Share

Bab 5 : Di antara Dua Pilihan

Langit tampak cerah pagi ini. Sinar matahari pagi menelisik melalui kisi-kisi jendela, membuat Brina terbangun karena merasa silau. Gadis itu berjingkat bangun dari tempat tidur. Diperhatikannya jam dinding sudah menunjuk pukul tujuh pagi. Ia langsung melangkah ke kamar mandi, mandi sejenak kemudian berganti baju.

Berhubung ini hari Minggu, jadi ia bisa lebih santai. Brina memilih kaus lengan panjang dan overall dress selutut. Setelah berpakaian, gadis itu segera beranjak ke meja makan. Sayup-sayup, ia bisa mendengar ibunya sedang mengobrol dengan seseorang. Sepertinya sedang ada tamu.

Brina mengambil roti bakar yang sudah disiapkan ibunya di atas meja, melahapnya perlahan sembari mendengarkan obrolan ibunya dengan si tamu.

"Jadi, dokter menyarankan kamu buat menggugurkan kandunganmu?"

Mendengar kata kandungan, Brina berhenti mengunyah selama beberapa saat.

"Iya mba. Katanya janin di kandunganku cacat berat, terus aku juga ada riwayat penyakit yang nggak memungkinkan buat meneruskan kandunganku. Aku juga sebenarnya belum siap buat punya anak lagi mba. Mba tahu sendiri kan anakku masih kecil, baru dua tahun, aku takut nggak bisa ngasih perhatian yang cukup buat dia kalau aku punya anak lagi."

"Benar juga ya, membesarkan anak kan memang butuh perhatian khusus nggak bisa setengah-setengah, apalagi Dion lagi di masa-masa emasnya. Eh, tapi kamu sudah paham konsekuensinya nanti bagaimana? Katanya ada risikonya juga?"

Brina termenung di tempat. Obrolan ibunya sudah tak bisa lagi ia tangkap. Kecemasan yang selama ini berusaha ia tekan kini timbul ke permukaan. Ia juga mesti memutuskan, apa yang akan ia lakukan dengan janin di dalam rahimnya? Ia awalnya akan mempertimbangkannya setelah berdiskusi dengan Evan. Tapi melihat bagaimana Evan mengabaikannya begitu saja, sepertinya ia mesti memutuskan segalanya sendirian.

"Kamu di sini Na," ibunya menyapa saat ia mendapati Brina di ruang makan. Sepertinya tamu ibunya sudah pulang.

"Iya Ma.," jawab Brina pendek. "Tadi siapa Ma?"

"Junior Mama di tempat kerja. Dia kemarin baru ambil cuti terus sudah lama nggak ngobrol sama Mama jadi ke sini," ujar ibunya. "Ini tadi kita dikasih bolu, kamu mau?" lanjut ibunya sembari menunjuk sebuah kotak berisi bolu.

Brina menggeleng, "Nanti aja deh Ma. Aku baru sarapan tadi, masih kenyang."

Brina membereskan piring dan gelasnya, mencucinya di wastafel dan menaruhnya kembali di rak.

"Aku ke kamar dulu ya Ma," ujarnya yang ditanggapi sang ibu dengan gumaman pendek. Ia lalu berlalu ke kamar. Dinyalakannya laptop yang di atas meja belajar. Gadis itu lalu membuka jendela mesin pencarian dengan mode penyamaran.

Sebuah website forum diskusi online anonim menarik perhatiannya, ada seseorang yang meminta pendapat terkait aborsi.

Halo semua, aku siswi kelas 2 SMA. Beberapa hari lalu, aku periksa ke dokter karena ngerasa nggak enak badan dan dokter bilang aku hamil. Aku shock banget. Aku bingung antara menggugurkan atau tetap mempertahankan kehamilan ini. Jujur, aku belum siap untuk hamil. Pacarku bilang buat aborsi saja sebelum ada orang lain yang tahu, tapi katanya sakit banget dan banyak risikonya, gimana pendapat kalian?

Brina menelusuri satu demi satu jawaban yang ada di sana. Ada yang pro dan ada juga yang kontra. Sebagian besar kontra.

"Kalau kamu nggak siap nahan sakit lebih baik jangan, aku baru aborsi beberapa bulan lalu dan masih inget gimana rasa sakitnya sampai sekarang. Aku minum pil penggugur kandungan waktu itu, ini link tokonya kalau kamu mau coba," tulis sebuah akun.

"Kamu yakin kepikiran buat aborsi? Nggak punya hati nurani banget! Di dunia ini banyak yang susah payah ikut program kehamilan supaya bisa punya anak sedangkan kamu yang dapat anugerah itu malah mau kamu sia-siain?"

"Menurutku mending aborsi kalau kamu belum siap punya anak. Bayangin kalau nanti anakmu lahir di saat kondisimu belum siap jadi orang tua. Apalagi kamu masih muda, masih punya mimpi yang ingin dikejar. Terus nanti kalau anakmu sudah besar, dia bakal dipandang hina sama orang-orang."

"Pertahanin kandunganmu. Kamu kan sudah berani berbuat, harus berani bertanggung jawab. Lagian masa kamu tega membunuh bakal bayi yang nggak salah apa-apa?"

"Aku sebenernya lebih ke pro soal aborsi tapi di Indonesia seingetku aborsi masih ilegal. Lagian bukannya aborsi tu melanggar HAM?"

Brina mengerjap sejenak. Jari-jarinya kemudian mulai mengetik.

Bolehkah menggugurkan kandungan?

Sederet webiste muncul. Brina mengklik salah satunya. Membaca kata demi kata di sana. Tertulis jelas kalau di Indonesia, aborsi dianggap ilegal. Tertera undang-undang yang mengatur hukum aborsi di sana. Ia bisa kena hukum pidana kalau melakukannya.

Di artikel yang ia baca, disebutkan juga kalau tindakan aborsi punya banyak efek samping mulai dari kemungkinan terjangkit kanker, kemandulan sampai dampak psikologis yang cukup berat.

Brina menghela napas panjang, berusaha mencerna artikel-artikel tadi. Ia rebahkan tubuhnya sejenak. Ia belum siap untuk menjadi seorang ibu. Menjadi orang tua bukan hal remeh. Ia mesti rela mengorbankan segalanya untuk itu.

Namun, di satu sisi, ia juga tak sanggup untuk menggugurkan janin di kandungannya. Membayangkan kalau dirinya membunuh seorang anak yang bahkan belum sempat melihat dunia membuatnya bergidik ngeri.

Tapi kalau anak ini lahir, pikirnya, apa ia sanggup membesarkannya? Bagaimana kalau anak ini tumbuh dengan rasa benci karena kehadirannya tak diharapkan dan ia lahir di luar nikah?

Ah, lagi-lagi Brina bimbang. Dalam hati, gadis itu terus bertanya jalan mana yang mesti ia ambil?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status