“Maaf, Mas. Tapi aku tadi dikejar-kejar orang jahat.” Nayra memelas pada Devran. “Ibu tiriku mau menjodohkanku dengan pria tua. Tapi, aku masih mau kuliah! Tolong aku, Mas.”
Devran menghela napas. “Sudah kubilang berhentilah menangis! Mereka malah salah paham padaku nanti!”
Gadis ini hanya akan menambah perkara untuknya kalau tidak berhenti menangis.
“Aku mau kok jadi pembantu atau apalah itu, Mas. Tapi aku boleh ya tinggal di sini?”
“Kau gila! Orang-orang di luar memintamu menikah denganku hanya karena kau berteriak-teriak tadi. Sekarang bagaimana bisa aku membiarkanmu tinggal di sini kalau kita tidak ada hubugan apa-apa?!” Devran kesal. Ucapan Nayra membuatnya kembali terpancing emosi.
“Tapi aku tidak punya siapa-siapa lagi, Mas? Aku tidak tahu harus pergi kemana lagi?” isak gadis itu sambil bersimpuh di lantai.
Devran tersentak, tapi dia tidak ingin terperdaya.
Bisa saja gadis ini penipu atau hanya bermanipulasi saja dengan keadaan.
Terlebih, dia belum keluar dari masalah ini.
Sedangkan, Nayra kini ketakutan.
Dia tidak punya kerabat lagi untuk dimintai tolong.Kalau dia kembali berkeliaran di luar, orang-orang ibu tirinya akan menemukannya dan menikahkannya dengan pria tua itu.
Nayra yakin, Devran pria yang baik. Karenanya dia akan bersikeras meminta perlindungan pria ini.
Tanpa Nayra sadari, sekilas Devran melihat gaun di lengan atas gadis itu tersingkap.
Memperlihatkan bekas luka seperti dicambuk di kulit putihnya meski sudah tidak ketara.
Sepertinya bekas penganiayaan.
****
“Saya bersedia menikahinya, Ustaz!”
Ya, Devran sudah mempertimbangkannya.
Bukan hanya tentang kasihan pada gadis itu. Tapi juga untuk kepentingannya sendiri.
Mumpung ada gadis yang mau diajaknya berkompromi, sekalian saja Devran memanfaatkan kesempatan ini.
Dia jadi tidak perlu bersusah-susah mencari gadis yang mau menjalin hubungan tanpa cinta bersamanya untuk meredam isu tentang dirinya yang tidak bisa move on.
Orang tuanya juga pasti senang.
Sekali dayung, 2-3 pulau terlampaui!
“Alhamdulillah, Nak. Sudah seharusnya kau menikah. Usiamu sudah layak untuk menikah. Niati ini sebagai ibadah agar hidupmu tenang dan jauh dari fitnah.”
Ustaz Muh membekali tekad Devran agar tidak merasa dipaksa dalam memutuskan perkara yang tidak bisa dibuat main-main ini.
Hanya saja, Devran tak menyangka bahwa dalam sekejap semua persiapan segera dilaksanakan.
Warga yang dipikir Devran sangat menyebalkan itu ternyata dengan suka rela membantu persiapan seikhlasnya.
Nayra bahkan dipinjami kebaya istri Ustaz Muh dan didandani cantik.
Malam itu juga, Devran sudah menikahi seorang gadis.
Dalam sebuah acara sederhana dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.
Seperti mimpi, dia membeku memandangi sosok gadis yang baru ditemuinya beberapa jam sebelum pernikahan ini.
Benarkah gadis itu yang menjadi istrinya?
Bahkan dia tidak tahu apa-apa tentangnya.
“Gila!” umpat Devran yang hanya bisa didengar telinganya sendiri begitu para tamu sudah pergi.
Dari sudut matanya, Devran dapat melihat Nayra yang masih terduduk tegang di sofa ruang tamu.
Melihatnya, Devran menghela napas. Dihampirinya Nayra sekedar menandaskan tentang pernikahan mereka ini.
“Kau tidak lupa kan apa yang aku katakan tadi?”
“Iya, Mas. Aku masih ingat kalau Mas Devran menikahiku karena tidak mau diarak warga, dan aku juga butuh tinggal disini sementara waktu karena ibu tiriku yang kejam itu.”
“Bagus! Kalau perlu catat itu baik-baik. Kau juga tidak gratis tinggal di sini. Kau harus ...”
“Aku akan bersih-bersih rumah, masak, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya,” sahut Nayra cepat, hingga pria itu tampak mengangguk puas.
Mereka sudah sama-sama memahami tentang tujuan pernikahan ini.
Gadis ini juga sudah tidak lagi tampak tertekan. Pasti karena sudah merasa aman punya tempat tinggal sementara waktu saat ibu tirinya mengejar-ngejar untuk menikahkannya dengan pria tua.
Adil lah untuk mereka berdua.
Terlebih, Devran tak perlu mendengar omelan sang mama karena belum juga membawa calon istri saat pulang nanti.
“Bagus, untuk malam ini kau boleh tidur di kamar ini,” ucapnya.
Hanya saja, gadis di depannya itu tampak tidak enak. “Tidak usah, Mas. Ini kamar Mas Devran. Biar aku saja yang tidur di kamar lainnya.”
“Kamar sebelah masih berantakan!” tukas Devran.
“Aku bisa bersihkan kok, Mas!” sahut Nayra.
Dia sudah bersyukur ditolong dan diberikan tempat oleh Devran. Jadi segan saja kalau terus merepotkan.
“Istirahat saja. Jangan bawel!” putus Devran karena Nayra masih ngeyel dengan apa yang dikatanya.
Devran tahu Nayra tadi kurang enak badan. Karena itu pula, dia tidak sampai hati membiarkannya bersih-bersih kamar sebelah malam ini.
Namun baru saja dia keluar kamar, Nayra sudah mengikutinya.
“Ada apa?” tanya Devran heran.
“Itu….”
“Aku orangnya tidak suka basa-basi. Aku lebih suka kalau kau apa adanya. Jadi katakan saja apa yang kau ingin katakan.”
Mendapat jaminan itu, Nayra pun patuh. “Aku tidak punya baju ganti, Mas. Tidak mungkin aku tidur pakai kebaya. Bajuku kotor dan bau. Pasti gatal-gatal kalau dipakai lagi.”
.
.
.
Next~
“Buang saja kalau itu dari wanita iblis itu!” Renata langsung bereaksi keras mendengar nama Tamara disebut.“Ma?” Alana menenangkan mamanya.“Kau tidak lupa kan, karena dia cucu dan cicitku hampir celaka!” Renata masih tidak mau berkompromi.“Iya, Ma. Ludwig hanya menduga. Bisa jadi bukan.” Farah ikut menyahuti.“Tapi, aku yakin, kok. Itu dari Tamara.” Ludwig berkeras dengan pendapatnya.Bukan masalah hadiah itu mau dibuang atau tidak. Ludwig juga tidak akan menahan kalau saja semua orang tidak menyukai hadiah dari Tamara. Tapi dia tahu, Tamara akhir-akhir ini lebih banyak membisu dan tak suka banyak bicara. Diam-diam dia juga bertanya kabar putri Devran pada asistennya. Ludwig juga tak banyak bertanya tentang kondisi istrinya itu. Sejak kejadian itu, dia juga sebal dan mendiamkan Tamara. Hanya saja selama ini mereka masih serumah. Masih tidak tega dia meninggalkan Tamara dalam keadaan sakit. Kakinya yang dulu dioperasi harus kembali dioperasi lagi beberapa hari ke depan pasca keja
Bayi yang disepakati orang tuanya bernama Zahra itu, sudah hampir tiga bulan usianya. Tapi pihak keluarga belum mengadakan acara sekedar sukuran. Mereka mengikuti saran dokter agar bayi yang lahir sebulan sebelum hari perkiraan lahiran itu tidak boleh berinteraksi dulu dengan banyak orang agar higienitas terjaga.Kini setelah tiga bulan, bayi itu sudah bertambah gembuk dan menggemaskan. Keluarga Emeraldo sudah tidak tahan ingin mengenalkan pada dunia bahwa keluarga mereka punya putri yang cantik.“Kau tidak lupa menyuruh orang menjemput ustad untuk ikut mendoakan cicitku, Alan.” Renata memangku Zahra yang terlelap itu. Selalu saat melihat bayi itu, Renata beraca-kaca.“Iya, Ma. Sudah ada yang jemput, kok. Tapi kenapa malah nangis?” Alana mengelus lengan mamanya.“Aku orang yang paling beruntung, Alan. Masih bisa menggendong cicitku...” Renata terisak.Tangisannya itu mengusik si bayi mungil yang sedang tertidur. Mahluk kecil itu menggeliat, lalu menatap Renata dengan tatapan penuh
“Papa Ludwig sedang melihat cucunya, Mas. Biarin dulu!”Nayra meminta Devran untuk tidak mengusik pria itu. Devran mencuri-curi lirik pada pria yang tampak mengulas senyum sembari menempelkan telapak tangannya di kaca untuk menyapa cucunya. Dia sebenarnya sudah mulai respek pada ayah biologisnya itu. Setelah beberapa saat kemudian, Ludwig baru berjingkat. Namun sebelum beranjak pergi, masih terdengar dia berkata, “Kakek pergi dulu, mimpi yang indah ya, anak cantik!” Lalu ketika membalikan badan untuk pergi, seketika wajahnya terlihat terkejut mengetahui Devran dan Nayra ada di sana.Ada sikap canggung yang masih ditunjukan kediua pria itu saat saling bertatap muka. Sehingga Nayra yang harus mencairkan suasana.“Papa Ludwig?” Nayra mengulurkan tangannya untuk menyalimi mertuanya itu.Ludwig tersenyum menerima uluran tangan Nayra.“Tadi aku mengunjungi teman di rumah sakit, mampir jenguk putrimu.” Ludwig beralasan. Nampak masih menjaga image di depan Devran. Padahal dia memang d
Untung Nayra sudah menabung banyak asi sebelum dia lahiran. Jadi meski saat ini malah tidak bisa memberikan asi karena pengaruh obat, bayi mereka tetap bisa menikmati makanannya.Walau terlahir sebelum waktunya, untungnya seminggu perawatan membuat mahluk mungil itu perlahan bertambah bobotnya.“Anakku itu, Mas?” Nayra yang di dorong menggunakan kursi roda diantar Devran ke ruang NICU, melihat putri mereka dari dinding kaca.“Iya, Sayang. Dokter bilang perkembangannya pesat sekali.” Devran mengelus pundak Nayra dan mencium puncak kepalanya.Tatapannya beralih dari si mahluk mungil yang sedang terlelap di dalam sana menuju sang istri.Devran berlutut di samping Nayra dan menatapnya dengan berkaca-kaca.“Kenapa, Mas?” Nayra jadi ikut sedih melihat pria jutek dan dingin saat ini terlihat begitu melankolis.“Kau hebat sekali, Nay. Kau masih bisa menjaga putriku dengan baik di tengah terpaan masalah yang terus merongrongmu.”“Terima kasih banyak, Nay.” Devran menambahi sembari menciumi t
“Perlengkapan bayi?” Farah hampir terpekik. Rasanya campur aduk mendengar hal itu.Berarti bayi Nayra baik-baik saja? Mereka akan punya cucu dalam hitungan menit?“A-ada tidak, Ma? Beli di mana?” Devran sampai lupa kalau dia punya banyak asisten atau orang-orang di depannya ini juga dengan senang hati membantunya. Tapi malah mau beli sendiri. “Dev, biar aku minta Musa menyiapaknnya. Kau kebalilah ke dalam.” Alana langsung gerak cepat.“Tidak-tidak, Rudi ada di depan, aku akan memberitahunya untuk beli di koprasi rumah sakit saja.” Ludwig langsung menelpon asistennya.“Kelamaan, aku saja yang beli!” Farah langsung mengambil tasnya dan berjalan menuju koperasi rumah sakit untuk membeli perlengakapan bayi.Rasa kesal dan sebalnya sudah hilang. Kini sepanjang langkahnya diisi dengan rasa sukur bahwa sebentar lagi mereka akan menggendong mahluk mungil yang tangisannya akan selalu dirindukan.Dengan cepat mengambil keranjang dan memilih popok juga bedong dan lainnya. Tak lupa perlengkapan
“Hhg. Aku tak perlu mengatakannya dari mulutku, tapi dunia sudah tahu wanita seperti apa dirimu, Tamara. Mereka melihatmu yang culas dan ambisius. Apa kau masih butuh sebuah pernyataan dariku juga?”Farah bukannya menguntit semua berita tentang Tamara. Tapi, setiap dia membuka sosial media atau televisi atau saluran berita lainnya, nama baik Tamara seperinya sudah mulai hancur di mata para penikmat berita itu.Yang mereka tahu, saat ini Tamara menikahi Ludwig yang menjadi CEO perusahaan besar itu dan meninggalkan Alana karena tersingkir. Jadi saat ini hanyalah berita miring tentang kehidupannya saja.Sang ratu pesta yang kerap mengadakan jamuan mewah di kalangan para artsi ini, kabarnya pun mulai ditinggalkan setelah perselisihannya dengan sang model yang kini ikut menghujatnya di sosial media itu setelah bebas dari penjara. “Jangan sok tahu, kamu!” Tamara kesal.Nayra yang tahu kondisi mulai tidak kondusif langsung menarik lengan mamanya. “Ayo, Ma. Kita pergi! Nanti nenek cari