Share

Bab 3 : Pernyataan

Hari Senin yang ia tunggu-tunggu akhirnya datang.

Sejak bangun tidur, perasaan Brina sudah mulai tak karuan. Sebab hari ini, ia bakal mengatakan segalanya pada Evan. Saat perjalanan ke sekolah, ia terus bertanya-tanya bagaimana reaksi Evan nantinya? Evan pasti akan tetap di sisinya kan? Pikirnya.

Sekolah sudah mulai ramai saat Brina sampai. Brina menelusuri lorong dengan langkah santai. Langkahnya terhenti saat mendapati papan majalah dinding sekolah. Di kolom sosok inspiratif, tampak artikel yang memuat wajahnya dengan headline "Menilik Sosok Brina Aulia, Peraih Paralel Pertama Lima Semester Berturut-turut". Di bawahnya, tertulis biodata dan sederet prestasi yang pernah ia raih. Berikut hasil interviewnya dengan anggota klub jurnalistik yang diambil dua minggu lalu.

Brina tercenung sejenak. Di sekolahnya yang amat menghargai nilai-nilai dan titel juara, ia adalah primadona, sosok teladan yang selalu mendapat atensi banyak orang dan jadi kesayangan hampir seluruh guru di sini. Hampir semua orang menatapnya dengan pandangan penuh kekaguman sekaligus rasa iri.

Apa yang akan mereka pikirkan saat tahu kalau sosok yang selama ini mereka agung-agungkan hamil di luar nikah? Tatapan apa nantinya yang bakal ia terima? Kebencian? Cemoohan?

Saking sibuknya memikiran hal itu, Brina jadi tak sadar kalau ia sudah berdiri di depan mading terlalu lama. Tubuhnya terhuyung saat seorang siswa menubruknya. Ternyata Viona, teman sekelas sekaligus rivalnya sejak kelas sepuluh.

Cewek dengan garis wajah tegas itu bersungut-sungut, jelas kelihatan kesal, "Jangan ngalangin jalan kenapa, banyak yang mau lewat," ujarnya dengan nada ketus.

Brina mencicit lirih. Suaranya hampir hilang diredam keramaian "Maaf."

Ia mengelus bahunya yang tadi berbenturan dengan Viona.

"Kamu nggak papa Na?" ujar Lia. Gadis itu kebetulan ada di sana, menyaksikan bagaimana kejadian tadi.

"Nggak papa Li," tanggap Brina pendek.

"Paling dia sirik Na, soalnya dia nggak pernah bisa ngalahin kamu buat dapetin peringkat pertama," ujar Lia lagi sembari mereka berjalan beriringan menuju kelas. Ia dan Viona memang selalu berada di peringkat yang berurutan semenjak awal masuk. Brina di posisi pertama dan Viona mengikutinya di peringkat kedua. Sepanjang pengamatan Brina, Viona cukup ambisius. Cewek itu hampir selalu terlihat memegang buku atau mengerjakan soal-soal. Brina tak terlalu dekat dengan Viona berhubung ia merasa Viona sering menatapnya dengan tatapan tak suka. Cewek itu juga lebih sering terlihat sendirian, seolah enggan berteman dengan orang lain.

Tapi tak apa, pikir Brina. Viona toh tak pernah sampai menganggunya.

Tepat setelah masuk kelas dan mendudukkan diri di kursi, sebuah pesan masuk ke ponsel Brina. Pesan yang ia tunggu-tunggu sejak tadi, dari Evan,

Na, istirahat nanti ketemu di ruang arsip perpus yuk. Aku mau cerita

Jari-jari Brina bergerak cepat mengetik balasan.

Siap, aku juga punya sesuatu yang pengin diomongin

***

Brina segera keluar kelas begitu bel istirahat berbunyi. Menolak ajakan Lia untuk pergi bersama ke kantin dengan alasan ia perlu ke perpustakaan untuk mengembalikan buku. Sampai di perpustakaan, ia melangkah menuju lantai dua. Di bagian ujung ruangan, tersembunyi di antara rak-rak buku tua, ada sebuah pintu dengan permukaan berdebu. Pelan, Brina membukanya.

Sepanjang yang ia tahu, hampir tak ada orang yang memasuki ruangan ini berhubung di sana hanya ada buku-buku tua yang sudah lapuk dimakan usia. Lagi pula, ruangan ini dulunya selalu dikunci. Setahun lalu, Evan iseng-iseng membukanya dengan kunci pinjaman dari ruang tata usaha. Dan karena ia pikir tempat ini cukup aman dan tak diketahui banyak orang, ia sering mengajak Brina bertemu di tempat ini. Lama kelamaan, ruangan ini menjadi markas buat mereka.

Seperti biasa, ketika Brina membuka pintu, Evan sudah ada di sana. Cowok itu mendongak begitu mendapati kedatangan Brina. Wajahnya tampak sumringah.

"Udah lama?" tanya Brina. Ia duduk di seberang Evan.

"Barusan kok," ujar Evan. Cowok itu lalu mengambil totebag di sampingnya. Mengeluarkan dua botol jus alpukat dari sana, satu untuknya dan satu lagi ia berikan pada Brina.

"Kamu masih sempet sempetnya beli jus," tanggap Brina.

"Enggak kok, ini aku bikin sendiri tadi pagi," tanggap Evan. Evan memang punya kebiasaan kecil dalam setiap pertemuan rahasia mereka, membawakannya minuman dan makanan. Dulu, Brina sempat merasa tak enak hati. Ia Cuma sesekali membawa bekal makan siang untuk dimakan bersama.

"Santai aja Na," kata Evan dulu saat Brina mengatakan padanya untuk tak perlu lagi membawakan camilan, toh ia tak terlalu lapar.

"Kamu kan selalu buru-buru ke sini tiap istirahat sampai nggak sempat beli makanan. Kamu juga sering ngelewatin sarapan pagi kan? Ini buat aku juga kok, biar nggak khawatir kamu tiba-tiba pingsan di jalan," lanjut cowok itu setengah bercanda.

Meski kadang tetap merasa tak enak hati, Brina tak menyangkal kalau ia menyukai bentuk perhatian yang cowok itu berikan.

"Gimana kemarin seleksinya? Kamu nggak ngabarin aku sama sekali."

"Sengaja," Evan membukakan tutup botol jus milik Brina, "Aku mau cerita langsung soalnya."

Brina meminum jus alpukatnya seteguk, siap mendengar cerita Evan. Evan mulai menceritakan kegiatan yang ia lalui kemarin. Matanya tampak antusias saat ia bercerita kalau ia bertemu dengan beberapa pemain voli idolanya yang biasanya Cuma bisa ia lihat dari layar kaca.

"Seleksinya lancar Na. Aku sempet gugup banget sebenarnya, soalnya yang ikut seleksi banyak dan kelihatannya mereka udah berpengalaman. Ada yang udah mahasiswa, terus MVP turnamen voli SMA tingkat provinsi kemarin juga ikutan. Mereka keren-keren banget, dari servisnya aja udah jelas kalau mereka selalu latihan dengan keras."

"Dan hasilnya keluar tadi pagi."

Brina mencondongkan badan, terlihat antusias, "Gimana hasilnya?"

Evan tak menjawab. Ia mengeluarkan ponsel dari sakunya. Membuka sebuah file berisi daftar sederet nama. Namanya ada di sana, di urutan ketiga. Brina hampir saja berteriak kalau saja ia tidak sadar ia sedang berada di perpustakaan. Ia bisa menarik perhatian orang-orang nantinya.

"Wah selamat," ujarnya penuh rasa bangga. "Kamu keren Van."

Evan menanggapi dengan selengkung senyum di wajah. Lolos seleksi ini jelas membuatnya bahagia, tapi membuat salah satu orang yang ia sayangi bangga dengan pencapaian yang ia peroleh tentu memberinya makna kebahagiaan yang berbeda.

"Oh iya, katanya kamu mau ngomong sesuatu," ujar Evan, teringat dengan chat yang Brina kirimkan tadi pagi. "Ada apa?"

Senyum ceria di wajah Brina berangsur memudar. Tiba-tiba tenggorokannya tercekat, seolah ada batu yang mengganjal di sana. Tangannya yang semula hangat tanpa ia sadari mulai mengeluarkan keringat dingin. Ah tak apa, pikir gadis itu. Ini kan Evan, ia pasti bakal mengerti kan?

Pelan, ia mengeluarkan testpack dari saku rok. Menaruhnya di atas meja.

Ia berujar lirih, "Aku hamil."

Diam. Keheningan menyeruak di seluruh penjuru ruangan. Evan tercenung, menatap benda di hadapannya dengan pandangan kosong.

"Kamu jangan bercanda Na," cowok itu berseru pelan. Raut kebahagiaan di wajahnya lenyap. Ditatapnya Brina lekat-lekat. Berharap ia bisa melihat tanda-tanda kalau Brina hanya sedang bermain-main atau mengerjainya. Tapi tidak, Brina tampak serius.

"Sejak dulu aku nggak pernah suka bercanda Van," tanggap gadis itu. "Aku juga berharap kalau ini semua cuma bohongan. Cuma mimpi buruk yang bakal hilang kalau aku bangun. Tapi enggak Van," suara Brina terdengar semakin lirih, "Aku udah coba test berulang kali dan hasilnya sama."

"Tapi kita cuma ngelakuin itu sekali," Evan masih merasa tak percaya.

"Aku juga nggak tahu Van."

Evan mengacak rambutnya, terlihat jelas kalau ia merasa frustasi. Ia sama sekali tak menyangka kalau "sesuatu" yang Brina bicarakan ternyata bukan kabar baik.

"Siapa aja yang tahu?"

"Cuma aku sama kamu. Aku nggak berani kasih tahu orang lain," ujar Brina. Ia menghela napas, lelah, "Sekarang aku harus gimana Van?"

"Aku nggak tahu Na. Semua ini terlalu tiba-tiba buat aku," suara Evan terdengar putus asa, "Kasih aku waktu buat mikirin semua ini Na."

Ah, benar juga, pikir Brina, Evan pastinya butuh waktu untuk mencerna semuanya. Tak lama, bel masuk berbunyi. Hari itu, berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana Evan selalu mengucapkan sampai jumpa, untuk pertama kalinya, cowok itu melenggang begitu saja. Meninggalkan Brina yang terdiam dengan berbagai hal berkecamuk di pikiran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status