Entahberada di mana aku sekarang, sekeliling bahkan langit dipenuhi kabut tebal seputih salju. Tapi anehnya, tidak ada rasa dingin atau sesak napas sama sekali. Sebuah kekuatan menuntun supaya aku melangkah dan melangkah.
Tidak terdengar suara apa pun, aroma yang bagaimanapun sebagai tanda-tanda adanya kehidupan. Kosong. Seperti dimensi lain yang sengaja dipersiapkan hanya untukku.
Mungkinkah sekarang ....
Iya, pasti tidak salah lagi. Sekarang aku berada di alam sesudah kematian. Alam impian bagi yang selama hidup terus mendapat kebencian kedua orang tua.
"Naya, kembali. Belum saatnya kamu berada di sini!"
Aku tersentak, mengikuti naluri untuk mencari asal teguran yang telah menggagalkan sebagian niat terus berjalan. Berbalik badan, kudapati seorang laki-laki dengan ketampanan nyaris sempurna, berpakaian sebagaimana panglima perang zaman kejayaan raja raja tanah Jawa.
Ia tersenyum, sesekali ujung ikat kepala berwarna keemasan itu melambai seperti ditiup angin. Aneh, padahal sedari tadi aku tidak merasakan apa-apa.
"Ayo, ikut aku!" ulangnya mengulurkan tangan kanan. Sedang tangan sebelah lagi menggenggam senjata panah, bersiap akan segala kemungkinan.
"Ikut? Tapi, kamu siapa?" Aku balas bertanya tentu saja dengan tatapan waspada.
Aku tidak mengerti sekarang berada di mana bahkan alam apa, dan tidak mempercayai sembarang mahkluk merupakan salah satu cara untuk menjaga diri.
Laki-laki berpakaian serba emas itu tersenyum. "Belum saatnya kamu tahu siapa aku, yang penting sekarang sukmamu harus kembali."
"Tidak! Aku tidak akan percaya padamu, sebelum tahu siapa kamu sebenarnya!"
Tiba-tiba ia menarik tanganku, panahnya dipukulkan pada kabut yang seketika menjadi jalan panjang berwarna pelangi. Aku ingin memberontak, tapi kekuatan seperti dipaksa terkunci.
Pelangi ini berujung cahaya putih menyilaukan, ke arah itulah tiba-tiba tubuhku terpelanting.
"Tidak!"
Aku berteriak saat berhasil terjaga. Napas rasanya hampir putus dengan keringat yang membasahi pakaian tidur. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa mimpi tadi begitu nyata?
Ceklek!
Belum berhasil mengumpulkan nyawa dengan sempurna, suara lain membuatku terkejut. Seperti lampu yang dinyalakan atau dimatikan paksa. Tapi ... kamar ini tetap terang benderang, tidak berubah.
"Aneh," gumamku.
Hendak meraih segelas air minum di meja samping tempat tidur, mata justru tertuju pada sebuah lampu berbentuk piala. Cahaya keemasan yang menyelimuti, perlahan meredup.
Sejak kapan benda yang kata Kakek sudah lama rusak itu, bisa menyala?
Aku buru-buru turun dari ranjang, mengambil dan mengamati lampu itu dengan seksama. Cahayanya sudah mati total, tombol on off pun sama sekali tidak berfingsi. Ada sebuah kertas berwarna putih kebiruan terselip di sana.
Secepat kilat tanganku menarik kertas itu, membuka lipatan setelah menaruh lampu tidur di tempat semula. Ternyata surat, bau tinta masih tercium seperti baru saja ditulis.
'Naya, jangan suka berpikir macam-macam sebelum tidur. Ini sudah yang kedua sukmamu tersesat di gunung kabut. Kalau terjadi sekali lagi, aku tidak bisa membantumu.
Ingat, orang-orang di sekitarmu masih meembutuhkan bantuan'
Habis, tidak ada lagi kalimat yang bisa dijadikan petunjuk. Dan, pikiranku semakin banyak diliputi pertanyaan pertanyaan.
°°°°"Bulek, rumah ini ada hantunya, ya?"
Aku sengaja memelankan suara, saat bertanya, takut ada yang mendengar dan malah jadi ribut. Tapi, wanita berbaju tosca yang baru saja meletakkan sepiring tempe goreng ini pun tidak acuh.
Dia mengernyit heran. Menatap lekat mataku seolah berpikir; pertanyaan tadi benar atau pembuka prank?
Mungkin."Memangnya kenapa?"
Cukup lama saling diam, wanita berusia hampir kepala empat itu malah balik bertanya dengan keras.
Aku kembali berbisik. "Dari datang ke sini aku diganggu terus!"
"Paling cuma halusinasi kamu, Nay!" balasnya ringan, mencomot sebiji tempe goreng bersiap dimakan.
Aku, tentu saja tidak terima. Mana ada halusinasi datang saat tidur? Aku juga merem sungguhan, tidak kaleng-kaleng bohongan.
"Memangnya Bulek pikir tidurku kaleng-kaleng!" gerutuku, langsung maju bibir lima centi.
Bulek Siti terbahak. "Lha kamu aneh, baru sehari dua malam sudah ribut hantu. Bulek saja yang seumur hidup tinggal di sini, sehari-hari cuma melihat Kakek sama Nenekmu!"
Kesal sekaligus bingung. Aku terus memutar otak menjelaskan sosok berpakaian khas prajurit zaman dulu, yang sudah menyelamatkan aku dari 'maut.'
Supaya Bulek Siti percaya. Atau setidaknya antusias mendengar gitu.
"Eh, Nay. Kamu digangguin kayak gimana, sih? Kejar-kejaran sama sosok seram yang berakhir kamu masuk jurang, apa dibawa ke masa lalu dia untuk melihat tragedi berdarah? Hii!"
Aku dibuat semakin kesal, karena antusias pertanyaan Bulek Siti tetap berakhir ledekan.
Dasar emak-emak jomblo!
"Tau ah, sebel!" tukasku, buru-buru meninggalkan meja makan berisi menu favorit, pecel.
Hilang sudah selera sarapan, berganti amarah meledak-ledak yang hanya padam dengan jawaban tentang misteri kamar Ayah yang kutempati. Ada apa dengan lampu tidur emas dan mimpi dua kali berturut-turut itu?
Gagal cerita pada Bulek Siti, langkahku langsung menuju teras rumah. Di sana ada Kakek dengan secangkir kopi, orang paling jujur sedunia seperti warna isi cangkirnya.
"Kek, di rumah ini ada hantunya, ya?" Aku mengulang pertanyaan copy paste, begitu duduk di sebelah Kakek.
Terlalu lama kalau mikir kalimat lagi.
"Kamu ini, Naya. Pagi-pagi sudah membuat Kakek jantungan saja," balasnya terkekeh. Bukan menjawab malah memamerkan gigi gripis sebagian. "Zaman sudah modern kok percaya hantu!"
Karena sepenuh hati aku yakin Kakek baik dan bisa serius jika lawan bicara tidak main-main, kuputuskan menceritakan mimpi setengah buruk yang terjadi berulang-ulang.
Iya, setengah buruk. Soalnya sang penyelamat dalam mimpi itu super tampan, tidak bertangan suhu es batu, dan tidak banyak bicara.
"Kek, terserah percaya atau tidak, pokoknya Naya mau curhat," putusku. Mengubah strategi supaya tidak dianggap halu lagi. "Jadi, dari kamis nalam sampai sabtu dini hari tadi, Naya selalu bermimpi aneh. Ada laki-laki sangat tampan, berpakaian khas prajurit pengawal raja dengan senjata panah terselip di pinggang, menyelamatkan Naya dari tempat berkabut."
"Tidak ada pembicaraan dalam mimpi itu, Naya bahkan lupa bertanya nama dan kenapa mimpinya selalu sama," lanjutku.
Kakek diam fokus mendengar, sesekali menyeruput kopi dalam cangkir yang hampir habis.
"Lalu?"
"Habis, Kek."
Kakek terkekeh lagi. "Makanya kalau ke sini, jangan suka mendesak Kakek menerjemahkan pangkat prajurit kerajaan dalam buku-buku sansekerta. Kamu menjadi hafal, dan membayangkan prajurit berpangkat paling tinggi menemuimu, kan?"
Sebelum berlalu masuk rumah, Kakek mengacak rambutku.
Frustasi, tentu saja. Sudah dua orang tidak mempercayai kesungguhan ceritaku. Satu menganggap aku halu, satunya mengira otak ini penuh dengan nama-nama pangkat prajurit dan silsilah raja raja tanah Jawa.
Memang, sejak liburan Sekolah Menengah Atas dan ada kesempatan menginap lama di rumah ini, sampai sekarang merintis karir jadi artis ... Aku sangat menyukai kisah kisah raja tanah Jawa. Bahkan kerap meminta Kakek mengulang-ulang pangkat prajurit pada masa itu. Tetapi, bukan berarti salahku.
Lagi pula kalau salah, kenapa imbasnya baru sekarang?
Macam karma dosa tuju turunan saja.Apa sebaiknya aku pulang, ya?
Dengan berat hati, akhirnya aku mengangguk. Antara cinta dan nyawa, tentu prajurit akan memilih nyawa.Nyawa bisa digunakan untuk menghimpun kebaikan terus menerus. Sementara cinta, akan banyak menuntut pengorbanan yang entah apa artinya. Lagi pula Naya belum tentu mau denganku.Kebahagiaan? Mungkin iya jika aku masih manusia. Tapi akan menjadi lain jika memaksa menyatukan kodrat yang tidak semestinya. Jin dan manusia terikat pernikahan. Penderitaan satu sama lain yang ada.Sekarang, kesadaranku akan hal itu dipulihkan kembali."Saya bersedia melepas Naya dan menjalani kodrat serta kewajiban saya, Kiai," ucapku lemah.Jujur saja, ulu hatiku nyeri sekarang. Serasa ditekan lancip ujung tombak panas. Aku bahkan mengerjap, hampir saja jatuh butiran butiran air mata.Lemah, ya? Coba kamu yang jadi aku."Kuatkan hatimu, Ngger. Paksa untuk ikhlas. Sang pencipta sudah menjanjikan kebaikan yang jauh lebih baik bagi orang-orang yang ikhlas," nasehat Tabib Narapadya lagi.Aku hampir-hampir tidak
Pertarungan dengan tabib Tuge Lan Ba Ta memang berhasil kumenangkan. Semula baik-baik saja, tapi semakin hari tubuhku melemah merasakan persendian yang sakitnya kadang menimbulkan gigil panas dingin.Iya, efek jangka panjang rupanya bukan saja terjadi pada penyakit manusia. Aku pun mengalami.Naya, jangan ditanya khawatirnya sekarang. Meski kata cinta belum bisa terucap, tapi perhatian yang dia berikan lebih dari cukup untuk menentramkan hati.Jika tidak berada rumah, maka rentetan pesan WhatsApp akan menuntut jawaban. Menanyakan makan, sakit, atau minta dibelikan apa sepulang kerja. Ah, andai tidak sakit, aku juga tidak mau menjadi laki-laki lembek begini.Tuk! Tuk! Tuk!Aku terkesiap dari lamunan, susah payah bangun dari tempat tidur demi menyambut siapa pengetuk lampu barusan.Tuk! Tuk! Tuk!Bukan Naya, tidak ada panggilan seperti biasa. Energinya pun berbeda. Lebih lembut sekaligus menentramkan, tanda pemiliknya benar-benar memiliki nurani bersih sepanjang usianya.Aku buru-buru
Cling!Sosok itu menembus pintu, kemudian berdiri tegak di hadapanku. Pakaian, jenggot, dan rambut putihnya mencerminkan sosoknya yang dituakan pada satu wilayah tertentu.Jin kan bisa berubah menjadi apa saja sesuai keinginannya, termasuk orang renta. Meski kami tetap saja menolak tua dan mati."Silakan duduk, Tuan. Ada kepentingan apa dengan saya?"Aku langsung mempersilakan dan bertanya tanpa basa-basi setelah kami sama-sama membungkuk sebentar untuk memberi salam hormat. Dia jin, mau disuguhi apa selain kemenyan? Sedangkan di sini langka mencari yang seperti itu. Adanya teh, kopi, kue, dan buah-buahan dalam kulkas.Kakek tua itu melihat Naya sekilas, kemudian bicara dengan raut sungkan. "Maaf, apa Anakmas bisa menjauhkan gadis itu lebih dulu?Energi manusia dan jin berbeda. Saya takut nanti kenapa kenapa."Aku mengangguk cepat, buru-buru mengangkat tubuh gadisku untuk dipindahkan ke kamar tidurnya. Tidak tega men-tring pamer kepandaian, soalnya cinta.Lagi pula, tidak baik juga al
Hujan akhirnya mereda, banjir pun surut perlahan. Satu per satu warga kompleks kembali dari pengungsian, membersihkan rumah sekaligus menyelamatkan apa yang masih bisa digunakan.Naya kembali tersenyum cerah, tidak ada uring-uringan dadakan karena kemauan ke luar rumah kupenuhi. Tapi, lihat saja dua atau tiga hari lagi, kalau jawaban cinta masih belum kuterima, kompleks ini akan menjadi saingan danau Toba.Iya, hujan dan banjir hanya kubuat berhenti sementara. Hanya demi menghilangkan persepsi 'laki-laki tidak peka'Namun, jauh di dalam hati aku tetap menagih janji."Van, kamu mau nggak nemenin aku?"Naya tiba-tiba saja muncul mengagetkan. Ah bukan, aku saja yang salah akhir-akhir ini sering melamun."Iya, boleh!!" jawabku penuh semangat. "Memangnya mau ke mana?""Lihat kerja bakti!"Aku tercengang, kepala jadi pening mendadak karena dipaksa berpikir mendadak juga.Kerja bakti itu apa? Jenis pekerjaan baru yang digaji minyak goreng untuk meringankan beban warga negara Indonesia?Kan k
Hujan deras selama empat malam tiga hari, belum ada tanda-tanda berhenti. Langit sesekali menampakkan biru cerah lengkap dengan mataharinya. Tapi, hanya hitungan menit.Mendung kembali menebal, dan tumpah ruah menjadi gemericik yang sekali waktu diselingi angin atau petir.Semua orang menatap tidak menentu dari balik kaca jendela rumah masing-masing. Gelisah memikirkan nasib baju kotor, merutuk tidak bisa leluasa ke luar rumah, tapi menyimpan perasaan was-was begitu besar.Aku tahu semuanya, aku bisa merasakan campuran energi mereka. Tetapi, niatku sudah bulat untuk tidak menghentikan semuanya.Selama Naya masih berkeras hati mengulur jawaban pernyataan cintaku, seluruh warga kompleks perumahan terkena musibah pun aku tidak peduli. Yang salah itu Naya, yang bisa menghentikan amarahku tentu hanya dia."Van, sampai kapan kamu akan membuat hujan terus menerus?"Naya mengusik kegiatanku melukis, sambil meletakkan satu gelas kopi yang masih mengepulkan asap di meja. Dia lantas menarik kurs
"Van, tapi kodrat kamu tetap jin! Bagaimanapun juga asal mulanya!"Eh, berani membantah dia. Untung sayang, kalau tidak, sudah aku tring jadi Spongebob sekarang."Masa bodoh!" sengitku. "Yang aku tahu hanya kita menikah, atau kompleks perumahan ini hancur kena musibah!"Naya terdiam, tidak sanggup lagi membantah mungkin saja. Dan, aku yakin dia pasti berusaha keras bisa mencintaiku setelah ini.Wanita memang adakalanya sedikit dibentak, supaya berpikir ulang untuk macam-macam. "Jangan, Naya! Jangan sampai jatuh cinta sama dia!"Tiba-tiba kami dikejutkan oleh sebuah teriakan. Sosok berkaos hitam gambar tengkorak itu berapi-api melakukan upaya pencegahan.Dia mendekat, hingga berdiri beberapa tindak di hadapan Naya."Jangan, Naya. Kamu jangan sampai jatuh cinta sama Kaivan. Dia itu jin jahat, bisa-bisa kamu tertular berbuat kejahatan!"Shit! Dikira aku penyebar virus omikron apa?Namun, aku memilih diam. Tidak menanggapi arwah transparan yang sedang berusaha mempengaruhi Naya. Sebab ap