saja? Mereka akan punya cucu dalam hitungan menit?“A-ada tidak, Ma? Beli di mana?” Devran sampai lupa kalau dia punya banyak asisten atau orang-orang di depannya ini juga dengan senang hati membantunya. Tapi malah mau beli sendiri. “Dev, biar aku minta Musa menyiapaknnya. Kau kebalilah ke dalam.” Alana langsung gerak cepat.“Tidak-tidak, Rudi ada di depan, aku akan memberitahunya untuk beli di koprasi rumah sakit saja.” Ludwig langsung menelpon asistennya.“Kelamaan, aku saja yang beli!” Farah langsung mengambil tasnya dan berjalan menuju koperasi rumah sakit untuk membeli perlengakapan bayi.Rasa kesal dan sebalnya sudah hilang. Kini sepanjang langkahnya diisi dengan rasa sukur bahwa sebentar lagi mereka akan menggendong mahluk mungil yang tangisannya akan selalu dirindukan.Dengan cepat mengambil keranjang dan memilih popok juga bedong dan lainnya. Tak lupa perlengkapan
“Hhg. Aku tak perlu mengatakannya dari mulutku, tapi dunia sudah tahu wanita seperti apa dirimu, Tamara. Mereka melihatmu yang culas dan ambisius. Apa kau masih butuh sebuah pernyataan dariku juga?”Farah bukannya menguntit semua berita tentang Tamara. Tapi, setiap dia membuka sosial media atau televisi atau saluran berita lainnya, nama baik Tamara seperinya sudah mulai hancur di mata para penikmat berita itu.Yang mereka tahu, saat ini Tamara menikahi Ludwig yang menjadi CEO perusahaan besar itu dan meninggalkan Alana karena tersingkir. Jadi saat ini hanyalah berita miring tentang kehidupannya saja.Sang ratu pesta yang kerap mengadakan jamuan mewah di kalangan para artsi ini, kabarnya pun mulai ditinggalkan setelah perselisihannya dengan sang model yang kini ikut menghujatnya di sosial media itu setelah bebas dari penjara. “Jangan sok tahu, kamu!” Tamara kesal.Nayra yang tahu kondisi mulai tidak kondusif langsung menarik lengan mamanya. “Ayo, Ma. Kita pergi! Nanti nenek cari