Hari Senin yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang.Sejak bangun tidur, perasaan Brina sudah mulai tak karuan. Sebab hari ini, ia bakal mengatakan segalanya pada Evan. Saat perjalanan ke sekolah, ia terus bertanya-tanya bagaimana reaksi Evan nantinya? Evan pasti akan tetap di sisinya kan? Pikirnya.Sekolah sudah mulai ramai saat Brina sampai. Brina menelusuri lorong dengan langkah santai. Langkahnya terhenti saat mendapati papan majalah dinding sekolah. Di kolom sosok inspiratif, tampak artikel yang memuat wajahnya dengan headline "Menilik Sosok Brina Aulia, Peraih Paralel Pertama Lima Semester Berturut-turut". Di bawahnya, tertulis biodata dan sederet prestasi yang pernah ia raih. Berikut hasil interviewnya dengan anggota klub jurnalistik yang diambil dua minggu lalu.Brina tercenung sejenak. Di sekolahnya yang amat menghargai nilai-nilai dan titel juara, ia adalah primadona, sosok teladan yang selalu mendapat atensi banyak orang dan jadi kesayangan hampir seluruh guru di sini. Hampir
Waktu berjalan dengan cepat. Lima hari berlalu sejak terakhir kali Brina bertemu dengan Evan di ruang arsip perpustakaan. Tak ada kabar dari Evan sejak hari itu. Tak ada lagi pertemuan-pertemuan rahasia di ruang arsip atau ruang seni. Jangankan bertemu, Evan bahkan tak membaca pesan-pesan yang ia kirimkan. Ia seolah hilang ditelan bumi begitu saja, lenyap tanpa ada jejak.Padahal mereka berada di sekolah yang sama. Brina tentu ingin menemui Evan langsung, tapi pasti bakal menimbulkan kecurigaan. Hubungan yang mereka jalani secara diam-diam makin mempersulitnya untuk menghampiri cowok itu, apalagi mereka tidak pernah berada dalam satu kelas atau klub yang sama. Bakal terlalu menarik perhatian kalau ia mendekati Evan secara terang-terangan.Siang ini, untuk kesekian kalinya, Brina mengecek ponsel. Barangkali Evan sudah mengirimkan balasan. Tapi nihil, justru chat dari ibunya yang ia terima, mengingatkannya untuk tidak melewatkan les hari ini."Ngelihatin ponsel mulu Na, itu baksonya ent
Langit tampak cerah pagi ini. Sinar matahari pagi menelisik melalui kisi-kisi jendela, membuat Brina terbangun karena merasa silau. Gadis itu berjingkat bangun dari tempat tidur. Diperhatikannya jam dinding sudah menunjuk pukul tujuh pagi. Ia langsung melangkah ke kamar mandi, mandi sejenak kemudian berganti baju.Berhubung ini hari Minggu, jadi ia bisa lebih santai. Brina memilih kaus lengan panjang dan overall dress selutut. Setelah berpakaian, gadis itu segera beranjak ke meja makan. Sayup-sayup, ia bisa mendengar ibunya sedang mengobrol dengan seseorang. Sepertinya sedang ada tamu.Brina mengambil roti bakar yang sudah disiapkan ibunya di atas meja, melahapnya perlahan sembari mendengarkan obrolan ibunya dengan si tamu."Jadi, dokter menyarankan kamu buat menggugurkan kandunganmu?"Mendengar kata kandungan, Brina berhenti mengunyah selama beberapa saat."Iya mba. Katanya janin di kandunganku cacat berat, terus aku juga ada riwayat penyakit yang nggak memungkinkan buat meneruskan k
Brina mengerjapkan mata. Menguceknya beberapa kali. Berharap apa yang ditangkap matanya cuma sebatas ilusi. Tapi lima menit berselang, semuanya tetap sama, tak ada yang berubah. Dua garis merah itu masih di sana. Tampak begitu nyata. Bahu Brina melesak, degup jantungnya jadi makin tak karuan. Tangannya yang sejak tadi mengeluarkan keringat dingin bergetar, membuat testpack di genggamannya hampir saja terjatuh ke dalam closet. Brina mematung untuk beberapa saat. Masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bagaimana mungkin ia hamil di saat-saat seperti ini? Pasti ada yang salah, sangkalnya dalam hati. Barangkali testpack yang ia gunakan tidak akurat. Ia juga lupa memastikan tanggal kadaluwarsanya saat membeli. Ia mesti mengeceknya lagi nanti, pikirnya. "Na, udah hampir jam tujuh. Nanti kamu telat lho." Mendengat teriakan ibunya, lamunan Brina buyar. Langkah kaki ibunya terdengar semakin jelas, pertanda bahwa wanita itu semakin mendekat. Brina jadi bertambah gugup. Dengan tergesa-g