Share

Bukan Cinderella
Bukan Cinderella
Author: Abinaya

Bab 1 : Dua Garis Merah

Brina mengerjapkan mata. Menguceknya beberapa kali. Berharap apa yang ditangkap matanya cuma sebatas ilusi. Tapi lima menit berselang, semuanya tetap sama, tak ada yang berubah.

Dua garis merah itu masih di sana. Tampak begitu nyata.

Bahu Brina melesak, degup jantungnya jadi makin tak karuan. Tangannya yang sejak tadi mengeluarkan keringat dingin bergetar, membuat testpack di genggamannya hampir saja terjatuh ke dalam closet.

Brina mematung untuk beberapa saat. Masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Bagaimana mungkin ia hamil di saat-saat seperti ini? Pasti ada yang salah, sangkalnya dalam hati. Barangkali testpack yang ia gunakan tidak akurat. Ia juga lupa memastikan tanggal kadaluwarsanya saat membeli. Ia mesti mengeceknya lagi nanti, pikirnya.

"Na, udah hampir jam tujuh. Nanti kamu telat lho."

Mendengat teriakan ibunya, lamunan Brina buyar. Langkah kaki ibunya terdengar semakin jelas, pertanda bahwa wanita itu semakin mendekat. Brina jadi bertambah gugup. Dengan tergesa-gesa, gadis itu memasukkan testpacknya ke dalam saku rok. Bergegas, ia keluar dari toilet kamar. Didapatinya sang ibu sudah berada di hadapannya. Menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

"Kamu habis ngapain aja Na dari tadi nggak keluar keluar dari kamar?"

Brina berusaha bersikap senormal mungkin, berharap ibunya tak menangkap raut gelisah di wajahnya, "Habis buang air besar Ma."

Ibunya tak bertanya lebih lanjut. Wanita paruh baya yang tampak rapi dalam balutan blus batik itu melirik arloji di tangan kanannya sekilas, “Langsung berangkat aja ya Na, udah mepet banget jam tujuh. Biar sarapannya sekalian di mobil, mama udah siapin bekal.”

Brina mengangguk patuh. Ia menyambar sweater dan tas punggung yang tergeletak di atas tempat tidur sebelum mengikuti langkah cepat ibunya menuju mobil.

Butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke SMA tempat Brina belajar. Gerbang sekolah hampir saja tertutup saat ia sampai. Beruntung seorang siswa menahan Pak satpam yang akan menutup gerbang.

"Makasih ya," ujar Brina pada cowok itu. Rio menanggapi dengan anggukan pendek. Keduanya lalu melangkah beriringan menuju kelas.

"Tumben kamu telat Na, biasanya berangkat pagi terus," Rio membuka pembicaraan selagi mereka menelusuri koridor kelas. Berhubung sudah mepet jam masuk, siswa-siswa tampak berlarian menuju kelas. Brina hampir saja tertubruk seorang laki-laki berbadan gemuk kalau Rio tidak berada di sampingnya.

"Tadi kelamaan di toilet," jawab Brina.

Mereka berdua kemudian berjalan dalam diam. Sesekali Rio melindungi Brina agar tidak terbentur siswa yang hilir mudik. Ada getaran halus dalam dadanya saat melihat perhatian-perhatian kecil yang Rio tunjukkan padanya. Tapi, ia tak boleh terbawa suasana. Karena jauh di dalam lubuk hatinya, sudah ada satu nama yang lebih dulu ia ukir di sana.

***

Bel istirahat berbunyi tepat ketika Brina selesai menuliskan jawaban soal matematika di papan tulis. Pak Haris, guru matematikanya mengangguk puas melihat jawaban Brina.

"Kalian boleh istirahat sekarang," ujar Pak Haris. Anak-anak bergegas keluar kelas, menuju kantin untuk mengisi perut yang sejak tadi kelaparan.

"Na, ke kantin bareng yuk," Lia diikuti beberapa teman sekelasnya menghampiri bangkunya saat Brina tengah membereskan alat tulis. Brina mengangguk setuju berhubung ia sudah mulai kelaparan. Saat di mobil tadi, ia Cuma sempat menghabiskan sepotong sandwich, hanya cukup untuk mengganjal perutnya selama beberapa saat.

Saat keluar kelas, Brina merasakan getaran di saku roknya. Ia mengambil ponsel dari sana. Tampak satu pesan muncul pada layar notifikasi.

Mundur Na, jangan kecepetan jalannya

Melihat isi pesan itu, Brina mengerutkan kening, kebiasaannya saat merasa kebingungan. Meski demikian, gadis itu menurut. Ia memelankah langkah, membuatnya terpisah beberapa meter dari teman-temannya yang tampak asyik bercerita.

Ketika hampir melewati ruang seni, seseorang menarik tangannya dari dalam. Brina terperanjat, tangannya hampir saja melayangkan pukulan kalau ia tak menyadari siapa wajah di hadapannya.

"Ya ampun, Evan..."

Evan terkekeh melihat respon Brina. Cowok jangkung itu kemudian menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Brina duduk. Ia mengeluarkan sekotak susu dan roti dari plastik.

"Temenin aku ngobrol Na," ujar Evan sembari tersenyum hangat. Senyum yang berkali-kali membuat Brina jatuh hati padanya.

Mereka berdua sudah menjalin hubungan hampir selama tiga tahun, namun kebiasaan Evan yang memperlakukannya seperti seorang putri selalu membuat Brina merasa seolah ia baru ditembak kemarin sore. Barangkali, hal inilah yang membuat Brina bertahanan walaupun ia mesti menjalin hubungan diam-diam.

"Kamu tadi jalan bareng siapa Na?" tanya Evan sembari menancapkan sedotan pada susu kotak, kemudian menyodorkannya pada Brina.

"Jalan?" Brina tampak berpikir sejenak, "Oh maksudnya tadi pagi pas ke kelas? Sama Rio, kita ketemu di gerbang. Aku hampir telat tadi, untungnya dia nahan Pak Satpam waktu mau nutup gerbang."

Evan tak merespon. Raut wajahnya tampak jelas kalau ia tak suka saat mendengar Brina mengucap nama laki-laki lain selain dirinya.

"Kamu cemburu?" ujar Brina sembari tersenyum geli. Jarang-jarang Evan menunjukkan ekspresi seperti ini. Seperti anak kecil yang merajuk saat tak dibelikan mainan yang dimau. Tampak lucu di mata Brina.

Evan menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya pada tembok. "Iyalah pasti. Waktu lihat kalian jalan berdua, aku jadi mikir harusnya yang jalan di samping kamu kan aku. Sekali-kali, aku juga pengin kaya pasangan normal lain yang bisa jalan bareng berdua di tempat umum, nggak perlu sembunyi-sembunyi kaya gini kalau mau ketemu."

Sekilas, Brina bisa menangkap ada rasa frustasi di perkataan Evan. Bukan Cuma Evan, Brina juga menginginkan hal yang sama. Tapi mereka mesti bersabar untuk saat ini. Pak Rifan, pelatih klub voli yang Evan masuki tak memperbolehkan anggotanya untuk berpacaran karena menurutnya bakal mengganggu performa mereka di lapangan.

Selain itu, Widya, ibu Brina juga punya pemikiran yang kurang lebih sama. Hubungan mereka bakal kandas di tengah jalan kalau sampai ketahuan. Maka dari itu, mereka tak bisa mengambil risiko untuk bertemu di tempat umum.

"Nanti bakal ada waktunya kok," ujar Brina berusaha menenangkan. Ia meminum susu dan memakan roti yang disodorkan Evan. Sejenak, terlintas di pikirannya untuk bercerita pada Evan soal dua garis merah di testpack tadi pagi. Evan juga harus tahu kan? Pikirnya.

"Oh iya, gimana persiapan buat audisi tim volinya?" tanya Brina. Ia ingat kalau tidak salah Evan akan mengikuti audisi untuk masuk ke salah satu tim voli profesinal minggu ini. Menjadi atlet voli profesional selalu menjadi impian Evan sejak kecil, audisi ini tentu menjadi kesempatan yang bagus buatnya.

"Buat saat ini, lancar-lancar aja sih. Nggak ada masalah sama kondisi badan aku, semuanya prima," tanggap Evan. "Tapi aku agak gugup, pasti yang ikut juga jago-jago kan? Aku takut kalau nggak bisa nampilin yang terbaik nantinya."

"Kamu pasti bisa kok, kamu kan udah main voli dari kecil. Aku yakin kamu bakal lolos. Dan kalaupun nantinya nggak lolos, bakal ada kesempatan yang lebih bagus nantinya," ujar Brina, berusaha menangkan, "Jadi, jangan terlalu khawatir."

Mendengar ucapan Brina, raut wajah Evan yang semula murung berangsur ceria kembali. "Makasih ya, nanti bakal aku traktir kalau aku lolos."

Siang itu, niat Brina untuk menceritakan segalanya jadi padam. Ia takut kalau apa yang ia katakan bakal membuat konsentrasi Evan buyar. Bagaimanapun juga, Evan tengah berjuang untuk mencapai impiannya, Brina tak ingin menjadi penghalang buatnya. Hingga beberapa hari kedepan, Brina terpaksa menyimpan semua kekhawatirannya sendirian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status