Share

Bukan Cinta Buta
Bukan Cinta Buta
Penulis: Nandreans

Prolog

Salah satu kesalahan terbesar manusia ialah dilahirkan ke dunia yang fana sebab mereka tidak pernah mempersiapkan dirinya dengan baik, yang pada akhirnya justru mengantarkan mereka dalam keputusasaan panjanjang selama hidup. Itulah kenapa hanya sedikit dari manusia yang benar-benar bisa menikmati kehidupan. Sebagian besar dari mereka justru menderita dan sudah merasakan neraka jauh sebelum dijemput kematian, ditanam ke dalam tanah lalu disusul oleh pertanyaan-pertanyaan dari para malaikat. Setidaknya itulah yang kini dirasakan oleh Utami Wiratmaja.

Gadis itu duduk di tepi danau sambil memegangi abu pembakaran kekasihnya yang baru dikremasi dua hari lalu. Dia sama sekali tidak menduga bahwa hari paling bahagia dalam hidupnya justru harus dihampiri oleh takdir sedemikian mengerikan. Kekasihnya, Ben, diambil oleh malaikat maut tepat sebelum keduanya melangsungkan pernikahan. Dua jam, lebih tepatnya. Dua jam sebelum pemberkatan pernikahan mereka.

Terlalu banyak pertanyaan di kepala Tami hingga hari ini. Apakah Ben tidak mencintainya? Apakah Ben enggan menikah dengannya? Tapi, kenapa? Tidakkah Ben menginginkan pernikahan ini? Bahkan Ben sendiri lah yang melamarnya dahulu. Dia juga lah yang bersemangat mempersiapka segala urusan pernikahan, lalu mengapa bisa Ben memilih jalan ini?

Ruben Handikusuma memilih menjemput maut. Dia menembak kepalanya sendiri dengan pistol yang tidak perna Tami ketahaui dari mana asalnya hingga otaknya keluar. Bahkan hampir seluruh isi apartemen pria itu masih rapi, hanya ada bercak darah yang menempel di dinding tempat Ben mengakhiri hidup. Tidak ada tanda perlawanan. Tidak ada tanda masuk paksa. Hanya ada sepucuk surat yang Ben tinggalkan di meja kerjanya. Pernyataan bahwa dia dengan sadar memilih bunuh diri.

Sungguh, selama Tami mengenal Ben tidak pernah sekalipun dia mencium aroma keputusasaan dari pria itu. Malah, Ben termasuk orang yang aktif berolahraga, punya hubungan sosial yang bagus dan tidak pernah aneh-aneh. Ben sama sekali jauh dari kata depresi, atau setidaknya itulah yang ditampilkan oleh Ben dari orang sekitar selama ini.

“Terlalu baik aktingmu di balik topeng, Ben,” ucap Tami sembari memeluk guci berwarna putih itu dengan tangis terisak. “Harusnya kamu mengajakku juga. Apa gunanya aku hidup tanpa dirimu? Harusnya aku yang mati dan bukannya kamu.”

Angin dengan lembut membelai tubuh Tami yang siang itu dibalut gaun panjang berwarna hitam, warna di mana manusia menyematkan duka dan keputusasaan. Tami juga tidak tahu sejak kapan orang-orang mulai mengartikan hitam dengan demikian tapi yang jelas dia tidak suka warna hitam.

“Kamu bilang kalau aku sembuh dari kanker maka semuanya akan menjadi lebih indah tapi sekarang apa? Hanya kegelapan yang bisa kulihat, Ben. Harusnya kamu membiarkanku mati saja saat itu.” Tami kembali terisak.

Lalu, dia melepaskan guci dari pelukannya. Dipandanginya benda tersebut dalam-dalam sebelum akhirnya dia mengeluarkan benda kecil dari balik gaunnya.

“Maafkan aku, Ben,” ucapnya. “Aku tidak bisa hidup seperti ini.”

Pelahan Tami mendekatkan mata pisau yang dibawanya ke pergelangan tangan. Diirisnya kulit tangan itu perlahan hingga cairan merah keluar dari sana.

Kesadaran Tami masih ada selama beberapa menit, dia menatap permukaan air danau yang tenang.

Kata orang, menjelang kematian maka seseorang akan melihat kembali kilas balik kehidupannya dalam bentuk potongan pendek. Akan tetapi, Tami tidak merasakannya. Satu-satunya yang dia lihat hanyalah seorang pria berpakaian putih yang berjalan di sampingnya, menatap wajah Tami selama beberapa detik sebelum akhirnya terjun ke dalam air.

“Mungkinkah itu malaikat maut?” Tami berpikir dengan sedikit kesadarannya. Sebelum akhirnya semua benar-benar gelap.

Nandreans

Maaf banget tapi akhirnya bisa update lagi. Ini akan menjadi cerita yang agak berbeda tapi aku jamin bikin kalian puas.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status