Share

Bab 2 : Masih Sama

Positif.

Ini testpack kelima yang Brina coba selama tiga hari terakhir. Kali ini, ia membeli dari merek ternama. Harganya lebih mahal dari yang sebelum-sebelumnya. Brina juga sudah memastikan tanggal kadaluwarsa yang tertera di kemasannya masih lama. Dari lima testpack yang ia coba, semuanya kompak menampilkan hasil yang tak ia kehendaki.

Ia hamil.

Brina benar-benar tak menyangka ia akan hamil sedini ini. Di umur sebelia ini. Dan yang paling parah, di saat ia belum menikah. Beberapa hari lalu, saat menyadari kalau ia belum tak kunjung datang bulan padahal sudah lewat sebulan, Brina pikir kondisinya kurang fit. Maklum, belakangan ia kelelahan karena belajar hingga larut malam. Iseng-iseng, ia membeli testpack di apotik yang cukup jauh dari rumahnya. Hanya untuk berjaga-jaga.

Dan kenyataan yang ia lihat membuat Brina merasa seolah dunianya berakhir hari itu juga. Apa yang mesti ia lakukan sekarang? Pikirnya. Antara mempertahankan atau menggugurkan kandungannya, Brina bimbang. Terlebih, bagaimana kalau ia ketahuan nantinya? Raut wajah kecewa ibunya, tatapan mencemooh dari teman-teman sekolah, belum lagi bisik-bisik cibiran tetangga. Ada kemungkinan juga dia bakal dikeluarkan dari sekolah nantinya. Ah, membayangkannya saja membuat Brina ngeri.

Sepanjang Sabtu ini, Brina tak fokus belajar karena memikirkan semua kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi. Ia terus menerus melakukan kesalahan saat mengerjakan soal matematika dan ekonomi. Buku-buku yang ia baca tak ada yang masuk ke kepalanya. Juga di tempat les, hanya satu dua hal yang bisa ia pahami. Hingga matahari perlahan tenggelam dan langit dipenuhi kegelapan, tak banyak kemajuan yang ia dapat hari ini.

"Na, makan yuk."

Teriakan ibunya membuat Brina yang tengah berkutat dengan latihan soal bergegas bangkit. Ia melirik jam dinding sekilas. Sudah pukul delapan, waktunya makan malam. Setelah merapikan buku-buku dan alat tulis yang berserakan di atas meja, ia segera menuju ruang makan. Ibunya sudah berada di sana, tengah menata makanan di atas meja.

"Gimana sekolahmu belakangan ini Na?" tanya Widya sembari mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk pauk, lalu memberikannya pada Brina.

"Lancar-lancar aja Ma," tanggap Brina. Ia menerima piring yang disodorkan ibunya. Perlahan menyuapkan nasi ke dalam mulut meski merasa enggan.

"Kalau di tempat les? Mama dengar minggu kemarin ada try out UTBK, gimana hasilnya?"

Brina mengambil segelas air putih, meneguknya sedikit sebelum menjawab, "Nggak ada kendala buat saat ini. Guru-guru di tempat les semuanya baik. Hasil try outnya baru keluar kemarin Ma, Brina di peringkat dua."

Widya mengangguk-angguk, merasa puas dengan pencapaian Brina. Keduanya kemudian menyantap hidangan masing-masing dalam diam. Sejenak, Brina memandang sekeliling. Ruang makan dengan konsep minimalis itu entah kenapa terasa dingin. Padahal, ruangan ini dulu penuh dengan kehangatan.

Ingatan Brina terlempar ke beberapa tahun lalu. Saat keluarganya masih utuh. Orang tuanya akan duduk di sampingnya, antusias mendengarkan celotehan tak jelas yang keluar dari mulutnya, sesekali mereka akan memujinya sembari mengelus puncak kepala Brina saat ia menghabiskan makanan. Selepas makan, ayah dan ibunya akan menemaninya menonton DVD film kartun. Tak peduli meski ia sudah memutar film yang sama berulang kali.

Dulu, ia kira keluarganya bakal tetap utuh. Dulu, ia pikir kebahagian yang ia rasakan akan selamanya kekal. Tapi kenyataan memang sering kali tak sejalan dengan angan. Masa-masa itu, canda dan tawa yang dulu pernah ada kini hanya tinggal jadi keping kenangan di ingatan.

Enam tahun lalu, saat ayah mengatakan pada ibunya kalau ia jatuh cinta dengan wanita lain dan tak bisa lagi melanjutkan pernikahan mereka, hidup Brina perlahan berubah. Ayah dan ibunya bercerai tak lama kemudian.

Ayahnya pergi dari rumah ini, membangun rumah tangga baru dengan wanita yang menjadi pujaan hatinya. Menyisakan ia dan ibunya. Ibunya mesti bekerja dan mengurusnya seorang diri. Seiring ia beranjak dewasa, ibunya jadi semakin sibuk bekerja. Mereka jarang menghabiskan waktu bersama.

Lambat laun, jarak antara ia dan ibunya tanpa sadar semakin melebar. Brina merasa cinta yang ia dulu dapatkan dari ibunya semakin memudar. Cuma ada satu cara agar ibunya bisa peduli dan menatap ke arahnya, prestasi. Nilai-nilai akademis, piagam penghargaan, dan medali. Selama enam tahun ini, susah payah Brina mengumpulkan semuanya, demi bisa melihat tatapan bangga dari ibunya, agar ia bisa dicintai.

Di mata ibunya, Brina adalah gadis penurut yang sempurna. Bagaimana kalau ibunya sampai melihat cela dalam dirinya? Akankah wanita itu akan tetap di sisi Brina dan mendukungnya? Perlahan, rasa gelisah yang coba ia redam dalam-dalam menyeruak kembali.

"Kamu nggak papa Na? Wajahmu agak pucat gitu."

"Nggak papa Ma," Brina segera memasang wajah ceria, "Cuma agak capek aja. Brina duluan ke kamar ya Ma, mau istirahat."

Widya mengangguk, "Kalau besok ngerasa nggak enak badan, bilang ya Na. Nanti kita ke dokter. Kamu malam ini nggak usah belajar dulu, langsung istirahat aja. Ujian sekolah sebentar lagi kan? Jangan terlalu diforsir."

Ah, pada akhirnya yang ibunya pedulikan hanya soal ujian dan nilai-nilainya. Dengan langkah berat, Brina menyeret kaki menuju kamar. Ia rebahkan tubuhnya di atas kasur. Bola matanya yang berwarna cokelat gelap memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong.

Gadis itu lalu mengambil ponsel yang terletak di atas meja belajar. Tangannya otomatis membuka aplikasi W******p, menilik story dari kontak-kontak yang ia punya. Beberapa temannya tampak mengupload momen-momen menyenangkan, entah jalan-jalan dengan keluarga dan teman atau movie date dengan pasangan. Evan mengupload foto saat ia tengah mengikuti audisi tim voli.

Brina bersyukur karena sepertinya audisinya berjalan lancar. Lalu, story terakhir, dari ayahnya. Tampak foto kebersamaan pria itu dengan keluarga kecilnya, seorang wanita dan anak laki-laki berusia lima tahun. Ketiganya menikmati piknik sembari tersenyum ceria.

Mendadak, ada sesak menyelinap dalam dada Brina. Tangan Brina kemudian bergerak menekan tombol bisukan pada story ayahnya.

Ia menghela napas, panjang dan berat. Kelihatannya, semua orang bahagia hari ini, kenapa hanya ia disini yang merasa tak baik-baik saja?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status