Salah satu kesalahan terbesar manusia ialah dilahirkan ke dunia yang fana sebab mereka tidak pernah mempersiapkan dirinya dengan baik, yang pada akhirnya justru mengantarkan mereka dalam keputusasaan panjanjang selama hidup. Itulah kenapa hanya sedikit dari manusia yang benar-benar bisa menikmati kehidupan. Sebagian besar dari mereka justru menderita dan sudah merasakan neraka jauh sebelum dijemput kematian, ditanam ke dalam tanah lalu disusul oleh pertanyaan-pertanyaan dari para malaikat. Setidaknya itulah yang kini dirasakan oleh Utami Wiratmaja.
Gadis itu duduk di tepi danau sambil memegangi abu pembakaran kekasihnya yang baru dikremasi dua hari lalu. Dia sama sekali tidak menduga bahwa hari paling bahagia dalam hidupnya justru harus dihampiri oleh takdir sedemikian mengerikan. Kekasihnya, Ben, diambil oleh malaikat maut tepat sebelum keduanya melangsungkan pernikahan. Dua jam, lebih tepatnya. Dua jam sebelum pemberkatan pernikahan mereka.
Terlalu banyak pertanyaan di kepala Tami hingga hari ini. Apakah Ben tidak mencintainya? Apakah Ben enggan menikah dengannya? Tapi, kenapa? Tidakkah Ben menginginkan pernikahan ini? Bahkan Ben sendiri lah yang melamarnya dahulu. Dia juga lah yang bersemangat mempersiapka segala urusan pernikahan, lalu mengapa bisa Ben memilih jalan ini?
Ruben Handikusuma memilih menjemput maut. Dia menembak kepalanya sendiri dengan pistol yang tidak perna Tami ketahaui dari mana asalnya hingga otaknya keluar. Bahkan hampir seluruh isi apartemen pria itu masih rapi, hanya ada bercak darah yang menempel di dinding tempat Ben mengakhiri hidup. Tidak ada tanda perlawanan. Tidak ada tanda masuk paksa. Hanya ada sepucuk surat yang Ben tinggalkan di meja kerjanya. Pernyataan bahwa dia dengan sadar memilih bunuh diri.
Sungguh, selama Tami mengenal Ben tidak pernah sekalipun dia mencium aroma keputusasaan dari pria itu. Malah, Ben termasuk orang yang aktif berolahraga, punya hubungan sosial yang bagus dan tidak pernah aneh-aneh. Ben sama sekali jauh dari kata depresi, atau setidaknya itulah yang ditampilkan oleh Ben dari orang sekitar selama ini.
“Terlalu baik aktingmu di balik topeng, Ben,” ucap Tami sembari memeluk guci berwarna putih itu dengan tangis terisak. “Harusnya kamu mengajakku juga. Apa gunanya aku hidup tanpa dirimu? Harusnya aku yang mati dan bukannya kamu.”
Angin dengan lembut membelai tubuh Tami yang siang itu dibalut gaun panjang berwarna hitam, warna di mana manusia menyematkan duka dan keputusasaan. Tami juga tidak tahu sejak kapan orang-orang mulai mengartikan hitam dengan demikian tapi yang jelas dia tidak suka warna hitam.
“Kamu bilang kalau aku sembuh dari kanker maka semuanya akan menjadi lebih indah tapi sekarang apa? Hanya kegelapan yang bisa kulihat, Ben. Harusnya kamu membiarkanku mati saja saat itu.” Tami kembali terisak.
Lalu, dia melepaskan guci dari pelukannya. Dipandanginya benda tersebut dalam-dalam sebelum akhirnya dia mengeluarkan benda kecil dari balik gaunnya.
“Maafkan aku, Ben,” ucapnya. “Aku tidak bisa hidup seperti ini.”
Pelahan Tami mendekatkan mata pisau yang dibawanya ke pergelangan tangan. Diirisnya kulit tangan itu perlahan hingga cairan merah keluar dari sana.
Kesadaran Tami masih ada selama beberapa menit, dia menatap permukaan air danau yang tenang.
Kata orang, menjelang kematian maka seseorang akan melihat kembali kilas balik kehidupannya dalam bentuk potongan pendek. Akan tetapi, Tami tidak merasakannya. Satu-satunya yang dia lihat hanyalah seorang pria berpakaian putih yang berjalan di sampingnya, menatap wajah Tami selama beberapa detik sebelum akhirnya terjun ke dalam air.
“Mungkinkah itu malaikat maut?” Tami berpikir dengan sedikit kesadarannya. Sebelum akhirnya semua benar-benar gelap.
Maaf banget tapi akhirnya bisa update lagi. Ini akan menjadi cerita yang agak berbeda tapi aku jamin bikin kalian puas.
"Inikah akhir waktuku, Tuhan?” Itulah yang ditanyakan Arjuna ketika tubuhnya ditandu memasuki ambulans. Sekujur tubuh pemuda itu kini terasa amat lemah seolah dia tidak punya daya sama sekali, bahkan untuk sekadar bersuara. Matanya memang terbuka tapi Juna tidak mampu untuk menangkap siapa saja sosok di hadapannya kini, pandangannya terlalu kabur. Satu-satunya yang dia tahu adalah bahwa ibunya sedang menangis, memanggil-manggil namanya. Akan tetapi, Juna pun tak bisa menjawab barang sekecap. Ini bukan kali pertama Juna merasakan sakaratul maut. Entah sudah berapa kali dia mengalaminya selama hidup sebab sejak dilahirkan dia pun telah mengenal yang namanya kematian. Seolah Tuhan tidak memberinya kesempatan untuk tenang. Lagipula, apa arti ketenangan? Bukankah kematian juga berarti tenang? Ketika tubuh manusia tidak lagi bisa bersuara, berkata-kata dan menyisakan cangkang berupa daging yang membusuk. Lalu, apakah itu artinya Juna tidak takut pada kematian? Tentu saja dia takut. Sangat
“Bangun! Bangun! Bangun!” Suara Gina yang cempreng membangunkan Tami. Kakak perempuan satu-satunya itu kini sudah berada di dalam kamar dan membuka gorden dan jendela lebar-lebar, membiarkan udara pagi masuk. Ini merupakan rutinitas harian yang terpaksa Gina jalani sejak sang adik divonis depresi dan tak bisa melakukan apa-apa sendiri. Lebih tepatnya, Gina lah yang tidak membiarkan Tami melakukan apapun sebab khawatir kalau adiknya itu akan melakukan hal-hak ekstrem lagi. Sejak kematian Ben, sudah tiga kali Tami melakukan percobaan bunuh diri. Dan percobaannya yang terakhir benar-benar hampir menewaskannya. Kalau saja tidak ada yang menolong, mungkin Tami sudah akan tewas dengan tubuh tercerai berai akibat terjun dari lantai dua puluh di apartemennya. Itulah kenapa Gina pindah ke apartemen Tami, meninggalkan keluarga kecilnya. Lagipula, Rio, suaminya sudah terbiasa mengurus balita. Anak-anak aman bersama ayahnya. Yang tidak aman justru perempuan dewasa berusia dua puluh delapan tahu
“Nama Anda tidak ada di daftar tamu undangan. Maaf sekali, Nona.” Saat pelayan mengembalikan kartu yang kubawa, dia tampak menyesal. “Hah? Bagaimana mungkin? Saya punya undangannya. Undangan ini asli dan diberikan langsung oleh Viviane. Mana mungkin namaku tidak ada? Kalian sudah gila! Periksa lagi.” “Tidak bisakah kau bertindak sopan?” Tiba-tiba saja seorang pria bersetelan cokelat muncul di belakangku. “Tidak bagus mempermalukan orang di depan umum. Hanya karena kau kaya dan terkenal, tidak seharusnya kau punya kuasa membentak orang lain.” “Tunggu! Apa katamu?” “Apakah kalian sudah menemukan namanya?” Pria aneh itu bertanya pada resepsionis. Gadis itu menggeleng. “Tidak, Pak.” “Bisakah kalian membiarkannya masuk? Aku mengenalnya.” Mengenalku? Aku bahkan tak tahu siapa dia. Hanya saja, wajahnya memang tampak tidak asing. Tapi bisa kujamin seratus persen bahwa aku tak mengenalinya. “Kenapa kau bilang begitu?” tanyaku saat kami berjalan melewati lorong panjang menuju tempat aca
Sementara acara berlangsung, aku memutuskan duduk di bangku hadirin sambil memakan potongaan buah segar yang disediakan. Menyaksikan keseruan Viviane dan keluarganya merayakan pesta. Gadis itu terlalu sempurna, dia punya fisik yang sangat cantik, talenta yang amat luar biasa dan orang-orang yang mencintainya. Sementara aku? Bahkan memimpikan ayahku di malam ulang tahun pun aku tak bisa. “Kenapa?” Aku kaget saat mendengar suara Angga. Ternyata, dia telah berdiri di depanku sambil membawa segelas alkohol di tangannya. “Kenapa kamu ke sini? Bagaimana kalau keluargamu melihat?” “Tidak akan ada yang curiga,” jawabnya. “Mereka sibuk pesta, sama seperti yang lain. Itulah kenapa aku ingin menemani yang tak berselera. Apakah ada masalah?” Aku membiarkannya duduk di bangku sebelahku. “Putramu tampan juga. Tak kusangka dia dan Viviane menjalin hubungan.” “Bukankah kamu tahu jika aku berencana membuatnya begitu sejak awal?” Angga tertawa. “Kamu harus mengenal putra sulungku.” “Untuk apa? Ka
“Apakah kamu benar-benar terlibat dalam pencucian uang?” “Eh?” “Sayang, tentu saja dia tidak melakukannya!” Angga menyela dan merangkul bahu Dina, sangat manja seolah dia kucing yang merindukan mainan. “Tami ini dijebak. Kamu kan tahu sendiri betapa gelapnya dunia industri. Aku yakin Broto yang brengsek itu hanya mencari aman.” “Broto pantas hancur. Dia sudah melawan kita!” Rio yang tua terbatuk sebentar, lalu melanjutkan, “Tami, kalau kau mau …, aku bisa membantumu melaporkan Broto ke polisi. Biar dia dipenjara untuk pelecehan seksual. Itu pasti merusak reputasinya.” “Aku sudah menyarankan Tami untuk itu sejak beberapa bulan lalu tapi dia takut.” Mulut manis Angga benar-benar putih, seolah tak ada racun di dalamnya. Dia penipu ulung. Aku tersenyum kecil. “Broto terlalu kuat, Pak.” “Dia tak ada apa-apanya dibanding kami!” kata Rio sebelum akhirnya tertawa terbahak-bahak. Pria mengerikan. Jadi, dia hendak menjadikanku pion? “Bisakah di pesta ini kita tidak membicarakan pekerjaan
Sebuah motor melaju dari arah berlawanan mendadak berhenti di depanku. Karena ketakutan, aku mundur beberapa langkah dan langsung mengeluarkan bubuk merica untuk jaga-jaga. “Siapa? Kenapa berhenti di sini?” Pria itu turun dari motornya dan langsung membuka helm. “Lo Tami, kan?” “Lo tahu nama gue?” “Ya!” jawab pria aneh itu sambil memuka helm yang menutupi wajahnya. “Oh, ternyata lo!” Aku menghela napas, tapi tetap waspada. Dengar! Dia pria yang tadi kutemui di pesta. Lebih tepatnya, Juna. “Bikin orang jantungan saja. Kenapa lo tiba-tiba menghadang gue?” “Gue nggak menghadang,” jawabnya. “Lo bisa nyasar kalau jalan sendirian di sini saat malam hari.” Yang benar saja? Aku tertawa. “Tenang saja, daya ingat gue cukup bagus.” “Lo tamu Vivi.” “Terus?” “Gue akan mengantar lo sampai di gerbang perumahan. Ini, pakai.” Juna menyodorkan helm yang sejak tadi ada di jok belakang motornya. Sepertinya dia selalu membawa helm ganda. “Ambil. Nggak usah takut. Lo bisa melaporkan gue ke polisi
Seperti yang biasanya terjadi, meskipun tidur dini hari tapi aku bangun lebih dulu dari pada Gina. Sebab gadis itu kalau sedang tidur seperti orang mati, lama dan tak akan bangun jika belum waktunya bangun. Jadi, percuma saja membangunkannya. “Mau langsung olahraga?” Aku mengangguk, menjawab pertanyaan Mbok Yem yang sedang memasak di dapur. “Kalau Gina bangun, suruh nyusul saja. Aku di taman depan.” Mbok Yem mengangguk. “Jangan lupa bawa air minum, Mbak. Itu botolnya sudah saya siapkan.” “Terima kasih, Mbok!” ucapku sambil meraih botol air minum berwarna biru di atas meja makan. Lalu, segera keluar dari rumah. Dengan headset terpasang di kedua telinga, aku merenggangkan otot sebentar, pemanasan. Kemudian berlari menyusuri jalanan pagi di kompleks perumahan. Meskipun di tengah kota tetapi tempat ini lumayan juga. Banyak warga yang juga berolahraga hari ini. Maklum saja, ini adalah akhir pekan. Semua orang ingin bersantai di hari libur. Meskipun sebenarnya aku tak punya hari libur.
“Lo jadi ikut casting?” Gina sedang sarapan bersama Mbok Yem saat aku pulang. Aku mengambil gelas dan menuju kulkas. “Ini akan jadi awal yang bagus untuk karierku.” “Yang benar saja?” Gina hampir melempar sendok tapi diurungkan karena harus memasukkan potongan daging ke dalam mulut. “Gue rasa lo akan langsung dapat piala FFI. Penipu ulung. Jago drama.” Dia tertawa lebar. Namun, aku tak menanggapi. “Omong-omong, Mbak Tami mau casting film apa? Romantis? Aksi? Atau, apa? Tayang di televisi atau bioskop?” Mbok Yem bertanya. Aku mendekati meja makan dan duduk di sebelah wanita paruh baya itu. “Mbok, kalau menurutmu apakah aku cocok jadi pemain film drama?” “Jadi pemain utama?” Mbok Yem bertanya dengan serius. “Bukan! Jadi ibu tiri yang kejam,” sahut Gina. “Muka kayak Tami ini cocoknya peran jahat, Mbok. Kalau jadi tokoh utama, bisa-bisa nggak laku filmnya.” Mbok Yem menghela napas. “Tapi, memang Mbak Tami lagi digosipkan sama orang-orang. Pembantu kompleks sebelah, kapan lalu berte