Cling!
Tiba-tiba saja ada yang menepuk pundakku, dengan teguran sangat mengejutkan.
"Ciyee, habis ngadu, ya?"
Aku yang tersentak kaget, seketika menoleh, menggeser duduk agak jauh saat menyadari satu hal; ia adalah orang dalam mimpiku, yang baru saja menjadi cerita tidak seru.
"Kenapa takut? Aku ini manusia beneran sepertimu. Bukan kaleng-kaleng, loh!" lanjutmya copy paste kalimat. Lantas terpingkal-pingkal melihatku yang sudah mati kutu ketakutan.
"Aku juga sudah mendengar cerita semuanya, Tenang saja, nggak bakalan marah, kok!"
"Cuma ... kasihan sekali, cerita gadis cantik cuma dianggap angin lalu. Hahaha." Ia terus saja meledek.
Astaga, kok serba tahu dan santai banget, sih? Manusia jenis apa dia?
"Manusia purba!" tandasnya, seolah pikiranku adalah buku terbuka yang bisa dibaca sambil lewat.
Sebelum ia kembali menebak pikiran lagi, kuberanikan duri bertanya langsung.
"Kamu, kenapa ... kenapa dari tadi seolah tahu pikiran aku?"
"Bukan seolah, aku memang serba tahu!"
Nada tegasnya persis dalam mimpiku.
"Kamu ma-manusia dari jenis apa?"
Jika sebelumnya laki-laki di sampingku ini pura-pura angkuh sambil sesekali menahan tawa, sekarang dia kesal sungguhan. "Sembarangan tanya jenis! Memangnya ketampanan seperti aku mirip ayam pasar?"
"Terus apa?"
"Dengarkan, Naya. Aku ini prajurit berpangkat paling tinggi, yaitu pengawal raja. Tugasku melindungi, menjaga keselamatan, serta mengikuti dengan setia ke mana saja Sang Prabu pergi. Mengerti?"
Mirip pembacaan teks proklamasi pas upacara kenegaraan, ya. Sa-ngat.
"Kamu tahu namaku?" tanyaku keheranan. Padahal aku saja tidak pernah tahu namanya.
"Aku serba tahu!" balasnya dingin.
"Kamu pengawal raja di era be--"
"Nay, sarapan!"
Pertanyaanku langsung terputus oleh teriakan Bulek Siti, yang sekarang berdiri bersandar pintu dengan kedua tangan terlipat di dada.
Aku menjawab iya, berjalan melewati emak-emak jomblo itu sambil pura-pura biasa saja.
"Bicara sama siapa tadi di teras?" Bulek Siti mengikuti langkahku ke dapur, langsung kepo.
Aku seketika berhenti di tempat, garuk-garuk kepala kebingungan harus menjawab apa.
Cling!
"Bilang, kamu lagi hafalan puisi, Naya!"
Sesemakhluk pengawal raja itu datang di waktu yang tepat, memberi jawaban cepat saji.
Aku yang sudah diberi bocoran ide, hanya bisa senyum-senyum menutupi kaget. "Eh, anu, Bulek. Lagi hafalin puisi. Buat pembukaan manggung di alun-alun nanti malam. Hehe!"
"Ditanya cengar-cengir, Untung ya kamu nggak gila menfadak habis ketemu hantu!" tukas Bulek Siti, sebelum berlalu membuka pintu ke kebun belakang rumah.
Aku hanya mengumpat dalam hati, mengambil nasi dan pecel secukupnya untuk makan. Sedangkan 'dia' yang dibicarakan, berdiri di samping tempatku duduk sambil terbahak.
"Terima kasih sudah membantuku," ucapku setelah menyelesaikan dua suapan.
Makhluk tampan itu mengangguk, mengucapkan satu kalimat sebelum menghilang. "Jangan bercerita tentang pertemuan kita lagi, karena hanya kamu yang bisa melihat aku!"
Plas!
Ia lenyap sebelum aku menjawab satu patah kata atau mengangguk. Meninggalkan wangi parfum aroma terapi yang menenangkan.
Kalau dipikir-pikir benar juga. Kakek sama Bulek saja tidak percaya dengan cerita antusiasku tadi, apalagi sahabat dekat tempat biasa aku curhat. Sebaik apa pun manusia memperlakukan sesamanya, dia tetap mengedepankan akal jika mencerna sebuah ucapan.
Selesai sarapan aku tidak ke kamar untuk bermain handphone atau berlatih, padahal nanti malam di alun-alun beberapa lagu pilihan manajemen harus hafal di luar kepala. Entah, aku hanya ingin menetralisir perasaan. Tenang dari rasa takut dan kebingungan.
Melangkah ke teras, berpamitan pada Kakek main sebentar ke rumah teman. Hanya satu jam, berharap saat pulang aku sudah terjaga dari mimpi di atas mimpi buruk.
Nanti saja ya kuberitahu soal 'jadi artis' tadi.
°°°°Janji satu jam ternyata terlambat hampir satu hari, perbincangan seru bersama teman lama kerap membuat seseorang lupa waktu. Menyadari sudah pukul 16.00 WIB, aku buru-buru pamit pulang.
Sampai di rumah langsung mandi dan bersiap, melupakan rasa lapar yang beberapa jam lalu hanya tertunda dengan dua belimbing wuluh. Aku bahkan tidak sempat menyapa Nenek. Bulek Siti yang membantuku berdandan ngomel panjang lebar sampai selesai.
"Naya ambil parfum, terus berangkat, Bulek," ucapku sekaligus pamit.
"Yakin mau berangkat jam lima? Bepergian jelang magrib itu pamali, Naya!" Bulek Siti mengingatkan.
Aku hanya tersenyum canggung. "Bagaimana lagi, Bulek. Waktunya mepet."
Bergegas ke kamar tanpa memerdulikan raut cemas di wajah adik bungsu Ayah, aku segera meraih tas tangan dan memasukkan barang-barang yang dibutuhkan nanti. Handphone, dompet, catatan lagu, serta parfum.
Saat tanganku menyentuh botol parfum, tiba-tiba ...
Cling!
"Masih nekat pergi sendirian?"
Refleks kujatuhkan botol parfum kaca itu ke lantai, berteriak histeris lari ke luar kamar.
"Hantu! Hantu!!"
Belum ada orang menolong, sapaan di samping pintu membuatku hampir jatuh membentur dinding.
"Kenapa, Naya?"
'Buleek, toloong! Hantu!" Aku semakin histeris.
Beruntung Bulek Siti sigap menahan tubuhku, menyuruh tenang dan melihat siapa yang kuteriaki 'hantu' tadi dengan benar.
Namun, tentu saja akal tidak bisa digunakan dalam keadaan kaget, butuh waktu sekian menit untuk kembali normal. Sebab itulah, aku terus menunjuk-nunjuk yang duduk di kursi roda samping pintu kamarku itu sebagai hantu.
Meski sebenarnya bukan itu.
"Tenang, Naya. Duduk dulu Bulek ambikan minum."
Demi apa pun yang kualami. Setelah minum segelas air putih dan tenang, entah kenapa Bulek Siti juga tidak merepet seperti yang sudah sudah.
Bulek hanya memintaku cerita apa yang sebenarnya terjadi, sehingga Nenek yang di kursi roda pun membuatku histeris.
"Naya ... Naya tadi didatangi sosok kemarin, Bulek. Mi-mirip dalam mimpi," jelasku terbata.
"Dia, dia hanya menegur ap-apa Naya tetap pergi? Lalu, lalu Nenek muncul tiba-tiba di situ!" lanjutku sambil menunjuk Nenek yang masih tetap di tempat.
Selain lumpuh total, beliau juga sudah pikun. Jadi tidak peduli cucunya ketakutan setengah mati.
Bulek Siti mengangguk, mungkin berusaha mengerti kali ini. Wanita berbaju ungu muda dan rok kembang-kembang itu lantas berjalan ke kamarku. Berdiri di ambang pintu, sesekali menoleh seperti mencari sesuatu.
"Tenanglah, Naya. Kamu hanya terbawa perasaan lelah dan mimpi itu," ujarnya kemudian. "Tidak ada hantu di kamarmu, kecuali pecahan botol kaca yang membuat wangi parfummu menyebar."
"Bulek, tapi--"
"Sudah, sudah. Jadi berangkat tidak? Jam lima seperempat sekarang."
Jam 17.15? Ternyata drama ini tadi membuat banyak waktuku terbuang percuma.
Dengan kesabaran, Bulek membujuk Nenek supaya mau meninggalkan aku. Meski sempat mendapat penolakan sepaket omelan, mau tidak mau beliau tetap dipaksa berlalu.
Sekarang tinggal aku sendirian ... ah, tidak. Laki-laki prajurit itu berdiri di ambang pintu dengan tawa semenyebalkan tadi pagi.
"Hahahaa, Neneknya dibilang hantu. Lucu banget kamu, Nay!" ujarnya, lantas terbahak lagi.
"Ini semua gara-gara kamu!" balasku kesal.
Dengan berat hati, akhirnya aku mengangguk. Antara cinta dan nyawa, tentu prajurit akan memilih nyawa.Nyawa bisa digunakan untuk menghimpun kebaikan terus menerus. Sementara cinta, akan banyak menuntut pengorbanan yang entah apa artinya. Lagi pula Naya belum tentu mau denganku.Kebahagiaan? Mungkin iya jika aku masih manusia. Tapi akan menjadi lain jika memaksa menyatukan kodrat yang tidak semestinya. Jin dan manusia terikat pernikahan. Penderitaan satu sama lain yang ada.Sekarang, kesadaranku akan hal itu dipulihkan kembali."Saya bersedia melepas Naya dan menjalani kodrat serta kewajiban saya, Kiai," ucapku lemah.Jujur saja, ulu hatiku nyeri sekarang. Serasa ditekan lancip ujung tombak panas. Aku bahkan mengerjap, hampir saja jatuh butiran butiran air mata.Lemah, ya? Coba kamu yang jadi aku."Kuatkan hatimu, Ngger. Paksa untuk ikhlas. Sang pencipta sudah menjanjikan kebaikan yang jauh lebih baik bagi orang-orang yang ikhlas," nasehat Tabib Narapadya lagi.Aku hampir-hampir tidak
Pertarungan dengan tabib Tuge Lan Ba Ta memang berhasil kumenangkan. Semula baik-baik saja, tapi semakin hari tubuhku melemah merasakan persendian yang sakitnya kadang menimbulkan gigil panas dingin.Iya, efek jangka panjang rupanya bukan saja terjadi pada penyakit manusia. Aku pun mengalami.Naya, jangan ditanya khawatirnya sekarang. Meski kata cinta belum bisa terucap, tapi perhatian yang dia berikan lebih dari cukup untuk menentramkan hati.Jika tidak berada rumah, maka rentetan pesan WhatsApp akan menuntut jawaban. Menanyakan makan, sakit, atau minta dibelikan apa sepulang kerja. Ah, andai tidak sakit, aku juga tidak mau menjadi laki-laki lembek begini.Tuk! Tuk! Tuk!Aku terkesiap dari lamunan, susah payah bangun dari tempat tidur demi menyambut siapa pengetuk lampu barusan.Tuk! Tuk! Tuk!Bukan Naya, tidak ada panggilan seperti biasa. Energinya pun berbeda. Lebih lembut sekaligus menentramkan, tanda pemiliknya benar-benar memiliki nurani bersih sepanjang usianya.Aku buru-buru
Cling!Sosok itu menembus pintu, kemudian berdiri tegak di hadapanku. Pakaian, jenggot, dan rambut putihnya mencerminkan sosoknya yang dituakan pada satu wilayah tertentu.Jin kan bisa berubah menjadi apa saja sesuai keinginannya, termasuk orang renta. Meski kami tetap saja menolak tua dan mati."Silakan duduk, Tuan. Ada kepentingan apa dengan saya?"Aku langsung mempersilakan dan bertanya tanpa basa-basi setelah kami sama-sama membungkuk sebentar untuk memberi salam hormat. Dia jin, mau disuguhi apa selain kemenyan? Sedangkan di sini langka mencari yang seperti itu. Adanya teh, kopi, kue, dan buah-buahan dalam kulkas.Kakek tua itu melihat Naya sekilas, kemudian bicara dengan raut sungkan. "Maaf, apa Anakmas bisa menjauhkan gadis itu lebih dulu?Energi manusia dan jin berbeda. Saya takut nanti kenapa kenapa."Aku mengangguk cepat, buru-buru mengangkat tubuh gadisku untuk dipindahkan ke kamar tidurnya. Tidak tega men-tring pamer kepandaian, soalnya cinta.Lagi pula, tidak baik juga al
Hujan akhirnya mereda, banjir pun surut perlahan. Satu per satu warga kompleks kembali dari pengungsian, membersihkan rumah sekaligus menyelamatkan apa yang masih bisa digunakan.Naya kembali tersenyum cerah, tidak ada uring-uringan dadakan karena kemauan ke luar rumah kupenuhi. Tapi, lihat saja dua atau tiga hari lagi, kalau jawaban cinta masih belum kuterima, kompleks ini akan menjadi saingan danau Toba.Iya, hujan dan banjir hanya kubuat berhenti sementara. Hanya demi menghilangkan persepsi 'laki-laki tidak peka'Namun, jauh di dalam hati aku tetap menagih janji."Van, kamu mau nggak nemenin aku?"Naya tiba-tiba saja muncul mengagetkan. Ah bukan, aku saja yang salah akhir-akhir ini sering melamun."Iya, boleh!!" jawabku penuh semangat. "Memangnya mau ke mana?""Lihat kerja bakti!"Aku tercengang, kepala jadi pening mendadak karena dipaksa berpikir mendadak juga.Kerja bakti itu apa? Jenis pekerjaan baru yang digaji minyak goreng untuk meringankan beban warga negara Indonesia?Kan k
Hujan deras selama empat malam tiga hari, belum ada tanda-tanda berhenti. Langit sesekali menampakkan biru cerah lengkap dengan mataharinya. Tapi, hanya hitungan menit.Mendung kembali menebal, dan tumpah ruah menjadi gemericik yang sekali waktu diselingi angin atau petir.Semua orang menatap tidak menentu dari balik kaca jendela rumah masing-masing. Gelisah memikirkan nasib baju kotor, merutuk tidak bisa leluasa ke luar rumah, tapi menyimpan perasaan was-was begitu besar.Aku tahu semuanya, aku bisa merasakan campuran energi mereka. Tetapi, niatku sudah bulat untuk tidak menghentikan semuanya.Selama Naya masih berkeras hati mengulur jawaban pernyataan cintaku, seluruh warga kompleks perumahan terkena musibah pun aku tidak peduli. Yang salah itu Naya, yang bisa menghentikan amarahku tentu hanya dia."Van, sampai kapan kamu akan membuat hujan terus menerus?"Naya mengusik kegiatanku melukis, sambil meletakkan satu gelas kopi yang masih mengepulkan asap di meja. Dia lantas menarik kurs
"Van, tapi kodrat kamu tetap jin! Bagaimanapun juga asal mulanya!"Eh, berani membantah dia. Untung sayang, kalau tidak, sudah aku tring jadi Spongebob sekarang."Masa bodoh!" sengitku. "Yang aku tahu hanya kita menikah, atau kompleks perumahan ini hancur kena musibah!"Naya terdiam, tidak sanggup lagi membantah mungkin saja. Dan, aku yakin dia pasti berusaha keras bisa mencintaiku setelah ini.Wanita memang adakalanya sedikit dibentak, supaya berpikir ulang untuk macam-macam. "Jangan, Naya! Jangan sampai jatuh cinta sama dia!"Tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah teriakan. Sosok berkaos hitam gambar tengkorak itu berapi-api melakukan upaya pencegahan.Dia mendekat, hingga berdiri beberapa tindak di hadapan Naya."Jangan, Naya. Kamu jangan sampai jatuh cinta sama Kaivan. Dia itu jin jahat, bisa-bisa kamu tertular berbuat kejahatan!"Shit! Dikira aku penyebar virus omikron apa?Namun, aku memilih diam. Tidak menanggapi arwah transparan yang sedang berusaha mempengaruhi Naya. Sebab ap